Refleksi 22 September 2015
Kegelisahan
Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan sedang gelisah. Ia merenung saja
tiap hari tanpa berbuat sesuatu. Pikirannya sedang getol seperti kesendirian
Mister Logos yang sering dipatungkan dalam posisi berpikir itu. Saking sibuknya
berpikir, ia lupa mengenakan pakaian. Ssst, kemaluannya dicaplok kucing cantik
peliharaan Artemisia.
Sistem pendidikan senang dipanggil Logos, biar
seperti pendahulunya. Logos sekarang tidak seperti nenek moyangnya. Ia sering
merasa gagal. Tak dapat lagi ia mendidik anak bangsa. Kasihan anak-anak ini,
tidak bisa jadi ‘orang’.
Alkisah ada satu anak yang berhasil menyandang
predikat ‘berpendidikan’. Ia tidak minta bantuan Logos. Anak tersebut belajar
sendiri di perpustakaannya yang membanggakan. Perpustakaan super lengkap dan
super cepat dalam mengabulkan usulan koleksi.
Secara umum anak sekolahan atau kuliahan membayar
biaya untuk bisa ‘menuntut ilmu’. Ungkapan ‘menuntut ilmu’ sungguh amat
menjijikkan. Tidak relevan dengan biaya yang telah dibayarkan. Bila toh tidak
membayar biaya pendidikan, kegiatan menuntut ilmu bisa saja dilakukan secara
mandiri di perpustakaan. Bedanya, yang membayar bisa dapat ijazah alias
keabsahan, syarat seseorang dikatakan sebagai orang. Mereka yang belajar
mandiri bisa jadi lebih pandai namun tidak dihargai karena tidak memiliki
keabsahan itu.
Logos jadi tambah sedih, “Mengapa teman-temanku di
luar negri lebih berhasil untuk mencerdaskan dan mendidik? Ah apa iya? Faktor
apa sebenarnya yang menyebabkan seorang anak berhasil atau gagal untuk mengejar
pendidikan? Pendidikan, oh pendidikan, aku ingin menyelamimu lebih dalam lagi.”
Logos akhirnya berguru kembali. Ia merendahkan diri
untuk datang pada J. Sumardianta dan ST. Kartono, “Ajarilah aku pendidikan! Tak
kutemui orang lain yang cukup konsen untuk mendidik anak bangsa.” Sebenarnya
ada yang lain tapi terlalu jauh di mata.
Akhirnya Logos meninjau kembali keyakinan
filosofisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar