Implementasi
Teori Konspirasi Teror Bom
Senada dengan yang pernah dikatakan
Pandji Pragiwaksono dalam Nasional.is.me, bom tidak bertujuan untuk membunuh
sasaran massa atau seseorang. Bom lebih merupakan teror yang menakutkan karena
efek eksplosifnya yang menggetarkan tubuh dan jiwa.
Enggan rasanya untuk mengatakan
bahwa bom yang meledak akhir-akhir ini di salah satu mall di Indonesia
merupakan semacam teror. Mari kita cerdas setidaknya berbekalkan teori intrik
dalam buku maupun film The Godfather. Implementasinya adalah sebagai berikut:
1.
Jangan memperhitungkan waktu detail kapan bom
itu meledak. Anggap saja akhir-akhir ini ada bom meledak di Indonesia. Bahkan
jangan sebut meledaknya di mall ini atau itu. Lihatlah fenomena itu secara
holistik.
2.
Pertimbangkan momen global saat ini. Satu isu
menarik yang sering dilupakan, yaitu pengalihan isu itu sendiri. Selama ini
pengalihan itu tidak pernah mendapatkan keabsahan dan kredibilitas akademik dan
yuridis karena selalu dilakukan orang macam Don Vito Corleone.
3.
Jangan sekali-sekali berharap anda bisa
mengungkap dalang di balik suatu kegaduhan tertentu. Sia-sia belaka.
4.
Pengalihan isu macam apa? Jangan juga
sekali-kali menerka hal tersebut. Cukup pahamilah bahwa ada sesuatu besar di
sana yang sedang terjadi. Sesuatu yang tidak tertangkap kamera media. Pikirkan
kata bijak dari seorang budayawan berikut: “Menurut anda, kira-kira yang
sesungguhnya terjadi di lapangan itu bisakah digambarkan secara akurat melalui
media? Kalau anda lihat tayangan media, percayakah anda bahwa memang sepeti
itulah yang sedang terjadi di lapangan?” Tolong buka mata anda dan lihat lebih
jauh bahwa masa depan dan yang sedang terjadi itu selalu samar-samar. Boro-boro
masa depan dan kejadian yang sedang terjadi, masa lalu saja yang jelas tunggal pun
samar-samar!!!!!!!!!! Mohon jangan mudah percaya pada apapun. Bahkan katakanlah
padaku, “Aku tidak percaya padamu. Aku hanya tidak percaya apapun.”
5.
Sekali lagi katakan: “Aku tidak percaya apapun!”
6.
Sekarang mari lihat motif yang lebih praktis
dalam kasus bom kemarin itu. Ada satu perbedaan yang cukup signifikan bila
dibandingkan dengan fenomena pengeboman-pengeboman sebelumnya. Sampai di sini
ada yang salah? Ada! Pengeboman kemarin itu jangan dilihat sebagai kasus yang
perlu diselidiki! Hey, itu bukan kasus! Itu fenomena! Sekali lagi, itu
FENOMENA! Anda yang mengerti teori konspirasi saya mungkin tak perlu
melanjutkan tulisan ini.
7.
Fenomena dan kasus itu berbeda. Kalau anda tidak
mengerti, pelajarilah metodologi penelitian kualitatif.
8.
Kalau tidak ada waktu, setidaknya pegang satu
hal ini: FENOMENA adalah hal yang wajar terjadi. Tawuran antar pelajar
misalnya, itu fenomena. Baru menjadi kasus misalnya kalau tawuran itu
menggunakan peralatan perang bangsa Viking atau peralatan perang yang dulu
dipakai Leonidas dkk (atau pinjem bom atomnya Kim Jong Un lalu kalau sudah
selesai dipakai dikembaliin).
9.
Fenomena bom kemarin terjadi secara kurang
terampil. Sang godfather nampaknya memang ingin disangka kurang terampil. Kalau
terampil maka kemasan akan seperti pengeboman-pengeboman (oleh teroris)
sebelum-sebelumnya. Nah, mengapa sengaja dibikin kurang terampil? Karena dari
situlah jalan masuk untuk teori konspirasi semacam ini.
10.
Perlu diperhatikan: implementasi teori
konspirasi dalam tulisan saya ini tidak boleh dipegang sebagai satu-satunya
kebenaran. Tulisan saya ini mungkin nilai kebenarannya tidak lebih dari
seperseribu. Tapi meski kecil, ada satu perseribu kemungkinan bukan? Bukan.
11.
Sang godfather merancang pengeboman kemarin
karena ingin mengirimkan pesan kepada seorang penguasa semu. Ia ingin bilang,
“Hei kamu penguasa semu, kami sekarang sudah memiliki dukungan hebat dari
kelompok bersenjata! Kamu jangan main omong saja! Bisa-bisa kami tembak mulutmu
yang bisanya protes melulu itu! Hahahhahahhahahahhahhahah.
12.
Banyak hal yang sifatnya terlalu praktis sengaja
tidak saya tuliskan di sini karena saya tidak mau disangka skuzon atau menuduh
pihak-pihak tertentu. Inilah tulisan yang saya sajikan dengan tetap berpedoman
pada standar etik terkait.
Indonesia, 30 Oktober 2015
Penulis teori ini rela bila sewaktu-waktu
dibunuh demi kepentingan kelompok tertentu.
Tak dapat dipungkiri, pemberedelan media
sampai kini juga masih terjadi tapi dengan cara lain.
Saya takkan berteriak lantang: “Lawan!”
Tidak.
Bahasa saya adalah bahasa tulis.
Bila anda ingin melawan saya, sebenarnya
memakai tulisan adalah cara yang paling relevan.
Tapi bila peluru anda sudah ingin terbang,
sarangkanlah di kepala saya yang badannya pengangguran ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar