Senin, 17 Agustus 2015

Biografi Singkat Mbok Darmi



Tanggal pembuatan tidak diketahui
Biografi Singkat Mbok Darmi

Akhir-akhir ini aku sering kehilangan gairah hidup. Harapan telah sirna, tidak ada cita-cita, pun mimpi menjauh. Ingin mati rasanya. Menyudahi hidup yang serasa flat dan tidak ada gunanya. Beberapa kali aku membayangkan untuk bunuh diri, setidaknya menggila dalam kebebasan di rumah sakit jiwa, tempat dimana ada kemerdekaan.
Tetanggaku yang bernama Paulo mencoba menghiburku. Tapi tanpa hiburannya yang sehari-hari itu, niscaya, tak mungkin kini aku masih bernafas. Betapa besar pahala tetanggaku itu. Surga tingkat tujuh puluh tujuh kali tujuh akan ia raih, jauh lebih tinggi, dari pada capaian tukang gombal di mimbar suci itu. Suci tadi asumsi beberapa orang buta tuli saja.
Jadi aku inilah yang dinamakan mbok Darmi. Perempuan masih muda sebenarnya. Belum genap dua puluh lima, masih kuliah pula. Kota Jogja di Negara Indonesia telah menjadi tempat bernaung sejak lahir dulu. Namaku memang seperti orang tua dan panggilan “mbok” hanya paraban atau sebutan saja. Katanya sebutan sayang untuk menunjukkan bahwa aku ini dituakan.
Masa kecilku baik-baik saja. Beberapa kali aku membuli teman main tapi aku sendiri juga tak lepas dari buli. Dibanding-bandingkan dengan teman maupun saudara sudah jadi kebiasaan dan itu membuatku kini obsesif untuk meraih segalanya, bisa segalanya, jadi orang kaya, berkuasa, jabatan tinggi, dan seterusnya.
SD kala itu mulailah cintaku bersemi. SMP makin subur, dan SMA sempat mandeg. Tatkala kuliah kuserasa kehilangan daya seksual, eros, kata Freud. Ialah daya hidup seseorang. Lawannya adalah thanatos. Itu adalah daya kematian, keputusasaan, dan semacamnya. Kini lebih dikuasai yang satu dan nanti yang lain. Tidak ada konsistensi. Tidak ada integritas. Memang karena segalanya selalu berubah. Tak ada yang diam mutlak di alam raya ini. Kata Einstein hidup memang seperti itu, seperti naik sepeda, harus terus bergerak bila tidak ingin jatuh.
Konon alam raya itu mengembang bahkan berotasi. Entah daya dari mana. Mereka menamakan saja daya itu dark energy. Bila tidak mengembang pasti menyusut. Entah mengapa. Dengan ini maka eros-ku jadi terarah kealam filsafat fisika teori.
Pun, semenjak diberi beberapa nasihat bijak nan spiritual oleh tetanggaku si Paulo itu tadi, rasanya ingin saja aku membaca terus, lalu menulis, syukur bisa diterbitkan, dan menjadi kaya karenanya dengan atribut popularitas yang aku dambakan.
Begitulah, secuil biografiku. Tidak ada hal extraordinary. Tidak ada yang patut ditangisi atau ditertawai karena gembira. Lulus SD, SMP, SMA, biasa saja. Juga nanti, tatkala lulus S1, rasanya juga akan biasa saja. Benar, semua sangat biasa. Para pembaca sekalian silakan saja membuang tulisan ini atau beralih ke tulisan yang lain.
Pertanyaannya lantas mengapa pula sampai kisah ini ditulis? Apa istimewanya mbok Darmi. Apakah penulisan biografi harus selalu dilandasi oleh hal yang istimewa, penting, bermanfaat? Bukankah itu semua retorika? Bahkan banyak disertasipun pada hakekatnya omong kosong belaka. Jadi ingat beberapa doktor yang lulus S3 karena penelitian di Kali Code, tapi, warga Code tetap miskin. Memang nyata, persekongkolan retorika, romantika, dan estetika itu sangat erat. Kabarnya mereka didanai oleh etika dan formantika.
Sekarang saya utarakan bahwa sebenarnya kisah mbok Darmi diabadikan justru karena tidak ada yang istimewa darinya. Nah, dengan demikian, ini akan menjadi karya yang pertama di dunia yang mengisahkan orang tidak penting bak orang penting. Tak ada pengaruh, membuang waktu, membuang tenaga, dan uang. Bukankah sebagian besar kehidupan berisi sesuatu yang demikian? Atau tetap mau dibungkus terus dengan persekongkolan tadi itu? Mau sampai kapan?
Perlu ditegaskan pula bahwa mbok Darmi dan aku merupakan dua entitas yang berbeda namun satu jua.
Pada mulanya adalah kosong. Tidak ada apa-apa. Gelap. Lalu si Darmi melayang-layang saja di dunia yang gelap tadi.
Perlu ditegaskan kembali bahwa mbok Darmi, si Darmi, dan aku merupakan beberapa entitas yang berbeda namun tetap satu jua.
Setelah lelah melayang tanpa tujuan, ia menemukan beberapa ekor kecebong imut dari sungai. Kabar dari beberapa surat kabar mengatakan bahwa itu adalah sungai Kalanjar. Kini, sungai itulah yang menjadi sungai Code yang masyur itu. Kalanjar adalah sungai purba nampaknya.
Sang kecebong dan si Darmi saling mencinta. Suatu usaha sukses penuh darah tatkala harus terjadi terlebih dahulu pertempuran singkat penuh luka tak tersembuhkan. Kebanyakan dari pihak kecebong korbannya. Adapun kala itu sebagian pasukan berasal dari daerah Sulemn, Boitoil, dan Wesprok. Kini, Sulemn telah menjelma jadi salah satu kebun salak luas di Kabupaten Sleman, Boitoil telah menjadi jajaran pegunungan di Bantul sebelah selatan, dan Wesprog telah menjadi lembah indah antara Sungai Progo, Pegunungan Menoreh, dan Gunung Merapi yang mana perpaduannya telah menjadikan daerah tersebut bak halaman luas Minas Tirith di Middle Earth kala itu.
Si Darmipun kini menjadi ratu adil. Bertahtakan mahkota kecebong dan pasukan kecebong yang dinamakan Bregada Kebongce (ce dalam cemara dengan akhirnya k mati namun ringan). Adapun mahkota itu dihiasi ribuan kecebong abadi tak kenal mati. Para veteran perang yang dijadikan pahlawan dengan banyak tanda jasa. Tubuh mereka bergeliat terus. Ekornya selalu bergetar. Kini si Darmi sudah jadi ratu mematikan seperti di Yunani itu.
Bagaimana kaitannya dengan mbok Darmi dan aku? Singkat kata karena si Darmi batuk keras dan memuntahkan darah. Darahnya berwarna merah tua, ungu, biru, dan merah muda. Itu adalah empat pertanda zaman. Bahwa nanti akan ada empat kaum dalam dunia ini. Adapun darah tadi dikumpulkan dalam tabung tembikar yang masih panas. Si Darmi lantas mengorbankan beberapa kecebong malang yang malas bergeliat. Maka lahirlah mbok Darmi.
Aku? Adalah wujud mbok Darmi di alam modern ini. Aku yang tiada berwujud karena yang terlihat adalah mbok Darmi. Aku, sebuah buah pikiran, hasil kerja otak dan budi, sangat halus dan selalu berubah.
Perlu ditegaskan kembali bahwa mbok Darmi, si Darmi, dan aku merupakan beberapa entitas yang berbeda namun tetap satu jua.
Dalam setiap penantian akan kematian, mbok Darmi selalu merasakan kenikmatan si Darmi dan kecebong malang. Ia selalu menghitung dengan cermat tanggal dan saat mana ia berulang tahun. Ia selalu menunggu sebuah atau dua buah kado dari pak gubenur yang juga raja sesembahannya. Ia sadar bahwa kematian selalu mendekat. Dalam hatinya, selalu terhibur dengan jangka waktu yang masih 80 tahun.
Jadi aku tidur saja. Kami ini satu. Jadi sama saja ketika menggunakan “aku”, “ia”, maupun “dia”. Dalam tidur kulihatlah jalan hidupku yang masih tersisa. Sesuai harapanlah penglihatan ini. Agar, biografi ini dapat selesai sebelum aku dan dia mati.
Disana terlihat ada iring-iringan truk. Ada kisah pilu dibalik para supir truk itu tatkala menyerempet serombongan Lamborghini hijau tua. Sungguh pilu sampai akupun harus beberapa kali bangun. Lalu kuputuskan untuk tidur lagi karena ingin melihat lanjutan kisahnya.
Sang empunya Lamborghini bukanlah orang sombong. Ia tidak meminta ganti rugi. Kawanan supir truk pun lega. Lantas tiba-tiba seting berubah menjadi kamar mandi. Aku sedang mandi. Ada banyak wanita menunggu di luar kamar mandi. Nampaknya mereka cantik-cantik. Kulihat seraya maju, terlihat cantik, mundur, masih terlihat cantik, maju lagi, mundur lagi, masih cantik saja mereka itu.
Nama mereka adalah Nini, Riri, dan Aisyah. Tiga saja yang kukenali dan kuingat. Lalu mereka menjadi agresif dan menyerangku. Kaburlah aku dan kulihat si Darmi. Si Darmi malah main-main dengan kecebongnya yang telah almarhum. Ia naik turun saja di langit tingkat lima dan tujuh. Sialan kataku. Sedangkan mbok Darmi menegurku untuk segera bangun.
Ternyata bangunku masih di alam mimpi. Di antara kutu-kutu buku jaman itu yang bermain anjing kecil. Anjing yang diberi nama Kofter. Tidak suka bermain dan berlari. Bisu nampaknya. Ekornya mengibas terus. Tak pernah diberi makan namun hidup dalam cahaya dan kepalsuan.
Beberapa pahlawan perjuangan seperti Cut Maknyak juga muncul bersama My Lord Benjol. Mereka mencari cincin kawin yang hilang. Cincin itu tidak indah namun bertuliskan nama Hasan dan Udin. Ternyata Hasan adalah seorang perempuan. Nama lengkapnya Hasanah binti Maimunah, binti Siti Buadiance.
Alam mimpi semakin membingungkan dan tidak bermakna. Maka benar-benarlah kami bangun juga. Di tempat tidur itu ternyata sudah penuh dengan kecebong baik yang sudah atau belum almarhum. Mengapa semuanya berubah? Bantalnya jadi kotak kecil saja yang keras. Selimutnya malah jadi sutra. Tirainya, kasurnya yang hilang, ada foto juga si Maomao dan Yokoyok. Di mana ini?
Di alam keabadian. Bukan! Ini di Surga. Ini di tempat akhir dari cerita kami. Terlihat pula kelelawar, anjing, dan bulan purnama. Dan akupun tidak punya kaki. Tapi duduk kesepian diatas pohon Sanobarce. Menanti-nanti sahabatku yang nampaknya masih hidup ditempat lain. Nama sahabatku yang seperti nama binatang yang sangat tangkas.
Akhirnya, suatu saatpun jadi kenyataan. Tatkala waktu itu memang mendukung. Kami yang adalah satu ini, bersama teman senasib yang berjumlah enam membuat persekongkolan busuk nan menyenangkan. Kami yang terlihat bertujuh menyelinap dari balik jendela yang lupa dikunci. Menyamar menjadi rakyat jelata, menembus pasar dan hutan, menuju Pintu Gerbang Ketidakpastian. Kami yang bertujuh meloncat saja dengan harapan untuk kembali.
Singkat sekali rasanya. Dan kami telah menikmati seperti kesenangan sejati. Lebih nikmat dari pada sentuhan seksual macam apapun. Tapi kami yang telah berkeakuan sama ini saling bertanya: “Kenapa kita hanya terlihat enam?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar