Essay 31 Oktober 2015
Konten
Bergizi & Nasional.is.me
Posting video dari channel youtube
tertentu selalu kunanti karena berisi komedi yang njawani sehingga sangat tepat dalam selera komedi di otak saya ini.
Atas dasar kepedulian dan itikad baik, satu kali saya pernah menuliskan kritik
dan saran dalam kolom komentar di bawah salah satu video dalam channel youtube
tersebut. Mengingat passion saya adalah dalam bidang pendidikan (pemikiran
filsafati), maka kritik dan saran berbunyi semacam ini: bro, mainstream videomu
mulai membosankan nih. Kalau bisa konsepnya makin dimatangkan yah supaya
hiburannya tidak monoton namun juga memuat unsur pendidikan.
Kata terakhir itulah yang
memprovokasi viewer lain sehingga setidaknya dua orang tampil untuk membela
channel youtube tersebut (padahal kan saya tidak menyerang channel youtube itu,
saya justru sedang memberikan masukan yang positif). Dua orang itu sepakat
mengatai saya sebagai sok berpendidikan dan sok intelektuil. Mereka hendak
menekankan kecenderungan berpikir seperti ini: komedi bukan pendidikan dan
dalam komedi tidak terdapat pendidikan. Logika ini sungguh keliru.
Raditya Dika dalam suatu komentar
bagi seorang comic pernah mengatakan bahwa komedi boleh saja memuat unsur
pendidikan moral. Komedi seperti itu disebutnya sebagai komedi yang bergizi.
Sekarang pertanyaannya: apakah dalam komedi diharamkan untuk memasukkan unsur
pendidikan? Apakah pendidikan itu sendiri? Saya ragu dengan dua teman itu.
Mungkin mereka memang penikmat seni sejati dan mengesampingkan isu pendidikan.
Saya jadi mengelus dada. Semoga kecenderungan mereka berdua bukan cerminan anak
muda Indonesia yang ogah dengan satu hal, pendidikan. Justru mengatakan orang
yang menuntut pendidikan sebagai ‘sok intelek’.
Kecenderungan dua orang itu tidak
akan membuat saya pesimistis dengan menggeneralisasi sifat itu pada seluruh
anak muda Indonesia. Saya kira dua orang juga bukan sampel yang cukup untuk
menggambarkan kondisi jutaan anak muda Indonesia. Dua orang itu juga tak perlu
buat saya makin risau. Cukuplah sebagai provokator awal yang membuat saya
proactive bagi perkembangan Indonesia melalui dunia pendidikan, khususnya
dengan kegiatan tulis menulis seperti ini. Kiranya menggelisahkan mereka berdua
merupakan tindakan saya yang kurang terampil (Armstrong, 2013).
Inilah mengapa judul tulisan kali
ini adalah konten bergizi. Konten bergizi adalah segala macam konten yang
memiliki manfaat signifikan bagi pemiarsa. Sekalipun itu komedi, bisa saja
dibuat bergizi misalnya dengan materi tertentu sehingga membuat pendengar
terngiang-ngiang sampai di rumah. David Nurbianto dan Pandji Pragiwaksono
adalah contoh dua komikus yang pandai membuat sajian komedi bergizi tinggi.
Akhir kata saya merasa perlu
memberikan kata-kata motivasi pada diri sendiri karena dua orang provokator itu
betul-betul mengusik saya sampai kedalaman jiwa. Jujur saja ya, kalau saya
dikritik karena kebodohan saya, maka hati saya sungguh lapang untuk menerima.
Tapi kalau saya dikritik karena kompetensi saya, karena kecerdasan saya, karena
keilmuan saya, karena maksud baik saya, waduh, itu sungguh menyakitkan bro!
Tapi justru saya banyak belajar dari haters ini. Dua orang itu justru merupakan
haters yang baik karena bersedia memberikan eksplanasi (tidak sekadar klik
jempol bawah).
Mereka katai saya sok intelek.
Mungkin memang saya sok intelek, tapi saya tidak akan berhenti belajar.
Kecenderungan hati yang tersakiti
untuk menggeneralisasi menyebabkan saya berpikir bahwa semua anak muda
Indonesia seperti mereka (meski saya juga tahu pemikiran ini sangat keliru).
Baik, meskipun generalisasi itu memang benar, setidaknya ada satu anak muda
Indonesia yang masih bermutu, berdedikasi, berintegritas, bersemangat, dan
optimistik untuk memajukan Indonesia melalui bidang pendidikan khususnya dengan
cara tulis menulis, siapa? Saya.
Mungkin mereka bilang saya tidak
bisa. Okay. Mungkin saya memang tidak bisa tapi aku akan terus mencoba.
Mungkin mereka bilang saya telah
gagal total. Mungkin saya memang sudah bangkrut tapi aku tak akan bunuh diri.
Aku akan terus berjuang melakukan apa yang bisa aku lakukan sambil terus
mengembangkan diri.
Sekali lagi trimakasih buat Pandji
Pragiwaksono yang telah jadi motivatorku yang sebenarnya.
Aku takkan berhenti membaca. Aku
takkan berhenti menulis. Aku takkan berhenti bersuara dan aku takkan berhenti
bertindak. Aku akan terus melakukan sesuatu untuk diriku yang lebih baik. It
means that I do the same for a better Indonesia.
Sejauh saya membaca nasional.is.me
memang ada terbersit pesimisme: bagaimana kalau kita kawula muda sudah berjuang
mati-matian tapi hasilnya nanti malah dinikmati bangsat-bangsat di balik
selubung birokrasi itu? Mereka yang kemarin dengan naifnya memakai masker di
gedung ber-ac itu, aduh, kekanak-kanakan sekali yah.
Mungkin kawula muda akan
termanfaatkan sebagai sapi perah. Yang berusaha jujur akan kalah dengan mereka
yang berkuasa secara politik. Maka tinggal satu kata: ya sudahlah.
Referensi:
Armstrong, K. (2013). Masa Depan Tuhan. Bandung: Mizan.
Essay ini langsung saya lanjutkan
saja karena masih terkait dengan bahasan selanjutnya yaitu dasar pesimisme saya
atas buku Nasional.is.me. Wah-wah, berbau filsafat nih! Iya benar.
Dasar pesimisme adalah asumsi
filosofis yang dipakai dalam buku Nasional.is.me. Sebelum lanjut, saya ingin
menegaskan pada Pandji sendiri tentang definisi filosofis tentang terma
nasional itu sendiri. Dalam dunia kajian kualitatif, definisi filosofis semacam
ini sering disebut sebagai keyakinan filosofis (Creswell, 2014).
Sebelum melangkah terlalu jauh
dalam mewujudkan patriotisme, mari bertanya: Nasional itu sendiri apa?
Indonesia.
Baik. Lalu apa itu Indonesia?
Apakah Indonesia sama dengan satu
bangsa yang kini bermukim di wilayah yang disebut Indonesia ini?
Bangsa Indonesia adalah terma yang
secara filosofis tidak make sense. Mengapa? Karena Indonesia baru ada kemudian
setelah bangsa (yang bermukim di wilayah Indonesia ini) telah ada sejak waktu
yang amat lama. Bangsa itu telah ada jauh sebelum adanya Indonesia. Mari lihat
terma Indonesia secara lebih politis. Semoga kita tidak terjebak dalam kajian
politis atau budaya. Politik dan budaya perlu disikapi secara berbeda.
Indonesia jelas ada dalam kajian politik karena secara kultural (budaya),
Indonesia tidak pernah ada. Secara kultural yang ada hanyalah bangsa yang
bermukim di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia ini.
Apakah kajian ini sudah membantu
pemahamanmu?
Karena saya bergerak dalam sudut
pandang pendidikan (yang tidak lepas dari kebudayaan), maka saya ingin mengajak
kita untuk cerdas dalam membingkai pembicaraan: filosofi harus menjadi dasar
paling fundamental yang adekuat bagi semangat nasionalisme maupun patriotisme.
Meminjam istilah J. Sumardianta (dalam satu ceramah di Salihara), jangan sampai
semangat kebangsaan kita itu keblinger
alias salah arah karena tidak memahami asumsi maupun keyakinan filosofis
(tentang kajian ini dapat dilihat dalam Creswell, 2014).
Baik. Mari kita sederhanakan.
Bangsa ini bukanlah Indonesia itu sendiri. Bangsa ini sudah memulai
peradabannya sejak manusia purba yang ditemukan di Sangiran maupun yang lebih
tua yang ditemukan di Jombang. Indonesia sendiri baru ada karena kekuatan
politik Soekarno kurang dari seratus tahun yang lalu. Kalau kita mendalami
Pancasila, apa yang diinginkan Sukarno pada dasarnya bukan Indonesia secara
politik tapi Indonesia secara kultural. Tapi apa daya, musuh politik lebih kuat
dari pada basis budaya di belakang Sukarno. Saya berani bilang, cita-cita murni
Sukarno dalam Pancasila untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa itu telah
hilang (sejak dominasi politik Order Baru). Saya tidak akan memperpanjang
kajian ini karena akan menimbulkan provokasisme yang tidak relevan dengan
tujuan essay ini.
Secara sederhana saya ingin
berkontribusi untuk memberikan dasar filosofis bagi pembaca buku Nasional.is.me
karya Pandji ini. Jangan sampai kita kawula muda ini nanti jadi sapi perah para
mafia di balik gedung DPR atau Istana. Jangan sampai kita sibuk kerja dan yang
menikmati adalah Indonesia (secara politis). Nah, sampai sini saya harap makin
jelas untuk membedakan Indonesia dan Bangsa ini.
Memang Pandji selalu memakai kata
“Indonesia” dalam paparan-paparannya dalam Nasional.is.me, tapi saya yakin
saja, yang dia maksud bukanlah Indonesia dalam arti politik namun Indonesia
dalam arti bangsa ini.
Kita kawula muda yang bersemangat
#IndonesiaUnite, provocative proactive, dll ini bekerja dan berjuang untuk
bangsa ini, bangsa yang bermukim di negara Indonesia. Kita kawula muda ini
mati-matian memperjuangkan Indonesia, yaitu bangsa yang telah menduduki tanah
ini selama ribuan bahkan puluhan ribu tahun, bukan Indonesia yang baru berdiri
kurang dari seratus tahun lalu.
Charlie Chaplin agaknya mengutip
Karl Marx ketika dalam The Great Dictator mendengungkan: “Let Us Unite!!!!”
Kita kawula muda juga: IndonesiaUnite. Siapakah atau apakah Indonesia yang bersatu
itu? Adalah kita yang turun temurun telah mendiami tanah ini. Adalah kita, anak
cucu nenek moyang jaman bahoela yang bekerja sebagai pelaut. Adalah kita yang
mengerti akar sejarah tunggal yang sebenarnya. Adalah kita yang mengerti budaya
bangsa. Adalah kita yang mengerti leluhur dan tidak terprovokasi oleh budaya
asing. Adalah kita, satu bangsa beda pulau. Kita, satu bangsa, umat manusia.
Kalau saya sih dari pada memakai
kata Indonesia, rasanya lebih nyaman bila menggunakan kata: ‘bangsa ini’. (tks buat
Sydney Mohede atas lagu Doa Kami yang cukup dapat diterima oleh semua latar
belakang spiritual).
Referensi:
Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset:
Memilih di Antara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar