Senin, 28 September 2015

Variasi Manusia Ciptaan Tuhan: Surat Untuk Samuel Mulia



Refleksi 28 September 2015
Variasi Manusia Ciptaan Tuhan: Surat Untuk Samuel Mulia
Banyak orang senang bertanya pada Tuhannya, “Mengapa aku berbeda?” Setiap manusia memang tidak sama alias berbeda-beda. Ada yang bilang bahwa orang kembarpun tidak sama. Selalu ada perbedaan diantara dua pribadi yang kembar siam sekalipun. Lantas, apa yang orang maksudkan dengan pertanyaan “Mengapa aku berbeda?”
Bagi saya sendiri pertanyaan macam itu mencerminkan kegundahan hati manusia karena ia tidak bisa hidup seperti orang pada umumnya dalam hal tertentu. Pertanyaan itu mungkin dilontarkan seorang yang sulit cari kerja padahal teman-temannya sudah mendapat pekerjaan (inlanderistik). Pertanyaan kegelisahan yang sama juga dapat terlontar dari seorang yang difabel diantara teman-teman yang tidak menyandang difabilitas. Curcol, saya juga merasa berbeda dengan orang kebanyakan. Dengan ini dalam beberapa kasus pertanyaan itu memiliki relevansi untuk hidup saya.
Mainstream kehidupan. Seorang lahir di dunia, belajar berjalan, belajar bicara, mulai ikut Play Group, lalu TK kecil, TK besar, SD, SMP, SMA, Kuliah, akhirnya lulus. Mainstream ini dilanjutkan dengan usaha seseorang untuk cari penghasilan dengan bekerja ini itu, ia lalu berusaha hidup makin mapan, kemudia ia menikah, membangun keluarga kecil dengan 1 anak, mungkin tambah lagi dua anak sampai jumlah anak dirasa cukup. Keluarga itu akhirnya berjuang membesarkan anak dengan kerja lebih giat lagi. Anak-anak lantas tumbuh dewasa dalam mainstream arus kehidupan yang tak berbeda jauh dengan orang tuanya. Orang tua itu juga tambah tua sampai akhirnya harus pensiun. Ia makin menua dan tak sanggup lagi hidup mandiri. Uluran tangan anaknya kini diperlukan sampai akhirnya ia tutup usia. Bila pasutri tersebut keberkahan, ia akan sempat MC, momong cucu, seorang dua orang, mungkin lebih. Beberapa kakek-kakek dan nenek-nenek juga dilaporkan sempat melihat buyut, canggah, bahkan warengnya.
Mungkin saya terlalu reduksionistik dalam menuliskan mainstream arus kehidupan tersebut. Namun itulah yang saya lihat di bawah kolong langit ini. Banyak orang berjuang melalui jalan yang ia sangka lurus itu. Banyak orang yakin bahwa itulah jalan hidup yang digariskan Tuhan. Banyak orang bahkan menganggap bahwa jalan hidup seperti itulah yang dikatakan normal. Orang yang tidak demikian seperti saya ini misalnya, lantas dikatakan tidak normal. Ah, pekerja seni mana sih yang ‘normal’? Kami biasanya memiliki hidup yang sedikit nyeleneh.
Inilah keprihatinan saya. Salahkah aku bila tidak hidup di jalan tersebut? Salahkah aku bila lima kali sehari aku mohon petunjuk kepada Tuhan agar Ia menuntunku di jalan yang lurus? Salahkah aku kalau memiliki kehidupan berbeda? Berbeda? Benar-benar berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar