Puisi Untuk Presiden 24 Agustus 2015
Kerja,
kerja, kerja, kerja, kerja, kerja.
Aku ingin menuliskan secara khusus
tentang apa yang dimaksud Jokowi dengan “kerja, kerja, kerja.”
Kerja apaan ya pak? Lapangan
pekerjaannya mana? Malah ada MEA segala tuh? Banyak posisi kerjaan yang
diserobot asing tuh.
Mereka juga cari uang sih. Hmmmm....
Indonesia memang sangat inlander atau apa itu istilahnya, hmmm
Pokoknya kerja kan pak? Berikut
pemahaman saya secara sastrawi. Kalau boleh saya juga mau og bila dipanggil
Damarwi, hahahhahah..... ini hanya pikiran duniawi saya lah.
Jadi, saya ambil positifnya saja ya,
berdasarkan pengetahuan kelirumologi saya, hmmm. He em.
Pokoknya kerja lah. Apa aja kerjain.
Bisanya nyapu ya gitu aja. Nyapu lantai rumah, nyapu halaman depan, nyapu
jalanan, nyapu kuburan, bersihkan rumput di kuburan, cuciin motor tetangga,
pokoknya kerjain apa gitu lah. Ini juga lagi mikir mau nulis apa lagi tentang
kerja.
Aku contohnya ya, kalau nanti bisa
lulus sarjana psikologi, jujur saja, saya ini sarjana gagal. Saya tidak punya
keahlian tertentu yang diinginkan pasar. Yah kalau nyupir bisalah, kalau naik
motor juga bisa, jalan untuk nganter-nganter juga bisa, jadi asisten rumah
tangga juga bisa, jadi TKI malah harapanku.
Jadi, aku ini juga kerja gitulah pokoknya.
Kerja, kerja, kerja dan kerja. Apa saja. Bisanya baca tulis upload, ya itu yang
kulakukan. Jujur aja ya pak, saya lagi mengikis mental inlander saya. Jadi
sebisa mungkin saya ingin hidup dengan penghasilan bukan dari gaji pegawai.
Saya ingin mandiri. Saya ingin membuat lapangan kerja sendiri. Apa? Ga ada
modal lho saya ini.
Nah, itu tadi. Pokoknya kerja,
kerja, kerja meski tidak disediakan lapangan kerja yang memadahi sama
pemerintah ya gapapa. Pemerintah kan sibuk banget gitu, ya aku mengertilah ya,
hmmm, he em.
Maka kuciptakan lapangan kerjaku
sendiri ya pak presiden. Antara lain ya:
1.
Bersih-bersih kuburan, kerjaan favoritku karena
bisa dilakukan dalam keheningan yang kidmat.
2.
Menggarap sawah orang tua sehingga saya tetap di
desa, tidak jadi beban kota sebagaimana harapan pemerintah: kalau dari desa bisa hidup, mengapa harus
migrasi/urbanisasi ke kota besar seperti Jakarte? Secara sastrawi saya
menggubah kalimat tersebut menjadi: kalau bisa hidup miskin dan panjang umur di
desa, mengapa harus mencoba peruntungan untuk menjadi jutawan di kota besar?
3.
Akhirnya aku juga kerjain hobi fundamentalku:
baca, tulis, upload. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar