Senin, 17 Agustus 2015

Kisah Pak Usup Membuat Meja Sakral



Cerpen 4 Februari 2015
Kisah Pak Usup Membuat Meja Sakral

Pak Usup bukanlah orang terpandang. Dia hanyalah salah satu tukang buat kursi di salah satu perusahaan mebel di Sleman, Yogyakarta. Istrinya bernama mbak Iyah. Sehari-hari mereka hidup biasa saja karena kemiskinan. Lebih tepatnya, keluarga mereka ini tergolong sebagai keluarga rawan miskin, terminologi yang cukup aneh.
Mumpung belum dikaruniani anak satupun, padahal sudah menikah beberapa tahun, mbak Iyah gemar ngrumpi dengan beberapa tetangga dekat. Ini hal yang biasa saja. Ngrumpinya di warung kelontong bu Supar yang juga jualan kopi merah cap serigala. Ngrumpi tidak jelas kesana-kemari yang akhirnya hanya menyebabkan calon pembeli enggan mampir karena risih. Bu Supar yang dongkol akhirnya mengakhiri kawanan ibu-ibu itu bila telah berkumpul lebih dari lima menit.
Sebenarnya kalau ngrumpi, mbak Iyah itu justru sering memuji-muji suaminya. Satu-satunya gosip yang ia bicarakan adalah mitos darah biru pak Usup. Konon pak Usup itu masih salah satu pewaris tahta Keraton Mataram, nomor sekian. Keraton Mataram itu kini lebih dikenal sebagai Keraton Yogyakarta. Entah benar atau tidak benar, pak Usup tetap lebih fokus untuk menyelesaikan mebel-mebel pesanan pelanggan saja.
Tahun 2015 ini pak Usup juga diminta membuat meja. Pak Usup tak pernah tahu akan untuk apa meja dan kursi buatannya. Pak Usup curiga karena seringkali meja dan kursi yang ia buat seakan menjadi edisi terbatas. Edisi sangat terbatas ibarat yang akan memakai hanya seorang raja diraja.
Meja dan kursi buatan pak Usup sekali waktu dipesan oleh kerabat Keraton. Mungkin ini pertanda baik untuk kehidupan keluarga pak Usup. Ia mulai berharap untuk jadi orang kaya.
Benar. Benar demikian. Pesanan itu semakin banyak yang berarti juga meningkatkan gaji pak Usup tiap harinya. Gaji kemarin-kemarin hanya Rp 5.000,00/hari dan sekarang menjadi Rp 100.000,00/hari. Tapi kabar sangat buruk datang. Istrinya hamil.
“Udah telah tiga bulan pak!”
“Halah halah,,, ya ya ya.”
“Gugurkan aja pa ya?”
“Hus!!! Jangan edan kamu! Bisa kena azab nanti!”
“Jadi giman ni? Tetap disini atau pindahan?”
“Ya tetap pindah gapapa. Mulai lagi disana. Miskin lagi.”
“Kayanya kita memang ditakdirkan jadi orang miskin melulu!”
“Belum saatnya jadi kaya aja.”
Dari Jogja mereka pindah ke Wonogiri. Kali ini pak Usup dan mbak Iyah amat menyembunyikan identitas. Mereka tak ingin masyarakat sekitar tahu tentang asal usul kehidupan mereka dimasa lalu.
Di Wonogiri ada banyak hutan jati. Pak Usup yang ahli membuat meja dan kursi lantas kembali bekerja sebagai buruh mebel. Gajinya Rp 10.000,00/hari. Lumayan. Apalagi ditambah penghasilan tambahan dari membuat besek oleh istrinya. Cukuplah nanti untuk biaya persalinan si anak sulung misterius. Misterius karena tak ada biaya untuk USG. Dengan demikian, jenis kelamin benar-benar baru akan diketahui kala lahir nanti. Kejadian yang langka terjadi di masyarakat masa kini.
Dikisahkan bahwa pekerjaan pak Usup menyenangkan hati si bos pabrik mebel itu. Gaji pak Usuppun naik drastis menjadi Rp 200.000,00/hari. Tapi pabrik itu malah mencurigagan sehingga pak Usup melakukan investigasi kecil-kecilan. Ternyata bahan baku kayu yang didapat pabrik itu semuanya ilegal.
Sebelum digerebeg polisi, pak Usup memutuskan untuk berhenti saja. Kini ia fokus menganyam besek bersama istrinya yang telah hamil tua. Terkadang mereka senang bercanda dengan lomba cepat-cepatan untuk menganyam satu buah besek. Anehnya mbah Iyah selalu jadi pemenang. Hal ini dikarenakan tangan pak Usup yang masih kaku dan sudah agak lupa untuk menganyam besek.
2015 beranjak dan mulai memasuki bulan kedua. Ada kabar dari Jogja bahwa pak Usup dicari pihak keraton untuk dijadikan abdi dalem. Abdi dalem adalah pekerja penuh waktu atau paruh waktu Keraton Yogyakarta untuk berbagai urusan. Pak Usup curiga, apalagi kabar itu datang dari sayembara di media masa lokal, hal aneh dan hampir tidak pernah terjadi dalam sejarah pers nasional Indonesia.
“Mau dijadikan apa aku? Jadi abdi dalem? Yang gajinya Rp 500,00/bulan itu?”
“Eh pak,,,, sekarang sudah ada Danais. Gajinya mungkin Rp 900.000,00/bulan.”
“Tapi tetap kita tak bisa jadi orang kaya nanti!”
“Sebelum pernyataan itu, kita mesti tahu alasan pencarian ini. Bisa bahaya lho!”
“Benar juga dik. Tapi aku tadi malam itu mimpi aneh. Kaya didatangi pak kiai begitu. Pakaiannya putih bersinar. Silau pokoknya.”
“Lalu?”
“Dia bilang supaya kita pokoknya datang saja ke keraton.”
“Dan bapak percaya yang begituan?”
“Percaya ajalah. Mimpi ini rasanya tidak bisa dikaitkan dengan pengalaman kita sebelumnya. Konon menurut pak Freud dari Jerman, mimpi yang kaya gini itu sudah adikodrati apa gimana gitu. Bisa jadi datangnya dari Tuhan.”
“Baiklah kalo begitu. Yang penting hidup mati kita bersama ya pak.”
“Berangkat hari ini juga ya.” Ajak pak Usup yang lebih seperti perintah.
“Wat?” Mbak Iyah kaget dibuat-buat karena tidak berdaya dengan sang suami yang nampaknya sudah diperdaya mimpi.
Tak menunggu sampai hitungan jam, pak Usup dan mbak Iyah berangkat ke Jogja kembali. Mereka langsung menuju Kecamatan Keraton.
“Bagian administrasi sebelah mana ya?”
“Meneketehek!” Sahut mbak Iyah agak kecapekan.
“Anak kita gapapa to?”
“Tenang aja to, gapapa. Yang penting segera ke bagian admin aja.”
“Oke. Itu, tanya abdi dalem aja yuk.”
Abdi dalem yang memakai blangkon, baju lurik-lurik biru, selop, serta kain sebagai bawahan itu menjadi objek pak Usup.
“Bagian administrasi sebelah mana nggih (ya)?”
“Ikut saja saja. Njenengan (Anda) pak Usup?”
“Benar.”
Mereka bertiga langsung memasuki kompleks asrama abdi dalem yang sangat tersembunyi. Mbak Iyah curiga.
“Mau dibawa kemana?”
“Apanya? Cinta kita?”
“Ah bapak ini. Serius pak.”
Akhirnya mereka sampai di bagian administrasi yang ternyata keberadaannya mengikuti sang petugas. Bagian administrasi tidak memiliki ruangan khusus karena memang tidak ada ruangan yang tersedia.
“Ini adalah bagian administrasinya.” Abdi dalem itu menunjuk seorang yang sudah sangat sepuh (tua).
Matur nuwun nggih (trimakasih ya).” Pak Usup dan mbak Iyah kompak sekali.
“Jadi kamu ni yang namanya Usup dan yang itu Iyah?”
“Benar,,,,, benar.” Pak Usup dan mbak Iyah sedikit kaget karena bagian administrasi itu berlogat Jakarta.
“Santai aja disini. Ga usah mikir adat-adatan. Itu nanti kalau di depan layar saja ya.”
“Baik,,,baik.” Mbak Iyah canggung amat.
“Jadi gini. Sri Sultan ingin kalian ngabdi di Keraton Jogja saja. Ya, sebagai tukang memperbaiki meja kursi boleh. Kalau mau bersih-bersih ini itu juga boleh. Bebas lah. Yang penting sopan ya.”
Hari berganti hari, pak Usup dan mbak Iyah sangat kaget. Apa gerangan yang kini telah terjadi menimpa mereka. Tak mungkin mitos itu dianggap nyata. Apakah mereka dalam bahaya? Dan seterusnya dan seterusnya. Hal-hal tersebut selalu menggelisahkan pak Usup dan mbak Iyah.
“Pertanyaan mengapa belum terjawab lo bu.”
“Halah. Yang penting sekarang kita hidup lebih nyaman. Dapat tempat kos kecil, gaji lumayan. Dapat katering, fasilitas mck, dst.”
“Iya sih. Apa jangan-jangan?”
“Ha?”
“Jangan-jangan meja kursi yang bapak buat dulu itu tu yang kini dipakai Sri Sultan?”
“Apa hubungannya?”
“Cobalah dihubung-hubungkan!”
“Ini semua kan karena mimpimu pak. Coba nanti malam kalau ketemu pak kiai itu lagi, tanya tentang mengapa dan bagaimana kisah ini bisa terjadi.”
Pak Usup kadang-kadang sulit membedakan antara mimpi dan realitas. Ia memang suka tidur malam yang panjang dan bermimpi indah menjadi orang berguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar