Jumat, 30 Oktober 2015

Implementasi Teori Konspirasi Teror Bom



Implementasi Teori Konspirasi Teror Bom

Senada dengan yang pernah dikatakan Pandji Pragiwaksono dalam Nasional.is.me, bom tidak bertujuan untuk membunuh sasaran massa atau seseorang. Bom lebih merupakan teror yang menakutkan karena efek eksplosifnya yang menggetarkan tubuh dan jiwa.
Enggan rasanya untuk mengatakan bahwa bom yang meledak akhir-akhir ini di salah satu mall di Indonesia merupakan semacam teror. Mari kita cerdas setidaknya berbekalkan teori intrik dalam buku maupun film The Godfather. Implementasinya adalah sebagai berikut:
1.       Jangan memperhitungkan waktu detail kapan bom itu meledak. Anggap saja akhir-akhir ini ada bom meledak di Indonesia. Bahkan jangan sebut meledaknya di mall ini atau itu. Lihatlah fenomena itu secara holistik.
2.       Pertimbangkan momen global saat ini. Satu isu menarik yang sering dilupakan, yaitu pengalihan isu itu sendiri. Selama ini pengalihan itu tidak pernah mendapatkan keabsahan dan kredibilitas akademik dan yuridis karena selalu dilakukan orang macam Don Vito Corleone.
3.       Jangan sekali-sekali berharap anda bisa mengungkap dalang di balik suatu kegaduhan tertentu. Sia-sia belaka.
4.       Pengalihan isu macam apa? Jangan juga sekali-kali menerka hal tersebut. Cukup pahamilah bahwa ada sesuatu besar di sana yang sedang terjadi. Sesuatu yang tidak tertangkap kamera media. Pikirkan kata bijak dari seorang budayawan berikut: “Menurut anda, kira-kira yang sesungguhnya terjadi di lapangan itu bisakah digambarkan secara akurat melalui media? Kalau anda lihat tayangan media, percayakah anda bahwa memang sepeti itulah yang sedang terjadi di lapangan?” Tolong buka mata anda dan lihat lebih jauh bahwa masa depan dan yang sedang terjadi itu selalu samar-samar. Boro-boro masa depan dan kejadian yang sedang terjadi, masa lalu saja yang jelas tunggal pun samar-samar!!!!!!!!!! Mohon jangan mudah percaya pada apapun. Bahkan katakanlah padaku, “Aku tidak percaya padamu. Aku hanya tidak percaya apapun.”
5.       Sekali lagi katakan: “Aku tidak percaya apapun!”
6.       Sekarang mari lihat motif yang lebih praktis dalam kasus bom kemarin itu. Ada satu perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan fenomena pengeboman-pengeboman sebelumnya. Sampai di sini ada yang salah? Ada! Pengeboman kemarin itu jangan dilihat sebagai kasus yang perlu diselidiki! Hey, itu bukan kasus! Itu fenomena! Sekali lagi, itu FENOMENA! Anda yang mengerti teori konspirasi saya mungkin tak perlu melanjutkan tulisan ini.
7.       Fenomena dan kasus itu berbeda. Kalau anda tidak mengerti, pelajarilah metodologi penelitian kualitatif.
8.       Kalau tidak ada waktu, setidaknya pegang satu hal ini: FENOMENA adalah hal yang wajar terjadi. Tawuran antar pelajar misalnya, itu fenomena. Baru menjadi kasus misalnya kalau tawuran itu menggunakan peralatan perang bangsa Viking atau peralatan perang yang dulu dipakai Leonidas dkk (atau pinjem bom atomnya Kim Jong Un lalu kalau sudah selesai dipakai dikembaliin).
9.       Fenomena bom kemarin terjadi secara kurang terampil. Sang godfather nampaknya memang ingin disangka kurang terampil. Kalau terampil maka kemasan akan seperti pengeboman-pengeboman (oleh teroris) sebelum-sebelumnya. Nah, mengapa sengaja dibikin kurang terampil? Karena dari situlah jalan masuk untuk teori konspirasi semacam ini.
10.   Perlu diperhatikan: implementasi teori konspirasi dalam tulisan saya ini tidak boleh dipegang sebagai satu-satunya kebenaran. Tulisan saya ini mungkin nilai kebenarannya tidak lebih dari seperseribu. Tapi meski kecil, ada satu perseribu kemungkinan bukan? Bukan.
11.   Sang godfather merancang pengeboman kemarin karena ingin mengirimkan pesan kepada seorang penguasa semu. Ia ingin bilang, “Hei kamu penguasa semu, kami sekarang sudah memiliki dukungan hebat dari kelompok bersenjata! Kamu jangan main omong saja! Bisa-bisa kami tembak mulutmu yang bisanya protes melulu itu! Hahahhahahhahahahhahhahah.
12.   Banyak hal yang sifatnya terlalu praktis sengaja tidak saya tuliskan di sini karena saya tidak mau disangka skuzon atau menuduh pihak-pihak tertentu. Inilah tulisan yang saya sajikan dengan tetap berpedoman pada standar etik terkait.

Indonesia, 30 Oktober 2015
Penulis teori ini rela bila sewaktu-waktu dibunuh demi kepentingan kelompok tertentu.
Tak dapat dipungkiri, pemberedelan media sampai kini juga masih terjadi tapi dengan cara lain.
Saya takkan berteriak lantang: “Lawan!”
Tidak.
Bahasa saya adalah bahasa tulis.
Bila anda ingin melawan saya, sebenarnya memakai tulisan adalah cara yang paling relevan.
Tapi bila peluru anda sudah ingin terbang, sarangkanlah di kepala saya yang badannya pengangguran ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar