Senin, 14 September 2015

Melihat Pada Diri Sendiri: Budaya Pedesaan VS Realita Hidup di Pedesaan



Essay 9 September 2015

Melihat Pada Diri Sendiri: Budaya Pedesaan VS Realita Hidup di Pedesaan

Hari ini saya mempelajari tahap kedua dari 12 jalan menuju hidup penuh belas kasih ala Karen Armstrong, penulis pujaan hatiku. Judul kiat kedua ini adalah “Lihatlah dunia anda sendiri”. Nah, dari sini saya membangun judul di atas. Desaku adalah duniaku. Aku ingin melihatnya lebih dekat.
Tadi telah kulihat satu realita hidup di pedesaan. Tepatnya di Dusun Daratan, kampung halaman ibu saya, saya menyaksikan kehidupan sehari-hari beberapa lansia yang masih sehat wal afiat. Saya lihat mereka amat bahagia meski dari cara mengadanya tidak menampakkan kemakmuran ekonomi tertentu. Ya ampun. Jadi ingat derita “pekerja sosial” PBB di Afghanistan yang bergelimang uang ditengah masyarakat miskin yang katanya untuk masyarakat miskin itulah mereka diutus. Omong kosong!
Pekerja PBB itu tidak bahagia karena hidup dalam penjaran aturan. Mereka tidak dapat secara bebas berinteraksi dengan masyarakat Afghan. Keadaan mereka mirip dengan saya yang notabene juga jarang sekali bisa berinteraksi dengan masyarakat sekitar karena tuntutan pekerjaan atau studi yang mengalienasi diri. Weleh-weleh.
Fenomena yang tadi kulihat sedikit membuat syok karena aneh saja. Ada dua nenek-nenek yang ngobrol di kebun sambil jongkok. Terkesan tak ada kerjaan sama sekali. Hidup yang sangat selo bin merdeka. Hey!!!!! Mereka dapat hidup meski nampaknya tidak punya banyak uang loh!!!!! Hey!!!!!!!! Bangun!!!!!!!!!! Inilah yang nantinya menjurus kepada budaya pedesaan seperti yang digagas oleh Bupati Purwakarta itu. Dalam taraf paling sederhana saya berharap tidak salah.
Jadi, budaya pedesaan dan realita hidup di pedesaan adalah dua hal yang berbeda. Yang kedua merupakan kenyataan sosial yang mungkin bisa diubah untuk memperbaiki citra pedesaan alias budaya pedesaan itu sendiri. Saya tidak mau mengatakan agar masyarakat kerja, kerja, kerja, wong saya tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan je! Saya juga tidak akan lagi menentang budaya hidup selo atau klunthang-klunthung­­ atau klemar-klemer atau waton ngetok atau sederet konotasi negatif lainnya terkait dengan kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat desa (khususnya di Jogja ini lho, di daerah lain meneketehek!). Budaya yang mungkin dikatakan negatif itu nanti akan terkikis sendiri bila perekonomian berkembang pesat. Pasti. Yakin. Tau sendiri lah. Mereka begitu karna ga ada kerjaan. Kalau ekonomi berkembang dan pekerjaan banyak, mereka pasti sibuk bukan main seperti manusia-manusia di Wall Street.
Membangun budaya pedesaan yang konstruktif dimulai dari perekonomian. Saya praksis saja, tanpa ekonomi yang baik, budaya pedesaan konstruktif sulit terwujud. Anyway, kalian dapat memperkirakan sendiri kelanjutan kalimat dari paragraf yang topik utamanya telah jelas seperti ini.
Saya tadi bilang tentang taraf paling sederhana dalam budaya pedesaan. Jujur saja, apa yang saya maksud dengan taraf paling sederhana ini tidak lahir dari pesimisitas atau kemalasan diri untuk mengubah realitas. Tidak! Tapi untuk menjadi sadar diri, melihat kepada diri sendiri, menjadi otentik, dan yang paling utama adalah untuk kebahagiaan diri. Apa sih yang dicari orang hidup kalau bukan kebahagiaan? Aku tadi sudah menyinggung sedikit tentang hal ini loh.
Besikli aku sudah tau bahwa uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Makin banyak pundi-pundi yang kumiliki, makin enggan aku untuk menikmatinya. Makan daging ini itu misalnya, lidah ini rasanya sudah sepo. Jauh lebih nikmat makan sayur jantung pisang dengan campuran daun singkong dimasak dengan kuah santan kental kelapa muda. Begitulah suatu menu ala carte pedesaan dalam bahasa Indonesia. Kalau ingin keren ya bahasa Inggriskan sendiri, monggo. Kalau perlu bahasa Perancis, silahkan, silahkan!
Kebahagiaan dalam budaya pedesaan? Haloh!!! Apa tuh??????
Kalian harus merasakan sendiri. Penjelasan saya pasti kurang afdol. Sesekali live in lah di rumah paman. Silahkan hubungi kepala dusun desa pilihanmu, pasti diijinkan. Jangan lupa beri tips sewajarnyalah ya, katakan Rp 50.000,00 per hari untuk ganti biaya listrik dan makan.
Mohon maaf. Sebenarnya ajakan untuk kembali kepada budaya pedesaan terutama ditujukan ya untuk masyarakat pedesaan sendiri. Hey! Semua kebutuhan sudah dapat dicukupi oleh budaya pedesaan kok, ngapaik ke kota? Seperti itulah intinya.
Budaya pedesaan adalah hidup dari hasil pedesaan itu sendiri. Dalam konteks Jogja atau khususnya lagi Sleman barat sih, kalau budaya pedesaan ini dioptimalkan konon bisa surplus-surplus alias orang yang benar-benar hidup dari budaya pedesaan juga bisa jadi kaya. Lihat saja mbak X yang jualan lotek di Dusun Daratan (sebelah timur rumahnya pak Dalijo, aku lupa nama mbaknya), Sendang Arum, Minggir, Sleman. Baru-baru ini dia jualan lotek dan sudah punya pelanggan banyak. Wajar saja, loteknya lebih enak dari pada dua rival di sono dan di sono itu. Ah, itu tu, orang Daratan juga sudah tahu. Eh, kalau mbak X rajin, dia bisa saja berpenghasilan Rp 200.000,00 per hari. Jumlah ini sudah sangat fantastis dalam konteks Kecamatan Minggir. Tapi ya itu tadi, budaya pedesaan mengatakan bahwa: asal sudah bisa untuk makan hari ini, cukuplah. Tak ayal, ketika penghasilan baru 10% dari jumlah fantastis tersebut, mbak X memutuskan untuk istirahat sambil menikmati kebahagiaan yang ia hasilkan hari itu.
Hahahahhahahahha....... Kalian sekarang belajar dialektika budaya pedesaan ya!!!! Ini namanya dialektika. Orang harus memilih untuk miskin tapi bahagia atau kaya tapi tidak bahagia. Saya dulu pernah diajari dialektika yang mengatakan untuk memilih: ya kaya ya bahagia! Kalau boleh sumpeh ye, kaya dan bahagia itu rasanya mustahil ya mustahal bin mustajab ala mustawaroh.
Saya harus memilih. Pilihan ketiga dan keempat mungkin saja muncul. Pilihan kelima dan keenam mungkin juga mengikuti. Yah, inilah aku. Aku mah apa atuh. Bisanya ya begini. Kalau mau budaya pedesaan itu berkembang, dari pada menunggu pemerintah yang sibuk mengurus usaha keluarganya sendiri, inilah yang bisa kulakukan. Baca, nulis, upload. Semoga dengan ini saya bisa berkontribusi untuk memajukan budaya pedesaan melalui jalan sosial budaya. Adapun rintisan sosial budaya semoga bisa berujung pada ekonomi. Bila ekonomi telah datang, politik menghantui.
Katakan tidak pada politik! Tidak ada kebahagiaan dalam politik. Aku janji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar