Selasa, 06 Oktober 2015

Jadi Orang?



Proisi 6 Oktober 2016
Jadi Orang?

Beberapa minggu lalu saya masih mendukung filosofi ‘jadi orang’ ini. Waktu itu saya memposting suatu pantun di grup whats up yang berisi ajakan untuk ‘jadi orang’. Seorang teman lalu menyatakan: “Kalau ‘jadi orang’ gitu maksudnya sekarang belum manusia?
Makjegagik
Itulah titik perubahan pandangan hidup saya. Sekarang saya meyakini bahwa filosofi ‘jadi orang’ justru tidak sesuai dengan filosofi ‘memanusiakan manusia’. Inilah kontradiksi, setidaknya yang saya lihat dalam budaya Jawa: ‘dadi uwong’ vs ‘nguwongke uwong’.
Hari ini saya beroleh kesempatan untuk merasakan sakit hati teman whats up saya itu. Salah satu orang terdekat saya bilang, “Galo! Anake kae do dadi-dadi. Kae dadi, kae dadi, sing kae yo dadi.” Ya spontan saja saya katakan (dalam hati), “Ya maafkanlah saya yang tidak bisa jadi apa-apa. Aku ini apa? Aku bukan apa-apa. Aku siapa? Aku bukan siapa-siapa. Aku ini yang mana? Aku ini yang selalu dikasihi Tuhan.” Btw, trimakasih kepada simbok misterius yang menginspirasi melalui petuah itu.
Ngomong-ngomong tentang jadi orang, saya langsung teringat filosofi asumsi data normal statistika. Filosofi ini pernah saya posting sebelumnya. Yah, intinya saya tidak ingin mengatakan bahwa orang yang ‘jadi’ semata-mata adalah orang yang ‘bejo’. Tidak! Tidak, meski hal itu memang benar. Saya juga tidak ingin mengatakan bahwa orang yang jadi semata-mata karena faktor x tertentu di ekstrem kanan. Tidak! Tidak, meski hal tersebut mungkin benar.
Sekali lagi, maafkan aku yang tidak jadi. Maafkan aku yang sampah masyarakat ini. Mungkin mereka masih membutuhkanku sebagai objek kajian kemiskinan dan kemelaratan. Mungkin mereka membutuhkanku untuk objek cinta kasih kaum KLMTD (kecil, lemah, miskin, tertindas, difabel-yang notabene mereka agung-agungkan dan doakan tiap hari, meski iman itu tidak disertai perbuatan).
Btw, terimakasih juga kepada seorang bapak yang pernah kubenci karena pertanyaannya kurang bermutu tapi ternyata bermutiara. Bapak itu pernah menyatakan bahwa Tuhan dalam salah satu tradisi keagamaan pernah bersabda, “Orang miskin akan selalu ada padamu.” Mari kita pahami nats tersebut tidak secara literal namun lebih esensial. Menjuruslah pertama-tama pada teori asumsi data normal statistika. Orang miskin akan selalu ada di dunia. Penderitaan, kesedihan, kemelaratan, ketidakbahagiaan, tangis, nestapa, iblis, setan, jin, akan selalu ada di dunia ini. Kalau kita melihat salah satu tradisi agama lain, kondisi dimana hanya ada kebahagiaan semata-mata juga tidak baik. Tanpa penderitaan manusia tak dapat instrospeksi diri dan jadi suci.
Ah, sekian dulu curahan hati ini. Semoga semua mahluk bahagia ya! Bahagialah dalam menempuh jalan tengah kalian masing-masing!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar