Puisi 9 Oktober 2015, edited 12 Oktober 2015
Ziarah
Hidup
akhir-akhir ini ingin segala segera berlalu
kalau lihat jam dinding tunjukkan pukul 11.30 WIB,
kenapa belum 17.30 WIB? waktu buat makan, mandi, lalu tidur.
kenapa masih bangun pagi dan hidup lagi
kenapa nyawa tidak tercabut
sampah masyarakat, betapa ngenesnya
setelah terbuang, tercecer kala hendak dibakar
ceceran disampar kesibukan mereka yang katanya sudah jadi ‘orang’
dengan rendah hati bertanya pada Ibu,
“Buk, dulu yang kau lahirkan sudah berupa manusia atau belum?
Bayi yang tali pusarnya kau iris pakai welat ini.”
jawab ibu, “Sudah manusia og.”
protes sang anak, “Tidak! Pasti ada yang salah.”
anak manusia tak langsung belajar jalan seperti anak kuda
ia seonggok daging yang kalau dibiarkan pasti membusuk
anak manusia tak masuk perhitungan
bumi berputar tanpa spesies manusia
ibu sakit hati, “Dunia memang berputar meski tak ada manusia. Dunia bahkan
lebih baik andai Tuhan tak berinisiatif bikin manusia.”
kata penghabisan anak manusia, “Benar ibu. Kita matipun takkan diratapi. Untuk
apa juga ratapan itu?”
kata penghabisan ibu manusia, “Kau sudah yakin? Mari kita lakukan.”
ibu dan anak manusia jalan-jalan keliling kota
tiap kabupaten, kecamatan, kelurahan dilalui dikit demi sedikit
tanpa rasa capai, tanpa tahu arah tujuan
tak mengerti lagi jauh dekat
inilah ziarah hidup
di usia senja anak manusia, sepeninggal ibu, perjalanan tetap berlanjut,
sendiri, sambil berdendang dengan boneka kesayangannya
Buat gelandangan
bugil di Jogja yang masih konsisten jalan-jalan sambil berdendang sejak 10
tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar