Jumat, 25 September 2015

Konsep Ketuhanan

Essay 22 September 2015
Konsep Ketuhanan
Refleksi atas pembacaan Konsep Ketuhanan dalam Manusia Menjadi Tuhan (Fromm, 2011).
Sampai di sini saya dapat percaya dan menerima sepenuhnya apa yang diajarkan oleh Erich Fromm dalam bukunya yang luar biasa ini. Nampaknya Karen Armstrong juga telah membaca tulisan Fromm ini. Terdapat satu konsensus mengenai konsep ketuhanan dalam dua penulis besar di atas. Jujur saja, saya sangat senang. Dengan ini keyakinan filosofis spiritual saya jadi makin kuat.
Tuhan atau ketuhanan nanti perlu dibedakan. Sementara untuk saat ini kita samakan dulu dua konsep itu menjadi sebuah konsep manusia tentang sosok Tuhan atau permasalahan ketuhanan. Bahwasanya tiap manusia memiliki konsepnya sendiri-sendiri tentang bagaimana memandang Tuhan atau berketuhanan. Terma ‘memandang’ juga perlu diperhatikan. Terma ini perlu dipertimbangkan untuk disejajarkan dengan istilah lain misalnya persepsi. Pada intinya sampai di sini perlu kita pertimbangkan bersama bahwasanya secara filosofis atau teologis, Tuhan Abraham berbeda dengan Tuhan Daud, berbeda dengan Tuhan Salomo, berbeda dengan Tuhan Yeremia, berbeda dengan Tuhan Perjanjian Baru, dan tentu berbeda dengan Tuhan Kristiani maupun Tuhan Yahudi pada saat ini (Fromm, 2011; Armstrong, 2015).
Lantas apakah itu Tuhan? Untuk saat ini musti kita lepaskan dulu paradigma antropomorfisme Tuhan maupun sudut pandang-sudut pandang lain untuk melihat Tuhan. Armstrong (2015) dalam Sejarah Tuhan menggunakan terminologi ‘oknum’ yang notabene cukup netral untuk mengklasifikasikan Tuhan. Sampai di sini saya ingin menekankan ajakan untuk bertuhan atau berketuhanan secara lebih terbuka. Belenggu eksklusifitas maupun fanatisme harus dijauhkan demi menemukan ‘Tuhan Yang Sebenarnya’. Apa lagi itu?
Inilah tujuan essay singkat saya kali ini. Membuka diri dan jadi makin humanis, kiranya adalah ciri paling fundamental dalam berketuhanan atau beragama. Armstrong (2013) menggunakan term belas kasih. Berketuhanan, berspiritualitas, beragama, atau secara umum berteologi senantiasa perlu untuk menjunjung belas kasih. Apalah artinya hidup manusia tanpa belas kasih? Kecuali manusia dapat hidup seorang diri dalam suatu planet misterius, belas kasih akan jadi hasrat alamiah hidup manusia. Apa lagi ini? Bagaimana bisa? Ending ini justru saya pelajari dari pembacaan Selimut Debu yang baru saja selesai (Wibowo, 2011).



Kepustakaan (bacalah secara lengkap untuk mendapatkan pemahaman seperti saya)
Armstrong, K. (2013). Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih. Bandung: Mizan.
Armstrong, K. (2015). Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
Fromm, E. (2011). Manusia Menjadi Tuhan. Yogyakarta: Jalasutra.
Wibowo, A. (2011). Selimut Debu. Jakarta: Kompas Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar