Essay 26 September 2015
Musik
Sastra Nusantara Juga ASOLOLEEE
Hari ini aku belajar apa? Hari ini
aku belajar musik Indonesia dengan sudut pandang kegelisahan ‘pemerintah’ Indonesia
tahun 1965. Dengan rendah hati dan kehati-hatian saya mencoba mengambil sisi positif
dari aksi rezim 1965 yang mungkin kelihatan naif saat ini, membuikan Yon, Yok,
dan Tony Koeswoyo. Setiap tanggal 1 Juli mulai tahun 1965 seharusnya jadi hari
Revolusi Musik Indonesia. Aksi Komando Operasi Tertinggi (KOTI) hari itu perlu
dimonumenkan. Operasi Tertinggi je! Ngurusi hal yang remeh temeh? Remeh temeh?
Nanti dulu.
Saya berangkat dari asumsi sederhana
yang memandang kejadian 1 Juli itu secara tidak rumit-rumit amat. Barangkali
bisa dikatakan asumsi ini adalah hasil propaganda Orde Baru yang cukup
berhasil. Yah, ambil positifnya saja. Sebusuk-busuk kotoran sapi tetap ada
manfaatnya juga. Begini, jadi Koes bersaudara itu dibuikan karena dianggap
meracuni mental kebangsaan masyarakat Indonesia (yang punya radio-yang dalam
kurung ini boleh tidak dibaca bila kurang tepat). Sedikit memakai bahasa media
sosial (baca: reduksionis), jadi sebelum era Koes Bersaudara (ya Koes Plus ya
The Beatless) musik itu berkonten hal-hal yang katanya mendidik, revolusioner,
atau dengan kata lain ‘bermutu’ alias ‘berkualitas’. Setelah 1 Juli 1965?
Katakan saja musik itu tidak lagi ‘bermutu’, gitu aja kok repot. Contoh
ekstremnya gini: sebelum 1965 kita mengenal Mozart, Bach, Beethoven, dkk dan
setelah 1965 musik cenderung lope-lope melulu, galau melulu, patah hati melulu,
ya gitu lah.
Jadi kesimpulannya, apa yang
dilakukan rezim 1965 adalah usaha untuk menghalangi perkembangan musik melow
nan galaw. Mereka ingin musik itu ya semacam ‘Maju Tak Gentar’ atau
semelow-molownya ya ‘Padamu Negeri’, eh, ‘Bagimu Negeri’ karya Koesbini, eh,
Kusbini. Nah sampai di sini, dapatkah anda melihat sisi positif rezim 1965?
Kalau saya sih sempat sedih dengan munculnya musik-musik yang cenderung tidak
mendidik. Tapi mau gimana lagi, jaman global gini, yang penting bisa untuk cari
rezeki kan? Baby,,,baby,,,baby oh. What do you mean?
Saya memang tidak sedang ingin
menuliskan sejarah perkembangan musik dilihat dari segi kualitas konten. Bisa
runyam dan menyimpang dari point yang ingin saya sampaikan di sini. Jadi yang
ingin saya sampaikan tidak serumit sejarah perkembangan musik og. Saya tadi
hanya baca-baca koran Kompas hari Minggu, 20 September 2015. Dilaporkan satu
lagi aksi mempesona Ananda Sukarlan dengan musik sastranya. Saya langsung
berpikir untuk sedikit mendalami apa itu musik sastra.
Sederhananya, saya melihat musik
sastra adalah usaha untuk semakin mengorbitkan karya sastra terutama puisi ke
dalam jagad eksistensi musik dunia. Walah..... Kalau Eropa punya banyak art song yang aduh, terkesan mewah dan
mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat (yang mayoritas berpendidikan
tinggi, setidaknya dilihat dari cara berpakaian-tambahan dalam kurung ini boleh
tidak dibaca og, mungkin salah), Indonesia juga boleh punya musik sastra. Tapi,
dapatkah musik sastra ini dicerna secara sehat oleh masyarakat Indonesia?
Sepertinya lagu-lagu Om Sera lebih
diminati deh. Musik sastra kok kayaknya tidak direspon semenggebu ndangndut
yang bikin goyang ampe tegang segala. Pointnya, bagaimana agar musik sastra
dapat ternikmati oleh masyarakat? Sesuaikan dengan kegelisahan masyarakat!
Sesuaikan dengan pesan rasa dan pesan selera masyarakat! Dan lain sebagainya.
Akhirnya, musik sastra dapat menjadi jalan tengah untuk menjawab kegelisahan
rezim 1965. Kalau menghalagi perkembangan musik-musik yang asoy asolole itu ya
mustahal bin mustahil ala mustajab. Yah setidaknya ditengah arus kebebasan
berekspresi ini masih ada musik-musik yang secharra ‘berbobot’ lah. Saya tidak
mengatakan bahwa yang asoy asolole itu nggak berbobot lho ya, wong saya juga
suka nonton Via Vallen dkk. Ngamen, ngamen, asolole!!! Jos!!! Sera!!! Sing penting tertip yo! Ojo jotos-jotosan yo
mas!
Jadi ini to yang kupelajari hari
ini!?!?!?
Yak, betul. En masih belum
terstruktur nan sistematis. Paling tidak today I learn the art song dalam konteks
sastra Indonesia. Secara retoris, art song Indonesia dapat jadi media untuk
makin mempopulerkan karya anak bangsa. Puisi Sapardi Djoko Damono misalnya: Aku
Ingin, di Restoran, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, dll kiranya makin
populer kan dengan adanya versi musikalisasi puisinya? Jelas. Pasti. Tak dapat
dipungkiri. Kalau tidak percaya, silahkan survey sendiri. Seperti jumlah huruf
dalam KBBI itu lho, ada 1.389.970. Kalau tidak percaya hitung sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar