Essay 22 September 2015
Konsep
Ketuhanan
Refleksi atas pembacaan Konsep
Ketuhanan dalam Manusia Menjadi Tuhan (Fromm, 2011).
Sampai di sini saya dapat percaya
dan menerima sepenuhnya apa yang diajarkan oleh Erich Fromm dalam bukunya yang
luar biasa ini. Nampaknya Karen Armstrong juga telah membaca tulisan Fromm ini.
Terdapat satu konsensus mengenai konsep ketuhanan dalam dua penulis besar di
atas. Jujur saja, saya sangat senang. Dengan ini keyakinan filosofis spiritual
saya jadi makin kuat.
Tuhan atau ketuhanan nanti perlu
dibedakan. Sementara untuk saat ini kita samakan dulu dua konsep itu menjadi
sebuah konsep manusia tentang sosok Tuhan atau permasalahan ketuhanan.
Bahwasanya tiap manusia memiliki konsepnya sendiri-sendiri tentang bagaimana
memandang Tuhan atau berketuhanan. Terma ‘memandang’ juga perlu diperhatikan.
Terma ini perlu dipertimbangkan untuk disejajarkan dengan istilah lain misalnya
persepsi. Pada intinya sampai di sini perlu kita pertimbangkan bersama
bahwasanya secara filosofis atau teologis, Tuhan Abraham berbeda dengan Tuhan
Daud, berbeda dengan Tuhan Salomo, berbeda dengan Tuhan Yeremia, berbeda dengan
Tuhan Perjanjian Baru, dan tentu berbeda dengan Tuhan Kristiani maupun Tuhan
Yahudi pada saat ini (Fromm, 2011; Armstrong, 2015).
Lantas apakah itu Tuhan? Untuk saat
ini musti kita lepaskan dulu paradigma antropomorfisme Tuhan maupun sudut
pandang-sudut pandang lain untuk melihat Tuhan. Armstrong (2015) dalam Sejarah Tuhan menggunakan terminologi
‘oknum’ yang notabene cukup netral untuk mengklasifikasikan Tuhan. Sampai di
sini saya ingin menekankan ajakan untuk bertuhan atau berketuhanan secara lebih
terbuka. Belenggu eksklusifitas maupun fanatisme harus dijauhkan demi menemukan
‘Tuhan Yang Sebenarnya’. Apa lagi itu?
Inilah tujuan essay singkat saya
kali ini. Membuka diri dan jadi makin humanis, kiranya adalah ciri paling
fundamental dalam berketuhanan atau beragama. Armstrong (2013) menggunakan term
belas kasih. Berketuhanan, berspiritualitas, beragama, atau secara umum
berteologi senantiasa perlu untuk menjunjung belas kasih. Apalah artinya hidup
manusia tanpa belas kasih? Kecuali manusia dapat hidup seorang diri dalam suatu
planet misterius, belas kasih akan jadi hasrat alamiah hidup manusia. Apa lagi
ini? Bagaimana bisa? Ending ini justru saya pelajari dari pembacaan Selimut Debu yang baru saja selesai
(Wibowo, 2011).
Kepustakaan (bacalah secara lengkap untuk mendapatkan
pemahaman seperti saya)
Armstrong, K. (2013). Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih. Bandung: Mizan.
Armstrong, K. (2015). Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
Fromm, E. (2011). Manusia
Menjadi Tuhan. Yogyakarta: Jalasutra.
Wibowo, A. (2011). Selimut Debu. Jakarta: Kompas Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar