Cerpen
4 Februari 2015
Kisah Pak Usup Membuat Meja Sakral
Pak Usup bukanlah orang
terpandang. Dia hanyalah salah satu tukang buat kursi di salah satu perusahaan
mebel di Sleman, Yogyakarta. Istrinya bernama mbak Iyah. Sehari-hari mereka
hidup biasa saja karena kemiskinan. Lebih tepatnya, keluarga mereka ini
tergolong sebagai keluarga rawan miskin, terminologi yang cukup aneh.
Mumpung belum
dikaruniani anak satupun, padahal sudah menikah beberapa tahun, mbak Iyah gemar
ngrumpi dengan beberapa tetangga dekat. Ini hal yang biasa saja. Ngrumpinya di
warung kelontong bu Supar yang juga jualan kopi merah cap serigala. Ngrumpi
tidak jelas kesana-kemari yang akhirnya hanya menyebabkan calon pembeli enggan
mampir karena risih. Bu Supar yang dongkol akhirnya mengakhiri kawanan ibu-ibu
itu bila telah berkumpul lebih dari lima menit.
Sebenarnya kalau
ngrumpi, mbak Iyah itu justru sering memuji-muji suaminya. Satu-satunya gosip
yang ia bicarakan adalah mitos darah biru pak Usup. Konon pak Usup itu masih
salah satu pewaris tahta Keraton Mataram, nomor sekian. Keraton Mataram itu
kini lebih dikenal sebagai Keraton Yogyakarta. Entah benar atau tidak benar,
pak Usup tetap lebih fokus untuk menyelesaikan mebel-mebel pesanan pelanggan
saja.
Tahun 2015 ini pak Usup
juga diminta membuat meja. Pak Usup tak pernah tahu akan untuk apa meja dan
kursi buatannya. Pak Usup curiga karena seringkali meja dan kursi yang ia buat
seakan menjadi edisi terbatas. Edisi sangat terbatas ibarat yang akan memakai
hanya seorang raja diraja.
Meja dan kursi buatan
pak Usup sekali waktu dipesan oleh kerabat Keraton. Mungkin ini pertanda baik
untuk kehidupan keluarga pak Usup. Ia mulai berharap untuk jadi orang kaya.
Benar. Benar demikian.
Pesanan itu semakin banyak yang berarti juga meningkatkan gaji pak Usup tiap
harinya. Gaji kemarin-kemarin hanya Rp 5.000,00/hari dan sekarang menjadi Rp
100.000,00/hari. Tapi kabar sangat buruk datang. Istrinya hamil.
“Udah telah tiga bulan
pak!”
“Halah halah,,, ya ya
ya.”
“Gugurkan aja pa ya?”
“Hus!!! Jangan edan kamu!
Bisa kena azab nanti!”
“Jadi giman ni? Tetap
disini atau pindahan?”
“Ya tetap pindah
gapapa. Mulai lagi disana. Miskin lagi.”
“Kayanya kita memang
ditakdirkan jadi orang miskin melulu!”
“Belum saatnya jadi
kaya aja.”
Dari Jogja mereka
pindah ke Wonogiri. Kali ini pak Usup dan mbak Iyah amat menyembunyikan
identitas. Mereka tak ingin masyarakat sekitar tahu tentang asal usul kehidupan
mereka dimasa lalu.
Di Wonogiri ada banyak
hutan jati. Pak Usup yang ahli membuat meja dan kursi lantas kembali bekerja sebagai
buruh mebel. Gajinya Rp 10.000,00/hari. Lumayan. Apalagi ditambah penghasilan
tambahan dari membuat besek oleh istrinya. Cukuplah nanti untuk biaya
persalinan si anak sulung misterius. Misterius karena tak ada biaya untuk USG.
Dengan demikian, jenis kelamin benar-benar baru akan diketahui kala lahir
nanti. Kejadian yang langka terjadi di masyarakat masa kini.
Dikisahkan bahwa
pekerjaan pak Usup menyenangkan hati si bos pabrik mebel itu. Gaji pak Usuppun
naik drastis menjadi Rp 200.000,00/hari. Tapi pabrik itu malah mencurigagan
sehingga pak Usup melakukan investigasi kecil-kecilan. Ternyata bahan baku kayu
yang didapat pabrik itu semuanya ilegal.
Sebelum digerebeg
polisi, pak Usup memutuskan untuk berhenti saja. Kini ia fokus menganyam besek
bersama istrinya yang telah hamil tua. Terkadang mereka senang bercanda dengan
lomba cepat-cepatan untuk menganyam satu buah besek. Anehnya mbah Iyah selalu
jadi pemenang. Hal ini dikarenakan tangan pak Usup yang masih kaku dan sudah
agak lupa untuk menganyam besek.
2015 beranjak dan mulai
memasuki bulan kedua. Ada kabar dari Jogja bahwa pak Usup dicari pihak keraton
untuk dijadikan abdi dalem. Abdi dalem adalah pekerja penuh waktu atau paruh
waktu Keraton Yogyakarta untuk berbagai urusan. Pak Usup curiga, apalagi kabar
itu datang dari sayembara di media masa lokal, hal aneh dan hampir tidak pernah
terjadi dalam sejarah pers nasional Indonesia.
“Mau dijadikan apa aku?
Jadi abdi dalem? Yang gajinya Rp 500,00/bulan itu?”
“Eh pak,,,, sekarang
sudah ada Danais. Gajinya mungkin Rp 900.000,00/bulan.”
“Tapi tetap kita tak
bisa jadi orang kaya nanti!”
“Sebelum pernyataan
itu, kita mesti tahu alasan pencarian ini. Bisa bahaya lho!”
“Benar juga dik. Tapi
aku tadi malam itu mimpi aneh. Kaya didatangi pak kiai begitu. Pakaiannya putih
bersinar. Silau pokoknya.”
“Lalu?”
“Dia bilang supaya kita
pokoknya datang saja ke keraton.”
“Dan bapak percaya yang
begituan?”
“Percaya ajalah. Mimpi
ini rasanya tidak bisa dikaitkan dengan pengalaman kita sebelumnya. Konon
menurut pak Freud dari Jerman, mimpi yang kaya gini itu sudah adikodrati apa
gimana gitu. Bisa jadi datangnya dari Tuhan.”
“Baiklah kalo begitu.
Yang penting hidup mati kita bersama ya pak.”
“Berangkat hari ini
juga ya.” Ajak pak Usup yang lebih seperti perintah.
“Wat?” Mbak Iyah kaget
dibuat-buat karena tidak berdaya dengan sang suami yang nampaknya sudah
diperdaya mimpi.
Tak menunggu sampai
hitungan jam, pak Usup dan mbak Iyah berangkat ke Jogja kembali. Mereka
langsung menuju Kecamatan Keraton.
“Bagian administrasi
sebelah mana ya?”
“Meneketehek!” Sahut
mbak Iyah agak kecapekan.
“Anak kita gapapa to?”
“Tenang aja to, gapapa.
Yang penting segera ke bagian admin aja.”
“Oke. Itu, tanya abdi
dalem aja yuk.”
Abdi dalem yang memakai
blangkon, baju lurik-lurik biru, selop, serta kain sebagai bawahan itu menjadi
objek pak Usup.
“Bagian administrasi
sebelah mana nggih (ya)?”
“Ikut saja saja. Njenengan (Anda) pak Usup?”
“Benar.”
Mereka bertiga langsung
memasuki kompleks asrama abdi dalem yang sangat tersembunyi. Mbak Iyah curiga.
“Mau dibawa kemana?”
“Apanya? Cinta kita?”
“Ah bapak ini. Serius
pak.”
Akhirnya mereka sampai
di bagian administrasi yang ternyata keberadaannya mengikuti sang petugas.
Bagian administrasi tidak memiliki ruangan khusus karena memang tidak ada
ruangan yang tersedia.
“Ini adalah bagian
administrasinya.” Abdi dalem itu menunjuk seorang yang sudah sangat sepuh (tua).
“Matur nuwun nggih (trimakasih ya).” Pak Usup dan mbak Iyah kompak
sekali.
“Jadi kamu ni yang
namanya Usup dan yang itu Iyah?”
“Benar,,,,, benar.” Pak
Usup dan mbak Iyah sedikit kaget karena bagian administrasi itu berlogat
Jakarta.
“Santai aja disini. Ga
usah mikir adat-adatan. Itu nanti kalau di depan layar saja ya.”
“Baik,,,baik.” Mbak
Iyah canggung amat.
“Jadi gini. Sri Sultan
ingin kalian ngabdi di Keraton Jogja saja. Ya, sebagai tukang memperbaiki meja
kursi boleh. Kalau mau bersih-bersih ini itu juga boleh. Bebas lah. Yang
penting sopan ya.”
Hari berganti hari, pak
Usup dan mbak Iyah sangat kaget. Apa gerangan yang kini telah terjadi menimpa
mereka. Tak mungkin mitos itu dianggap nyata. Apakah mereka dalam bahaya? Dan
seterusnya dan seterusnya. Hal-hal tersebut selalu menggelisahkan pak Usup dan
mbak Iyah.
“Pertanyaan mengapa
belum terjawab lo bu.”
“Halah. Yang penting
sekarang kita hidup lebih nyaman. Dapat tempat kos kecil, gaji lumayan. Dapat
katering, fasilitas mck, dst.”
“Iya sih. Apa
jangan-jangan?”
“Ha?”
“Jangan-jangan meja
kursi yang bapak buat dulu itu tu yang kini dipakai Sri Sultan?”
“Apa hubungannya?”
“Cobalah
dihubung-hubungkan!”
“Ini semua kan karena
mimpimu pak. Coba nanti malam kalau ketemu pak kiai itu lagi, tanya tentang
mengapa dan bagaimana kisah ini bisa terjadi.”
Pak Usup kadang-kadang
sulit membedakan antara mimpi dan realitas. Ia memang suka tidur malam yang
panjang dan bermimpi indah menjadi orang berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar