Minggu, 11 Oktober 2015

Pensiunan



Puisi 12 Oktober 2015
Pensiunan

Semenjak pensiun dari kantor buruh 3 tahun lalu, aku dan ibuku yang janda kompak ngamen kesana-sini
Kebetulan, ibuku pandai main gitar. Aku yang berdendang sambil menerima receh.

Tak punya pensiunan, pesangon sudah habis,
kini kami hidup lebih prihatin.
Sejak dulu sudah prihatin sih,
bedanya, kalau dulu kemana-mana bisa pakai onthel.
Sekarang onthel sudah dijual.
Ibu harus gendong aku kemana-mana
bila kaki tak mampu lagi melangkah.
Jadi ga bisa berdendang deh.
Tapi orang jadi lebih iba bila melihat ibuku menggendongku kemana-mana.

Entah kenapa, kakiku mudah capek. Sudah dari sononya.
Bukannya dokter tak sanggup ya, ibukulah yang tak punya duit buat aku berobat.
Kata orang percuma, aku sudah cacat!

Ketidakpastian ekonomi buat kami mengais rezeki dengan ngamen.
Ngamen kami bukan ngemis. Itupun sucukupnya buat hidup sehari.
Esok ada kesusahannya sendiri.

Tak seperti almarhum bapak dulu, ibu tak biasa menabung.
Saranku untuk menabung dihardiknya, “Nabung tanda kamu tak percaya jaminan hidup dari Tuhan!”

Tahun ini kegiatan ngamen mengamen dilarang pemerintah yang kuasa.
Kamipun kelabakan.
Tak ada duit, tak bisa beli apa-apa, lapar, nunggu mati aja.

Tapi ibu punya siasat untuk menunda kematian.
Barang di rumah dijuali satu per satu.
Akhirnya rumah dan tanah dijual juga.
Kami berencana hidup mapan menggelandang.
Hasil penjualan itu cukuplah buat hidup setahun tanpa ngemis.
Juga bisa buat beli sepeda baru.
Aku tak perlu kasihan lagi sama ibu.
Ia tak perlu lagi menggendongku kemana-mana.

Kini hidup kami indah begini adanya.
Dari satu jalan ke jalan lain.
Senang rasanya dibonceng ibu dengan sepeda onthel baru.
“Bu, aku sayang padamu.”

Untuk seorang anak difabel dan ibunya yang setia membonceng sang anak kemana-mana dengan sepeda bututnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar