Rabu, 26 Agustus 2015

Penyakit Ungu



Cerpen Jumat, 21 Agustus 2015
Penyakit Ungu
Pada suatu hari yang sakit, anakku menderita Ungu. Penyebabnya virus Mingru yang belum ada obatnya. Padahal putra-putriku banyak. Tak jelas pula jenis kelaminnya. Tebak! Siapa mereka? Benar. Minionlah anak-anakku yang terkasih, kepadanyalah aku berkenan.
Dahulu kala sebelum Gru, akulah pendiri perusahaan Minion. Mulanya istriku adalah gadis Yunani Sephardim yang bernama Helen, binti Sitek al-Zezuz. Nah, Helen kemudian rajin kukawini. Tiap hari bisa keluar dua atau tiga Minion. Helen memang seperti bebek petelur. Aku? Seperti ayam bekisar yang kalau sebentar saja tidak kawin gatalnya minta ampun. Padahal ayam bekisar gak gitu.
Helen dan aku, pasangan serasi, tinggal di Ithaca. Sempat menyaksikan cantiknya Penelopia, api aku tak tertarik. Helen adalah segalanya bagiku. Helen adalah pujaan hati ini. Tak mungkin aku melupakan Helen, penghasil Minion paling subur sedunia.
Minion dan Helen sama-sama penting. Sayang, Helen tidak abadi. Ia mati juga. Jasadnya kini masih awet di ruang khusus bawah tempat tidurku. Sampai saat ini pun kalau malam bulan purnama aku masih sempatkan diri memandikannya. Kenikmatannya sama dengan kala itu. Ketika Helen masih hidup, memandikannya adalah suatu kesenangan tersendiri. Waktu itu kami bermain-main di bak mandi yang seperti wajan teflon. Setelah aku memandikannya, Helen membalas dengan memandikanku. Sayang, sabun yang kami gunakan waktu itu sudah tak ada lagi. Sudah habis. Cie.
Arti Helen bagiku adalah satu-satunya. Sumber tunggal keselarasan cinta. Pembangkit selera kenyamanan. Pemberi kegairahan asa. Pusat kenikmatan sentuhan. Itulah mengapa aku sangat sayang Helen, meskipun ia tidak cantik sebagaimana aku juga tidak ganteng. Itulah kelebihan Helen, pagi dikawini, siang melahirkan. Siang dikawini, sore melahirkan. Sore dikawini, malam melahirkan. Jadi, pekerjaan kami sehari-hari adalah: kawin pagi, melahirkan siang, buru-buru kawin siang, melahirkan sore, lalu cepat-cepat kawin sore agar malam sempat melahirkan.
Mereka bilang kami telah sama-sama aus.
Hahh.... Yang jelas, pagi tidak sempat melahirkan karena aktivitas malam yang sudah membuat badan terlalu gerah untuk kawin lagi.
***
Siang melahirkan Minion mata satu. Sore melahirkan Minion mata dua. Malam melahirkan Minion mata satu tanpa kacamata. Kelahiran sore hari inilah yang paling rawan terserang penyakit Ungu. 
Akhirnya penderitaanku sempurna setelah wabah penyakit ungu menyerang bertubi-tubi. Saat ini hampir semua Minion telah tertular. Hatiku semakin sedih. Andai Helen masih hidup, aku takkan begini. Sejak kematian Helen, hidup tak lagi indah begini adanya. Waktu itu aku sudah memperingatkan tapi ia melawan. Pisang Minion tak boleh sekalipun disentuh manusia, tapi Helen malah memakannya. Akibatnya, seluruh anak-anak kami marah besar lantas mencabik-cabik badan Helen yang sebenarnya seksi juga. Untungnya waktu itu masih ada dokter Tom sehingga potongan-potongan badan Helen bisa dikumpulkan lagi seperti sekarang ini. Sayang, dokter Jerry sudah meninggal duluan sehingga nyawa Helen tak tertolong lagi.
Badai pasti berlalu, katanya. Tapi penyakit ungu akan ada untuk selamanya, kata saya.
Selamanya, selamanya bersama anak-anakku yang kini berwarna ungu, berambut lebat berdiri tegak, dan amat agresif bila lupa kuberi makan. Kalau lapar suka ngamuk sendiri. Kalau perut keroncongan, giginya juga tiba-tiba runcing. Kalau sudah begitu lalu mengejarku, seakan aku adalah daging sapi giling yang dimakan dengan sedotan, tak perlu dikunyah lagi. Ck. Kukira persahabatan kita istimewa.
Mau bagaimanapun para Minion adalah anak-anakku. Mana mungkin kutinggal begitu saja. Sebagai Dewa Apollo yang abadi, aku harus mengasihi mereka apa adanya. Tiap pagi tak boleh lupa memberi makanan alakadarnya. Kalau sedang banyak uang ya diberi pisang Ambon. Kalau lagi bokek ya dikasih pisang Kepok saja yang notabene banyak tumbuh liar di kebun nenek.
Dalam derita penyakit ungu, anak-anaku sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Berdasarkan penelitian, penyakit ungu menyebabkan penderita merasakan sayatan yang amat pedih di sekujur tubuh. Mata serasa dicungkil dengan sabit karatan. Kaki seperti kesemutan ibarat dikerubung semut merah pemakan bangkai. Anak-anakku, ada apa gerangan dengan kalian? Kalian malah terlihat ceria seperti baru saja mendapat uang jajan.
***
Aku tak kuasa lagi menahan air mata yang selalu mengalir membentu percabangan di pipi. Bagaimana tidak! Anak-anakku yang belum terjangkit penyakit ungu dihabisi satu persatu oleh anak-anakku yang ungunya tak tertahankan lagi.
Pisang kini tak mampu lagi memuaskan dahaga mereka. Minion minta lebih untuk memenuhi perut mereka yang cepat sekali lapar. Tak habis pikir aku, meski mereka sering sekali makan dengan porsi besar namun mereka tak pernah buang air besar. Buang air kecil pun tidak pernah. Ketika kuberanikan diri melihat alat kelamin mereka, ternyata tidak ada apa-apa. Benar-benar bukan lelaki bukan perempuan. Tapi juga lelaki juga perempuan. Kurang ajar.
“Lalu apa yang kalian minta?” Kataku sambil terbang karena takut dengan jumlah mereka.
“Banana, banana, banana!!” Para Minion masih saja meminta pisang. Tidak, itu permintaan palsu. Anak-anakku sudah ogah makan pisang jenis apapun.
Beberapa saat lagi anak-anakku akan bisa terbang seperti para dewa. Ijinkan aku untuk meminta maaf sebelum terlambat.
Bila saat itu tiba, mereka pasti mengejarku. Di mana lagi aku akan bersembunyi? Di Kuil Xersecs yang tinggal puing-puing? Atau di bekas tahta Tomainian yang tinggal kenangan? Di kursi malas para pegawaiku yang melarikan diri? Tidak! Aku akan membiarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Anak-anakku juga para Minion malang itu.
Rabu, 17 Agustus 2309 di Dusun Sendang Kapituh, Desa Sendang Wangi, Kecamatan Tengah, Kabupaten Sleman, Propinsi Jogja, Indonesia, pukul 06.00 siang, tempat persembunyianku yang penghabisan, kunikmati Chicken Fondue untuk yang terakhir kali. Pukul 11.00 sore nanti para Minion pasti akan menemukanku. Biarlah saat itu aku sedang tidur. Maka kusihir diriku sendiri agar tertidur pulas.
***
Benar demikian. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.09 dan aku terbangun sebagai arwah. Kulihat anak-anakku sedang menggerogoti tubuh mungilku. Mereka makan dengan lahap setiap bagian tubuhku yang berdaging lembut. Pukul 11.13 tulang-tulang tubuhku mulai kelihatan. Warnanya keemasan tanpa noda darah karena telah dijilati anak-anakku sampai bersih. Dua bola mataku juga sempat jadi rebutan sebelum akhirnya pecah. Torpedo, oh maaf, mereka tidak memakannya. Minion sulungku yang bernama Croizshylh mengambilnya dengan satu gigitan yang seketika memutus urat nadi. Ada cairan keputihan yang menetes. Hielmnhg, Minionku yang nomor 78 menadahinya langsung dengan mulut yang menganga.
Ternyata Wwointl, Minion nomor 98 yang tadi langsung menggigit tenggorokkanku sehingga langsung membuat nyawa tercabut. Ia memang masih memiliki belas kasihan. Wwointl tak ingin menyaksikan aku sekarat dalam kesakitan pedih kala saudara-saudarinya menikmati tubuh dan darahku.
Zeus, ampunilah mereka yang tidak tahu apa-apa. Biarlah hasrat mereka akan darah Kau puaskan dengan lebih lagi. Kini terimalah aku di sisi Athena yang manis. Jangan juga kau jauhkan Aphrodite dari pelukanku. Kiranya Nestor dan Achilles senantiasa melayaniku siang dan malam terutama saat aku haus dan ngidam dawet. Akhirnya, satukanlah kembali Helen denganku. Amin.
“Aku kabulkan permintaanmu.” Sahut Zeus dari Firdaus.
“Yang mana bro?” Tanyaku untuk sekadar memastikan.
“Ya semuanya saja lah ya.” Zeus memastikan.
“Trimakasih Tuhan Yang Baik.” Ucapan syukurku.
Hasrat anak-anakku akan darah telah terpuaskan dengan lebih lagi. Tiap-tiap hari selalu ada saja dewa yang ditugaskan Zeus untuk melemparkan manusia-manusia jahat ke liang pengasingan para Minion. Ternyata manusia yang berbudi luhur rasanya jauh lebih manis dan nikmat. Demikianlah yang kurasakan ketika aku turut serta dalam pesta makan siang anak-anakku. Enam kali seminggu mereka makan manusia jahat dan satu kali seminggu plus hari libur mereka makan manusia berbudi luhur.
Makin sering aku turut serta anak-anak yang kukasihi untuk sekadar makan pagi atau siang. Zeus sungguh baik karena makin sering menyediakan hidangan daging manusia berbudi luhur. Akhirnya tanpa sadar aku telah tertular penyakit ungu anak-anakku. Tak seperti mereka, aku merasakan gejala normal penyakit ini. Tubuh serasa dibakar, kulit seperti mengelupas, dan seakan selalu ada ribuan kawat karatan yang melewati tiap pori-pori tubuhku. Tak terkatakan lagi. Aku hilang kendali. Aku mengeluh pada Zeus. Aku marah. Aku ingin darah. Lalu aku terbang mengejar para Dewa. Daging rohani mereka ternyata jauh lebih nikmat dari pada daging manusia bergelar santo yang pernah kumakan.
Terakhir aku tangkap Zeus hidup-hidup. Kumakan juga tubuhnya. Kuminum darahnya. Sungguh, tiada yang lebih nikmat. Dagingnya benar-benar makanan dan darahnya benar-benar minuman yang menyembuhkanku. Aku sembuh dan semua dewa sudah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar