Jumat, 30 Oktober 2015

Kejahatan structural



Essay 31 Oktober 2015
Kejahatan structural

1.       Bila sudah lulus kuliah tapi sulit dapat pekerjaan.
2.       Bila keamanan tidak terjamin sedang aparat keamanan selalu siaga.
3.       Bila tak ada kebebasan pendapat, dituduh subversif dan mengganggu.
4.       Bila sudah mendapat jaminan keamanan tapi tak ada jaminan kesehatan.
5.       Bila sudah ada jaminan kesehatan tapi tak ada pekerjaan.
6.       Bila banyak bahan pangan tapi kelaparan.
7.       Bila banjir datang bertubi-tubi tapi kehausan.
8.       Bila dikelilingi laut tapi tanah-tanah kekeringan.

Konten Bergizi & Nasional.is.me



Essay 31 Oktober 2015
Konten Bergizi & Nasional.is.me

Posting video dari channel youtube tertentu selalu kunanti karena berisi komedi yang njawani sehingga sangat tepat dalam selera komedi di otak saya ini. Atas dasar kepedulian dan itikad baik, satu kali saya pernah menuliskan kritik dan saran dalam kolom komentar di bawah salah satu video dalam channel youtube tersebut. Mengingat passion saya adalah dalam bidang pendidikan (pemikiran filsafati), maka kritik dan saran berbunyi semacam ini: bro, mainstream videomu mulai membosankan nih. Kalau bisa konsepnya makin dimatangkan yah supaya hiburannya tidak monoton namun juga memuat unsur pendidikan.
Kata terakhir itulah yang memprovokasi viewer lain sehingga setidaknya dua orang tampil untuk membela channel youtube tersebut (padahal kan saya tidak menyerang channel youtube itu, saya justru sedang memberikan masukan yang positif). Dua orang itu sepakat mengatai saya sebagai sok berpendidikan dan sok intelektuil. Mereka hendak menekankan kecenderungan berpikir seperti ini: komedi bukan pendidikan dan dalam komedi tidak terdapat pendidikan. Logika ini sungguh keliru.
Raditya Dika dalam suatu komentar bagi seorang comic pernah mengatakan bahwa komedi boleh saja memuat unsur pendidikan moral. Komedi seperti itu disebutnya sebagai komedi yang bergizi. Sekarang pertanyaannya: apakah dalam komedi diharamkan untuk memasukkan unsur pendidikan? Apakah pendidikan itu sendiri? Saya ragu dengan dua teman itu. Mungkin mereka memang penikmat seni sejati dan mengesampingkan isu pendidikan. Saya jadi mengelus dada. Semoga kecenderungan mereka berdua bukan cerminan anak muda Indonesia yang ogah dengan satu hal, pendidikan. Justru mengatakan orang yang menuntut pendidikan sebagai ‘sok intelek’.
Kecenderungan dua orang itu tidak akan membuat saya pesimistis dengan menggeneralisasi sifat itu pada seluruh anak muda Indonesia. Saya kira dua orang juga bukan sampel yang cukup untuk menggambarkan kondisi jutaan anak muda Indonesia. Dua orang itu juga tak perlu buat saya makin risau. Cukuplah sebagai provokator awal yang membuat saya proactive bagi perkembangan Indonesia melalui dunia pendidikan, khususnya dengan kegiatan tulis menulis seperti ini. Kiranya menggelisahkan mereka berdua merupakan tindakan saya yang kurang terampil (Armstrong, 2013).
Inilah mengapa judul tulisan kali ini adalah konten bergizi. Konten bergizi adalah segala macam konten yang memiliki manfaat signifikan bagi pemiarsa. Sekalipun itu komedi, bisa saja dibuat bergizi misalnya dengan materi tertentu sehingga membuat pendengar terngiang-ngiang sampai di rumah. David Nurbianto dan Pandji Pragiwaksono adalah contoh dua komikus yang pandai membuat sajian komedi bergizi tinggi.
Akhir kata saya merasa perlu memberikan kata-kata motivasi pada diri sendiri karena dua orang provokator itu betul-betul mengusik saya sampai kedalaman jiwa. Jujur saja ya, kalau saya dikritik karena kebodohan saya, maka hati saya sungguh lapang untuk menerima. Tapi kalau saya dikritik karena kompetensi saya, karena kecerdasan saya, karena keilmuan saya, karena maksud baik saya, waduh, itu sungguh menyakitkan bro! Tapi justru saya banyak belajar dari haters ini. Dua orang itu justru merupakan haters yang baik karena bersedia memberikan eksplanasi (tidak sekadar klik jempol bawah).
Mereka katai saya sok intelek. Mungkin memang saya sok intelek, tapi saya tidak akan berhenti belajar.
Kecenderungan hati yang tersakiti untuk menggeneralisasi menyebabkan saya berpikir bahwa semua anak muda Indonesia seperti mereka (meski saya juga tahu pemikiran ini sangat keliru). Baik, meskipun generalisasi itu memang benar, setidaknya ada satu anak muda Indonesia yang masih bermutu, berdedikasi, berintegritas, bersemangat, dan optimistik untuk memajukan Indonesia melalui bidang pendidikan khususnya dengan cara tulis menulis, siapa? Saya.
Mungkin mereka bilang saya tidak bisa. Okay. Mungkin saya memang tidak bisa tapi aku akan terus mencoba.
Mungkin mereka bilang saya telah gagal total. Mungkin saya memang sudah bangkrut tapi aku tak akan bunuh diri. Aku akan terus berjuang melakukan apa yang bisa aku lakukan sambil terus mengembangkan diri.
Sekali lagi trimakasih buat Pandji Pragiwaksono yang telah jadi motivatorku yang sebenarnya.
Aku takkan berhenti membaca. Aku takkan berhenti menulis. Aku takkan berhenti bersuara dan aku takkan berhenti bertindak. Aku akan terus melakukan sesuatu untuk diriku yang lebih baik. It means that I do the same for a better Indonesia.
Sejauh saya membaca nasional.is.me memang ada terbersit pesimisme: bagaimana kalau kita kawula muda sudah berjuang mati-matian tapi hasilnya nanti malah dinikmati bangsat-bangsat di balik selubung birokrasi itu? Mereka yang kemarin dengan naifnya memakai masker di gedung ber-ac itu, aduh, kekanak-kanakan sekali yah.
Mungkin kawula muda akan termanfaatkan sebagai sapi perah. Yang berusaha jujur akan kalah dengan mereka yang berkuasa secara politik. Maka tinggal satu kata: ya sudahlah.
Referensi:
Armstrong, K. (2013). Masa Depan Tuhan. Bandung: Mizan.
Essay ini langsung saya lanjutkan saja karena masih terkait dengan bahasan selanjutnya yaitu dasar pesimisme saya atas buku Nasional.is.me. Wah-wah, berbau filsafat nih! Iya benar.
Dasar pesimisme adalah asumsi filosofis yang dipakai dalam buku Nasional.is.me. Sebelum lanjut, saya ingin menegaskan pada Pandji sendiri tentang definisi filosofis tentang terma nasional itu sendiri. Dalam dunia kajian kualitatif, definisi filosofis semacam ini sering disebut sebagai keyakinan filosofis (Creswell, 2014).
Sebelum melangkah terlalu jauh dalam mewujudkan patriotisme, mari bertanya: Nasional itu sendiri apa? Indonesia.
Baik. Lalu apa itu Indonesia?
Apakah Indonesia sama dengan satu bangsa yang kini bermukim di wilayah yang disebut Indonesia ini?
Bangsa Indonesia adalah terma yang secara filosofis tidak make sense. Mengapa? Karena Indonesia baru ada kemudian setelah bangsa (yang bermukim di wilayah Indonesia ini) telah ada sejak waktu yang amat lama. Bangsa itu telah ada jauh sebelum adanya Indonesia. Mari lihat terma Indonesia secara lebih politis. Semoga kita tidak terjebak dalam kajian politis atau budaya. Politik dan budaya perlu disikapi secara berbeda. Indonesia jelas ada dalam kajian politik karena secara kultural (budaya), Indonesia tidak pernah ada. Secara kultural yang ada hanyalah bangsa yang bermukim di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia ini.
Apakah kajian ini sudah membantu pemahamanmu?
Karena saya bergerak dalam sudut pandang pendidikan (yang tidak lepas dari kebudayaan), maka saya ingin mengajak kita untuk cerdas dalam membingkai pembicaraan: filosofi harus menjadi dasar paling fundamental yang adekuat bagi semangat nasionalisme maupun patriotisme. Meminjam istilah J. Sumardianta (dalam satu ceramah di Salihara), jangan sampai semangat kebangsaan kita itu keblinger alias salah arah karena tidak memahami asumsi maupun keyakinan filosofis (tentang kajian ini dapat dilihat dalam Creswell, 2014).
Baik. Mari kita sederhanakan. Bangsa ini bukanlah Indonesia itu sendiri. Bangsa ini sudah memulai peradabannya sejak manusia purba yang ditemukan di Sangiran maupun yang lebih tua yang ditemukan di Jombang. Indonesia sendiri baru ada karena kekuatan politik Soekarno kurang dari seratus tahun yang lalu. Kalau kita mendalami Pancasila, apa yang diinginkan Sukarno pada dasarnya bukan Indonesia secara politik tapi Indonesia secara kultural. Tapi apa daya, musuh politik lebih kuat dari pada basis budaya di belakang Sukarno. Saya berani bilang, cita-cita murni Sukarno dalam Pancasila untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa itu telah hilang (sejak dominasi politik Order Baru). Saya tidak akan memperpanjang kajian ini karena akan menimbulkan provokasisme yang tidak relevan dengan tujuan essay ini.
Secara sederhana saya ingin berkontribusi untuk memberikan dasar filosofis bagi pembaca buku Nasional.is.me karya Pandji ini. Jangan sampai kita kawula muda ini nanti jadi sapi perah para mafia di balik gedung DPR atau Istana. Jangan sampai kita sibuk kerja dan yang menikmati adalah Indonesia (secara politis). Nah, sampai sini saya harap makin jelas untuk membedakan Indonesia dan Bangsa ini.
Memang Pandji selalu memakai kata “Indonesia” dalam paparan-paparannya dalam Nasional.is.me, tapi saya yakin saja, yang dia maksud bukanlah Indonesia dalam arti politik namun Indonesia dalam arti bangsa ini.
Kita kawula muda yang bersemangat #IndonesiaUnite, provocative proactive, dll ini bekerja dan berjuang untuk bangsa ini, bangsa yang bermukim di negara Indonesia. Kita kawula muda ini mati-matian memperjuangkan Indonesia, yaitu bangsa yang telah menduduki tanah ini selama ribuan bahkan puluhan ribu tahun, bukan Indonesia yang baru berdiri kurang dari seratus tahun lalu.
Charlie Chaplin agaknya mengutip Karl Marx ketika dalam The Great Dictator mendengungkan: “Let Us Unite!!!!” Kita kawula muda juga: IndonesiaUnite. Siapakah atau apakah Indonesia yang bersatu itu? Adalah kita yang turun temurun telah mendiami tanah ini. Adalah kita, anak cucu nenek moyang jaman bahoela yang bekerja sebagai pelaut. Adalah kita yang mengerti akar sejarah tunggal yang sebenarnya. Adalah kita yang mengerti budaya bangsa. Adalah kita yang mengerti leluhur dan tidak terprovokasi oleh budaya asing. Adalah kita, satu bangsa beda pulau. Kita, satu bangsa, umat manusia.
Kalau saya sih dari pada memakai kata Indonesia, rasanya lebih nyaman bila menggunakan kata: ‘bangsa ini’. (tks buat Sydney Mohede atas lagu Doa Kami yang cukup dapat diterima oleh semua latar belakang spiritual).

Referensi:
Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di Antara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hidupkan kembali provocative proactive!



Hidupkan kembali provocative proactive!
Essay 31 Oktober 2015

Akhir-akhir ini jiwaku tergugah kembali berkat buku Pandji Pragiwaksono yang berjudul Nasional.is.me. Aku ingin menghidupkan lagi semangat provocative proactive setidaknya dalam diri sendiri. Caranya dengan tetap berpedoman pada passion yaitu dunia pendidikan khususnya perbukuan. Sekali lagi, terimakasih pada Pandji yang menjadi Sukarno saat ini dengan kemampuannya menyalakan semangat nasional.is.me dan patriotisme.
Setelah membaca buku atau bacaan apapun adalah baik untuk terprovokasi. Terprovokasi adalah tergugahnya pikiran untuk bertanya, untuk menegaskan, dan melakukan suatu niat untuk setidaknya merubah diri sendiri. Menjadi terprovokasi harus diikuti proactive yaitu dengan tindakan nyata, mewujudkan niat dalam perilaku terukur dan jelas apa itu.
Langsung contoh, malam tadi insomnia saya kambuh. Sisi positifnya saya ambil dari pada mencari obat tidur yang bikin ketagihan. Keadaan yang enggan ngantuk itu saya pakai untuk browsing youtube, buka channel sana sini mulai dari yang ecek-ecek sampai pada yang berkonten super serius. Salah satu channel yang berhasil memprovokasi saya adalah ceramah Cak Nun. Beliau menyatakan perlunya orang untuk berhati-hati dan menimbang secara jeli sebelum memutuskan kebenaran suatu informasi.
Budaya Jawa misalnya, dari manakah asalnya? Bagaimana sejarah yang sebenarnya? Apakah tulisan kajian sejarah yang dilakukan bangsa kolonial itu patut dipercaya? Sumber manakah yang dapat dipercaya? Dan seterusnya. Hal yang memprovokasi saya adalah karena Cak Nun tidak menyebutkan lebih lanjut tentang sumber yang kredibel alias yang dapat dipercaya 100% sebagai data-data historis maupun kultural. Proaktivitas akan saya wujudkan dengan menuliskan satu surat untuk Cak Nun yang berisi penegasan (maneges) tentang apa yang sebenarnya beliau maksud, lantas sumber mana yang dapat dipercaya, dan apa yang seharusnya saya lakukan sebagai orang Jawa yang hilang Jawanya. Jujur saja, saya cukup prihatin juga dengan kondisi pendidikan jaman ini yang lebih mempercayai teks-teks historis atau kultural Jawa yang ditulis oleh akademisi asing seperti Peter Carey, Clifford Geertz, John Pemberton, dll. Kenapa filsuf kita sendiri seperti Suryomentaram, Ranggawarsita, Damardjati Supadjar, dll justru seakan-akan tersingkir dan dianggap tidak lebih terpercaya dibandingkan akademiki asing.
Mungkin ini juga yang dirasakan Cak Nun.
Anyway, ini adalah contoh nyata bahwa saya telah menghidupkan kembali provocative proactive setidaknya dalam hidup saya.

Implementasi Teori Konspirasi Teror Bom



Implementasi Teori Konspirasi Teror Bom

Senada dengan yang pernah dikatakan Pandji Pragiwaksono dalam Nasional.is.me, bom tidak bertujuan untuk membunuh sasaran massa atau seseorang. Bom lebih merupakan teror yang menakutkan karena efek eksplosifnya yang menggetarkan tubuh dan jiwa.
Enggan rasanya untuk mengatakan bahwa bom yang meledak akhir-akhir ini di salah satu mall di Indonesia merupakan semacam teror. Mari kita cerdas setidaknya berbekalkan teori intrik dalam buku maupun film The Godfather. Implementasinya adalah sebagai berikut:
1.       Jangan memperhitungkan waktu detail kapan bom itu meledak. Anggap saja akhir-akhir ini ada bom meledak di Indonesia. Bahkan jangan sebut meledaknya di mall ini atau itu. Lihatlah fenomena itu secara holistik.
2.       Pertimbangkan momen global saat ini. Satu isu menarik yang sering dilupakan, yaitu pengalihan isu itu sendiri. Selama ini pengalihan itu tidak pernah mendapatkan keabsahan dan kredibilitas akademik dan yuridis karena selalu dilakukan orang macam Don Vito Corleone.
3.       Jangan sekali-sekali berharap anda bisa mengungkap dalang di balik suatu kegaduhan tertentu. Sia-sia belaka.
4.       Pengalihan isu macam apa? Jangan juga sekali-kali menerka hal tersebut. Cukup pahamilah bahwa ada sesuatu besar di sana yang sedang terjadi. Sesuatu yang tidak tertangkap kamera media. Pikirkan kata bijak dari seorang budayawan berikut: “Menurut anda, kira-kira yang sesungguhnya terjadi di lapangan itu bisakah digambarkan secara akurat melalui media? Kalau anda lihat tayangan media, percayakah anda bahwa memang sepeti itulah yang sedang terjadi di lapangan?” Tolong buka mata anda dan lihat lebih jauh bahwa masa depan dan yang sedang terjadi itu selalu samar-samar. Boro-boro masa depan dan kejadian yang sedang terjadi, masa lalu saja yang jelas tunggal pun samar-samar!!!!!!!!!! Mohon jangan mudah percaya pada apapun. Bahkan katakanlah padaku, “Aku tidak percaya padamu. Aku hanya tidak percaya apapun.”
5.       Sekali lagi katakan: “Aku tidak percaya apapun!”
6.       Sekarang mari lihat motif yang lebih praktis dalam kasus bom kemarin itu. Ada satu perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan fenomena pengeboman-pengeboman sebelumnya. Sampai di sini ada yang salah? Ada! Pengeboman kemarin itu jangan dilihat sebagai kasus yang perlu diselidiki! Hey, itu bukan kasus! Itu fenomena! Sekali lagi, itu FENOMENA! Anda yang mengerti teori konspirasi saya mungkin tak perlu melanjutkan tulisan ini.
7.       Fenomena dan kasus itu berbeda. Kalau anda tidak mengerti, pelajarilah metodologi penelitian kualitatif.
8.       Kalau tidak ada waktu, setidaknya pegang satu hal ini: FENOMENA adalah hal yang wajar terjadi. Tawuran antar pelajar misalnya, itu fenomena. Baru menjadi kasus misalnya kalau tawuran itu menggunakan peralatan perang bangsa Viking atau peralatan perang yang dulu dipakai Leonidas dkk (atau pinjem bom atomnya Kim Jong Un lalu kalau sudah selesai dipakai dikembaliin).
9.       Fenomena bom kemarin terjadi secara kurang terampil. Sang godfather nampaknya memang ingin disangka kurang terampil. Kalau terampil maka kemasan akan seperti pengeboman-pengeboman (oleh teroris) sebelum-sebelumnya. Nah, mengapa sengaja dibikin kurang terampil? Karena dari situlah jalan masuk untuk teori konspirasi semacam ini.
10.   Perlu diperhatikan: implementasi teori konspirasi dalam tulisan saya ini tidak boleh dipegang sebagai satu-satunya kebenaran. Tulisan saya ini mungkin nilai kebenarannya tidak lebih dari seperseribu. Tapi meski kecil, ada satu perseribu kemungkinan bukan? Bukan.
11.   Sang godfather merancang pengeboman kemarin karena ingin mengirimkan pesan kepada seorang penguasa semu. Ia ingin bilang, “Hei kamu penguasa semu, kami sekarang sudah memiliki dukungan hebat dari kelompok bersenjata! Kamu jangan main omong saja! Bisa-bisa kami tembak mulutmu yang bisanya protes melulu itu! Hahahhahahhahahahhahhahah.
12.   Banyak hal yang sifatnya terlalu praktis sengaja tidak saya tuliskan di sini karena saya tidak mau disangka skuzon atau menuduh pihak-pihak tertentu. Inilah tulisan yang saya sajikan dengan tetap berpedoman pada standar etik terkait.

Indonesia, 30 Oktober 2015
Penulis teori ini rela bila sewaktu-waktu dibunuh demi kepentingan kelompok tertentu.
Tak dapat dipungkiri, pemberedelan media sampai kini juga masih terjadi tapi dengan cara lain.
Saya takkan berteriak lantang: “Lawan!”
Tidak.
Bahasa saya adalah bahasa tulis.
Bila anda ingin melawan saya, sebenarnya memakai tulisan adalah cara yang paling relevan.
Tapi bila peluru anda sudah ingin terbang, sarangkanlah di kepala saya yang badannya pengangguran ini.