Refleksi 9 September 2015
Menjadi
Generasi Pasca Internet, Kegelisahan HD. Wiyono.
Apa yang sebenarnya aku inginkan?
Mengapa hati lekas bosan dengan suatu perubahan progresif sekalipun? Tiap
usahan keras yang kulakukan semata-mata bertujuan agar cepat move on. Tanpa
menunggu kesangsian pihak lain, aku sangsi duluan dengan masa depanku. Maafkan
aku Tuhan, mau jadi apakah aku ini kelak?
Generasiku sudah berbasis dunia
maya. Barangsiapa tidak mengikuti benar-benar akan tertinggal jauh. Sebentar,
pointnya bukan disana! Pointnya bagi saya lebih pada uang. Generasi adaptif
sesuai zaman ini adalah bila mereka dapat memperoleh penghasilan dari dunia
maya.
Sedikit angin segar bagiku. Hari ini
koran Kompas mengangkat sub tema tentang dunia puisi nusantara. Kematin minggu
ada yang tentang sastra etnik. Bagi saya ini adalah momentum bagi penulis untuk
mencoba peruntungannya. Tidak! Tidak ada coba-coba! Lakukan atau tidak sama
sekali!
Akulah sang generasi pasca internet
yang gemar membaca dan menulis. Pembaca dan penulis akan makin ulung juga ia
bila tekun melakukan panggilan legendaris dari Tuhan itu. Pembacaan dan
tulisannya akan makin berkualitas sendiri. Aku, mengapa tidak?
Nah, lanjutkan! Internet memberikan
jalan dan kemungkinan. Selanjutnya masih seperti semak belukar yang harus
kubabat sendiri. Lakukan! Lanjutkan! Lakukan! Lanjutkan! Lakukan! Kita semua
juga bisa! Bila ada dedikasi. Remember his words: “People don’t have taste.
Taste is very rare.”
If you have taste, you will do
anything you want. I promise.
So, that’s all that I can to do:
read, write, record, upload, criticize. Still why not! Go on!
Gelisah? Oh tidak, oh iya. Kata
‘gelisah’ adalah daya dorong bagi manusia yang ingin mewujudkan legenda
pribadinya. What I have to do is my kegelisahan.
Gelisah.
Gelisah.
Geli,,, tidak usahlah,,,, gelisah.
Gelis,,, cantik,,,,cepat
Cantik ah, cepat ah, cepat untuk
cantik
Gelisah.
Ayo gelisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar