Jumat, 30 Oktober 2015

Cerita Ani dan ibunya dari Desa Kecil



Puisi 27 Oktober 2015
Cerita Ani dan ibunya dari Desa Kecil
 (tahap 1, non edited)

Ani masih dua tahun beberapa bulan tapi sudah bisa lari-lari kecil
Ibunya sering memperingatkan, “Jalan aja!”
Tapi Ani terlalu senang menikmati langkah-langkah mungilnya
Ditemani sang Uti yang sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai buruh
Sedang sekarang ibunya Ani yang mencari nafkah.

Ayahnya Ani merantau ke tempat jauh, mencari nafkah.
Mau tak mau, Ani harus dimong oleh Uti dan Kakung
Kebetulan, Kakung juga sudah pensiun dari kepegawaiannya
Kini mereka punya kerjaan buat mengisi hari-hari sebagai lansia, mc
Momong cucu, jadi kesibukan agar tidak nglangut

Aku sendiri sebentar lagi lulus sekolah
Cari kerja susah, lagian kerjapun gajinya tiga jutaan tiap bulan
Tak rela aku, belajar sekian lama untuk dibayar serendah itu
Mendingan balik hidup di desa, jadi petani
Penghasilan tak menentu tapi lebih manusiawi.
Bisa bantu ngemong Ani juga kalau nanti ia tumbuh dewasa.

Sebaiknya kalian ketahui latar belakangku terlebih dulu
Biar singkat, agar kalian tak samar tentang surat ini.
Aku adalah adik kandung ibu Ani.
Aneh rasanya menyebut kakak perempuanku dengan namanya
Ani mengundangku “omma” karna ada unsur ‘ma’ dalam namaku
Sampai kini nasibku sama sekali kabur, tidak jelas.
Sering terpikir, andai sudah bingung seperti ini sejak dulu
Konon, kebingungan macam ini menandai kesuksesan seseorang
Sukses? Siapa yang tak ingin? Apa itu sukses? Uang! Punya banyak duit!
Itulah yang bikin aku gelisah. Itulah sumber kebingunganku
Bagaimana caranya agar aku bisa bekerja dan dapat uang banyak
Kalau bisa sudah punya aset minimal 2 miliar rupiah, maksimal di usia 30
Itu artinya aku masih punya waktu setidaknya 6 tahun.
Bagaimana caranya?

Ini urusan lain, aku tak ingin cerita. Toh, kalian nanti tahu sendiri
Melalui kisah Ani dan ibunya ini.

Sedikit curcol, sebenarnya kami berasal dari keluarga yang cukup berada
Setidaknya untuk makan sehari-hari dan hidup sederhana sampai tutup usia
Adapun kami juga punya investasi unit linked jangka panjang
Dimana milikku misalnya, bila nanti usiaku telah beranjak 75 tahun
Hasil investasi yang tak kurang dari 10 miliar rupiah itu harus dicairkan.
Aku optimis bodoh dengan investasi dari perusahaan besar ini. percaya saja.
Jadi? Maksudnya adalah pasti aku punya kekayaan, tapi nanti kalau usianya segitu
Terlalu lama! Harus lebih cepat! Mendingan punya aset semilyar rupiah di usia 30 dari pada memiliki jaminan investasi andal seperti itu.
Kenapa? Karena dengan semilyar saja di usia 30 tahun, aku bisa investasi beberapa macam sehingga usia tuaku akan bergelimang lebih banyak harta.
Jadi, investasi jangka panjang yang telah disebutkan tadi adalah plan c atau d, bila saja usahaku untuk meraih setidaknya dua miliar rupiah sebelum 30 tahun gagal. Biasanya kalau gagal, tenggat usia akan diperpanjang. Sampai akhirnya sampai 75, itupun kalau masih hidup.
Ah, begitulah seterusnya. Cukup!
Ini adalah cerita Ani dan ibunya.

Hari ini, ibu Ani pergi bekerja. Ia dapat kerja entah dimana, aku enggan cari tahu, engga mau tahu,
Bukan urusanku.
Aku memang sedang sibuk dengan urusan memantaskan diri. Kata pak Mario Teguh, maksimal sampai usia 35 tahun.
Tapi itu terlalu lama. Inginnya maksimal 30 tahun saja. Kenapa? Agar bisa segera menikah.
Ya. Sumpahku sebelumnya, pernah kuikrarkan, aku tak akan menikah bila tak punya aset setidaknya dua miliar rupiah.
Kenapa dua miliar?
Karena itu jumlah minimal untuk bisa hidup sederhana di desa,
Maksudnya?
Dari bunga depositonya. Setidaknya tiap bulan akan terima pendapatan pasif itu sejuta rupiah.
Sudah cukup kan buat hidup sederhana di desa ini?
Maaf, aku kelancangan nyeritain rencana-rencana gombalku lagi.

Ini cerita Ani dan ibunya.
Karna ibu Ani pergi, Uti bertugas mengelabuhi perhatian Ani agar tak mencari-cari ibunya.
Ani itu emang aneh binti ababil, kadang nempel setengah mati sama ibunya
Kadang nempel setengah mati sama Utinya.
Sejauh ini sih lebih nempel sama Utinya kecuali saat ia lihat dengan mata kepalanya sendiri
Kalau ibunya pergi, biasanya jadi berpaling dari tempelannya di gendongan Uti
Ikut ibu. Kalau lihat pas ibu mau pergi.
Kalau lihat pas Uti yang mau pergi, ikut Utinya. Pokoknya ikut yang mau pergi.
Mungkin bosan di rumah ya, atau gimana, ingin jalan-jalan gitu. Entah.
Tapi Ani itu ga mau sama sekali digendong Omma!
Ia selalu ragu bahwa Ommanya ini tidak bisa.
Tadi pagi juga sempat ragu bahwa Utinya tidak bisa memandiin karna yang mandikan biasanya mama.
Pakai acara nangis segala, “Uti tak bisa, Uti tak bisaaa....”
Uti menimpali dengan sedikit guyonan, “Uti ki ya bisa.”

Entah dia itu, kalau mau kugendong juga gitu
Katanya, “Tidak.”
Uti biasanya bilang, “Omma tu ya bisa kok.”
Ani menyahut, “Emmm tidak!”
Aku tahu Ani ragu akan kemampuan Ommanya untuk menggendong.
Ani menyangka Ommanya ini tak sanggup memberi gendongan sebagaimana yang biasa diberikan ibunya, Utinya, maupun Kakungnya.

Aku sebenarnya bisa menggendong.
Barangkali karna tidak nyaman saja maka Ani tak pernah mau kugendong.
Sikapnya padaku memang tidak menentu.
Sesekali aku ingin bilang, “Ani, sikapmu padaku ini kok tidak menentu sih? Ababil.”
Pasti ia takkan paham.
Kadang Ani mengajakku bermain-main dengan isyarat tertawa atau ‘em’
Kadang dia takut padaku palagi kalau malam aku pakai obat jerawat sehingga mukaku putih
Ani takut manusia bermuka putih.
Pikirnya dalam hati, “Hah,, kok Omma tiba-tiba berubah putih! Apa itu? Takuuuut!!”
Dugaanku. Kali-kali bener, begitulah bahasa khalbunya?

Ani ababil karna belum genap tiga tahun. Kalau sudah makin gede, pasti makin ingat.
Aku tetaplah Omma meski berwajah bopeng jerawatan atau putih halus
Kalau Ani makin besar, tak bisa lagi dikelabuhi Utinya
Ia akan tahu bahwa ibunya pergi cari duit.
Awalnya akan menangis tapi akhirnya paham.
Kelekatannya dengan Uti adalah kompensasi perlawanan yang tak mampu ia lancarkan
Sebelum ditinggalkan ibu, dapatkan Uti!
Bila kehilangan satu cinta, sebelum kehilangan betul, sudah siap dengan cinta yang lain.
Just like me, aku tahu tanda-tanda kapan akan diputus pacarku.
Maka kusiapkan diri. Bila toh nanti diputus, telah ada gadis imajiner lain untuk kupacari.





(ini adalah proyek puisi panjang ala Homer/ Linus/ Goethe, cara saya untuk menyajikan cerita seputar anak kakak saya yang masih dua tahunan. Dari sana kugali dan kusajikan cerita berfenomen masalah psikologi anak. Aku berdoa, novel ini nanti dapat berguna untuk kaum mama yang sedang momong anak balita. Fenomena psikologi anak perlu diperhatikan karna akan sangat mempengaruhi hidup anak ketika nanti tumbuh dewasa.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar