Senin, 26 Oktober 2015

Penelitian Tuhan



Essay 16 Oktober 2015
Penelitian Tuhan

Usaha Pencarian Manusia Atas Tuhan
Tuhan merupakan bagian dari otak manusia yang ada secara alamiah. Manusia terlahir dengan gen untuk mempercayai oknum yang biasa disebut sebagai Tuhan (Pasiak, 2012). Bloom (2005) menyatakan bahwa bagian otak yang memuat gen “iman kepada Tuhan” tersebut tumbuh secara aksidental. Namun bila demikian yang terjadi, mengapa kejadian aksidental tersebut terjadi pada mayoritas umat manusia? Pasiak (2012) justru menyatakan bahwa gen tersebut memang ada dalam seluruh umat manusia sebagai memanifestasikan moralitas. Dengan demikian, menurut neurosains Tuhan adalah moralitas itu sendiri. Dalam freudian, moralitas ini setara dengan superego (Pals, 2012). Dorongan moralitas alami tentu ada dalam semua manusia. Dorongan moralitas inilah yang disebutkan Armstrong (2015) sebagai buah pengetahuan yaitu kemampuan manusia membedakan baik dan buruk secara alami. Kemampuan manusia untuk membedakan baik dan buruk secara alami adalah permulaan sejarah Tuhan (Armstrong, 2015).
Penghayatan kepada Tuhan senantiasa menjadi kerinduan umat manusia. Di sisi lain, secara psikologis penghayatan spiritualitas ketuhanan atau beragama dapat atau tidak dapat menjadi neurotisisme dalam hidup seseorang (Bonelli & Koenig, 2013). Kecenderungan dampak positif penghayatan spiritual pada kesehatan psikologis manusia ditunjukkan misalnya oleh penelitian di Detroit, Amerika Serikat (Ellison, Boardman, Williams, & Jackson, 2001). Ellison et al (2001) melaporkan bahwa penghayatan spiritualitas cenderung meningkatkan kesejahteraan hidup, menurunkan tendensi gangguan mental kecemasan, menurunkan tendensi gangguan mental depresi mayor, dan tidak memiliki pengaruh sama sekali pada neurotisisme seseorang (Ellison & Levin, 1998). Temuan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa penghayatan spiritual manusia cenderung membawa dampak neurotisisme tertentu (Ellis, 1980);
Hasil penelitian-penelitian sebagaimana telah disebutkan bukanlah konklusi atas point kegelisahan Freud secara khusus atau kaum psikoanalisis secara umum dalam hal permasalahan penghayatan spiritualitas manusia (Pals, 2012; Strachey & Freud, 1961). Kegelisahan kaum psikoanalisa atas penghayatan spiritualitas manusia tidak melulu pada urusan diagnostika neurotisisme secara diskretis dalam psikologi klinis. Kegelisahan tersebut lebih dilihat sebagai neurotisisme dalam kehidupan manusia yang makin lama nampak makin wajar (Brill, 1938; Freud, 2002; Freud, 2002; Freud, 2010).  
Seiring perjalanan waktu, Freud memiliki banyak penentang. Penentang bangkit melawan idealisme Freud karena seakan-akan agama atau spiritualitas tidak lebih dari angan-angan manusia. Pals (2012) sendiri juga menentang Freud karena kurang jelinya Freud dalam mendefinisikan tentang agama atau spiritualitas itu sendiri. Selama ini Freud hanya berkutat pada agama teistik atau monoteistik dan tidak mempertimbangkan agama nonteistik (seperti Buddha) atau politeistik (seperti Hindu). Namun demikian, Freud akan selalu ada benarnya. Kerja keras Freud terkait dengan persoalan spiritualitas tidak dapat dianggap salah begitu saja. Studi Freud yang pesimistik walau bagaimanapun tetap relevan untuk dijadikan pegangan untuk membangun kepribadian sehat. Selama manusia masih dihadapkan pada persoalan dinamikan psikologi bawah sadar, ambang sadar, dan sadar, psikoanalisis Freud akan tetap berfungsi, termasuk untuk menyikapi persoalan neurotisisme spiritual yang disebabkan oleh kepercayaan religius (Pals, 2012).
Osborne (1950) pada akhirnya memberi konklusi bahwa inti dari pada yang ingin dinyatakan Freud atau para kaum psikoanalisis adalah agar manusia hidup dalam kesadaran penuh. Hidup dalam kesadaran penuh berarti bahwa ego manusia mampu mengeksekusi dorongan-dorongan id maupun superego yang sering berasal dari area ketidaksadaran (Feist & Feist, 2008). Hidup dalam kesadaran penuh adalah satu-satunya cara bagi manusia untuk menjadi sehat secara psikis (Osborne, 1950; Brahm, 2011; Armstrong, 2013) termasuk dalam berketuhanan atau beragama. Dengan ini perilaku spiritualitas manusia diharapkan bukan menjadi cerminan dari neurotisisme belaka.
Pals (2008) menjelaskan point utama dalam psikoanalisa freudian adalah narasi kehidupan manusia itu sendiri. Perilaku manusia menurut teori freudian senantiasa didorong oleh narasi kehidupan manusia tersebut. Salah satu aspek narasi kehidupan manusia adalah spiritualitas ketuhanan. Psikoanalisis ingin mengajak manusia untuk mengetahui detail seluk beluk narasi manusia atau dalam kata lain adalah motif-motif asadar manusia yang senantiasa memiliki sumber pada masa lalu. Dengan cara ini, Pals (2008) menjelaskan tentang kesadaran penuh dengan sangat baik. Manusia yang telah mengetahui motif-motif asadar diharapkan menyadari motif-motif tersebut secara rendah hati dan tidak lagi berperilaku berdasarkan impuls-impuls asadar tersebut. Dengan kesadaran penuh ini manusia diajak untuk mengubah paradigma perilaku yaitu dengan meninggalkan motif yang dirasa kurang tepat dan mengganti dengan motif yang lebih tepat berdasarkan kesadaran (Pals, 2012; Osborne, 1950) termasuk dalam hal berketuhanan.
Transformasi perilaku manusia sebagaimana telah dijelaskan ternyata tidak semudah menasihati pasien psikoanalisis karena transformasi tersebut telah merambah ranah kepribadian yaitu motif-motif manusia. Kesulitan manusia untuk merubah motif perilaku atau kepribadian dikarenakan sulitnya hati manusia untuk merendahkan hati (Armstrong, 2013). Kerendahan hati diperlukan karena penyadaran motif seringkali membuat manusia mengerti betapa rusak dan berdosanya kehidupan yang selama ini telah dijalani. Penyadaran seperti ini membuat kecenderungan MPD kembali menguasai yaitu bila manusia gagal untuk menerima realitas diri (Feist & Feist, 2008; Pals, 2012).
Tidak dapat dipungkiri, paradigma yang menyatakan bahwa agama atau spiritualitas adalah ciri neurotisisme manusia sebagaimana diwariskan oleh Freud masih terus ada dan berkembang (Pals, 2012). Perkembangan paradigma tersebut cenderung dipelopori kaum intelektual pro atheisme seperti Sam Harris (2005) dalam The End of Faith dan Letter to a Christian Nation (Harris, 2006), Christopher Hitchens (2007) dalam God is not Great, Richard Dawkins (2006) dalam The God Delution, maupun Stephen Hawking (2010) dalam The Grand Design. Tanpa kecenderungan pro atau kontra antheisme, Karen Armstrong (2013) dalam Masa Depan Tuhan menyanggah para tokoh tersebut dengan konklusi solutif.
Armstrong (2015) dalam Sejarah Tuhan maupun dalam Masa Depan Tuhan (Armstrong, 2013) menyatakan bahwa pertentangan agama atau spiritualitas seringkali berangkat dari sudut pandang yang sempit yaitu latar belakang keilmuan seorang tokoh itu sendiri. Pertentangan tentang antropomorfisme perwujudan tuhan misalnya, hanyalah salah satu segi dalam masalah spiritualitas (Armstrong, 2015). Segi lain seperti mistisisme juga perlu diketengahkan (Susanto, 1987; Eliade, 2002; Eliade dalam Pals, 2012; Frager, 2014). Cara memandang permasalahan agama atau spiritualitas juga perlu memperhatikan variasi sudut pandang keilmuan yang jadi latar belakang ilmuan komentator. Kebenaran yang senantiasa relativistik menyebabkan satu sudut pandang kebenaran harus diterima oleh sudut pandang yang lain. Hawking (2010) misalnya, tidak dengan serta merta dapat memaksakan sudut pandang sains fisikanya sebagai kebenaran mutlak. Dimensi kultural, psikologi, mistisisme, dan lain-lain kiranya memiliki sudut pandang kebenarannya sendiri-sendiri yang harus selalu dihargai (Haught, 1995; Barbour, 2002, Haryatmoko, 2014).  
Agama atau spiritualitas walau bagaimanapun telah terbukti memberi makna pada sisi kehidupan manusia misalnya dalam hal kerinduan mistisisme atas sosok Mahakuasa (Sadra, 2011; Frager, 2014). Spiritualitas yang beragam telah terbukti berkontribusi dalam perkembangan sejarah kehidupan manusia dari generasi ke generasi (Armstrong, 2007; Armstrong, 2015). Meski spiritualitas atau agama senantiasa memiliki sisi gelap, namun dibaliknya selalu ada sisi terang. Sisi terang inilah yang harus selalu dikembangkan untuk mengikis sisi gelap yang akan selalu ada secara dialektis (Marx dalam Pals, 2012). Adapun salah satu cara pengembangan sisi positif spiritualitas atau agama adalah dengan penelitian-penelitian ilmiah. Dengan demikian, penelitian (seperti ini) perlu (terus) dilakukan karena spiritualitas atau agama tidak semata-mata merupakan sebagian bentuk dari neurotisisme manusia sebagaimana yang diyakini Freud (VanderVeldt & Odenwald, 1952).
Armstrong (2013) dalam Compassion: 12 Jalan Menuju Hidup Berbelas Kasih semakin menegaskan bahwa spiritualitas bisa saja menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan belas kasih antar sesama manusia. Tidak ada yang salah dengan spiritualitas atau agama karena dengan cara tersebut manusia dan peradaban terus berkembang (Susanto, 1987; Armstrong, 2015). Nasihat Gamaliel dalam Kisah Para Rasul (LAI, 2001) juga menjelaskan tentang perkembangan institusi rohani atau sekular dengan sangat bijaksana untuk menyikapi persoalan spiritualitas atau agama. Rabi Gamaliel menyatakan bahwa suatu gerakan yang tidak berkenan di mata Tuhan pastilah akan musnah dengan sendirinya (Kis 5: 34-39). Teks kitab suci ini hendak menyatakan bahwa kelestarian suatu hal dalam dunia pasti memiliki misteri ilahi transenden yang tak terpahami oleh manusia. Misteri ilahi tersebut merupakan kebijakan Tuhan yang memiliki makna tertentu bagi kehidupan umat manusia (Mulyatno, 2015).
Sebagaimana telah dijelaskan Pals (2012), kepercayaan religius atau penghayatan spiritual manusia terdiri dari motif-motif sadar atau (kebanyakan) asadar yang mewujud dalam perilaku spiritual manusia. Akar perilaku adalah proses-proses psikologi dalam manusia yang disebut motif atau dalam terminologi kualitatif setara dengan narasi kehidupan. Narasi kehidupan yang terkait dengan penghayatan spiritualitas ketuhanan dalam penelitian ini marupakan bagian dari pengalaman yang dialami seseorang secara amat subyektif. Pengalaman mistik ketuhanan yang sama dapat dimaknai dua orang secara berbeda (Armstrong, 2015; Creswell, 2014). Dengan demikian, penelitian ini mengambil metodologi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif (Smith, Flowers, & Larkin, 2009; Smith & Osborn, 2008 dalam Smith, 2008). Pendekatan fenomenologi interpretatif dalam penelitian ini akan menggali proses-proses pemaknaan responden atas pengalaman spiritual yang telah dialami secara dialektis.  Dialektika naratif merupakan usaha analisis data yang dilakukan peneliti untuk mencari kesimpulan motif atau tema utama yang dimiliki responden terkait dengan penghayatan spiritual ketuhanan yang dijalankan selama ini. Analisis data fenomenologi interpretatif ini dilakukan dengan prinsip eksploratif peneliti pada data-data obyektif yang didapat dari lapangan terutama eksplorasi responden sendiri atas penghayatan spiritual ketuhanan yang telah dijalankan.
Dalam konteks Indonesia, kepercayaan spiritual terwujud dalam agama-agama maupun kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penelitian ini mengambil sampel responden dari kalangan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yaitu Kaweruh Hak 101 di Cilacap, Jawa Tengah. Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ditentukan untuk memfokuskan kajian kepustakaan karena ajaran Kaweruh Hak 101 dinilai lebih sederhana (Sumartoyo & Rories, 2013). Kepercayaan Kaweruh Hak 101 tidak terlalu memperlihatkan kompleksitas proses sejarah dan kultural dibandingkan agama-agama pada umumnya (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) (Armstrong, 2015).
Penelitian ini dilakukan untuk menggali dan memahami fenomena kepercayaan spiritual manusia atas isu ketuhanan. Penghayatan spiritual akan dieksplorasi dari responden penelitian untuk memahami tema-tema utama yang menjadi motif kepercayaan spiritual yang dimiliki. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menunjukkan apakah perilaku mempercayai spiritualitas tertentu tergolong sehat atau tidak sehat. Motif spiritual yang disadari mengindikasikan sehatnya kepercayaan spiritual yang dijalani responden. Sebaliknya, motif spiritual yang tidak disadari mengindikasikan neurotisisme kepercayaan spiritual yang dimiliki responden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar