Essay 23 September 2015
Tuhan
Yahudi: Pembebasan Manusia dari Penyembahan Berhala
Refleksi atas pembacaan ‘Manusia
Menjadi Tuhan’ karya Erich Fromm (2011)
Konsep ketuhanan Yahudi ingin
membebaskan manusia dari kecenderungannya menyembah berhala. Fromm (2011)
mengambil contoh dari kitab Yesaya 44: 12-19. Nats ini menggambarkan tabiat
manusia yang senang memuja dan menyembah hasil karya tangannya. Manusia membuat
patung lalu disembah. Manusia membua gambar lalu disembah. Manusia membuat
karya seni lalu disembah. Saya tidak yakin kalau gambaran puitik tersebut
memiliki makna historis materiil. Paparan kitab Yesaya 44: 12-19 tersebut lebih
terasa simbolis.
Penyembahan berhala masyarakat
arkais waktu itu pada hakekatnya sama dengan penyembahan berhala masyarakat
modern saat ini (yang mana 1000 tahun lagi juga akan dianggap arkais). Orang
saat ini misalnya, kalau sudah memiliki gadget lalu lupa untuk sembahyang.
Inilah penyembahan berhala. Inilah penyembahan kepada alat elektronik,
internet, teknologi, dan benda-benda serumpunnya. Nah, konsep ketuhanan semitik
ingin membebaskan manusia dari belenggu ‘berhala’ seperti ini.
Mari sekarang kita perhatikan terma
‘bebas’. Konsep bebas nampak relevan dengan teorema kebebasan Ignatius Loyola,
Budhisme, bahkan Freud. Inti dari kebebasan adalah terlepasnya manusia dari
belenggu dorongan motif asadar yang sering (atau hampir selalu) membuat manusia
berperilaku di luar kesadaran. Perilaku di luar kesadaran seperti inilah yang
relevan dengan penyembahan berhala. Konsep
ketuhanan semitik ingin mengajak manusia untuk selalu sadar atas dorongan atau
motif berperilaku. Dengan ini manusia akan benar-benar bebas.
Sedikit contoh: mengapa anda memakai
kaos dan bukan daster? Mengapa anda memilih kaos warna merah dan bukan warna
putih? Sadarkah anda akan motif perilaku memilih semacam ini? Sadarkan mengapa
anda duduk atau berdiri dalam posisi demikian? Nah, kalau untuk motif perilaku
sederhana saja tidak sadar sepenuhnya, bagaimana dengan motif perilaku yang
lebih kompleks misalnya keputusan untuk menikah? Contoh-contoh ini memang
terlalu ekstrem. Contoh ini pada intinya ingin mengungkapkan betapa manusia
‘tidak bebas’ karena perilakunya senantiasa didorong oleh belenggu
ketidaksadaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar