Essay 9 September 2015
Melihat
Pada Diri Sendiri: Budaya Pedesaan VS Realita Hidup di Pedesaan
Hari ini saya mempelajari tahap
kedua dari 12 jalan menuju hidup penuh belas kasih ala Karen Armstrong, penulis
pujaan hatiku. Judul kiat kedua ini adalah “Lihatlah dunia anda sendiri”. Nah,
dari sini saya membangun judul di atas. Desaku adalah duniaku. Aku ingin
melihatnya lebih dekat.
Tadi telah kulihat satu realita
hidup di pedesaan. Tepatnya di Dusun Daratan, kampung halaman ibu saya, saya
menyaksikan kehidupan sehari-hari beberapa lansia yang masih sehat wal afiat.
Saya lihat mereka amat bahagia meski dari cara mengadanya tidak menampakkan
kemakmuran ekonomi tertentu. Ya ampun. Jadi ingat derita “pekerja sosial” PBB
di Afghanistan yang bergelimang uang ditengah masyarakat miskin yang katanya
untuk masyarakat miskin itulah mereka diutus. Omong kosong!
Pekerja PBB itu tidak bahagia karena
hidup dalam penjaran aturan. Mereka tidak dapat secara bebas berinteraksi
dengan masyarakat Afghan. Keadaan mereka mirip dengan saya yang notabene juga
jarang sekali bisa berinteraksi dengan masyarakat sekitar karena tuntutan
pekerjaan atau studi yang mengalienasi diri. Weleh-weleh.
Fenomena yang tadi kulihat sedikit
membuat syok karena aneh saja. Ada dua nenek-nenek yang ngobrol di kebun sambil
jongkok. Terkesan tak ada kerjaan sama sekali. Hidup yang sangat selo bin merdeka. Hey!!!!! Mereka dapat
hidup meski nampaknya tidak punya banyak uang loh!!!!! Hey!!!!!!!!
Bangun!!!!!!!!!! Inilah yang nantinya menjurus kepada budaya pedesaan seperti
yang digagas oleh Bupati Purwakarta itu. Dalam taraf paling sederhana saya
berharap tidak salah.
Jadi, budaya pedesaan dan realita
hidup di pedesaan adalah dua hal yang berbeda. Yang kedua merupakan kenyataan
sosial yang mungkin bisa diubah untuk memperbaiki citra pedesaan alias budaya
pedesaan itu sendiri. Saya tidak mau mengatakan agar masyarakat kerja, kerja,
kerja, wong saya tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan je! Saya juga tidak
akan lagi menentang budaya hidup selo atau
klunthang-klunthung atau klemar-klemer atau waton ngetok atau sederet konotasi negatif lainnya terkait dengan
kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat desa (khususnya di Jogja ini lho, di
daerah lain meneketehek!). Budaya yang mungkin dikatakan negatif itu nanti akan terkikis sendiri bila perekonomian
berkembang pesat. Pasti. Yakin. Tau sendiri lah. Mereka begitu karna ga ada
kerjaan. Kalau ekonomi berkembang dan pekerjaan banyak, mereka pasti sibuk
bukan main seperti manusia-manusia di Wall Street.
Membangun budaya pedesaan yang
konstruktif dimulai dari perekonomian. Saya praksis saja, tanpa ekonomi yang
baik, budaya pedesaan konstruktif sulit terwujud. Anyway, kalian dapat
memperkirakan sendiri kelanjutan kalimat dari paragraf yang topik utamanya
telah jelas seperti ini.
Saya tadi bilang tentang taraf
paling sederhana dalam budaya pedesaan. Jujur saja, apa yang saya maksud dengan
taraf paling sederhana ini tidak lahir dari pesimisitas atau kemalasan diri
untuk mengubah realitas. Tidak! Tapi untuk menjadi sadar diri, melihat kepada
diri sendiri, menjadi otentik, dan yang paling utama adalah untuk kebahagiaan
diri. Apa sih yang dicari orang hidup kalau bukan kebahagiaan? Aku tadi sudah
menyinggung sedikit tentang hal ini loh.
Besikli aku sudah tau bahwa uang
tidak dapat membeli kebahagiaan. Makin banyak pundi-pundi yang kumiliki, makin
enggan aku untuk menikmatinya. Makan daging ini itu misalnya, lidah ini rasanya
sudah sepo. Jauh lebih nikmat makan
sayur jantung pisang dengan campuran daun singkong dimasak dengan kuah santan
kental kelapa muda. Begitulah suatu menu ala carte pedesaan dalam bahasa
Indonesia. Kalau ingin keren ya bahasa Inggriskan sendiri, monggo. Kalau perlu
bahasa Perancis, silahkan, silahkan!
Kebahagiaan dalam budaya pedesaan?
Haloh!!! Apa tuh??????
Kalian harus merasakan sendiri.
Penjelasan saya pasti kurang afdol. Sesekali live in lah di rumah paman.
Silahkan hubungi kepala dusun desa pilihanmu, pasti diijinkan. Jangan lupa beri
tips sewajarnyalah ya, katakan Rp 50.000,00 per hari untuk ganti biaya listrik
dan makan.
Mohon maaf. Sebenarnya ajakan untuk
kembali kepada budaya pedesaan terutama ditujukan ya untuk masyarakat pedesaan
sendiri. Hey! Semua kebutuhan sudah dapat dicukupi oleh budaya pedesaan kok,
ngapaik ke kota? Seperti itulah intinya.
Budaya pedesaan adalah hidup dari
hasil pedesaan itu sendiri. Dalam konteks Jogja atau khususnya lagi Sleman
barat sih, kalau budaya pedesaan ini dioptimalkan konon bisa surplus-surplus
alias orang yang benar-benar hidup dari budaya pedesaan juga bisa jadi kaya. Lihat saja mbak X yang jualan
lotek di Dusun Daratan (sebelah timur rumahnya pak Dalijo, aku lupa nama
mbaknya), Sendang Arum, Minggir, Sleman. Baru-baru ini dia jualan lotek dan
sudah punya pelanggan banyak. Wajar saja, loteknya lebih enak dari pada dua rival
di sono dan di sono itu. Ah, itu tu, orang Daratan juga sudah tahu. Eh, kalau
mbak X rajin, dia bisa saja berpenghasilan Rp 200.000,00 per hari. Jumlah ini
sudah sangat fantastis dalam konteks Kecamatan Minggir. Tapi ya itu tadi,
budaya pedesaan mengatakan bahwa: asal sudah bisa untuk makan hari ini,
cukuplah. Tak ayal, ketika penghasilan baru 10% dari jumlah fantastis tersebut,
mbak X memutuskan untuk istirahat sambil menikmati kebahagiaan yang ia hasilkan
hari itu.
Hahahahhahahahha....... Kalian
sekarang belajar dialektika budaya pedesaan ya!!!! Ini namanya dialektika.
Orang harus memilih untuk miskin tapi bahagia atau kaya tapi tidak bahagia.
Saya dulu pernah diajari dialektika yang mengatakan untuk memilih: ya kaya ya
bahagia! Kalau boleh sumpeh ye, kaya dan bahagia itu rasanya mustahil ya
mustahal bin mustajab ala mustawaroh.
Saya harus memilih. Pilihan ketiga
dan keempat mungkin saja muncul. Pilihan kelima dan keenam mungkin juga
mengikuti. Yah, inilah aku. Aku mah apa atuh. Bisanya ya begini. Kalau mau
budaya pedesaan itu berkembang, dari pada menunggu pemerintah yang sibuk
mengurus usaha keluarganya sendiri, inilah yang bisa kulakukan. Baca, nulis,
upload. Semoga dengan ini saya bisa berkontribusi untuk memajukan budaya
pedesaan melalui jalan sosial budaya. Adapun rintisan sosial budaya semoga bisa
berujung pada ekonomi. Bila ekonomi telah datang, politik menghantui.
Katakan tidak pada politik! Tidak
ada kebahagiaan dalam politik. Aku janji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar