Jumat, 30 Oktober 2015

Kesatria Cahaya Hari Ini



Kesatria Cahaya Hari Ini
Kamis, 29 Oktober 2015

Hari ini sang kesatria telah kembali menaiki kudanya. Ia siap bertempur karena inilah saat yang paling tepat untuk maju menghantam musuh. Dalam hatinya berkata, “Aku sudah siap mati lagi. Bila nanti jatuh kembali, aku sudah siap bangkit lagi dengan segala tenaga yang tersisa.”
Legenda pribadinya telah dilihat ada di ufuk depan sana. Ia gembira sebab arah tujuannya telah diketahui pasti. Langkahnya mantap sampai buat semua musuh bergetar.
Tekadnya sudah bulat, tak bisa diurungkan lagi.
Hari demi hari ia tetapkan sasaran dan tujuan untuk ditaklukkan. Lima ribu musuh akan rebah di ujung pedangnya hari ini. Bahkan malam nanti, lima ribu akan menyusul rebah di sisi kirinya.
Esok ia akan berpesta karena kemenangannya atas sepuluh ribu pasukan musuh. Tanpa daya upaya yang terlalu membahayakan, ia telah memenangi pertempuran kecil ini.
Hari esok ia siap dihadapkan dengan puluhan ribu yang lebih ganas lagi.
Minggu ini ia berencana untuk memenangi satu pertempuran besar.
Kerinduannya yang terdalam mengatakan, “Aku ingin segera menuliskan pesta kecil macam apakah yang kan kurayakan tuk mengenang kemenangan atas perang kecil minggu ini.”
Sang kesatria cahaya tahu waktu dan kondisi yang paling tepat untuk menyerang dan bertahan.
Ia tahu pasti impuls dan momentum untuk meraih kemenangan seperti orang paling beruntung di dunia yang memperoleh lotere sejuta dollar Amerika sedang selama hidupnya mengemis di jalan raya.
Atau ingatkah ia akan pangeran Persia yang awalnya tak lebih dari putra seorang budak. Beruntungnya dia tampah dan gagah perkasa sedari kecil. Ketangkasannya mencuri buah-buahan membuat sang raja jatuh hati untuk mengambilnya jadi anak angkat. Dinamailah sang pangeran kecil itu Leovinnash. Ia tumbuh jadi prajurit terbaik. Kesatria cahaya juga ia. Legenda pribadinya adalah seperti itu. Sedang kesatria cahaya-kesatriya cahaya yang lain memiliki legenda pribadinya yang tak diketahui bahkan oleh orang-orang terdekatnya.
Sang  kesatria cahaya kadang cemas memikirkan masa depan, “Lantas setelah perang ini usah dan pesta kemenanganpun usai, lalu apa?”
Ia dihadapkan pada banyak pertempuran rumit yang musti dipilih salah satu sebelum berlanjut kepada pertempuran lain yang mungkin lebih berdarah. Kesatria cahaya sibuk dan bingung memilih, “Manakah yang terbaik? Manakah yang sesuai dengan legenda pribadiku?”
Kadang sang kesatria juga bisa merasakan iri hati yang tertahankan. Ia tidak ingin menyangkal kenyataan busuk itu. Sang kesatria cahaya harus mengakui apa adanya dan menjadikannya pemicu untuk bertumbuh dengan lebih baik. Bukan dengan semangat persaingan atau unggul-unggulan namun dengan semangat untuk menjadi yang terbaik agar dapat memiliki dampak memperbaik yang terbaik dibandingkan orang lain yang hanya rata-rata.
Kesatria cahaya sering diragukan. Ia bahkan saring ragu dengan dirinya sendiri, “Ah siapakah aku ini? Apakah aku ini? Boro-boro orang lain, akupun sering tidak memedulikan diri sendiri.”
Sang kesatria sering kehilangan diri sendiri. Ia hidup tanpa diri. Ia hidup tanpa beban hingga siap mati kapanmu bila alam enggan memberi makan.
Sang kesatria berpikir bahwa hidupnya memang istimewa. Dalam keyakinannya menapaki jalan legenda pribadi, ia sadar, mungkin ia tidak harus kaya, mungkin ia tidak akan tenar, mungkin legenda pribadinya memang sebagai orang paling kasihan di muka bumi namun tidak layak mendapatkan belas kasih dari siapapun. Tapi ia tetaplah kesatria cahaya yang tiap hari tekun menjalani legenda pribadinya.
Di akhir hidupnya, ia akan mengatakan, “I did it my way.”
Hari ini sang kesatria cahaya sadar bahwa kesatria cahaya-kesatria cahaya yang lain tidak menempun jalan sejauh yang ia tempuh untuk menghasilkan prestasi yang sama. Oh tidak! Tidak demikian! Ia tadi hendak iri tapi tidak jadi karena tahu bahwa proses yang ia alami kini akan membuatnya lebih kuat dari kesatria  cahaya lain. Katakan hari ini sang kesatria cahaya ingin makan bakso dengan membayar sepuluh ribu rupiah sedangkan teman lain hanya membayar tujuh ribu rupiah. Mungkin sang kesatria cahaya tahu bahwa sedang jadi korban penipuan tapi tidak dalam keyakinannya. Ia percaya bahwa bakso yang sepuluh ribu lebih spesial dari pada bakso yang tujuh ribu meski dari segi isi sama persis.

Marilah mari wahai kesatria cahaya! Tegakkan bahumu, dongakkan kepalamu penuh keyakinan. Jalanlah tegap dan jangan ragu melangkah. Biar berat kau maju tapi jangan pernah mundur. Berhenti sejenak untuk bernafas, bolehlah tapi jangan sekali-kali melihat ke belakang.
Di depan banyak musuh untuk kau tumpas. Tugas dan kewajiban saja masih banyak buat kau habisi apalagi segala kenikamatan yang tak pernah kau bayangkan.
Mereka menanti uluran tanganmu. Buah-buah apel dan biji zaitun dari taman Tuhan, kini sedang dibangunNya hanya untukmu.
Berlarilah, tak banyak waktumu!
Datanglah mendekat wahai kesatria cahaya, untuk mencintai dan dicintai. Untuk menyukai dan disukai. Untuk mengagumi dan dikagumi.
Jadilah dirimu sendiri duhai kekasih kesatriaKu. Engkaulah yang Aku harap-harapkan jadi orang kepercayaanKu. Pecinta yang dicintai.
Bila nanti kau sudah sampai sini, berlama-lamalah bersamaKu dalam keabadian.

Tuan, maafkan aku. Makin kemari aku makin enggan menuliskan apakah yang sedang kutuliskan tergolong essay, puisi, atau cerpen atau apalah. Aku enggan sekali menuliskan definisi itu karena aku sudah hidup dalam definisi-definisi itu.
Aku tidak mau lagi menuliskan sesuatu sebagai puisi karena aku sudah hidup dalam kehidupan puisi.
Aku tak lagi menuliskan sesuatu adalah essay karena aku menjalani kehidupan essay.
Apalagi cerita pendek atau novel, karena aku memang menjalani kehidupan mereka.

Tuhan, aku ini seniman atau sastrawan tidak lagi penting karena aku sudah menjalani kehidupan itu.
Kehidupan berat yang Kau berikan padaku sedang dan akan terus kuembang namun berilah kekuatan yang sepadan agar aku terus bisa berjalan. Setidaknya hari ini, aku masih mampu melangkah.

Keputusanku untuk terus hidup hari ini sudah merupakan prestasi yang luar biasa.
Lalu karena belum mati, aku tak mau hidup biasa-biasa saja, lagipula aku tak bisa.
Aku tak bisa sekadar lulus lalu cari kerja, lalu hidup makin mapan, lalu makin dewasa dan memantaskan diri untuk menikahi seorang gadis. Tidak! Aku tidak bisa hidup biasa saja seperti itu ya Tuhan! Kau tahu mengapa sebab Kau sendiri yang telah membuatku jadi seperti ini, kesatria cahaya yang menjalani legenda pribadi.

Memang berbeda karena aku tak bisa sama
Memang tidak sama karena aku tak bisa biasa saja.
Bukannya mereka biasa saja dan itu buruk
Tidak!
Aku bahkan tidak peduli lagi dengan apapun yang mereka lakukan.
Aku terlalu yakin akan kemampuan yang Kau berikan padaku untuk bertumbuh dan survive.
Entah dengan cara yang paling tidak konvensional, aku tahu persis bantuanmu akan terus membimbingku kala aku berani terus hidup dan melangkahkan kaki seperti sekarang ini.

Tuhan, omong-omong siapa lagi yang Kau ciptakan sebagai kesatria cahaya seperti ku?
Apakah nasibnya sama seperti ku?
Tentu lain!
Pasti lain!

Jangan mengebut ini nasib!
Ini bukan nasib! Bukan takdir!
Memang kau bisa membuatnya tapi kau tidak bisa!
Ini adalah legenda pribadi kebanggaan Kita! Ingat itu baik-baik!

Iya Tuhan. Maafkan aku yang lalai.

Sang kesatria cahaya kini melesat seperti cahaya. Oh, mungkin tidak juga. Ia hanya terus berjalan bahkan tanpa menengok ke kiri kanan.
Ia maju terus seperti orang yang tak punya rasa lelah.
Ia terus melakukan sesuatu bahkan tatkala tak tahu sesuatu itu akan bermanfaat atau tidak. Ia hanya percaya atau tidak bertindak sama sekali, dan ia memilih yang kedua.
Niatnya, tidak akan tidur lebih dari empat jam setiap harinya, demi mengejar ketertinggalan dari kesatria cahaya lain bahkan dari mereka yang bukan kesatria cahaya. Mereka yang bukan kesatria cahaya itu seakan memang sudah berlari jauuuuh di depan tapi sang kesatria cahaya tahu bahwa mereka tidak berjalan dalam legenda pribadi mereka. Batin kesatria cahaya, “Sungguh menyedihkan.”
Tapi sang kesatria tidak menghina. Sang kesatria hanya merasa iba.
Karena point utama perjalanan legenda pribadi ini bukanlah apa-apa selain sesuatu yang bahkan aku tidak paham. Bukankah aku hanya menceritakan kisah sang kesatria cahaya dalam menjalani legenda pribadinya? Apakah aku sendiri paham bagaimana legenda pribadiku? Untuk saat ini kurang kupedulikan.

Sebab kesatria cahaya sedang sedih. Ia dibuat begitu oleh keadaan yang tidak melakukan apa-apa untuk membuatnya begitu. Aha! Kesatria cahaya mulai menyalahkan pihak lain!

Hei Kesatria Cahaya! Mengapa kau salahkan pihak lain!

Tidak, aku tidak menyalahkan mereka. Aku hanya membeberkan fakta, bahwa dalam legenda pribadikupun terkadang bahkan sering ada musuh yang menyamar jadi teman baik. Mereka hanya manis di awal lalu ketika aku pergi mereka tidak mencariku. Ah, rasanya tidak fair. Aku tidak bisa menuntut mereka mencariku bila aku sibuk dengan legenda pribadiku sendiri dan mulai tak ada waktu juga untuk mereka, boro-boro untuk mencari mereka kala mereka pergi. Mereka meninggalkanku karena aku terlebih dulu meninggalkan mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar