Rabu, 26 Agustus 2015

Kerja, kerja, kerja, kerja, kerja, kerja.



Puisi Untuk Presiden 24 Agustus 2015
Kerja, kerja, kerja, kerja, kerja, kerja.
Aku ingin menuliskan secara khusus tentang apa yang dimaksud Jokowi dengan “kerja, kerja, kerja.”
Kerja apaan ya pak? Lapangan pekerjaannya mana? Malah ada MEA segala tuh? Banyak posisi kerjaan yang diserobot asing tuh.
Mereka juga cari uang sih. Hmmmm.... Indonesia memang sangat inlander atau apa itu istilahnya, hmmm
Pokoknya kerja kan pak? Berikut pemahaman saya secara sastrawi. Kalau boleh saya juga mau og bila dipanggil Damarwi, hahahhahah..... ini hanya pikiran duniawi saya lah.
Jadi, saya ambil positifnya saja ya, berdasarkan pengetahuan kelirumologi saya, hmmm. He em.
Pokoknya kerja lah. Apa aja kerjain. Bisanya nyapu ya gitu aja. Nyapu lantai rumah, nyapu halaman depan, nyapu jalanan, nyapu kuburan, bersihkan rumput di kuburan, cuciin motor tetangga, pokoknya kerjain apa gitu lah. Ini juga lagi mikir mau nulis apa lagi tentang kerja.
Aku contohnya ya, kalau nanti bisa lulus sarjana psikologi, jujur saja, saya ini sarjana gagal. Saya tidak punya keahlian tertentu yang diinginkan pasar. Yah kalau nyupir bisalah, kalau naik motor juga bisa, jalan untuk nganter-nganter juga bisa, jadi asisten rumah tangga juga bisa, jadi TKI malah harapanku.
Jadi, aku ini juga kerja gitulah pokoknya. Kerja, kerja, kerja dan kerja. Apa saja. Bisanya baca tulis upload, ya itu yang kulakukan. Jujur aja ya pak, saya lagi mengikis mental inlander saya. Jadi sebisa mungkin saya ingin hidup dengan penghasilan bukan dari gaji pegawai. Saya ingin mandiri. Saya ingin membuat lapangan kerja sendiri. Apa? Ga ada modal lho saya ini.
Nah, itu tadi. Pokoknya kerja, kerja, kerja meski tidak disediakan lapangan kerja yang memadahi sama pemerintah ya gapapa. Pemerintah kan sibuk banget gitu, ya aku mengertilah ya, hmmm, he em.
Maka kuciptakan lapangan kerjaku sendiri ya pak presiden. Antara lain ya:
1.       Bersih-bersih kuburan, kerjaan favoritku karena bisa dilakukan dalam keheningan yang kidmat.
2.       Menggarap sawah orang tua sehingga saya tetap di desa, tidak jadi beban kota sebagaimana harapan pemerintah: kalau dari desa bisa hidup, mengapa harus migrasi/urbanisasi ke kota besar seperti Jakarte? Secara sastrawi saya menggubah kalimat tersebut menjadi: kalau bisa hidup miskin dan panjang umur di desa, mengapa harus mencoba peruntungan untuk menjadi jutawan di kota besar?
3.       Akhirnya aku juga kerjain hobi fundamentalku: baca, tulis, upload. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar