Senin, 05 Oktober 2015

Omongnya Amang: Tak Ada Pembicaraan Sebelum Perut Kenyang



Essay 5 Oktober 2015
Omongnya Amang: Tak Ada Pembicaraan Sebelum Perut Kenyang
Kepada Ketua Wahli berdasarkan artikel koran tempo Sabtu, 26 September 2015 halaman 6 berjudul ‘Basuki Akan Bangun Pelabuhan di Pulau Reklamasi’

Bukannya saya pro atau kontra pada pemerintah DKI atau pihak-pihak yang cenderung kapitalis, namun saya sering dongkol saja kepada pengkritik atau pengsaran yang kesannya hanya menghalangi pembangunan. Mereka menyuarakan bahwa kebijakan pemerintah selalu salah dan seakan menginginkan bahwa kebijakan tertentu jangan dilakukan. Mengapa kritik macam itu selalu muncul? Karena sisi negatif yang merugikan pihak tertentu pasti selalu ada. Mari kita contohkan untuk kasus ini adalah permasalahan seputar pembangunan pelabuhan di pulau reklamasi Jakarta Utara.
Pembangunan nasional pada dasarnya selalu mengakibatkan dampak buruk bagi sebagian pihak. Asumsi ini tidak dapat dipungkiri. Dalam hal ini, pembangunan pelabuhan pasti berdampak buruk bagi nelayan setempat maupun pemukim di tempat yang akan didirikan pelabuhan. Dampak buruk ini tentu harus disikapi dengan bijaksana oleh pemerintah. Dampak buruk bukanlah hal yang menyebabkan pembangunan lantas urung dilakukan. Jadi, pointnya adalah tentang bagaimana untuk mengatasi dampak yang pasti ditimbulkan oleh pembangunan.
Wahli bukanlah lembaga yang dalam hal ini ingin mengurungkan niat pemerintah DKI untuk membangun pelabuhan baru. Wahli ingin menekankan bahwa pembangunan harus berwawasan lingkungan. Saya menangkap demikian: kalau kata Ahok membangun pelabuhan cukup dengan 15-16 triliun saja, maka penanggulangan dampak buruk akibat pembangunan pasti akan memiliki nilai nominal yang lebih kecil hingga dapat dikatakan sekian rupiah SAJA.
Andaikata masyarakat tak bersertifikat tempat tinggal itu dengan mudahnya mau berduyun-duyun migrasi ke rusun.
Andaikata rusun juga mengembangkan budaya kemasyarakatan seperti di kampung halaman dahulu kala.
Andaikata pemerintah menyediakan kapal nelayan modern seperti di Jepang itu.
Andaikata kedua belah pihak mau berdialog dengan santun. Andai diskusi ini diadakan di balai kota. Andai warga diberi uang transportasi dulu. Di balai kota juga harus dijamu dengan hidangan spesial. Kalau perut sudah kenyang baru acara dimulai. Semuanya pasti lancar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar