Senin, 17 Agustus 2015

Menyusun Kata – Kata Mendatangkan Uang



4 Agustus 2015
Menyusun Kata – Kata Mendatangkan Uang
Skripsi, penelitian, syarat kelulusan, menghasilkan gelar sarjana adalah tugas kewajiban luhur saat ini. Penyelesaiannya menjadi kegiatan utama hari-hariku. Sembari mencari uang dengan berbagai cara, mengurangi jam tidur untuk berpikir dan produksi, mengurangi makan dan minum untuk menghemat pengeluaran finansial, dan lain sebagainya.
Hari ini, tugasku adalah menyelesaikan verbatim, melakukan koding, dan menarik kesimpulan narasi yang utuh. Setelah itu adalah mengtrianggulasi dengan teori-teori dan fakta data yang ada. Jadilah bab 4 dan bab 5. Selesai sudah. Tinggal sinkronasi proposal lalu kumpul. Bila aku niat menyelesaikannya dalam minggu ini, bukan mission impossible juga itu. Tinggal niatnya, ada tidak.
Bukankah aku merasa lebih brilian dari pada dia, dia, maupun dia. Mengapa mereka sudah lulus sedangkan saya belum? Adalah karena kemalasan saya. Keengganan untuk bersegera dan lain sebagainya.
Skripsi, tinggal ini satu-satunya jalan untuk menunjukkan dedikasi sebagai mahasiswa psikologi yang layak atau tidak layak menyandang gelas S. Psi. Bila nanti ternyata tidak layak, saya nyatakan hari ini bahwa sungguh, saya telah ridha dan ikhlas dengan segala keputusan dewan penguji. Bila saya terlalu bodoh untuk diberikan gelar S. Psi, jauh lebih baik DO saja. DO jauh lebih baik dari pada saya mencoreng fakultas dan universitas ini dengan reputasi saya yang pas-pasan atau bahkan minus sebagai pembelajar psikologi.
Apa yang akan kutunjukkan? Kompetensi.
Kompetensi dalam bidang psikologi impuls spiritual atau psikologi agama yang mendalam.  Kutunjukkan melalui pekerjaan tugas akhir yaitu laporan penelitian skripsi selama ini yang saya banggakan meski tidak mendatangkan keuntungan praktis berupa finansial. Tidak apa-apa. Aku rapopo. Kerja, kerja, kerja kata presiden, meski tidak tahu juga apa yang mesti dikerjakan. Kerja, kerja, kerja, meski lapangan pekerjaan hanya berpihak pada orang-orang cerdas dan brilian, dan tidak memandang manusia dengan segala keterbatasannya.
Mengapa ada kebodohan? Mengapa orang belajar tidak menjadi pintar? Mengapa orang tidak memiliki kompetensi atau keahlian? Mengapa orang tidak diperhitungkan? Salah siapa? Salah ia sendiri karena malas? Salah ia sendirikah karena tidak mau mencoba? Yang salah adalah ketiadaan infrastruktur? Siapa yang harus disalahkan?
Dalam waktu dekat, keabsahan akan kuperoleh. Aku yakin saja. S. Psi berhak saya sandang. Saya ahli psikologi khususnya dalam kajian psikologi agama. Sarjana psikologi, meski sampai kinipun saya tidak tahu persis, apakah sebenarnya definisi operasional dan kewenangan-kewenangan seorang sarjana. Anyway, dalam waktu dekat saya juga punya keabsahan dalam berbahasa Inggris, Mandari, dan Arab. Lantas, apa yang bisa saya kerjakan untuk mendapat uang? Untuk mencari nafkah? Untuk mempertahankan kehidupan yang entah harus kupertahankan atau tidak? Mengapa saya harus hidup? Apa untuknya bagi yang berpihak pada kehidupan saya? Memangnya pemerintah atau siapapun itu diuntungkan dengan kehidupan saya? Bukankah toh bila saya mati, dunia tetap berjalan? Bukankah kesejahteraan sosial justru makin baik bila manusia sampah seperti saya ini lenyap dari muka bumi? Para penghambat karena nir kompetensi yang diderita? Bukankah kesejahteraan akan meningkat bila jumlah penduduk lebih sedikit?
Sekarang bayangkan, bila saya mati:
-          Jatah makan saya dapat dimakan orang lain sehingga berkuranglah satu orang yang menderita kelaparan.
-          Kepadatan lalu lintas akan berkurang, setidaknya berkurang 1 sepeda motor atau mobil.
-          Konsumsi BBM akan turun kurang lebih 5 liter/minggu sehingga berdampak positif bagi kesehatan lingkungan dan bermanfaat untuk penurunan pemanasan global.
-          Warisan orang tua tak perlu dibelah dua, kakakku satu-satunya pasti akan hidup makmur kelak.
-          Sampah masyarakat akan berkurang 1 orang.
Jujur saja. Bukankah segala sesuatu yang terjadi di dunia ini selalu memenuhi kaidah statistik data normal? Nampaknya normalitas data bukan lagi asumsi yang bisa benar atau tidak benar namun telah menjadi hukum alami dalam data-data kehidupan sosial.
Kematian hanya perkara statistik. Bila saya tiba-tiba serangan jantung dan mati di perpus ini, itu sudah digariskan oleh kaidah normalitas data. Bila saya mati ditabrak truk tronton, lihat saja, data kematian akibat kecelakaan lalin akan terlihat normal. Keberhasilan anak buruh cuci untuk sekolah di Harvard, jadi Profesor, jadi Presiden, bahkan jadi alien pun sebenarnya hanya memenuhi kurva normal yaitu ekstrim kanan yang jumlahnya sangat sedikit. Saya dititik mana? Baik, tidak dititik mainstream tengah. Kalau tidak kiri sekali, pasti kanan sekali. Titik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar