Senin, 26 Oktober 2015

Mereka Bilang Cuma Oknum



Essay 22 Oktober 2015
Mereka Bilang Cuma Oknum

Surving youtube membuat saya tahu bahwa ada kejadian menarik di pos polisi Jokteng Wetan. Ada seorang warga yang mendapati polisi dan seorang kernet sedang melakukan transaksi suap menyuap. Warga tersebut mungkin pengen jadi youtubers jadi ia menangkap momen pasti laku itu dengan kameranya. Diuploadlah ke channel youtubenya, meledaklah viewer beserta komentatornya. Kontroversi timbul dan tenggelam beberapa saat kemudian.
Pemilik channel tersebut sangat beruntung karena mampu menangkap moment yang mampu menghasilkan ratusan ribu viewer dengan cara relatif mudah. Relatif mudah? Iya! Bandingkan saja dengan youtubers lain yang susah payah membikin video super rumit, kreatif, bahkan mahal namun viewernya kalah jauh dengan channel sang penangkap moment. Tapi di sini kita tidak hendak membahas tentang tips-tips menjadi youtuber sukses. Kita hendak membahas moment di Jokteng Wetan itu secara lebih holistik.
Jujur saja, saya malah kasihan dengan pak polisinya. Saya tahu persis gaji mereka tidak tinggi-tinggi amat (bukan berarti uang suap menjadi halal ya). Rasa kasihan makin tinggi tatkala mereka diberi predikat oknum penerima suap. Mari kita bahas fenomena ini secara lebih holistik.
Sekarang lihat kasus pembakaran hutan. Siapa yang ditangkap? Mereka para pekerja lapangan, para manusia yang diberi predikat oknum lalu tersangka sebelum menetap sementara waktu di bui. Iya, oknum. Mereka bilang cuma oknum.
Polisi Jokteng Wetan akan dibilang oknum. Pembakar hutan di Riau, Jambi, dll juga akan dibilang oknum. Oknum? Iya, sebab para godfather mampu membikin rencana super rapih sampai mereka benar-benar invisible. Dalang sebenarnya? Mana mungkin tertangkap! Mereka bahkan kebal hukum.
Lagi, ambil contoh kasus kematian Munir. Kita semua kiranya tahu persis dalang besar dibalik kasus pembunuhan Munir. Tapi sayang, kita tak punya alat bukti. Maka, satu dua orang lalu dijadikan tersangka. Mereka ini oknum. Khusus untuk kasus Munir ini saya ibaratkan dengan pembunuhan seseorang dengan santet. Saya tahu persis bahwa dukun x mengirimkan santet pada A. Lalu apa yang saya lakukan ditengah kematian A yang secara umum disikapi secara wajar-wajar saja? Tidak ada. Saya tak mampu berbuat apapun karena tak ada alat bukti. Bila saya koar-koar, mereka akan bilang aku gila. Bila saya berani memperkarakan si dukun, bisa-bisa saya malah disantet sekalian! Seperti inilah kasus Munir, ekuivalen.
Kembali kepada rasa kasihan saya atas para oknum, terutama pada polisi di Jokteng Wetan. Mengapa harus ribut dengan kasus kecil ini? Kecil? Kalau dibandingkan yang “ berompi orange di Jakarta” ya pasti kecil. Meski kecil bukan berarti halal untuk dilakukan juga. Nah, sekarang mana yang benar: berantas kkn sampai akar-akarnya atau sampai pucuk-pucuknya?
Saya cukup pesimis. Apakah kkn harus diberantas? Nampaknya belum tentu. Kkn nampak sudah menjadi budaya yang mustinya dipandang secara lebih positivistik. Budaya? Iya. Budaya yang sudah mengakar di masyarakat. Kalau diberantas sampai akar-akarnya begini, kasihan rakyat kecil kan. Mending berantas sampai pucuk-pucuknya.
Contoh ini kisah nyata. Di Jogja, ada pihak yang ingin membangun gedung baru yang cukup tinggi. Gedung itu diperuntukkan untuk pendidikan tinggi sebuah perguruan setingkat S1. Pihak tersebut tentu perlu ijin dari masyarakat sekitar dalam bentuk tanda tangan persetujuan. Masyarakat kecil tersebut pintar juga. Mereka tidak mau memberi tanda tangan secara gratis. Mereka juga perlu diberi uang agar bersedia memberi ijin. Nah, apakah ini gratifikasi? Apakah ini aksi penyuapan yang perlu diberantas sampai akar-akarnya? Aduh, kasihan rakyat kecil ini kan! Penghasilan mereka berapa sih! Kan tidak tiap hari juga memberi upeti (baca: sogokan) macam itu. Lagi pula, uang itu memang diperlukan sebagai satu tanda jasa atau balas budi kepada masyarakat sekitar yang telah menerima kehadiran suatu pihak atau institusi tertentu.
Apakah dengan demikian gratifikasi menjadi halal untuk dilakukan? Ini bagian kaum agama untuk memberikan justifikasi. Bagian saya adalah secara sastra hukum. Bila dalam kasus kisah nyata itu tadi terjadi penegakan hukum dari aparat misalnya dengan menangkap dan mempidanakan semua tersangka, apa yang akan terjadi? Sesuai Sila 5 seharusnya seluruh pihak pemberi gratifikasi beserta seluruh penerima gratifikasi mendapatkan hukuman seadil-adilnya. Bila penerima gratifikasi orang tiga RT yang berjumlah 1000 orang? Semua harus dipenjara? Hah, di sinilah letak pergumulan batin saya (semoga batin kita semua). Tolong mengerti, contoh kisah nyata di Jogja yang saya tadikan juga terjadi di banyak tempat di Indonesia. Kejadian di tempat lain tentu memiliki setting situasi dan permasalahan yang beraneka ragam. Katakan terjadi di 10 tempat berbeda saja, berapa banyak orang yang mustinya berompi kuning dan dibui? Ribuan, bahkan puluhan ribu.
Kesimpulan: memberantas kkn sampai akar-akarnya nampak tidak relevan lagi. Memberantas kkn kini harus sampai ke pucuk-pucuknya.
Kkn sudah jadi budaya? Hm. Silahkan lihat saja di masyarakat secara langsung. Dalam sebuah proposal kegiatan RW misalnya ada dana lain-lain yang tidak dirinci pemakaiannya, kemana dana itu?
Ah, tidak semudah ini. Para pemucuk sudah pada sekongkol untuk memainkan peran masing-masing. Mereka bilang cuma oknum. Semua pelaku kejahatan adalah oknum. Padahal, segalanya selalu terstruktur, sistematis, dan masif. Nontonlah film The Godfather atau baca novelnya. Anda akan mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar