Jumat, 04 September 2015

Harapan Semu Manfaat Praktis



Essay 4 September 2015

Harapan Semu Manfaat Praktis

Penelitian skripsi saya tidak ingin berangkat dari rumusan masalah praktis yang ada dalam masyarakat. Rumusan masalah praktis tersebut biasanya tertuang dalam jurnal-jurnal ilmiah yang jujur saja, enggan sekali saya membacanya. Membaca buku teori nan filosofis terasa jauh lebih menyenangkan. Pikiran seakan melayang dalam ekstase kisah-kisah ilmiah pada teoretikus dengan misi untuk menuntaskan tugas-tugas filsafat mereka. Dari sinilah saya berangkat. Filsafat psikologi atau gejala psikologi klinis saya lihat dari kaca mata filsafat khususnya filsafat agama. Akhir untuk awalan ini saya dengan berani menyatakan bahwa tema umum penelitian saya adalah Psikologi Klinis Ketuhanan.
Sekarang ini saya semakin tidak melihat relevansi atau kontekstualitas penelitian psikologi yang berangkat dari fenomena praktis yang biasanya diharapkan memiliki manfaat praktis yang nyata dan signifikan. Intinya saya ingin mengatakan bahwa semua hal adalah filsafat belaka. Matematika bahkan fisika pun merupakan filsafat. Gelar-gelar S3 pada umumnya atau secara garis besar adalah Ph. D atau versi panjangnya adalah doktor filsafat. Nah, sekarang tinggal bagaimana untuk merumuskan tema penelitian yang notabene telah mengantongi data penuh ini dalam sebuah paparan atau paper skripsi yang baik. Ternyata tak dapat dipungkiri, aku senantiasa memerlukan retorika dan estetika yang kemarin sempat aku benci.
Berikut ini adalah beberapa keyakinan filsafat saya yang terbungkus dalam wadah retorika dan estetika yang semoga indah:
1.       Penghayatan spiritualitas atau agama cenderung bersifat neurotik karena tidak memiliki bukti-bukti observasi atau eksperimentasi pada konten-konten keyakinan yang dipegang (lihat Sam Harris, Freud, dan Hawking). Sebagai contoh adalah bahwa penghayatan spiritualitas terkait langsung dengan permasalahan ketuhanan (lihat Armstrong, dll). Masalah ketuhanan ini sulit dibuktikan dengan observasi atau eksperimentasi. Ketuhanan ini akhirnya (untuk sementara atau seterusnya) diyakini dalam konteks antropomorfik maupun non antropomorfik (lihat Sejaran Tuhan dalam Arsmtrong, 2015).
2.       Nah, apakah penghayatan ketuhanan (cara melihat terma tuhan secara lebih holistik sehingga tidak terjebak pada sempitnya diskursus antropomorfisme oknum tuhan) adalah semata-mata neurotik atau negatif? Apakah tidak ada sisi positifnya? Nyatanya agama-agama dan spiritualitas akhir-akhir ini masih belum kehilangan pengikutnya secara signifikan (secara global karena ada pengecualian pada beberapa negara di Eropa yang sangat sekular seperti Swiss, Belanda, Jerman, dll). Adapun malah di Jawa, khususnya di Cilacap, statistik menunjukkan adanya fenomena peningkatan jumlah penghayat spiritualitas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Akhir kata, kembali kepada belas kasih. Piagam belas kasih telah disusun Karen Armstrong untuk menjadi solusi atas permasalahan agama yang pelik khususnya di Timur dan Timur Tengah. Piagam itu takkan berarti kalau semua orang sudah seperti di Eropa. Semoga saja begini, oleh karna piagam tersebut akhirnya nanti Karen Armstrong bisa dapat hadiah nobel perdamaian. Amin.
Maka, apapun narasinya, apapun makna interpretifnya, apapun penjelasan psikologi klinisnya, yang penting satu, apakah orang memiliki belas kasih atau tidak? Psikologi sampai tahap ini harus dilihat sebagai ilmu untuk menumbuhkan belas kasih secara humanis. Nah, apakah spiritualitas orang berhenti pada ortodoksi atau juga menjelma dalam ortopraksis yang pada dasarnya selalu berwujud belas kasih? Apakah spiritualitas justru semata-mata merupakan proyeksi gangguan psikologi akut nan kronis? Kiranya contoh dari responden 1 dan 2 sudah cukup jelas tentang bagaimana seharusnya orang sekarang berspiritualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar