Essay 7 September 2015
Inovasi
Budaya Bupati Purwakarta
Kebijakan pak Dedi Mulyadi sungguh
kukagumi. Suaranya benar-benar cerminan hati nurani masyarakat Purwakarta
(lihat Kompas Senin 7 September 2015 halaman 22). Bila dikaitkan dengan tulisan
saya yang lalu tentang budaya pedesaan yang cukup pesimistik, sekarang tidak
lagi. Sederhana sajalah, budaya pedesaat telah menjadi pilihan yang bersifat mau tidak mau.
Saya jadi ingat tentang filsafat mungkret yang pernah diajarkan Ki Ageng
Suryomentaram. Keabadian filsafat tersebut masih terasa kebenarannya sampai
saat ini. Memang iya, kalau tidak bisa mewujudkan mimpi besar dan bisanya
mewujudkan mimpi yang kecil, ya sudah. Keinginan besar akan tergerus oleh
ketidakberdayaan sehingga cita-cita menyusut (mungkret), baiklah tidak papa, aku
rapopo.
Nah sekarang tinggal bagaimana untuk
melihat sisi positif budaya pedesaan itu. Usaha ini saya ibaratkan seperti
melihat keindahan bintang-bintang di langit gelap malam 1 Sura yang kebetulan
juga malam Jumat Kliwon. Di tengah kegelapan yang paling pekat selalu ada
cahaya yang menyilaukan. Cahaya tersebut seakan datang dari kemahakuasaan
Tuhan, silaunya membutakan pandanganku.
Budaya pedesaanku membawa cahya dunia
hingga pandangan seluruh bumi berpaling pada Sleman. Sleman, dari apa sampai di
mana. Dari di mana sampai kapan. Sleman, dari desa terpencil menyedihkan sampai
international village, why not?
Inovasi budaya juga untuk Kabupaten
Sleman. Aku tidak perlu menunggu sosok bupati seperti pak Dedi Mulyadi.
Rasa-rasanya impossible dah. Mungkret lagi.
Mendingan memang kerjain sendiri apa yang bisa dikerjain. Selalu terngingan sih
pernyataan bodoh tapi benar juga itu, “Kerja, kerja, kerja, kerja!” Sepertinya
koplak bin pekok deh, lha wong ga ada lapangan kerja kok suruh kerja. Ya udah,
ambil benarnya saja. Apa yang bisa kukerjakan kerjakan saja. Mboh hasile piye,
pokoke bismillah.
Budaya pedesaan, aku bisanya bertani
ya bertani saja, tidak usah ke kota. Budaya pedesaan, biarkan orang lain
urbanisasi dan bermigrasi entah ke mana, aku di sini saja, rapopo. Budaya pedesaan je! Isaku ngene je! Arep piye meneh?! Yo
wis trimo wae to!
Trimakasih, trimakasih, dan
trimakasih. Isi hati yang tak terungkap semoga terbaca dalam uraian di atas.
Salam ndeleming.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar