Jumat, 30 Oktober 2015

Hijrah



Essay Parodi Jumat, 30 Oktober 2015
Hijrah

Pagi ini belum sempat nonton dan ndengerin pak Mario. Maaf pak, tadi buru-buru banget. Tapi kalau pak Mario tahu justru ia pasti senang karena tandanya saya punya kerjaan, hahahhaha.
Anyway. Meski kebiasaan yang hendak saya bangun itu mis pada hari ini, tapi kebiasaan satunya tidak bisa mis. Yang satu ini mau tidak mau, entah bagaimana caranya, musti dilakukan sebelum ‘kerja’. Hahahhaha...... Tanda apostrof itu memberi makna banyak, hahahhahah lol.
Kebiasaan itu adalah baca buku dan nulis yah, essay atau kegundahan pagi macam ini. Kalau membaca pasti kan dapat inspirasi, nah, aku tuh sayang sekali dengan mozaik-mozaik itu intuitif itu, maka tuliskan saja. Eh, barangkali suatu saat kelak dapat berguna.
Jadi pagi ini saya baca-baca dulu cicilan Nasional.is.me. Itu buku dah terkenal banget lah setidaknya di kalangan kawula muda. Gua masih muda kaleeee,,,,, Saya berani bilang bahwa anak muda Indonesia belum Indonesia kalau belum pernah baca buku ini. Anak muda Indonesia bahkan bisa kehilangan jati diri masa kini kalau belum baca buku ini. Yah aku sih aga fanatik yah, tapi si Pandji itu emang penulis dan speaker kegemaranku yang gue banget. Gaulnya dapet, seriusnya dapet, tapi tetep anak mudaaaa banget.
Pagi ini saya membaca subbab ‘dari Sabang sampai Merauke’. Kebetulan saya orangnya suka jalan-jalan tapi tak punya banyak waktu buat lakuinnya. Sementara ini masih sayang waktu juga sih, mendingan buat baca buku, lebih dapat banyak. Tapi lambat laun saya tahu ini salah besar. Oke deh, nanti kalau ada waktu pasti aku jalan-jalan. Jalan-jalan keliling kota dengan kaki just like fugue. Hobiku yang paling dalam.
Baik. Kenapa saya suka baca kisah perjalanan? Sederhananya untuk kompensasi karena saya sendiri tidak sempat jalan-jalan (kaki keliling kota). Pengen sih jalan-jalan keliling kota, propinsi, bahkan dunia sekalian tapiiiii kan butuh wang! Nah ini yang masih jadi masalah. Jadi, kompensasinya ya baca buku kaum musafir misalnya Geography of the Bliss karya Erich Weiner, trilogi kegilaannya si Agustinus Wibowo, dan lain-lain. Eh, kebetulan subbab Nasional.is.me kali ini sesuai dengan kehausanku.
Sebelum mengakhiri tulisan ini dan kembali pada bacaan, saya mau cerita dikit kenapa saya suka mfugue. Mfugue adalah kegemaran saya untuk jalan-jalan keliling kota dengan, jalan kaki. Awalan huruf ‘m’ berarti bahwa saya sebagai pelaku sedang melakukan aktifitas fugu dulu. Seperti dalam mbaca misalnya, artinya sedang melakukan aktifitas baca. Nah, sekarang kalau mfugue sudah jelas kan?
Fugue sendiri adalah suatu kelainan (dalam bahasa Inggris disorder, bukan penyakit – hanya order yang tidak biasa saja og) psikologis yang menyebabkan orang suka jalan-jalan (pake kaki) sampai jauh karena tidak punya lagi orientasi jarak dan rasa lelah. Begitu sederhananya. Dalam kasus saya, mfugue kegemaran saya tidak sampai terdiagnosis karena memang tidak memenuhi kriteria diagnosis. Begitulah bila fugue disorder dilihat secara kontinum. Halah, apa sih.
Intinya gue mau cerita bahwa kebiasaan mfugue itu membuatku makin bijaksana. Lol.
Serius, gua ga bercanda yah. Dari mfugue saya jadi melihat realita jalan raya dan kehidupan manusia sehari-hari yang mengakar rumpun. Saya jadi tahu apa itu arus bawah, kehidupan yang sebenarnya, kehidupan yang membumi, dst. Ternyata jauh dari kesan kehidupan yang digambarkan para motivator. Eh, maaf yah buat para motivator, terutama bagi yang sadar bahwa konteks pembicaraannya seakan-akan berlandaskan pola kemasyarakatan Jakarta sentris. Maksudnya apa? Jujur saja, tiap kali ndengerin motivator-motivator itu ya, mereka tuh omongnya seakan cuma relevan untuk masyarakat Jakarta dengan dinamika sehari-harinya saja. Kalau omongan mereka dilihat dari kaca mata daerah-daerah lain, kok rasanya jadi aneh dan tidak relevan.
Nah, para motivator yang terhormat, apakah saya salah? Semoga saya ada benarnya meski tidak menutup kemungkinan juga bisa salah.
Lol.
Akhir kata, semoga kita bisa berhijrah seperti anjuran nabi. Saya sendiri senang bila saja bisa berhijrah terus menerus, sebab mungkin karena saya tidak pernah mengalami rasa sakit dan derita mereka yang berhijrah. Mereka yang selalu berhijrah misalnya karena orang tua pindah tugas melulu, mungkin juga tidak pernah merasakan derita dan rasa sakit orang macam saya yang sejak kecil menetap di satu rumah melulu. Ya, dunia ini emang aprioristik gitu.
Oke deh, by the way. Tks banget buat temen-temen yang sudah baca postingan saya kali ini. Semoga tambah wawasan. Selamat menjalani kehidupan. Selamat berhijrah. Saya mau hijrah dulu ke pekerjaan hari ini, hahahhahah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar