Senin, 28 September 2015

Point untuk Diingat



Essay 28 September 2015
Point untuk Diingat
Surat essay ini bukan untuk dimuat karena jauh dari standar kepenulisan Kompas. Surat essay ini saya harap dapat diteruskan untuk sdr. Nur Hidayat. Kalau boleh, saya juga meminta alamat email sdr. Nur Hidayat untuk berkorespondensi secara lebih pribadi. Tulisan ini adalah media pembelajaran saya dengan cara selalu menanggapi tulisan-tulisan di koran yang secara khusus dalam hal ini adalah Kompas. Saya tidak ingin tulisan semacam ini diterbitkan karena tujuan sebenarnya adalah untuk memberi masukan konstruktif kepada perkembangan jurnalisme di Indonesia. Semoga dengan ini saya dapat memberikan dampak baik bagi jurnalisme Indonesia. Salam dari saya, masyarakat pembaca budiman.
Saya senang dengan kolom Film di kompas Minggu, 27 September 2015 yang mengangkat judul Mitos Perempuan di Tubuh Laki-laki. Film ini nampaknya cukup berani untuk mengangkat topik sensitif. Film Indonesia ini mencoba mengorbitkan tema psikologis meski di sini saya menduga kuat adanya reduksi kajian teori.
Tulisan jurnalistik Nur Hidayat ini mampu menggambarkan film 3 Dara dengan baik. Maksud saya baik adalah mampu memberi proyeksi pada keseluruhan penyampaian makna melalui film baru ini. Kembali kepada reduksi kajian teori. Beberapa titik epifani dalam film ini pasti mengalami kekurangcermatan kajian teori psikologis misalnya tentang jender maupun perubahan perilaku. Akhirnya seperti film Arisan yang dibungkus dengan maksud komedi. Saya kok merasa bahwa motif komedi adalah strategi untuk menutupi kelemahan kajian teori.
Singkat kata laporan jurnalistik Nur Hidayat ini sudah memberi keyakinan pada saya bahwa film 3 Dara tidak jeli dalam risetnya. Riset pra filming pasti tidak mendalam sehingga terjadi skenario teatrikal menyanjung di tengah maksud surealis adegan-adegan.
Bagi saya tidak ada jalan tengah dalam hal seni peran. Surealis ya surealis sedang teatrikal ya teatrikal. Film teatrikal misalnya Missio Impossible. Film surealis misalnya The Persuit of Happiness. Bagi saya tidak ada pencampuran akidah antara dua ekstrem pendekatan seni peran ini.
In Summary, tulisan jurnalistik Nur Hidayat ini telah meyakinkan saya untuk tidak menonton film 3 Dara. Mengapa sih mengapa? Apa yang sebenarnya saya maksud? Semoga saya bisa menyajikan presentasi dengan lebih baik dalam postingan yang lain ya.
Point untuk diingat: Surealis VS Teatrikal, riset pra filming, dan kajian teori.
Sekali lagi maaf, ini curcol: “Dilihat dari daftar pemainnya saja saya sudah skeptis bahwa film ini akan sangat baik. Tapi ini tidak fair. Pointnya bukan pada siapa pemainnya. Saya sudah menuliskan tiga point penting untuk diingat hari ini.”
Trimakasih. Maju terus insan perfilman Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar