Essay Resensi Cerpen 13 Oktober 2015
Cerpen
Kompas 11 Oktober 2015: Jaka Ompong
Karya Parakitri T. Simbolon
Tulisan ini adalah masukan untuk
redaksi cerpen Kompas. Essay ini tidak dimaksudkan agar diterbitkan. Semoga
berkontribusi baik. Trimakasih sebelumnya.
Inilah kali pertama saya tak mampu
menyelesaikan pembacaan cerpen kompas. Pertama-tama maafkan atas kelancangan
ini. Kepada redaksi Kompas dan kepada Parakitri permohonan ini ditujukan.
Resensi ini merupakan tanggapan kritis dan apa adanya meskin terasa amat
subyektif pada beberapa bagian. Dengan tulisan ini saya hendak berkontribusi
pada perkembangan sastra Indonesia. Sekali lagi, tidak ada itikad buruk dalam
essay resensi ini.
Mengapa tidak bisa merampungkan
pembacaan teks pendek tersebut? Jujur saja, saya tidak tahan dengan gaya
penulisan Parakitri yang bersudut pandang orang pertama sebagai salah satu
tokoh cerita. Saya memang tidak anti dengan sudut pandang orang pertama namun
kemunculan kata ‘saya’ yang amat sering bikin tak tahan itu tadi. Adapun gaya
penulisan juga kurang dipoles sehingga showing yang dilakukan Parakitri masih
seperti telling. Contoh: //Suatu malam saya merasa salah satu geraham kiri atas
saya nyeri// mari bedah kalimat tersebut:
-
Kemunculan kata ‘saya’ lebih dari satu kali
dalam kalimat yang sama seharusnya dihindari. Contoh editan: Tadi malam saya
disibukkan oleh geraham kiri atas yang ngilu melulu.
-
Penggunaan klise seperti ‘suatu malam’ sebaiknya
juga dihindari. Cerpen ini nampak realis sehingga lebih baik menyajikan
kalimat-kalimat yang seakan berasa laporan jurnalis.
-
Bila toh sudut pandang ‘saya’ tetap dipakai,
lebih baik dibatasi penggunaannya. Maksimal satu kata ‘saya’ sajalah dalam satu
paragraf. Pasti bisa.
Sekarang kenapa Parakitri cenderung
memiliki gaya penulisan seperti dalam cerpen Jaka Ompong itu? Saya menduga akar
masalahnya adalah bias budaya. Asal ni huta si Parakitri adalah sian Pulo
Samosir. Adat Toba memiliki struktur kalimat unik yang cenderung menempatkan
predikat di awal kalimat dan sebisa mungkin menghilangkan subyek. Mengapa?
Karena kerja keras merupakan kultur Batak Toba. Orang Batak Toba hilang
Bataknya bila tidak kerja keras. Adapun orang Toba kalau bicara pasti jelas
sedang ditujukan kepada siapa sehingga pemakaian subyek dirasa tak perlu. Lihat
contoh ini:
Bahasa Indonesia secara
umum: Ibu pergi ke pasar beli baju baru.
Bahasa Indonesia Toba
sentris : Pergi ke pasar beli baju.
Kalimat ‘Pergi ke pasar beli baju’
ditulis berdasarkan transliterasi dari pola pikir Batak Toba. Predikat
diletakkan sebagai kata pertama sudah jelas. Subyek ‘ibu’ dihilangkan karena
orang yang bertanya pasti sudah menjurus kepada ‘ibu’ misalnya, “Pergi ke mana
ibu itu?” Sudah jelas bertanya tentang kepergian ibu, jadi cukup dijawab,
“Pergi ke pasar beli baju.” Adapun kata ‘baru’ tidak perlu diucapkan karena
kalau beli baju pasti baru (meski mungkin yang dibeli adalah baju second tapi
notabene baju second tetap baru bila baru jadi harta milik).
Kecenderungan menyusun kalimat Toba
sentris seperti inilah yang nampaknya mati-matian dihindari oleh Parakitri T.
Simbolon, anak asli sian Samosir. Hasilnya? Penggunaan kata ‘saya’ menjadi
over. Selain itu, usaha penempatan predikat agar tidak cenderung di awal
kalimat menjadikan narasi terkesan kurang mengalir. Narasi yang kurang mengalir
ini menyebabkan sulitnya pembentukan bayang-bayang adegan kisah dalam otak
pembaca. Sehingga? Saya tak bisa selesaikan cerpen ini.
Demikianlah resensi ini saya tulis
atas dasar pembelajaran menulis narasi dari buku AS. Laksana dan Ayu Utami. Akhir
kata cerpen Jaka Ompong tetap patut diapresiasi. Mungkin saja sayanya yang
salah karena tidak bisa memahami orang lain. Rasa salah ini muncul setelah
membaca Parodi Samuel Mulia, Guru. Maafkan saya, atau saya yang harus
memaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar