Puisi Mimpi 8 September 2015
Pendidikan,
Kegilaan, Biarawati , Pengobatan, Biaya, Perang, Tikus
Awalnya ia adalah anak kedua dari
tiga bersaudara. Ayahnya seorang doktor yang gagal menjadi profesor.
Keluarganya pasti dari kalangan berada. Entahlah, dia tidak menjawab ketika
ditanya namanya.
Tadi kulihat, ia jadi gila.
Diagnosis gangguan mental anak itu belum dapat ditegakkan.
Ketika aku sedang melakukan entah
apa di teras suatu rumah, ia tiba-tiba datang dari arah barat. Lantas ia mandi
di kubangan air nan jernih di area depan rumah misterius itu. Air di sana
sebelumnya kugunakan untuk minum. Aduh, agak jijik jadinya. Jangan-jangan ia
sering mandi di air nan jernih itu.
Rambutnya kumal, pakaiannya compang
camping, jambangnya tak terurus. Ia kelihatan puluhan tahun lebih tua. Setelah
mandi, ia bak dewa turun dari langit. Seperti seorang biksu muda yang
bercahaya. Tampan, bersih, cenderung gundul, dan yang jelas raut mukanya
seperti anak autis. Linglung.
Dalam kegilaan sang anak meracau dan
omong ala kadarnya. Aku mencoba menangani. Ilmu psikologiku ingin terpakai juga
nampaknya. Ternyata ia masih bisa kontak dengan kami! Kontaknya dengan realitas
masih ada. Lantas aku bilang, “Kalau masih bisa diajak bicara seperti ini asal
ada orang yang senantiasa memperhatikan dan mengajak bicara, lambat laun ia
pasti akan sembuh sendiri!” Aku sedikit emosi.
Seorang laki-laki menuju paruh baya
menghampiriku untuk bergabung dalam perbincangan. Mungkin ia telah ada di sana
selama ini, entahlah. Ia mengkonfirmasi kebenaran paparan-paparan anak muda
itu. Nampaknya laki-laki itu tahu banyak tentang sang anak. Ia juga menjelaskan
latar belakang kehidupan sang anak. Begitulah aku jadi tahu lebih banyak
tentang anak itu. Kasihan.
Aku ingin kehadiranku dalam setuasi
atau kegiatan itu membawa manfaat praktis. Aku mengusulkan supaya anak itu
direhabilitasi alias disembuhkan. Rumah tadi ternyata sebuah biara biarawati
ordo tertentu yang bersedia atau memang menampung orang dengan gangguan mental.
Lantas di sanalah aku mau anak itu dirawat.
Akhirnya anak itu dicek kondisinya
entah oleh siapa. Ia akan dirawat dengan baik bukan tanpa biaya. Sang suster
kemudian memberikan rincian biaya. Organisasi peduli dan aku bersedia untuk
patungan demi menanggung biaya pengobatan sang anak. Nampaknya tepat bila kini
namanya adalah Bodhi, seorang anak laki-laki yang berusia belum lebih dari 20
tahun. Mungkin 22.
Aku akan pergi dan ia mungkin akan
tinggal. Bodhi sepertinya tidak ingin kutinggalkan. Aku meyakinkannya bahwa
semua akan baik-baik saja. Sambil memeluknya, kuucapkan kata-kata perpisahan
sedang wajah sedihnya tetap konsisten. Wajahnya mungkin memang begitu, iya
memang begitu. Mungkin ia tidak sedang sedih, ia memang begitu.
Aku lantas pergi dari situasi dan
kondisi itu. Aku meloncat ke dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Nampaknya
di atas sebuah gunung atau bukit nan hijau. Sedang ada perang!!!!!!
Aku adalah seorang prajurit.
Seorang teman mengajakku untuk liburan
Musim Semi di tengah perang sedang berkecamuk. Aku sempat ragu. Mengapa malah liburan
sedang perang terus terjadi. Tapi ia memaksa. Sangat memaksa hingga aku tak
bisa mengelak.
“Bagaimana dengan tikus kesayangan
bila kita liburan?”
Temanku menjawab, “Biarkan saja. Ia
akan hidup baik di hutan ini!”
Nampaknya ia memang benci dengan tikus
kesayanganku.
Diam-diam aku telah masukkan tikus
kesayanganku ke dalam ransel. Nampaknya tadi ia masuk sendiri tanpa kuperintah.
Ia memang sudah lengket padaku. Lantas kami turun gunung untuk liburan.
Ah, rasa-rasanya Bodhi menjelma
dalam tikus kesayanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar