Selasa, 29 September 2015

Adik Kecil Keponakanku



Puisi 29 September 2015
Adik Kecil Keponakanku

Namanya Andira. Dia sudah belajar siapa dirinya.
Dirinya adalah Andiyyyaa. Pengucapannya berat dan ragu.
Kalau spontan bilangnya Yayak, kadang Ayaya, bisa juga Yayayyayayay.
                Senjata andalannya nangis. Kalau rewel gitu pasti ada maunya.
                Ngeluhnya sambil minta gendong, “Tuti-tuti! Tuti-tuti.”
                Sambil nangis sering malah minta duduk di teras, “Tutututuutututututututupaaaaaaaa!”
                Kalau tidak, minta duduk depan TV, “Tutututuututupapipi. Tututuututututututupapipi.”
                Anehnya kalau ditetung Oma tidak pernah mau. Waktu bayi dulu padahal mau.
                Dalam kepasrahan dan tabularasa.
                Dalam kesucian tanpa noda, menganggap semua orang baik dan menyenangkan.

Kalau sedang jalan sama mamanya dan tiba-tiba lihat Oma dia berteriak, “Oma Oma Oma Oma!”
Inginnya tidak ditinggalkan baik oleh Tuti, Kung, Oma, dan Mama.
Tapi ya tidak bisa begitu.

                Kalau pergi mak mama mak Oma lantas beli sesuatu,
                Ayaya tahunya yang belikan Oma padahal mama.
                Gitupun masih belum mau digendong Oma.
                Kalau sama Oma aga aneh lah. Oma ga punya banyak waktu kaya Tuti sih.
                Lagian, kalau ma Tuti dah terlanjur nempel abis.
                Teknik ini akan jadi pendekatan konspiratif agar nanti mama bisa kerja cari wang.


Adik Kecil



Puisi 29 September 2015
Adik Kecil

Ayam menjadi amam.
Mbah kakung menjadi kung.
Mobil menjadi mobiu.
Om Damar menjadi oma.
Motor menjadi moto.
Baju princess menjadi jukpis.
                Semut-semut kecil diucapkan mokciiiillll.
                Si Komo diucapkan momo
                Duduk depan tutupa
                Duduk depan TV tutupapipi
Anehnya,
Kadang kalau minta gendong bilang tetung
Tapi lebih sering bilang tuti tuti.
                Jalan satu dua satu dua: tuwawa, tuwawa
                Belanja, ja!
                Minum teh, ninum tih.
                Biru, mi u.
                Hahahahhahahahhahaha.

Mengapa aku begini?



Puisi Reflektif 29 September 2015
Mengapa aku begini?

Pernah dulu saya mendengar lagu yang begitu. Kesannya memilukan.
Bila ku mati, kau juga mati.
Bila kau mati, inailahi.
Penyonyonya kalau tidak salah Krisdayani.
                Mengapa aku begini?
                Siapa yang dipersalahkan?
                Diteruskan oleh Junaedi adiknya Julkifli.
Hooooooo, yeah
Ending ini diucapkan saja oleh Julkarnaain yang lahir hari sen’ain.
                Oh Tuhaaaaaa,,,, mengapa aku begini?
                Sedangkan dia begitu.
                Jalan mereka lurus-lurus saja. Kaki mereka kuat. Hati mereka tabah.
                Kisahku Kau penuhi cobaan, tubuhku lemah, hatipun tak punya.
                 
Ah siapa tu yang bilang, kalau pada dasarnya perjalanan hidup manusia ditakdirkan mulia.
                Sekalipun hidup sebagai sampah masyarakat, pembunuh, pemerkosa, pemakai
                Itupun kehendak ilahi yang berujung mulia, seperti dia yang di sisi kananNya.
                Kalau ingat dia yang di sisi kananNya itu, mrembes mili.
                Ingin bilang, “Tuhan, meski aku bajingan, Kau tetap cinta aku kan ya?”
Bila tak ada cinta sehidup semati
Bila tak ada kerja tuk cari rejeki
Bila tak ada hasrat hidup lagi
                Mengapa aku begini?
                Gilak. Edian. Juancuok. Jingan tnan.
                “Sialan bener! Bjingan semua! Sekian puluh tahun kita!”

Mengorbit



Proisi 29 September 2015
Mengorbit

Setiap benda angkasa pasti mengorbit pada sesuatu lain yang memiliki massa lebih besar. Benda bermassa besar menyebabkan gravitasi yang memaksa setiap benda dalam radius tertentu mengorbit padanya. Kita lihat bulan, ia mengorbit pada bumi. Bumi, mengorbit pada matahari. Matahari, mengorbit pada pusat Bima Sakti. Bima Sakti juga tidak diam. Pergerakan misteriusnya seperti mengorbit pada entitas mahadahsyat. Orbit Bima Sakti itu akan memaksa Bima Sakti membentur Andromeda sekian miliar tahun dari sekarang. Bagaimana nasib tata surya matahari dan bumi kita ini? Kiamatkah?
Tidak kesana. Kiamat, nasib buruk, pasti dialami manusia bila tidak mengorbit sebagaimana mestinya. Aku, mengorbit pada Sesuatu Bermassa Besar. Orbitku lurus dalam lengkungan sempurnanya. Ini seperti roda lingkaran sempurna. Dengan melihat relativisme atas bawah, pointnya bukan seperti roda yang kada di atas dan kadang di bawah. Namun, seperti roda lingkaran sempurna itu, ia tak bisa diam. Kalau tidak mundur pasti maju. Kalau tidak berkembang pasti menyusut. Kosmos ini juga begitu. Kalau tidak membesar pasti mengecil sampai titik singularitas. Kalau tidak tambah kaya pasti tambah miskin. Kalau tidak tambah bodoh pasti tambah cerdas.
Hari ini aku diinspirasi oleh proyek Indovidgram. Orang-orang hebat berdedikasilah di belakang Indovidgram tersebut. Saya suka kehidupan kerja mereka yang inspiratif. Tentu akan banyak orang yang ngebet jadi artis akan mengikuti orbit mereka. Hah? Mungkinkah orbit Bumi misalnya, dilalui oleh planet lain juga. Kalaupun bisa, planet lain itu pasti memiliki variasi massa yang berbeda dengan Bumi sehingga kecepatan revolusinyapun akan berbeda. Maka, planet lain itu pasti akan hancur karna berbenturan dengan Bumi. Bumipun akan ikut hancur. Maka dari pada itu sistem seperti ini tidak diijinkan oleh kaidah hukum alam kosmos. Bila suatu benda ingin mengorbit pada matahari misalnya, ia tidak boleh dan memang tidak bisa memposisikan diri seperti Bumi. Ia harus mencari orbitnya sendiri dengan mengatur massa atau gravitasinya. Katakanlah seperti Sedna, meski amat jauh namun ia otentik. Ia bahkan mirip komet yang fantastis itu. Tapi bentuknya bulat, mungkin lunak kalau diinjak. Mungkin ia tersusun dari gas dan uap panas, mungkin ada kehidupan di sana. Batu-batu yang saling bicara dalam dunia ruh batu. Mereka menyangka hanya di Sedna sajalah ada kehidupan. Mereka menganggap manusia Bumi tak lebih dari seonggok benda-benda melayang terbawa angin.
Mengorbit ayo mengorbit. Kan selalu ada lintasan kosong yang belum dilalui benda lain. Selalu ada kesempatan mengada, tinggal bagaimana mengatur massa dan gravitasinya itu tadi.

Senin, 28 September 2015

Pesta Malam



Puisi 28 September 2015
Pesta Malam
Seminggu ini kosanku akan kosong terus.
Pemilik sedang ke luar negri.
Teman-teman sedang pulang kampung.
Aku memilih tinggal dalam kesendirian untuk berpesta.
                Pesta malam ini cukup dengan Ginav.
                Kami sudah menyiapkan parti paling menyenangkan.
                Ginav membawa kue-kue bakar sedang aku membuat jus.
                Minum jus sambil makan kue bakar betapa enaknya.
Tak ada yang lain kecuali jus anggur hijau.
Air jus tak lagi hijau tapi putih kental.
Manis rasanya buat kami lupa diri.
Jus belum beralkohol ini memabukkan juga.
                Kue bakar Ginav ludes kami makan bersama.
                Perut sudah kenyang.
                Acara TV sudah habis.
                Enaknya ngapain?
Nonton video-video di internet.
Kami bukai situs-situs menyenangkan.
Video penghiburan dan inspirasional.
Ginav gilak, Ginav gila. Gila Ginav.
                Hari semakin malam, kami ngantuk.
                Ginav tidur lebih dulu.
                Aku pura-pura tidur.
                Aku ingin menikmati pemandangan Ginav kalau sedang tidur.
Ginav memang cantik kalau lagi tidur.
Posisinya kadang miring, kadang telentang, kadang tengkurap.
Kakinya kadang menutup rapat, kadang terbuka lebar.
Tangannya kadang memeluk guling, kadang memelukku yang ia sangka guling.
                Jalannya gelap malam hari tak lagi terkendali.
                Langit makin mendung, hujan deras pula, listrik mati. Malam ini makin sempurna.