Essay 22 Oktober 2015
Mereka
Bilang Cuma Oknum
Surving youtube membuat saya tahu
bahwa ada kejadian menarik di pos polisi Jokteng Wetan. Ada seorang warga yang
mendapati polisi dan seorang kernet sedang melakukan transaksi suap menyuap.
Warga tersebut mungkin pengen jadi youtubers jadi ia menangkap momen pasti laku
itu dengan kameranya. Diuploadlah ke channel youtubenya, meledaklah viewer
beserta komentatornya. Kontroversi timbul dan tenggelam beberapa saat kemudian.
Pemilik channel tersebut sangat
beruntung karena mampu menangkap moment yang mampu menghasilkan ratusan ribu
viewer dengan cara relatif mudah. Relatif mudah? Iya! Bandingkan saja dengan
youtubers lain yang susah payah membikin video super rumit, kreatif, bahkan
mahal namun viewernya kalah jauh dengan channel sang penangkap moment. Tapi di
sini kita tidak hendak membahas tentang tips-tips menjadi youtuber sukses. Kita
hendak membahas moment di Jokteng Wetan itu secara lebih holistik.
Jujur saja, saya malah kasihan
dengan pak polisinya. Saya tahu persis gaji mereka tidak tinggi-tinggi amat
(bukan berarti uang suap menjadi halal ya). Rasa kasihan makin tinggi tatkala
mereka diberi predikat oknum penerima suap. Mari kita bahas fenomena ini secara
lebih holistik.
Sekarang lihat kasus pembakaran
hutan. Siapa yang ditangkap? Mereka para pekerja lapangan, para manusia yang
diberi predikat oknum lalu tersangka sebelum menetap sementara waktu di bui.
Iya, oknum. Mereka bilang cuma oknum.
Polisi Jokteng Wetan akan dibilang
oknum. Pembakar hutan di Riau, Jambi, dll juga akan dibilang oknum. Oknum? Iya,
sebab para godfather mampu membikin rencana super rapih sampai mereka
benar-benar invisible. Dalang sebenarnya? Mana mungkin tertangkap! Mereka
bahkan kebal hukum.
Lagi, ambil contoh kasus kematian
Munir. Kita semua kiranya tahu persis dalang besar dibalik kasus pembunuhan
Munir. Tapi sayang, kita tak punya alat bukti. Maka, satu dua orang lalu
dijadikan tersangka. Mereka ini oknum. Khusus untuk kasus Munir ini saya
ibaratkan dengan pembunuhan seseorang dengan santet. Saya tahu persis bahwa
dukun x mengirimkan santet pada A. Lalu apa yang saya lakukan ditengah kematian
A yang secara umum disikapi secara wajar-wajar saja? Tidak ada. Saya tak mampu
berbuat apapun karena tak ada alat bukti. Bila saya koar-koar, mereka akan
bilang aku gila. Bila saya berani memperkarakan si dukun, bisa-bisa saya malah
disantet sekalian! Seperti inilah kasus Munir, ekuivalen.
Kembali kepada rasa kasihan saya
atas para oknum, terutama pada polisi di Jokteng Wetan. Mengapa harus ribut dengan
kasus kecil ini? Kecil? Kalau dibandingkan yang “ berompi orange di Jakarta” ya
pasti kecil. Meski kecil bukan berarti halal untuk dilakukan juga. Nah,
sekarang mana yang benar: berantas kkn sampai akar-akarnya atau sampai
pucuk-pucuknya?
Saya cukup pesimis. Apakah kkn harus
diberantas? Nampaknya belum tentu. Kkn nampak sudah menjadi budaya yang
mustinya dipandang secara lebih positivistik. Budaya? Iya. Budaya yang sudah
mengakar di masyarakat. Kalau diberantas sampai akar-akarnya begini, kasihan rakyat
kecil kan. Mending berantas sampai pucuk-pucuknya.
Contoh ini kisah nyata. Di Jogja,
ada pihak yang ingin membangun gedung baru yang cukup tinggi. Gedung itu
diperuntukkan untuk pendidikan tinggi sebuah perguruan setingkat S1. Pihak
tersebut tentu perlu ijin dari masyarakat sekitar dalam bentuk tanda tangan
persetujuan. Masyarakat kecil tersebut pintar juga. Mereka tidak mau memberi
tanda tangan secara gratis. Mereka juga perlu diberi uang agar bersedia memberi
ijin. Nah, apakah ini gratifikasi? Apakah ini aksi penyuapan yang perlu
diberantas sampai akar-akarnya? Aduh, kasihan rakyat kecil ini kan! Penghasilan
mereka berapa sih! Kan tidak tiap hari juga memberi upeti (baca: sogokan) macam
itu. Lagi pula, uang itu memang diperlukan sebagai satu tanda jasa atau balas
budi kepada masyarakat sekitar yang telah menerima kehadiran suatu pihak atau
institusi tertentu.
Apakah dengan demikian gratifikasi
menjadi halal untuk dilakukan? Ini bagian kaum agama untuk memberikan
justifikasi. Bagian saya adalah secara sastra hukum. Bila dalam kasus kisah
nyata itu tadi terjadi penegakan hukum dari aparat misalnya dengan menangkap
dan mempidanakan semua tersangka, apa yang akan terjadi? Sesuai Sila 5
seharusnya seluruh pihak pemberi gratifikasi beserta seluruh penerima gratifikasi
mendapatkan hukuman seadil-adilnya. Bila penerima gratifikasi orang tiga RT
yang berjumlah 1000 orang? Semua harus dipenjara? Hah, di sinilah letak
pergumulan batin saya (semoga batin kita semua). Tolong mengerti, contoh kisah
nyata di Jogja yang saya tadikan juga terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Kejadian di tempat lain tentu memiliki setting situasi dan permasalahan yang
beraneka ragam. Katakan terjadi di 10 tempat berbeda saja, berapa banyak orang
yang mustinya berompi kuning dan dibui? Ribuan, bahkan puluhan ribu.
Kesimpulan: memberantas kkn sampai
akar-akarnya nampak tidak relevan lagi. Memberantas kkn kini harus sampai ke
pucuk-pucuknya.
Kkn sudah jadi budaya? Hm. Silahkan
lihat saja di masyarakat secara langsung. Dalam sebuah proposal kegiatan RW
misalnya ada dana lain-lain yang tidak dirinci pemakaiannya, kemana dana itu?
Ah, tidak semudah ini. Para pemucuk
sudah pada sekongkol untuk memainkan peran masing-masing. Mereka bilang cuma
oknum. Semua pelaku kejahatan adalah oknum. Padahal, segalanya selalu
terstruktur, sistematis, dan masif. Nontonlah film The Godfather atau baca
novelnya. Anda akan mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar