Puisi 28 Agustus 2015
Teorema
Kecantikan
Tentang seorang cantik yang butuh tiga ons bedak
curah tiap hari untuk menyamarkan noda kecantikannya, ya kecantikan itu
sendiri.
Pertama kulihat dirinya, timbul rasa tidak suka.
Pokoknya jengkel saja dengan model wajah seperti itu.
Ia pelacur yang tak mengerti sedikitpun tentang uang
hingga kini hijrah jadi hajah.
Tahun lalu ia sudah tunaikan rukun ke lima. Aku turut
senang bisa mengantarnya ke asrama haji.
Majlis
pengajiannya ramai sekali akhir-akhir ini.
Isinya
pelacur, LGBT, germo, mucikari, dan tentunya puluhan mantan pelanggan.
Aku
selalu hadir sekadar untuk mengenang seluk beluk bibirnya yang kini tanpa
lipstik.
Benar
kataku, ia lebih cantik bila pakai hijab.
Mungkin
rambut gimbalnya yang dulu sudah dipotong habis, tak ada cara lain.
Tema utama khotbahnya, terutama kalau jumat siang
adalah seputar teorema kecantikan: kalau orang punya kecantikan praksis, orang
akan dengan mudah membasmi kecantikan perjuangan. Semua tentang kecantikan
janganlah dipandang lugu atau kecantikanlah yang lugu. Pernah suatu kali,
kecantikan jadi lugu. Kita orang praksis jengkel setengah mati.
Selepas
shalat tarawih terakhir lebaran tahun ini, kami sempatkan diri ngobrol sebentar
Teras
masjid pertemuan terakhir kami waktu itu lantas kujuluki pelataran cinta.
Ia
mengaku, “Mas, aku bisanya begini, menyanjung orang lain, tapi ya memang dari
dulu tak punya kekuatan praksis. Siapa sih teman senegara kita yang begitu?
Yang pinter teorema kecantikan memang banyak, tapi yang punya kecantikan
praksis kan hampir tak ada! Lihat saja kami ini, dari dulu kurus kering.”
Aku
tak terlalu peduli lagi, “Sudahlah dik. Orang kaya kita sulit untuk bisa punya
kecantikan praksis. Makanya, tuliskan saja mimpi-mimpimu biar tiap malam kau
hadir dalam mimpiku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar