Essay
Pengantar Revisi Proposal 4 September 2015
Narasi
Penghayatan Spiritualitas dan Kecenderungan Neurotisisme Spiritual
Studi klinis tentang
neurotisisme spiritual (teoritik) yang selama ini dilakukan peneliti
menunjukkan bahwa penghayatan manusia atas iman memiliki tendensi untuk
menyebabkan gangguan psikologis tertentu. Gangguan psikologis tersebut ada
dalam taraf kontinum neurotisisme psikoanalisis freudian yang tentu saja tidak
sejalan dengan paradigma DSM-5 yang diskretis. Gangguan psikologis taraf
kontinum merupakan kegelisahan pribadi peneliti yang nampak mirip dengan
kegelisahan Freud, Sam Harris, dll. Inilah pijakan awal peneliti yaitu
bahwasanya peneliti memiliki asumsi filosofis yang menekankan tentang kerawanan
praksis religi pada kesehatan psikologis asadar.
Secara teoritik, semua
manusia pastilah memiliki neurotisisme pada taraf kontinum tertentu.
Neurotisisme tidak harus terjadi dalam hal gangguan psikologis besar
sebagaimana termaktub dalam DSM-5 namun juga dapat mengada dalam kehidupan sehari-hari
secara tak sadar (lihat Psikolopatologi dalam Kehidupan Sehari-hari dalam
Freud, 2005). Kajian psikologi abnormal dalam hal ini bersesuaian dengan
lanjutan asumsi filosofis peneliti yaitu bahwasanya gangguan psikologis
sehari-hari (non DSM-5) sebenarnya memiliki dampak yang lebih mengkhawatirkan
dari pada gangguan psikologis besar yang didasarkan atas diagnosis DSM-5.
Gangguan psikologis
sehari-hari seringkali tidak disadari keberadaannya. Jauh tidak disadari lagi
bahwasanya ganggaun tersebut sebenarnya memiliki dampak nyata yang destruktif
dalam hidup seseorang. Kesalahan mengingat nama orang, kesalahan dalam
berbicara, salah membaca, salah menulis, salah tindakan, dan lain-lain
sebenarnya memproyeksikan satu gangguan psikologis yang lebih besar (disarikan
dari Freud, 2005). Memang, tidak dapat dipungkiri, beberapa hal yang dianggap
gangguan oleh kacamata psikologi mungkin dianggap wajar oleh kaca mata disiplin
ilmu yang lain.
Singkat kata bagi
peneliti spiritualitas memiliki tendensi gangguan psikologis apabila orang
kemudian lepas dari realitas, tercerabut dari akar masyarakat sehingga
spiritualitas malah merugikan diri sendiri atau pihak lain. Inilah yang terjadi
pada responden 1, contoh dampak penghayatan spiritualitas yang destruktif, hal
bertolak belakang dengan konstruktivisme penghayatan spiritualitas responden
2.
Rujukan lebih lanjut:
1.
Freud, S. (2005). Psikopatologi Dalam Kehidupan Sehari-hari. Pasuruan: Penerbit
Pedati. Disarankan membaca versi bahasa Inggris karena terjemahan ini kurang
baik.
2.
Damasio, A. Memahami Otak Manusia.
3.
Arsmtrong, K. (2013). 12 Langkah Menuju
Kehidupan Berbelas Kasih. Bandung: Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar