Essay 16 Oktober 2015
Penelitian
Tuhan
Usaha Pencarian Manusia Atas Tuhan
Tuhan merupakan bagian
dari otak manusia yang ada secara alamiah. Manusia terlahir dengan gen untuk
mempercayai oknum yang biasa disebut
sebagai Tuhan (Pasiak, 2012). Bloom (2005) menyatakan bahwa bagian otak yang
memuat gen “iman kepada Tuhan” tersebut tumbuh secara aksidental. Namun bila
demikian yang terjadi, mengapa kejadian aksidental tersebut terjadi pada
mayoritas umat manusia? Pasiak (2012) justru menyatakan bahwa gen tersebut
memang ada dalam seluruh umat manusia sebagai memanifestasikan moralitas.
Dengan demikian, menurut neurosains Tuhan adalah moralitas itu sendiri. Dalam
freudian, moralitas ini setara dengan superego (Pals, 2012). Dorongan moralitas
alami tentu ada dalam semua manusia. Dorongan moralitas inilah yang disebutkan
Armstrong (2015) sebagai buah pengetahuan yaitu kemampuan manusia membedakan
baik dan buruk secara alami. Kemampuan manusia untuk membedakan baik dan buruk
secara alami adalah permulaan sejarah Tuhan (Armstrong, 2015).
Penghayatan kepada
Tuhan senantiasa menjadi kerinduan umat manusia. Di sisi lain, secara
psikologis penghayatan spiritualitas ketuhanan atau beragama dapat atau tidak
dapat menjadi neurotisisme dalam hidup seseorang (Bonelli & Koenig, 2013).
Kecenderungan dampak positif penghayatan spiritual pada kesehatan psikologis
manusia ditunjukkan misalnya oleh penelitian di Detroit, Amerika Serikat
(Ellison, Boardman, Williams, & Jackson, 2001). Ellison et al (2001)
melaporkan bahwa penghayatan spiritualitas cenderung meningkatkan kesejahteraan
hidup, menurunkan tendensi gangguan mental kecemasan, menurunkan tendensi
gangguan mental depresi mayor, dan tidak memiliki pengaruh sama sekali pada
neurotisisme seseorang (Ellison & Levin, 1998). Temuan ini bertolak
belakang dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa penghayatan
spiritual manusia cenderung membawa dampak neurotisisme tertentu (Ellis, 1980);
Hasil
penelitian-penelitian sebagaimana telah disebutkan bukanlah konklusi atas point
kegelisahan Freud secara khusus atau kaum psikoanalisis secara umum dalam hal
permasalahan penghayatan spiritualitas manusia (Pals, 2012; Strachey &
Freud, 1961). Kegelisahan kaum psikoanalisa atas penghayatan spiritualitas
manusia tidak melulu pada urusan diagnostika neurotisisme secara diskretis
dalam psikologi klinis. Kegelisahan tersebut lebih dilihat sebagai neurotisisme
dalam kehidupan manusia yang makin lama nampak makin wajar (Brill, 1938; Freud,
2002; Freud, 2002; Freud, 2010).
Seiring perjalanan waktu,
Freud memiliki banyak penentang. Penentang bangkit melawan idealisme Freud
karena seakan-akan agama atau spiritualitas tidak lebih dari angan-angan
manusia. Pals (2012) sendiri juga menentang Freud karena kurang jelinya Freud
dalam mendefinisikan tentang agama atau spiritualitas itu sendiri. Selama ini
Freud hanya berkutat pada agama teistik atau monoteistik dan tidak
mempertimbangkan agama nonteistik (seperti Buddha) atau politeistik (seperti
Hindu). Namun demikian, Freud akan selalu ada benarnya. Kerja keras Freud
terkait dengan persoalan spiritualitas tidak dapat dianggap salah begitu saja.
Studi Freud yang pesimistik walau bagaimanapun tetap relevan untuk dijadikan
pegangan untuk membangun kepribadian sehat. Selama manusia masih dihadapkan
pada persoalan dinamikan psikologi bawah sadar, ambang sadar, dan sadar,
psikoanalisis Freud akan tetap berfungsi, termasuk untuk menyikapi persoalan
neurotisisme spiritual yang disebabkan oleh kepercayaan religius (Pals, 2012).
Osborne (1950) pada
akhirnya memberi konklusi bahwa inti dari pada yang ingin dinyatakan Freud atau
para kaum psikoanalisis adalah agar manusia hidup dalam kesadaran penuh. Hidup
dalam kesadaran penuh berarti bahwa ego manusia mampu mengeksekusi
dorongan-dorongan id maupun superego yang sering berasal dari area
ketidaksadaran (Feist & Feist, 2008). Hidup dalam kesadaran penuh adalah
satu-satunya cara bagi manusia untuk menjadi sehat secara psikis (Osborne,
1950; Brahm, 2011; Armstrong, 2013) termasuk dalam berketuhanan atau beragama.
Dengan ini perilaku spiritualitas manusia diharapkan bukan menjadi cerminan
dari neurotisisme belaka.
Pals (2008) menjelaskan
point utama dalam psikoanalisa freudian adalah narasi kehidupan manusia itu
sendiri. Perilaku manusia menurut teori freudian senantiasa didorong oleh
narasi kehidupan manusia tersebut. Salah satu aspek narasi kehidupan manusia
adalah spiritualitas ketuhanan. Psikoanalisis ingin mengajak manusia untuk
mengetahui detail seluk beluk narasi manusia atau dalam kata lain adalah
motif-motif asadar manusia yang senantiasa memiliki sumber pada masa lalu.
Dengan cara ini, Pals (2008) menjelaskan tentang kesadaran penuh dengan sangat
baik. Manusia yang telah mengetahui motif-motif asadar diharapkan menyadari
motif-motif tersebut secara rendah hati dan tidak lagi berperilaku berdasarkan
impuls-impuls asadar tersebut. Dengan kesadaran penuh ini manusia diajak untuk
mengubah paradigma perilaku yaitu dengan meninggalkan motif yang dirasa kurang
tepat dan mengganti dengan motif yang lebih tepat berdasarkan kesadaran (Pals,
2012; Osborne, 1950) termasuk dalam hal berketuhanan.
Transformasi perilaku
manusia sebagaimana telah dijelaskan ternyata tidak semudah menasihati pasien
psikoanalisis karena transformasi tersebut telah merambah ranah kepribadian
yaitu motif-motif manusia. Kesulitan manusia untuk merubah motif perilaku atau
kepribadian dikarenakan sulitnya hati manusia untuk merendahkan hati
(Armstrong, 2013). Kerendahan hati diperlukan karena penyadaran motif
seringkali membuat manusia mengerti betapa rusak dan berdosanya kehidupan yang
selama ini telah dijalani. Penyadaran seperti ini membuat kecenderungan MPD
kembali menguasai yaitu bila manusia gagal untuk menerima realitas diri (Feist
& Feist, 2008; Pals, 2012).
Tidak dapat dipungkiri,
paradigma yang menyatakan bahwa agama atau spiritualitas adalah ciri
neurotisisme manusia sebagaimana diwariskan oleh Freud masih terus ada dan
berkembang (Pals, 2012). Perkembangan paradigma tersebut cenderung dipelopori
kaum intelektual pro atheisme seperti Sam Harris (2005) dalam The End of Faith dan Letter to a Christian Nation (Harris,
2006), Christopher Hitchens (2007) dalam God
is not Great, Richard Dawkins (2006) dalam The God Delution, maupun Stephen Hawking (2010) dalam The Grand Design. Tanpa kecenderungan
pro atau kontra antheisme, Karen Armstrong (2013) dalam Masa Depan Tuhan menyanggah para tokoh tersebut dengan konklusi
solutif.
Armstrong (2015) dalam Sejarah Tuhan maupun dalam Masa Depan Tuhan (Armstrong, 2013)
menyatakan bahwa pertentangan agama atau spiritualitas seringkali berangkat
dari sudut pandang yang sempit yaitu latar belakang keilmuan seorang tokoh itu
sendiri. Pertentangan tentang antropomorfisme perwujudan tuhan misalnya, hanyalah salah satu segi dalam masalah
spiritualitas (Armstrong, 2015). Segi lain seperti mistisisme juga perlu
diketengahkan (Susanto, 1987; Eliade, 2002; Eliade dalam Pals, 2012; Frager,
2014). Cara memandang permasalahan agama atau spiritualitas juga perlu
memperhatikan variasi sudut pandang keilmuan yang jadi latar belakang ilmuan
komentator. Kebenaran yang senantiasa relativistik menyebabkan satu sudut
pandang kebenaran harus diterima oleh sudut pandang yang lain. Hawking (2010)
misalnya, tidak dengan serta merta dapat memaksakan sudut pandang sains
fisikanya sebagai kebenaran mutlak. Dimensi kultural, psikologi, mistisisme,
dan lain-lain kiranya memiliki sudut pandang kebenarannya sendiri-sendiri yang
harus selalu dihargai (Haught, 1995; Barbour, 2002, Haryatmoko, 2014).
Agama atau
spiritualitas walau bagaimanapun telah terbukti memberi makna pada sisi
kehidupan manusia misalnya dalam hal kerinduan mistisisme atas sosok Mahakuasa
(Sadra, 2011; Frager, 2014). Spiritualitas yang beragam telah terbukti
berkontribusi dalam perkembangan sejarah kehidupan manusia dari generasi ke generasi
(Armstrong, 2007; Armstrong, 2015). Meski spiritualitas atau agama senantiasa
memiliki sisi gelap, namun dibaliknya selalu ada sisi terang. Sisi terang
inilah yang harus selalu dikembangkan untuk mengikis sisi gelap yang akan
selalu ada secara dialektis (Marx dalam Pals, 2012). Adapun salah satu cara
pengembangan sisi positif spiritualitas atau agama adalah dengan
penelitian-penelitian ilmiah. Dengan demikian, penelitian (seperti ini) perlu
(terus) dilakukan karena spiritualitas atau agama tidak semata-mata merupakan
sebagian bentuk dari neurotisisme manusia sebagaimana yang diyakini Freud
(VanderVeldt & Odenwald, 1952).
Armstrong (2013) dalam Compassion: 12 Jalan Menuju Hidup Berbelas
Kasih semakin menegaskan bahwa spiritualitas bisa saja menjadi salah satu
sarana untuk mewujudkan belas kasih antar sesama manusia. Tidak ada yang salah
dengan spiritualitas atau agama karena dengan cara tersebut manusia dan
peradaban terus berkembang (Susanto, 1987; Armstrong, 2015). Nasihat Gamaliel
dalam Kisah Para Rasul (LAI, 2001) juga menjelaskan tentang perkembangan
institusi rohani atau sekular dengan sangat bijaksana untuk menyikapi persoalan
spiritualitas atau agama. Rabi Gamaliel menyatakan bahwa suatu gerakan yang
tidak berkenan di mata Tuhan pastilah akan musnah dengan sendirinya (Kis 5:
34-39). Teks kitab suci ini hendak menyatakan bahwa kelestarian suatu hal dalam
dunia pasti memiliki misteri ilahi transenden yang tak terpahami oleh manusia.
Misteri ilahi tersebut merupakan kebijakan Tuhan yang memiliki makna tertentu
bagi kehidupan umat manusia (Mulyatno, 2015).
Sebagaimana telah
dijelaskan Pals (2012), kepercayaan religius atau penghayatan spiritual manusia
terdiri dari motif-motif sadar atau (kebanyakan) asadar yang mewujud dalam
perilaku spiritual manusia. Akar perilaku adalah proses-proses psikologi dalam
manusia yang disebut motif atau dalam terminologi kualitatif setara dengan
narasi kehidupan. Narasi kehidupan yang terkait dengan penghayatan
spiritualitas ketuhanan dalam penelitian ini marupakan bagian dari pengalaman
yang dialami seseorang secara amat subyektif. Pengalaman mistik ketuhanan yang
sama dapat dimaknai dua orang secara berbeda (Armstrong, 2015; Creswell, 2014).
Dengan demikian, penelitian ini mengambil metodologi kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi interpretatif (Smith, Flowers, & Larkin, 2009; Smith &
Osborn, 2008 dalam Smith, 2008). Pendekatan fenomenologi interpretatif dalam
penelitian ini akan menggali proses-proses pemaknaan responden atas pengalaman
spiritual yang telah dialami secara dialektis.
Dialektika naratif merupakan usaha analisis data yang dilakukan peneliti
untuk mencari kesimpulan motif atau tema utama yang dimiliki responden terkait
dengan penghayatan spiritual ketuhanan yang dijalankan selama ini. Analisis
data fenomenologi interpretatif ini dilakukan dengan prinsip eksploratif
peneliti pada data-data obyektif yang didapat dari lapangan terutama eksplorasi
responden sendiri atas penghayatan spiritual ketuhanan yang telah dijalankan.
Dalam konteks
Indonesia, kepercayaan spiritual terwujud dalam agama-agama maupun kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penelitian ini mengambil sampel responden dari
kalangan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yaitu Kaweruh Hak 101 di
Cilacap, Jawa Tengah. Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
ditentukan untuk memfokuskan kajian kepustakaan karena ajaran Kaweruh Hak 101
dinilai lebih sederhana (Sumartoyo & Rories, 2013). Kepercayaan Kaweruh Hak
101 tidak terlalu memperlihatkan kompleksitas proses sejarah dan kultural
dibandingkan agama-agama pada umumnya (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha)
(Armstrong, 2015).
Penelitian ini
dilakukan untuk menggali dan memahami fenomena kepercayaan spiritual manusia
atas isu ketuhanan. Penghayatan spiritual akan dieksplorasi dari responden
penelitian untuk memahami tema-tema utama yang menjadi motif kepercayaan
spiritual yang dimiliki. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menunjukkan
apakah perilaku mempercayai spiritualitas tertentu tergolong sehat atau tidak
sehat. Motif spiritual yang disadari mengindikasikan sehatnya kepercayaan
spiritual yang dijalani responden. Sebaliknya, motif spiritual yang tidak
disadari mengindikasikan neurotisisme kepercayaan spiritual yang dimiliki
responden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar