4
Agustus 2015
Menyusun
Kata – Kata Mendatangkan Uang
Skripsi, penelitian,
syarat kelulusan, menghasilkan gelar sarjana adalah tugas kewajiban luhur saat
ini. Penyelesaiannya menjadi kegiatan utama hari-hariku. Sembari mencari uang
dengan berbagai cara, mengurangi jam tidur untuk berpikir dan produksi,
mengurangi makan dan minum untuk menghemat pengeluaran finansial, dan lain
sebagainya.
Hari ini, tugasku
adalah menyelesaikan verbatim, melakukan koding, dan menarik kesimpulan narasi
yang utuh. Setelah itu adalah mengtrianggulasi dengan teori-teori dan fakta
data yang ada. Jadilah bab 4 dan bab 5. Selesai sudah. Tinggal sinkronasi
proposal lalu kumpul. Bila aku niat menyelesaikannya dalam minggu ini, bukan
mission impossible juga itu. Tinggal niatnya, ada tidak.
Bukankah aku merasa
lebih brilian dari pada dia, dia, maupun dia. Mengapa mereka sudah lulus
sedangkan saya belum? Adalah karena kemalasan saya. Keengganan untuk bersegera
dan lain sebagainya.
Skripsi, tinggal ini
satu-satunya jalan untuk menunjukkan dedikasi sebagai mahasiswa psikologi yang
layak atau tidak layak menyandang gelas S. Psi. Bila nanti ternyata tidak
layak, saya nyatakan hari ini bahwa sungguh, saya telah ridha dan ikhlas dengan
segala keputusan dewan penguji. Bila saya terlalu bodoh untuk diberikan gelar
S. Psi, jauh lebih baik DO saja. DO jauh lebih baik dari pada saya mencoreng
fakultas dan universitas ini dengan reputasi saya yang pas-pasan atau bahkan
minus sebagai pembelajar psikologi.
Apa yang akan
kutunjukkan? Kompetensi.
Kompetensi dalam bidang
psikologi impuls spiritual atau psikologi agama yang mendalam. Kutunjukkan melalui pekerjaan tugas akhir
yaitu laporan penelitian skripsi selama ini yang saya banggakan meski tidak
mendatangkan keuntungan praktis berupa finansial. Tidak apa-apa. Aku rapopo.
Kerja, kerja, kerja kata presiden, meski tidak tahu juga apa yang mesti
dikerjakan. Kerja, kerja, kerja, meski lapangan pekerjaan hanya berpihak pada
orang-orang cerdas dan brilian, dan tidak memandang manusia dengan segala
keterbatasannya.
Mengapa ada kebodohan?
Mengapa orang belajar tidak menjadi pintar? Mengapa orang tidak memiliki
kompetensi atau keahlian? Mengapa orang tidak diperhitungkan? Salah siapa?
Salah ia sendiri karena malas? Salah ia sendirikah karena tidak mau mencoba? Yang
salah adalah ketiadaan infrastruktur? Siapa yang harus disalahkan?
Dalam waktu dekat,
keabsahan akan kuperoleh. Aku yakin saja. S. Psi berhak saya sandang. Saya ahli
psikologi khususnya dalam kajian psikologi agama. Sarjana psikologi, meski
sampai kinipun saya tidak tahu persis, apakah sebenarnya definisi operasional
dan kewenangan-kewenangan seorang sarjana. Anyway, dalam waktu dekat saya juga
punya keabsahan dalam berbahasa Inggris, Mandari, dan Arab. Lantas, apa yang
bisa saya kerjakan untuk mendapat uang? Untuk mencari nafkah? Untuk
mempertahankan kehidupan yang entah harus kupertahankan atau tidak? Mengapa
saya harus hidup? Apa untuknya bagi yang berpihak pada kehidupan saya?
Memangnya pemerintah atau siapapun itu diuntungkan dengan kehidupan saya? Bukankah
toh bila saya mati, dunia tetap berjalan? Bukankah kesejahteraan sosial justru
makin baik bila manusia sampah seperti saya ini lenyap dari muka bumi? Para
penghambat karena nir kompetensi yang diderita? Bukankah kesejahteraan akan
meningkat bila jumlah penduduk lebih sedikit?
Sekarang bayangkan,
bila saya mati:
-
Jatah makan saya dapat dimakan orang
lain sehingga berkuranglah satu orang yang menderita kelaparan.
-
Kepadatan lalu lintas akan berkurang,
setidaknya berkurang 1 sepeda motor atau mobil.
-
Konsumsi BBM akan turun kurang lebih 5
liter/minggu sehingga berdampak positif bagi kesehatan lingkungan dan
bermanfaat untuk penurunan pemanasan global.
-
Warisan orang tua tak perlu dibelah dua,
kakakku satu-satunya pasti akan hidup makmur kelak.
-
Sampah masyarakat akan berkurang 1
orang.
Jujur saja. Bukankah
segala sesuatu yang terjadi di dunia ini selalu memenuhi kaidah statistik data
normal? Nampaknya normalitas data bukan lagi asumsi yang bisa benar atau tidak
benar namun telah menjadi hukum alami dalam data-data kehidupan sosial.
Kematian hanya perkara
statistik. Bila saya tiba-tiba serangan jantung dan mati di perpus ini, itu
sudah digariskan oleh kaidah normalitas data. Bila saya mati ditabrak truk
tronton, lihat saja, data kematian akibat kecelakaan lalin akan terlihat
normal. Keberhasilan anak buruh cuci untuk sekolah di Harvard, jadi Profesor,
jadi Presiden, bahkan jadi alien pun sebenarnya hanya memenuhi kurva normal
yaitu ekstrim kanan yang jumlahnya sangat sedikit. Saya dititik mana? Baik,
tidak dititik mainstream tengah. Kalau tidak kiri sekali, pasti kanan sekali.
Titik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar