Cerpen
Jumat, 21 Agustus 2015
Penyakit
Ungu
Pada suatu hari yang
sakit, anakku menderita Ungu. Penyebabnya virus Mingru yang belum ada obatnya.
Padahal putra-putriku banyak. Tak jelas pula jenis kelaminnya. Tebak! Siapa
mereka? Benar. Minionlah anak-anakku yang terkasih, kepadanyalah aku berkenan.
Dahulu kala sebelum
Gru, akulah pendiri perusahaan Minion. Mulanya istriku adalah gadis Yunani
Sephardim yang bernama Helen, binti Sitek al-Zezuz. Nah, Helen kemudian rajin
kukawini. Tiap hari bisa keluar dua atau tiga Minion. Helen memang seperti
bebek petelur. Aku? Seperti ayam bekisar yang kalau sebentar saja tidak kawin
gatalnya minta ampun. Padahal ayam bekisar gak gitu.
Helen dan aku, pasangan
serasi, tinggal di Ithaca. Sempat menyaksikan cantiknya Penelopia, api aku tak
tertarik. Helen adalah segalanya bagiku. Helen adalah pujaan hati ini. Tak
mungkin aku melupakan Helen, penghasil Minion paling subur sedunia.
Minion dan Helen
sama-sama penting. Sayang, Helen tidak abadi. Ia mati juga. Jasadnya kini masih
awet di ruang khusus bawah tempat tidurku. Sampai saat ini pun kalau malam
bulan purnama aku masih sempatkan diri memandikannya. Kenikmatannya sama dengan
kala itu. Ketika Helen masih hidup, memandikannya adalah suatu kesenangan
tersendiri. Waktu itu kami bermain-main di bak mandi yang seperti wajan teflon.
Setelah aku memandikannya, Helen membalas dengan memandikanku. Sayang, sabun
yang kami gunakan waktu itu sudah tak ada lagi. Sudah habis. Cie.
Arti Helen bagiku
adalah satu-satunya. Sumber tunggal keselarasan cinta. Pembangkit selera
kenyamanan. Pemberi kegairahan asa. Pusat kenikmatan sentuhan. Itulah mengapa
aku sangat sayang Helen, meskipun ia tidak cantik sebagaimana aku juga tidak
ganteng. Itulah kelebihan Helen, pagi dikawini, siang melahirkan. Siang dikawini,
sore melahirkan. Sore dikawini, malam melahirkan. Jadi, pekerjaan kami
sehari-hari adalah: kawin pagi, melahirkan siang, buru-buru kawin siang,
melahirkan sore, lalu cepat-cepat kawin sore agar malam sempat melahirkan.
Mereka bilang kami
telah sama-sama aus.
Hahh.... Yang jelas,
pagi tidak sempat melahirkan karena aktivitas malam yang sudah membuat badan
terlalu gerah untuk kawin lagi.
***
Siang melahirkan Minion
mata satu. Sore melahirkan Minion mata dua. Malam melahirkan Minion mata satu
tanpa kacamata. Kelahiran sore hari inilah yang paling rawan terserang penyakit
Ungu.
Akhirnya penderitaanku
sempurna setelah wabah penyakit ungu menyerang bertubi-tubi. Saat ini hampir
semua Minion telah tertular. Hatiku semakin sedih. Andai Helen masih hidup, aku
takkan begini. Sejak kematian Helen, hidup tak lagi indah begini adanya. Waktu
itu aku sudah memperingatkan tapi ia melawan. Pisang Minion tak boleh sekalipun
disentuh manusia, tapi Helen malah memakannya. Akibatnya, seluruh anak-anak
kami marah besar lantas mencabik-cabik badan Helen yang sebenarnya seksi juga.
Untungnya waktu itu masih ada dokter Tom sehingga potongan-potongan badan Helen
bisa dikumpulkan lagi seperti sekarang ini. Sayang, dokter Jerry sudah
meninggal duluan sehingga nyawa Helen tak tertolong lagi.
Badai pasti berlalu,
katanya. Tapi penyakit ungu akan ada untuk selamanya, kata saya.
Selamanya, selamanya
bersama anak-anakku yang kini berwarna ungu, berambut lebat berdiri tegak, dan
amat agresif bila lupa kuberi makan. Kalau lapar suka ngamuk sendiri. Kalau
perut keroncongan, giginya juga tiba-tiba runcing. Kalau sudah begitu lalu
mengejarku, seakan aku adalah daging sapi giling yang dimakan dengan sedotan,
tak perlu dikunyah lagi. Ck. Kukira persahabatan kita istimewa.
Mau bagaimanapun para
Minion adalah anak-anakku. Mana mungkin kutinggal begitu saja. Sebagai Dewa
Apollo yang abadi, aku harus mengasihi mereka apa adanya. Tiap pagi tak boleh
lupa memberi makanan alakadarnya. Kalau sedang banyak uang ya diberi pisang
Ambon. Kalau lagi bokek ya dikasih pisang Kepok saja yang notabene banyak
tumbuh liar di kebun nenek.
Dalam derita penyakit
ungu, anak-anaku sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan.
Berdasarkan penelitian, penyakit ungu menyebabkan penderita merasakan sayatan
yang amat pedih di sekujur tubuh. Mata serasa dicungkil dengan sabit karatan.
Kaki seperti kesemutan ibarat dikerubung semut merah pemakan bangkai.
Anak-anakku, ada apa gerangan dengan kalian? Kalian malah terlihat ceria
seperti baru saja mendapat uang jajan.
***
Aku tak kuasa lagi
menahan air mata yang selalu mengalir membentu percabangan di pipi. Bagaimana
tidak! Anak-anakku yang belum terjangkit penyakit ungu dihabisi satu persatu
oleh anak-anakku yang ungunya tak tertahankan lagi.
Pisang kini tak mampu
lagi memuaskan dahaga mereka. Minion minta lebih untuk memenuhi perut mereka
yang cepat sekali lapar. Tak habis pikir aku, meski mereka sering sekali makan
dengan porsi besar namun mereka tak pernah buang air besar. Buang air kecil pun
tidak pernah. Ketika kuberanikan diri melihat alat kelamin mereka, ternyata
tidak ada apa-apa. Benar-benar bukan lelaki bukan perempuan. Tapi juga lelaki
juga perempuan. Kurang ajar.
“Lalu apa yang kalian
minta?” Kataku sambil terbang karena takut dengan jumlah mereka.
“Banana, banana,
banana!!” Para Minion masih saja meminta pisang. Tidak, itu permintaan palsu.
Anak-anakku sudah ogah makan pisang jenis apapun.
Beberapa saat lagi
anak-anakku akan bisa terbang seperti para dewa. Ijinkan aku untuk meminta maaf
sebelum terlambat.
Bila saat itu tiba,
mereka pasti mengejarku. Di mana lagi aku akan bersembunyi? Di Kuil Xersecs
yang tinggal puing-puing? Atau di bekas tahta Tomainian yang tinggal kenangan?
Di kursi malas para pegawaiku yang melarikan diri? Tidak! Aku akan membiarkan
mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Anak-anakku juga para Minion malang
itu.
Rabu, 17 Agustus 2309
di Dusun Sendang Kapituh, Desa Sendang Wangi, Kecamatan Tengah, Kabupaten
Sleman, Propinsi Jogja, Indonesia, pukul 06.00 siang, tempat persembunyianku
yang penghabisan, kunikmati Chicken Fondue untuk yang terakhir kali. Pukul
11.00 sore nanti para Minion pasti akan menemukanku. Biarlah saat itu aku
sedang tidur. Maka kusihir diriku sendiri agar tertidur pulas.
***
Benar demikian. Waktu
sudah menunjukkan pukul 11.09 dan aku terbangun sebagai arwah. Kulihat
anak-anakku sedang menggerogoti tubuh mungilku. Mereka makan dengan lahap
setiap bagian tubuhku yang berdaging lembut. Pukul 11.13 tulang-tulang tubuhku
mulai kelihatan. Warnanya keemasan tanpa noda darah karena telah dijilati
anak-anakku sampai bersih. Dua bola mataku juga sempat jadi rebutan sebelum
akhirnya pecah. Torpedo, oh maaf, mereka tidak memakannya. Minion sulungku yang
bernama Croizshylh mengambilnya dengan satu gigitan yang seketika memutus urat
nadi. Ada cairan keputihan yang menetes. Hielmnhg, Minionku yang nomor 78
menadahinya langsung dengan mulut yang menganga.
Ternyata Wwointl,
Minion nomor 98 yang tadi langsung menggigit tenggorokkanku sehingga langsung
membuat nyawa tercabut. Ia memang masih memiliki belas kasihan. Wwointl tak
ingin menyaksikan aku sekarat dalam kesakitan pedih kala saudara-saudarinya
menikmati tubuh dan darahku.
Zeus, ampunilah mereka
yang tidak tahu apa-apa. Biarlah hasrat mereka akan darah Kau puaskan dengan
lebih lagi. Kini terimalah aku di sisi Athena yang manis. Jangan juga kau
jauhkan Aphrodite dari pelukanku. Kiranya Nestor dan Achilles senantiasa
melayaniku siang dan malam terutama saat aku haus dan ngidam dawet. Akhirnya,
satukanlah kembali Helen denganku. Amin.
“Aku kabulkan
permintaanmu.” Sahut Zeus dari Firdaus.
“Yang mana bro?”
Tanyaku untuk sekadar memastikan.
“Ya semuanya saja lah
ya.” Zeus memastikan.
“Trimakasih Tuhan Yang
Baik.” Ucapan syukurku.
Hasrat anak-anakku akan
darah telah terpuaskan dengan lebih lagi. Tiap-tiap hari selalu ada saja dewa
yang ditugaskan Zeus untuk melemparkan manusia-manusia jahat ke liang
pengasingan para Minion. Ternyata manusia yang berbudi luhur rasanya jauh lebih
manis dan nikmat. Demikianlah yang kurasakan ketika aku turut serta dalam pesta
makan siang anak-anakku. Enam kali seminggu mereka makan manusia jahat dan satu
kali seminggu plus hari libur mereka makan manusia berbudi luhur.
Makin sering aku turut
serta anak-anak yang kukasihi untuk sekadar makan pagi atau siang. Zeus sungguh
baik karena makin sering menyediakan hidangan daging manusia berbudi luhur.
Akhirnya tanpa sadar aku telah tertular penyakit ungu anak-anakku. Tak seperti
mereka, aku merasakan gejala normal penyakit ini. Tubuh serasa dibakar, kulit
seperti mengelupas, dan seakan selalu ada ribuan kawat karatan yang melewati
tiap pori-pori tubuhku. Tak terkatakan lagi. Aku hilang kendali. Aku mengeluh
pada Zeus. Aku marah. Aku ingin darah. Lalu aku terbang mengejar para Dewa.
Daging rohani mereka ternyata jauh lebih nikmat dari pada daging manusia
bergelar santo yang pernah kumakan.
Terakhir aku tangkap
Zeus hidup-hidup. Kumakan juga tubuhnya. Kuminum darahnya. Sungguh, tiada yang
lebih nikmat. Dagingnya benar-benar makanan dan darahnya benar-benar minuman
yang menyembuhkanku. Aku sembuh dan semua dewa sudah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar