Senin, 14 September 2015

Pendidikan, Kegilaan, Biarawati , Pengobatan, Biaya, Perang, Tikus



Puisi Mimpi 8 September 2015

Pendidikan, Kegilaan, Biarawati , Pengobatan, Biaya, Perang, Tikus

Awalnya ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang doktor yang gagal menjadi profesor. Keluarganya pasti dari kalangan berada. Entahlah, dia tidak menjawab ketika ditanya namanya.
Tadi kulihat, ia jadi gila. Diagnosis gangguan mental anak itu belum dapat ditegakkan.
Ketika aku sedang melakukan entah apa di teras suatu rumah, ia tiba-tiba datang dari arah barat. Lantas ia mandi di kubangan air nan jernih di area depan rumah misterius itu. Air di sana sebelumnya kugunakan untuk minum. Aduh, agak jijik jadinya. Jangan-jangan ia sering mandi di air nan jernih itu.
Rambutnya kumal, pakaiannya compang camping, jambangnya tak terurus. Ia kelihatan puluhan tahun lebih tua. Setelah mandi, ia bak dewa turun dari langit. Seperti seorang biksu muda yang bercahaya. Tampan, bersih, cenderung gundul, dan yang jelas raut mukanya seperti anak autis. Linglung.
Dalam kegilaan sang anak meracau dan omong ala kadarnya. Aku mencoba menangani. Ilmu psikologiku ingin terpakai juga nampaknya. Ternyata ia masih bisa kontak dengan kami! Kontaknya dengan realitas masih ada. Lantas aku bilang, “Kalau masih bisa diajak bicara seperti ini asal ada orang yang senantiasa memperhatikan dan mengajak bicara, lambat laun ia pasti akan sembuh sendiri!” Aku sedikit emosi.
Seorang laki-laki menuju paruh baya menghampiriku untuk bergabung dalam perbincangan. Mungkin ia telah ada di sana selama ini, entahlah. Ia mengkonfirmasi kebenaran paparan-paparan anak muda itu. Nampaknya laki-laki itu tahu banyak tentang sang anak. Ia juga menjelaskan latar belakang kehidupan sang anak. Begitulah aku jadi tahu lebih banyak tentang anak itu. Kasihan.
Aku ingin kehadiranku dalam setuasi atau kegiatan itu membawa manfaat praktis. Aku mengusulkan supaya anak itu direhabilitasi alias disembuhkan. Rumah tadi ternyata sebuah biara biarawati ordo tertentu yang bersedia atau memang menampung orang dengan gangguan mental. Lantas di sanalah aku mau anak itu dirawat.
Akhirnya anak itu dicek kondisinya entah oleh siapa. Ia akan dirawat dengan baik bukan tanpa biaya. Sang suster kemudian memberikan rincian biaya. Organisasi peduli dan aku bersedia untuk patungan demi menanggung biaya pengobatan sang anak. Nampaknya tepat bila kini namanya adalah Bodhi, seorang anak laki-laki yang berusia belum lebih dari 20 tahun. Mungkin 22.
Aku akan pergi dan ia mungkin akan tinggal. Bodhi sepertinya tidak ingin kutinggalkan. Aku meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Sambil memeluknya, kuucapkan kata-kata perpisahan sedang wajah sedihnya tetap konsisten. Wajahnya mungkin memang begitu, iya memang begitu. Mungkin ia tidak sedang sedih, ia memang begitu.
Aku lantas pergi dari situasi dan kondisi itu. Aku meloncat ke dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Nampaknya di atas sebuah gunung atau bukit nan hijau. Sedang ada perang!!!!!!
Aku adalah seorang prajurit.
Seorang teman mengajakku untuk liburan Musim Semi di tengah perang sedang berkecamuk. Aku sempat ragu. Mengapa malah liburan sedang perang terus terjadi. Tapi ia memaksa. Sangat memaksa hingga aku tak bisa mengelak.
“Bagaimana dengan tikus kesayangan bila kita liburan?”
Temanku menjawab, “Biarkan saja. Ia akan hidup baik di hutan ini!”
Nampaknya ia memang benci dengan tikus kesayanganku.
Diam-diam aku telah masukkan tikus kesayanganku ke dalam ransel. Nampaknya tadi ia masuk sendiri tanpa kuperintah. Ia memang sudah lengket padaku. Lantas kami turun gunung untuk liburan.
Ah, rasa-rasanya Bodhi menjelma dalam tikus kesayanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar