Jumat, 25 September 2015

Tuhan Yahudi: Pembebasan Manusia dari Penyembahan Berhala



Essay 23 September 2015
Tuhan Yahudi: Pembebasan Manusia dari Penyembahan Berhala
Refleksi atas pembacaan ‘Manusia Menjadi Tuhan’ karya Erich Fromm (2011)

Konsep ketuhanan Yahudi ingin membebaskan manusia dari kecenderungannya menyembah berhala. Fromm (2011) mengambil contoh dari kitab Yesaya 44: 12-19. Nats ini menggambarkan tabiat manusia yang senang memuja dan menyembah hasil karya tangannya. Manusia membuat patung lalu disembah. Manusia membua gambar lalu disembah. Manusia membuat karya seni lalu disembah. Saya tidak yakin kalau gambaran puitik tersebut memiliki makna historis materiil. Paparan kitab Yesaya 44: 12-19 tersebut lebih terasa simbolis.
Penyembahan berhala masyarakat arkais waktu itu pada hakekatnya sama dengan penyembahan berhala masyarakat modern saat ini (yang mana 1000 tahun lagi juga akan dianggap arkais). Orang saat ini misalnya, kalau sudah memiliki gadget lalu lupa untuk sembahyang. Inilah penyembahan berhala. Inilah penyembahan kepada alat elektronik, internet, teknologi, dan benda-benda serumpunnya. Nah, konsep ketuhanan semitik ingin membebaskan manusia dari belenggu ‘berhala’ seperti ini.
Mari sekarang kita perhatikan terma ‘bebas’. Konsep bebas nampak relevan dengan teorema kebebasan Ignatius Loyola, Budhisme, bahkan Freud. Inti dari kebebasan adalah terlepasnya manusia dari belenggu dorongan motif asadar yang sering (atau hampir selalu) membuat manusia berperilaku di luar kesadaran. Perilaku di luar kesadaran seperti inilah yang relevan dengan penyembahan berhala. Konsep ketuhanan semitik ingin mengajak manusia untuk selalu sadar atas dorongan atau motif berperilaku. Dengan ini manusia akan benar-benar bebas.
Sedikit contoh: mengapa anda memakai kaos dan bukan daster? Mengapa anda memilih kaos warna merah dan bukan warna putih? Sadarkah anda akan motif perilaku memilih semacam ini? Sadarkan mengapa anda duduk atau berdiri dalam posisi demikian? Nah, kalau untuk motif perilaku sederhana saja tidak sadar sepenuhnya, bagaimana dengan motif perilaku yang lebih kompleks misalnya keputusan untuk menikah? Contoh-contoh ini memang terlalu ekstrem. Contoh ini pada intinya ingin mengungkapkan betapa manusia ‘tidak bebas’ karena perilakunya senantiasa didorong oleh belenggu ketidaksadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar