Tanggal pembuatan tidak diketahui
Biografi
Singkat Mbok Darmi
Akhir-akhir ini aku
sering kehilangan gairah hidup. Harapan telah sirna, tidak ada cita-cita, pun
mimpi menjauh. Ingin mati rasanya. Menyudahi hidup yang serasa flat dan tidak ada gunanya. Beberapa
kali aku membayangkan untuk bunuh diri, setidaknya menggila dalam kebebasan di
rumah sakit jiwa, tempat dimana ada kemerdekaan.
Tetanggaku yang bernama
Paulo mencoba menghiburku. Tapi tanpa hiburannya yang sehari-hari itu, niscaya,
tak mungkin kini aku masih bernafas. Betapa besar pahala tetanggaku itu. Surga
tingkat tujuh puluh tujuh kali tujuh akan ia raih, jauh lebih tinggi, dari pada
capaian tukang gombal di mimbar suci itu. Suci tadi asumsi beberapa orang buta
tuli saja.
Jadi aku inilah yang
dinamakan mbok Darmi. Perempuan masih muda sebenarnya. Belum genap dua puluh
lima, masih kuliah pula. Kota Jogja di Negara Indonesia telah menjadi tempat
bernaung sejak lahir dulu. Namaku memang seperti orang tua dan panggilan “mbok”
hanya paraban atau sebutan saja.
Katanya sebutan sayang untuk menunjukkan bahwa aku ini dituakan.
Masa kecilku baik-baik
saja. Beberapa kali aku membuli teman main tapi aku sendiri juga tak lepas dari
buli. Dibanding-bandingkan dengan teman maupun saudara sudah jadi kebiasaan dan
itu membuatku kini obsesif untuk meraih segalanya, bisa segalanya, jadi orang
kaya, berkuasa, jabatan tinggi, dan seterusnya.
SD kala itu mulailah
cintaku bersemi. SMP makin subur, dan SMA sempat mandeg. Tatkala kuliah kuserasa kehilangan daya seksual, eros, kata
Freud. Ialah daya hidup seseorang. Lawannya adalah thanatos. Itu adalah daya kematian, keputusasaan, dan semacamnya.
Kini lebih dikuasai yang satu dan nanti yang lain. Tidak ada konsistensi. Tidak
ada integritas. Memang karena segalanya selalu berubah. Tak ada yang diam
mutlak di alam raya ini. Kata Einstein hidup memang seperti itu, seperti naik
sepeda, harus terus bergerak bila tidak ingin jatuh.
Konon alam raya itu
mengembang bahkan berotasi. Entah daya dari mana. Mereka menamakan saja daya
itu dark energy. Bila tidak
mengembang pasti menyusut. Entah mengapa. Dengan ini maka eros-ku jadi terarah kealam filsafat fisika teori.
Pun, semenjak diberi
beberapa nasihat bijak nan spiritual oleh tetanggaku si Paulo itu tadi, rasanya
ingin saja aku membaca terus, lalu menulis, syukur bisa diterbitkan, dan
menjadi kaya karenanya dengan atribut popularitas yang aku dambakan.
Begitulah, secuil
biografiku. Tidak ada hal extraordinary.
Tidak ada yang patut ditangisi atau ditertawai karena gembira. Lulus SD, SMP,
SMA, biasa saja. Juga nanti, tatkala lulus S1, rasanya juga akan biasa saja.
Benar, semua sangat biasa. Para pembaca sekalian silakan saja membuang tulisan
ini atau beralih ke tulisan yang lain.
Pertanyaannya lantas
mengapa pula sampai kisah ini ditulis? Apa istimewanya mbok Darmi. Apakah penulisan
biografi harus selalu dilandasi oleh hal yang istimewa, penting, bermanfaat?
Bukankah itu semua retorika? Bahkan banyak disertasipun pada hakekatnya omong
kosong belaka. Jadi ingat beberapa doktor yang lulus S3 karena penelitian di
Kali Code, tapi, warga Code tetap miskin. Memang nyata, persekongkolan retorika,
romantika, dan estetika itu sangat erat. Kabarnya mereka didanai oleh etika dan
formantika.
Sekarang saya utarakan
bahwa sebenarnya kisah mbok Darmi diabadikan justru karena tidak ada yang istimewa
darinya. Nah, dengan demikian, ini akan menjadi karya yang pertama di dunia
yang mengisahkan orang tidak penting bak orang penting. Tak ada pengaruh,
membuang waktu, membuang tenaga, dan uang. Bukankah sebagian besar kehidupan
berisi sesuatu yang demikian? Atau tetap mau dibungkus terus dengan
persekongkolan tadi itu? Mau sampai kapan?
Perlu ditegaskan pula
bahwa mbok Darmi dan aku merupakan dua entitas yang berbeda namun satu jua.
Pada mulanya adalah
kosong. Tidak ada apa-apa. Gelap. Lalu si Darmi melayang-layang saja di dunia
yang gelap tadi.
Perlu ditegaskan
kembali bahwa mbok Darmi, si Darmi, dan aku merupakan beberapa entitas yang
berbeda namun tetap satu jua.
Setelah lelah melayang
tanpa tujuan, ia menemukan beberapa ekor kecebong imut dari sungai. Kabar dari
beberapa surat kabar mengatakan bahwa itu adalah sungai Kalanjar. Kini, sungai
itulah yang menjadi sungai Code yang masyur itu. Kalanjar adalah sungai purba
nampaknya.
Sang kecebong dan si
Darmi saling mencinta. Suatu usaha sukses penuh darah tatkala harus terjadi
terlebih dahulu pertempuran singkat penuh luka tak tersembuhkan. Kebanyakan
dari pihak kecebong korbannya. Adapun kala itu sebagian pasukan berasal dari
daerah Sulemn, Boitoil, dan Wesprok. Kini, Sulemn telah menjelma jadi salah satu
kebun salak luas di Kabupaten Sleman, Boitoil telah menjadi jajaran pegunungan
di Bantul sebelah selatan, dan Wesprog telah menjadi lembah indah antara Sungai
Progo, Pegunungan Menoreh, dan Gunung Merapi yang mana perpaduannya telah
menjadikan daerah tersebut bak halaman luas Minas
Tirith di Middle Earth kala itu.
Si Darmipun kini
menjadi ratu adil. Bertahtakan mahkota kecebong dan pasukan kecebong yang
dinamakan Bregada Kebongce (ce dalam cemara dengan akhirnya k mati namun
ringan). Adapun mahkota itu dihiasi ribuan kecebong abadi tak kenal mati. Para
veteran perang yang dijadikan pahlawan dengan banyak tanda jasa. Tubuh mereka
bergeliat terus. Ekornya selalu bergetar. Kini si Darmi sudah jadi ratu
mematikan seperti di Yunani itu.
Bagaimana kaitannya dengan
mbok Darmi dan aku? Singkat kata karena si Darmi batuk keras dan memuntahkan
darah. Darahnya berwarna merah tua, ungu, biru, dan merah muda. Itu adalah
empat pertanda zaman. Bahwa nanti akan ada empat kaum dalam dunia ini. Adapun
darah tadi dikumpulkan dalam tabung tembikar yang masih panas. Si Darmi lantas
mengorbankan beberapa kecebong malang yang malas bergeliat. Maka lahirlah mbok
Darmi.
Aku? Adalah wujud mbok
Darmi di alam modern ini. Aku yang tiada berwujud karena yang terlihat adalah
mbok Darmi. Aku, sebuah buah pikiran, hasil kerja otak dan budi, sangat halus
dan selalu berubah.
Perlu ditegaskan
kembali bahwa mbok Darmi, si Darmi, dan aku merupakan beberapa entitas yang
berbeda namun tetap satu jua.
Dalam setiap penantian
akan kematian, mbok Darmi selalu merasakan kenikmatan si Darmi dan kecebong
malang. Ia selalu menghitung dengan cermat tanggal dan saat mana ia berulang
tahun. Ia selalu menunggu sebuah atau dua buah kado dari pak gubenur yang juga
raja sesembahannya. Ia sadar bahwa kematian selalu mendekat. Dalam hatinya,
selalu terhibur dengan jangka waktu yang masih 80 tahun.
Jadi aku tidur saja.
Kami ini satu. Jadi sama saja ketika menggunakan “aku”, “ia”, maupun “dia”.
Dalam tidur kulihatlah jalan hidupku yang masih tersisa. Sesuai harapanlah
penglihatan ini. Agar, biografi ini dapat selesai sebelum aku dan dia mati.
Disana terlihat ada
iring-iringan truk. Ada kisah pilu dibalik para supir truk itu tatkala
menyerempet serombongan Lamborghini hijau tua. Sungguh pilu sampai akupun harus
beberapa kali bangun. Lalu kuputuskan untuk tidur lagi karena ingin melihat
lanjutan kisahnya.
Sang empunya
Lamborghini bukanlah orang sombong. Ia tidak meminta ganti rugi. Kawanan supir
truk pun lega. Lantas tiba-tiba seting berubah menjadi kamar mandi. Aku sedang
mandi. Ada banyak wanita menunggu di luar kamar mandi. Nampaknya mereka
cantik-cantik. Kulihat seraya maju, terlihat cantik, mundur, masih terlihat
cantik, maju lagi, mundur lagi, masih cantik saja mereka itu.
Nama mereka adalah
Nini, Riri, dan Aisyah. Tiga saja yang kukenali dan kuingat. Lalu mereka
menjadi agresif dan menyerangku. Kaburlah aku dan kulihat si Darmi. Si Darmi
malah main-main dengan kecebongnya yang telah almarhum. Ia naik turun saja di
langit tingkat lima dan tujuh. Sialan kataku. Sedangkan mbok Darmi menegurku
untuk segera bangun.
Ternyata bangunku masih
di alam mimpi. Di antara kutu-kutu buku jaman itu yang bermain anjing kecil.
Anjing yang diberi nama Kofter. Tidak suka bermain dan berlari. Bisu nampaknya.
Ekornya mengibas terus. Tak pernah diberi makan namun hidup dalam cahaya dan
kepalsuan.
Beberapa pahlawan
perjuangan seperti Cut Maknyak juga muncul bersama My Lord Benjol. Mereka
mencari cincin kawin yang hilang. Cincin itu tidak indah namun bertuliskan nama
Hasan dan Udin. Ternyata Hasan adalah seorang perempuan. Nama lengkapnya
Hasanah binti Maimunah, binti Siti Buadiance.
Alam mimpi semakin
membingungkan dan tidak bermakna. Maka benar-benarlah kami bangun juga. Di
tempat tidur itu ternyata sudah penuh dengan kecebong baik yang sudah atau
belum almarhum. Mengapa semuanya berubah? Bantalnya jadi kotak kecil saja yang
keras. Selimutnya malah jadi sutra. Tirainya, kasurnya yang hilang, ada foto
juga si Maomao dan Yokoyok. Di mana ini?
Di alam keabadian.
Bukan! Ini di Surga. Ini di tempat akhir dari cerita kami. Terlihat pula
kelelawar, anjing, dan bulan purnama. Dan akupun tidak punya kaki. Tapi duduk
kesepian diatas pohon Sanobarce. Menanti-nanti sahabatku yang nampaknya masih
hidup ditempat lain. Nama sahabatku yang seperti nama binatang yang sangat
tangkas.
Akhirnya, suatu saatpun
jadi kenyataan. Tatkala waktu itu memang mendukung. Kami yang adalah satu ini,
bersama teman senasib yang berjumlah enam membuat persekongkolan busuk nan
menyenangkan. Kami yang terlihat bertujuh menyelinap dari balik jendela yang
lupa dikunci. Menyamar menjadi rakyat jelata, menembus pasar dan hutan, menuju
Pintu Gerbang Ketidakpastian. Kami yang bertujuh meloncat saja dengan harapan
untuk kembali.
Singkat sekali rasanya.
Dan kami telah menikmati seperti kesenangan sejati. Lebih nikmat dari pada
sentuhan seksual macam apapun. Tapi kami yang telah berkeakuan sama ini saling
bertanya: “Kenapa kita hanya terlihat enam?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar