Senin, 28 September 2015

Musik Sastra Nusantara Juga ASOLOLEEE



Essay 26 September 2015

Musik Sastra Nusantara Juga ASOLOLEEE

Hari ini aku belajar apa? Hari ini aku belajar musik Indonesia dengan sudut pandang kegelisahan ‘pemerintah’ Indonesia tahun 1965. Dengan rendah hati dan kehati-hatian saya mencoba mengambil sisi positif dari aksi rezim 1965 yang mungkin kelihatan naif saat ini, membuikan Yon, Yok, dan Tony Koeswoyo. Setiap tanggal 1 Juli mulai tahun 1965 seharusnya jadi hari Revolusi Musik Indonesia. Aksi Komando Operasi Tertinggi (KOTI) hari itu perlu dimonumenkan. Operasi Tertinggi je! Ngurusi hal yang remeh temeh? Remeh temeh? Nanti dulu.
Saya berangkat dari asumsi sederhana yang memandang kejadian 1 Juli itu secara tidak rumit-rumit amat. Barangkali bisa dikatakan asumsi ini adalah hasil propaganda Orde Baru yang cukup berhasil. Yah, ambil positifnya saja. Sebusuk-busuk kotoran sapi tetap ada manfaatnya juga. Begini, jadi Koes bersaudara itu dibuikan karena dianggap meracuni mental kebangsaan masyarakat Indonesia (yang punya radio-yang dalam kurung ini boleh tidak dibaca bila kurang tepat). Sedikit memakai bahasa media sosial (baca: reduksionis), jadi sebelum era Koes Bersaudara (ya Koes Plus ya The Beatless) musik itu berkonten hal-hal yang katanya mendidik, revolusioner, atau dengan kata lain ‘bermutu’ alias ‘berkualitas’. Setelah 1 Juli 1965? Katakan saja musik itu tidak lagi ‘bermutu’, gitu aja kok repot. Contoh ekstremnya gini: sebelum 1965 kita mengenal Mozart, Bach, Beethoven, dkk dan setelah 1965 musik cenderung lope-lope melulu, galau melulu, patah hati melulu, ya gitu lah.
Jadi kesimpulannya, apa yang dilakukan rezim 1965 adalah usaha untuk menghalangi perkembangan musik melow nan galaw. Mereka ingin musik itu ya semacam ‘Maju Tak Gentar’ atau semelow-molownya ya ‘Padamu Negeri’, eh, ‘Bagimu Negeri’ karya Koesbini, eh, Kusbini. Nah sampai di sini, dapatkah anda melihat sisi positif rezim 1965? Kalau saya sih sempat sedih dengan munculnya musik-musik yang cenderung tidak mendidik. Tapi mau gimana lagi, jaman global gini, yang penting bisa untuk cari rezeki kan? Baby,,,baby,,,baby oh. What do you mean?
Saya memang tidak sedang ingin menuliskan sejarah perkembangan musik dilihat dari segi kualitas konten. Bisa runyam dan menyimpang dari point yang ingin saya sampaikan di sini. Jadi yang ingin saya sampaikan tidak serumit sejarah perkembangan musik og. Saya tadi hanya baca-baca koran Kompas hari Minggu, 20 September 2015. Dilaporkan satu lagi aksi mempesona Ananda Sukarlan dengan musik sastranya. Saya langsung berpikir untuk sedikit mendalami apa itu musik sastra.

Sederhananya, saya melihat musik sastra adalah usaha untuk semakin mengorbitkan karya sastra terutama puisi ke dalam jagad eksistensi musik dunia. Walah..... Kalau Eropa punya banyak art song yang aduh, terkesan mewah dan mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat (yang mayoritas berpendidikan tinggi, setidaknya dilihat dari cara berpakaian-tambahan dalam kurung ini boleh tidak dibaca og, mungkin salah), Indonesia juga boleh punya musik sastra. Tapi, dapatkah musik sastra ini dicerna secara sehat oleh masyarakat Indonesia?
Sepertinya lagu-lagu Om Sera lebih diminati deh. Musik sastra kok kayaknya tidak direspon semenggebu ndangndut yang bikin goyang ampe tegang segala. Pointnya, bagaimana agar musik sastra dapat ternikmati oleh masyarakat? Sesuaikan dengan kegelisahan masyarakat! Sesuaikan dengan pesan rasa dan pesan selera masyarakat! Dan lain sebagainya. Akhirnya, musik sastra dapat menjadi jalan tengah untuk menjawab kegelisahan rezim 1965. Kalau menghalagi perkembangan musik-musik yang asoy asolole itu ya mustahal bin mustahil ala mustajab. Yah setidaknya ditengah arus kebebasan berekspresi ini masih ada musik-musik yang secharra ‘berbobot’ lah. Saya tidak mengatakan bahwa yang asoy asolole itu nggak berbobot lho ya, wong saya juga suka nonton Via Vallen dkk. Ngamen, ngamen, asolole!!! Jos!!! Sera!!! Sing penting tertip yo! Ojo jotos-jotosan yo mas!
Jadi ini to yang kupelajari hari ini!?!?!?
Yak, betul. En masih belum terstruktur nan sistematis. Paling tidak today I learn the art song dalam konteks sastra Indonesia. Secara retoris, art song Indonesia dapat jadi media untuk makin mempopulerkan karya anak bangsa. Puisi Sapardi Djoko Damono misalnya: Aku Ingin, di Restoran, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, dll kiranya makin populer kan dengan adanya versi musikalisasi puisinya? Jelas. Pasti. Tak dapat dipungkiri. Kalau tidak percaya, silahkan survey sendiri. Seperti jumlah huruf dalam KBBI itu lho, ada 1.389.970. Kalau tidak percaya hitung sendiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar