Senin, 17 Agustus 2015

Tamu dari Dolly pergi ke Wentra



Cerpen 13 Desember 2014
Tamu dari Dolly pergi ke Wentra

Awal tahun ini telah menjadi epifani bagi Epifani. Panggil saja Fani. Titik balik itu karena ditutupnya Dolly secara sepihak oleh pihak balai kota yang berwibawa. Atas nama? Kebenaran yang diamini Fani.
Fani telah mengetahui hal ini sejak lama. Ia yang lulusan S1 bidang hukum telah mempersiapkan rencana pergi sebelum penggusuran. Rencana ini mulus saja.
Kala masih aktif di Dolly, Fani adalah tamuku tiap akhir pekan. Rela-relanya dikorbankan uangnya untuk terbang dari Surabaya ke Jogja, nyaris tiap Sabtu pagi dan pulang Minggu sore. Serius, aku tidak mengundangnya karena butuh. Semata-mata ialah yang jadi tamu dirumah ini. Bagaimana tidak, dia adikku sendiri. Tapi kini tak lagi dua hari saja. Mungkin lebih lama.
Fani yang kemarin melacur di Dolly lantas ingin ke Wentira atau yang sering disebut sebagai Wentra. Ke Wentra? Jelas bukan karena uang. Uangnya telah banyak sekali. Milyaran. Mungkin karena ia memang cantik dan seksi. Tarifnya mungkin mahal. Akupun pernah ditawarinya karena disini sudah tidak ada lagi konsep haram dan halal. Ia tahu nampaknya kalau akupun ingin.
“Gila!! Ga bener ini.” Tatkala ia pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan sebulan, aku suka main tonil saja. Tidak kerja? Tidak. Cukup hidup dari bunga haram deposito Fani yang melimpah itu.
“Suatu saat, tonil-tonil ini akan kurangkai sendiri menjadi skenario film yang kan dimainkan di Hollywood dan disutradarai Sir Spielberg.”
“Hahahhaha, :D mimpi itu!” Kata bagian diriku yang lain.
“Ya namanya juga mimpi, sekalian yang tinggi saja. Dari pada tanggung?”
“O iya ya.”
“Mikir.”
“Hus!!! Niru-niru bung Kupat kamu.”
“Eh, gini. Kamu tahu kan si Fani. Mungkin cuma tiga bulan disini. Katanya mau pindah ke Wentra. Mumpung masih disini…..”
“?????”
“Ia terus saja menawariku itu tu. Bahkan menyebut namanya saja hatiku bergetar. Fani….”
“Hmmm,, kalau aku sih langsung saja. Katanya burung-burung disini, sudah tidak ada lagi: moralitas dan etika. Jadi, kalau aku sih yes.”
“Ya, ya, ya. Dulu aku pernah belajar itu di bangku kuliah. Tapi ya cuma teori.”
“Ya tunggu apa lagi? Nanti kalau Fani pulang, langsung saja!!”
“Tapi dia kan adikku sendiri? Bukan kandung sih. Tapi sudah sejak kecil sama-sama. Jadi sudah dianggap sodara sendiri. Diangkat anak pula sama mendiang ortuku.”
“Halah halah. Akui saja itu adik kandungmu. Yang tetap cantik meski maju sedikit. Mundur sedikit ya tetap cantik. Maju lagi mundur lagi masih cantik aja. Represimu itu lo!”
“Oke, ia memang adik kandungku. Cantik sekali. Manis sekali. Kiyut abis. Gila, seksi bok. Kaya kakaknya yang cewe. Uih, cabi bener.”
“Lo juga ganteng. Mungkin adikmu tu juga pengen.”
“Di amah lonthe. Lidahnya bercabang tu. Ga bisa aku percaya. Dah ga ada harga dirinya.”
Tiba-tiba saja Fani pulang. Bawaannya yang berat tidak menyulitkannya. Nampaknya di Dolly sudah terbiasa. “Butuh kubantu?”
“Butuh banget! Buruan!”
“Ya’elah. Belanja segini banyak buat apaan? Makanan mewah-mewah lagi!”
“Biar kamu makan enak sekali-kali gitu. Besok puasa-puasa lagi semau lo. Sampe dapet tu ilmu-ilmu aneh.”
“Wo, bener ya. Kalo aku udah dapet tu ilmu. Lo bakal gua…..”
“Apain aja terserah.” Fani melanjutkan sesuai harapanku.
Siang-siang, dirumah cukup besar, megah, mewah, jauh dari rumah tetangga, kami memasak berdua. Sungguh sepi rumah ini.
Fani. Aduuh, adikku yang malang! Semenjak kau dirumah ini aku musti pakai celana ketat.
Siang itu sangat terik. AC dinyalakan diseluruh ruang tapi tetap saja panas. Kabarnya memang sedang kemarau panjang.
Adonan dan bumbu-bumbu itu mungkin sedikit terbasahi oleh keringat kami. Kata Fani: “Biarin gapapa. Irit garem!”
“Yeeee….” Kutimpali setengah mengejek.
Sialan. Bener-bener gadis itu. Pakainya celana mini dan kaosnya itu, aduh. Pusarnya kelihatan sangat indah. Jangan! Jangan! Ini jinah namanya. Kalau aku sampai lakukan semua itu, gagallah semadiku. Gagal semua usahaku selama ini untuk mendapatkan ilmu supranatural itu. Ilmu dambaan orang-orang tua yang mungkin sebentar lagi kan kuraih kala usiaku masih dua tiga.
Ilmu itu mensyaratkanku untuk tidak menikah. Tidak menyentuh lawan jenis atau apapun atas dasar dorongan nafsu, tidak boleh makan enak kecuali pemberian seperti yang dilakukan Fani ini, dan kalau ingin kenikmatan duniawi, hanya boleh diwujudkan melalui fantasi. Ya, fantasi. Salah satu mekanisme pertahanan diri yang membawa pada kegilaan. Kegilaan ini pula yang harus bisa aku atasi.
Tapi cukup menghibur. Boleh berfantasi asal tidak larut saja. Jadi kumanjakan fantasi ini. Fani, Fani, Fani yang malang. Kau selalu dalam fantasi ini. Hubungan haram memang yang paling nikmat untuk direnungkan siang dan malam dalam dunia fantasi. Hahahahha.
Makanan telah jadi. Fani pandai juga memasak. Tidak ada yang kurang sedap. Saksang sancam itu sungguh yang terbaik yang pernah kucicipi. Aroma andalimannya sangat serasi dengan rempah asli Sumatra Utara. Lalu, ada sup domba muda. Sama sekali tidak prengus. Dagingnya lembut dan legit. Ada lagi iga bakar. Panggangngannya sangat tepat waktu sehingga tidak terlalu gosong. Asupan karbohidrat diperoleh dari mi lethek khas Bantul yang dibumbui dengan tinta cumi impor. Sangat lembut dan bergizi tinggi. Hao cek ping ping ping lah.
Kami makan sambil nonton bola. Kebetulan Chealsea sedang menjamu Barcelona dalam gelaran Liga Champion.
Makan kami dilakukan disofa yang sama setelah mengambil hidangan di meja makan. Sofa itu nyaris sesak sekali karena sebenarnya hanya diperuntukkan untuk satu orang. Aku tidak gugup. Ini biasa kami lakukan saat kecil dulu. Kalau makan, kami memang senang sambil ngobrol.
“Kamu ngapain sih ke Wentra segala? Disini kan semua sudah enak!”
“Mau cari pengalaman saja. Kerjaanku tu seperti orang ziarah. Ziarah yang selesainya kalo udah mati.”
“Ntar aku sendiri lagi disini.”
“Urusan lo. Ngapain juga ga cari istri! Seenggaknya kan cari placur kaya gua gini tiap malem kan bisak!! Duitmu kan banyak toh. Bisnisnya masih jalan to?”
“Yang maha?”
“Gile,,,, Gile,,,,, Mentang-mentang punya banyak perusahaan!!”
“Itu semua yang kudiriin sendiri ya! Yang warisan kan lo sabet semua! Kakak kan ga minta apa-apa. Malah jadi petapa kekal di Gunung Karmel. Lupak?”
“Kalo kakak kan bukan cari kesaktian kaya loooh….”
“Apa itu salah? Apa itu salah? Apa itu salah?” Jawabku meniru seorang politikus tak tau diri di tv akhir-akhir ini.
Wentra memang kota impian semua wanita. Pria juga sebenarnya. Konon Wentra merupakan istana selir pada dahulu kala. Selir dari kerajaan Pajang. Tapi, kebanyakan guru-guruku lebih senang mengatakan Wentra adalah kota misterius. Letaknya dialam gaib. Waduh. Bener gak ya ni?
“Gini lo mas,”
“Hahahahha,,,, tumben kamu panggil aku mas!!” Sahutku.
“Ya biar agak serius dikit ngape.”
“Oke! Iya adiku yang manis. Mas dengerin. Kamu mau omong apa tadi?”
“Jadi di Wentra itu ada istana. Istana selir yang baguuuuusss sekali. Aku cuma ingin masuk ‘melihat-lihat’. Tapi itu tadi. Mitosnya kayanya memang ada benarnya. Ga satupun orang yang masuk Wentra itu bisa pulang lagi.”
“Memang ada apa didalamnya?”
“Ada kenikmatan dunia. Puncak kenikmatan dunia. Seperti yang belum pernah aku dapati di Dolly.”
“Kenikmatan macam apa itu?”
“Orgasme tanpa batas. Tanpa henti. Abadi.”
“Mengapa kau ingin hal itu?”
“Karena aku tidak merasakannya selama ini.”
Sudah kuduga. Sebagian besar kaum lonthe memang tidak pernah mendapatkan kepuasan macam itu. Tapi mengapa? Dugaanku karena tidak ia temukan cinta sejati. Puncak kenikmatan itu memang hanya bisa diraih bersama cinta sejati, katanya.
“Mengapa penting bagimu untuk mendapatkannya?”
“Karena itulah tujuan hidupku. Tak ada yang lain.”
“Lantas siapa yang akan memberikan hal itu padamu didalam sana?”
“Entahlah. Puncak kenikmatan yang abadi hanya didapat dari cinta sejati, katanya.”
Maksud “katanya” adalah kabar burung yang belum tentu benarnya.
“Jadi kau akan dapatkan cinta sejatimu didalam sana?”
“Mungkin.”
“Jangan-jangan dia itu lelaki yang dulu masuk dan belum keluar lagi karena menunggumu sebagai cinta sejati?”
“Bisa jadi.”
“Bagaimana bila cinta sejatimu belum masuk ke Wentra?”
“Maka aku yang akan menunggu.”
“Sampai kapan?”
“Konon orang yang telah masuk Wentra akan hidup abadi dalam penantian akan cinta sejati. Bila cinta sejati telah saling bertemu, maka puncak kenikmatan abadi itu akan segera terjadi. Itulah surga yang sebenarnya.”
“Baik. Kalau begitu aku tidak bisa menghalangimu. Mungkin suatu saat aku juga akan masuk untuk menemukan cinta sejatiku.”
“Bagus. Bagaimana kalau kita pergi bersama sekalian?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar