Cerpen
13 Desember 2014
Tamu
dari Dolly pergi ke Wentra
Awal tahun ini telah
menjadi epifani bagi Epifani. Panggil
saja Fani. Titik balik itu karena ditutupnya Dolly secara sepihak oleh pihak
balai kota yang berwibawa. Atas nama? Kebenaran yang diamini Fani.
Fani telah mengetahui
hal ini sejak lama. Ia yang lulusan S1 bidang hukum telah mempersiapkan rencana
pergi sebelum penggusuran. Rencana ini mulus saja.
Kala masih aktif di
Dolly, Fani adalah tamuku tiap akhir pekan. Rela-relanya dikorbankan uangnya untuk
terbang dari Surabaya ke Jogja, nyaris tiap Sabtu pagi dan pulang Minggu sore.
Serius, aku tidak mengundangnya karena butuh. Semata-mata ialah yang jadi tamu
dirumah ini. Bagaimana tidak, dia adikku sendiri. Tapi kini tak lagi dua hari
saja. Mungkin lebih lama.
Fani yang kemarin melacur
di Dolly lantas ingin ke Wentira atau yang sering disebut sebagai Wentra. Ke
Wentra? Jelas bukan karena uang. Uangnya telah banyak sekali. Milyaran. Mungkin
karena ia memang cantik dan seksi. Tarifnya mungkin mahal. Akupun pernah
ditawarinya karena disini sudah tidak ada lagi konsep haram dan halal. Ia tahu
nampaknya kalau akupun ingin.
“Gila!! Ga bener ini.”
Tatkala ia pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan sebulan, aku suka main tonil
saja. Tidak kerja? Tidak. Cukup hidup dari bunga haram deposito Fani yang
melimpah itu.
“Suatu saat,
tonil-tonil ini akan kurangkai sendiri menjadi skenario film yang kan dimainkan
di Hollywood dan disutradarai Sir Spielberg.”
“Hahahhaha, :D mimpi
itu!” Kata bagian diriku yang lain.
“Ya namanya juga mimpi,
sekalian yang tinggi saja. Dari pada tanggung?”
“O iya ya.”
“Mikir.”
“Hus!!! Niru-niru bung
Kupat kamu.”
“Eh, gini. Kamu tahu
kan si Fani. Mungkin cuma tiga bulan disini. Katanya mau pindah ke Wentra.
Mumpung masih disini…..”
“?????”
“Ia terus saja
menawariku itu tu. Bahkan menyebut namanya saja hatiku bergetar. Fani….”
“Hmmm,, kalau aku sih
langsung saja. Katanya burung-burung disini, sudah tidak ada lagi: moralitas
dan etika. Jadi, kalau aku sih yes.”
“Ya, ya, ya. Dulu aku
pernah belajar itu di bangku kuliah. Tapi ya cuma teori.”
“Ya tunggu apa lagi?
Nanti kalau Fani pulang, langsung saja!!”
“Tapi dia kan adikku
sendiri? Bukan kandung sih. Tapi sudah sejak kecil sama-sama. Jadi sudah
dianggap sodara sendiri. Diangkat anak pula sama mendiang ortuku.”
“Halah halah. Akui saja
itu adik kandungmu. Yang tetap cantik meski maju sedikit. Mundur sedikit ya
tetap cantik. Maju lagi mundur lagi masih cantik aja. Represimu itu lo!”
“Oke, ia memang adik
kandungku. Cantik sekali. Manis sekali. Kiyut abis. Gila, seksi bok. Kaya
kakaknya yang cewe. Uih, cabi bener.”
“Lo juga ganteng.
Mungkin adikmu tu juga pengen.”
“Di amah lonthe. Lidahnya bercabang tu. Ga bisa
aku percaya. Dah ga ada harga dirinya.”
Tiba-tiba saja Fani
pulang. Bawaannya yang berat tidak menyulitkannya. Nampaknya di Dolly sudah
terbiasa. “Butuh kubantu?”
“Butuh banget! Buruan!”
“Ya’elah. Belanja
segini banyak buat apaan? Makanan mewah-mewah lagi!”
“Biar kamu makan enak
sekali-kali gitu. Besok puasa-puasa lagi semau lo. Sampe dapet tu ilmu-ilmu
aneh.”
“Wo, bener ya. Kalo aku
udah dapet tu ilmu. Lo bakal gua…..”
“Apain aja terserah.”
Fani melanjutkan sesuai harapanku.
Siang-siang, dirumah
cukup besar, megah, mewah, jauh dari rumah tetangga, kami memasak berdua.
Sungguh sepi rumah ini.
Fani. Aduuh, adikku
yang malang! Semenjak kau dirumah ini aku musti pakai celana ketat.
Siang itu sangat terik.
AC dinyalakan diseluruh ruang tapi tetap saja panas. Kabarnya memang sedang
kemarau panjang.
Adonan dan bumbu-bumbu
itu mungkin sedikit terbasahi oleh keringat kami. Kata Fani: “Biarin gapapa.
Irit garem!”
“Yeeee….” Kutimpali
setengah mengejek.
Sialan. Bener-bener
gadis itu. Pakainya celana mini dan kaosnya itu, aduh. Pusarnya kelihatan
sangat indah. Jangan! Jangan! Ini jinah namanya. Kalau aku sampai lakukan semua
itu, gagallah semadiku. Gagal semua usahaku selama ini untuk mendapatkan ilmu
supranatural itu. Ilmu dambaan orang-orang tua yang mungkin sebentar lagi kan
kuraih kala usiaku masih dua tiga.
Ilmu itu mensyaratkanku
untuk tidak menikah. Tidak menyentuh lawan jenis atau apapun atas dasar
dorongan nafsu, tidak boleh makan enak kecuali pemberian seperti yang dilakukan
Fani ini, dan kalau ingin kenikmatan duniawi, hanya boleh diwujudkan melalui
fantasi. Ya, fantasi. Salah satu mekanisme pertahanan diri yang membawa pada
kegilaan. Kegilaan ini pula yang harus bisa aku atasi.
Tapi cukup menghibur. Boleh
berfantasi asal tidak larut saja. Jadi kumanjakan fantasi ini. Fani, Fani, Fani
yang malang. Kau selalu dalam fantasi ini. Hubungan haram memang yang paling
nikmat untuk direnungkan siang dan malam dalam dunia fantasi. Hahahahha.
Makanan telah jadi.
Fani pandai juga memasak. Tidak ada yang kurang sedap. Saksang sancam itu
sungguh yang terbaik yang pernah kucicipi. Aroma andalimannya sangat serasi
dengan rempah asli Sumatra Utara. Lalu, ada sup domba muda. Sama sekali tidak
prengus. Dagingnya lembut dan legit. Ada lagi iga bakar. Panggangngannya sangat
tepat waktu sehingga tidak terlalu gosong. Asupan karbohidrat diperoleh dari mi
lethek khas Bantul yang dibumbui dengan tinta cumi impor. Sangat lembut dan
bergizi tinggi. Hao cek ping ping ping lah.
Kami makan sambil
nonton bola. Kebetulan Chealsea sedang menjamu Barcelona dalam gelaran Liga
Champion.
Makan kami dilakukan
disofa yang sama setelah mengambil hidangan di meja makan. Sofa itu nyaris
sesak sekali karena sebenarnya hanya diperuntukkan untuk satu orang. Aku tidak
gugup. Ini biasa kami lakukan saat kecil dulu. Kalau makan, kami memang senang
sambil ngobrol.
“Kamu ngapain sih ke
Wentra segala? Disini kan semua sudah enak!”
“Mau cari pengalaman
saja. Kerjaanku tu seperti orang ziarah. Ziarah yang selesainya kalo udah
mati.”
“Ntar aku sendiri lagi
disini.”
“Urusan lo. Ngapain
juga ga cari istri! Seenggaknya kan cari placur kaya gua gini tiap malem kan bisak!!
Duitmu kan banyak toh. Bisnisnya masih jalan to?”
“Yang maha?”
“Gile,,,, Gile,,,,,
Mentang-mentang punya banyak perusahaan!!”
“Itu semua yang
kudiriin sendiri ya! Yang warisan kan lo sabet semua! Kakak kan ga minta
apa-apa. Malah jadi petapa kekal di Gunung Karmel. Lupak?”
“Kalo kakak kan bukan
cari kesaktian kaya loooh….”
“Apa itu salah? Apa itu
salah? Apa itu salah?” Jawabku meniru seorang politikus tak tau diri di tv
akhir-akhir ini.
Wentra memang kota
impian semua wanita. Pria juga sebenarnya. Konon Wentra merupakan istana selir
pada dahulu kala. Selir dari kerajaan Pajang. Tapi, kebanyakan guru-guruku
lebih senang mengatakan Wentra adalah kota misterius. Letaknya dialam gaib.
Waduh. Bener gak ya ni?
“Gini lo mas,”
“Hahahahha,,,, tumben
kamu panggil aku mas!!” Sahutku.
“Ya biar agak serius
dikit ngape.”
“Oke! Iya adiku yang
manis. Mas dengerin. Kamu mau omong apa tadi?”
“Jadi di Wentra itu ada
istana. Istana selir yang baguuuuusss sekali. Aku cuma ingin masuk ‘melihat-lihat’.
Tapi itu tadi. Mitosnya kayanya memang ada benarnya. Ga satupun orang yang
masuk Wentra itu bisa pulang lagi.”
“Memang ada apa
didalamnya?”
“Ada kenikmatan dunia.
Puncak kenikmatan dunia. Seperti yang belum pernah aku dapati di Dolly.”
“Kenikmatan macam apa
itu?”
“Orgasme tanpa batas.
Tanpa henti. Abadi.”
“Mengapa kau ingin hal
itu?”
“Karena aku tidak
merasakannya selama ini.”
Sudah kuduga. Sebagian
besar kaum lonthe memang tidak pernah
mendapatkan kepuasan macam itu. Tapi mengapa? Dugaanku karena tidak ia temukan
cinta sejati. Puncak kenikmatan itu memang hanya bisa diraih bersama cinta
sejati, katanya.
“Mengapa penting bagimu
untuk mendapatkannya?”
“Karena itulah tujuan
hidupku. Tak ada yang lain.”
“Lantas siapa yang akan
memberikan hal itu padamu didalam sana?”
“Entahlah. Puncak
kenikmatan yang abadi hanya didapat dari cinta sejati, katanya.”
Maksud “katanya” adalah
kabar burung yang belum tentu benarnya.
“Jadi kau akan dapatkan
cinta sejatimu didalam sana?”
“Mungkin.”
“Jangan-jangan dia itu
lelaki yang dulu masuk dan belum keluar lagi karena menunggumu sebagai cinta
sejati?”
“Bisa jadi.”
“Bagaimana bila cinta
sejatimu belum masuk ke Wentra?”
“Maka aku yang akan
menunggu.”
“Sampai kapan?”
“Konon orang yang telah
masuk Wentra akan hidup abadi dalam penantian akan cinta sejati. Bila cinta
sejati telah saling bertemu, maka puncak kenikmatan abadi itu akan segera
terjadi. Itulah surga yang sebenarnya.”
“Baik. Kalau begitu aku
tidak bisa menghalangimu. Mungkin suatu saat aku juga akan masuk untuk
menemukan cinta sejatiku.”
“Bagus. Bagaimana kalau
kita pergi bersama sekalian?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar