Proisi 6 Oktober 2016
Jadi
Orang?
Beberapa minggu lalu saya masih
mendukung filosofi ‘jadi orang’ ini. Waktu itu saya memposting suatu pantun di
grup whats up yang berisi ajakan untuk ‘jadi orang’. Seorang teman lalu
menyatakan: “Kalau ‘jadi orang’ gitu maksudnya sekarang belum manusia?
Makjegagik
Itulah titik perubahan pandangan
hidup saya. Sekarang saya meyakini bahwa filosofi ‘jadi orang’ justru tidak
sesuai dengan filosofi ‘memanusiakan manusia’. Inilah kontradiksi, setidaknya
yang saya lihat dalam budaya Jawa: ‘dadi uwong’ vs ‘nguwongke uwong’.
Hari ini saya beroleh kesempatan
untuk merasakan sakit hati teman whats up saya itu. Salah satu orang terdekat
saya bilang, “Galo! Anake kae do dadi-dadi. Kae dadi, kae dadi, sing kae yo
dadi.” Ya spontan saja saya katakan (dalam hati), “Ya maafkanlah saya yang
tidak bisa jadi apa-apa. Aku ini apa? Aku bukan apa-apa. Aku siapa? Aku bukan
siapa-siapa. Aku ini yang mana? Aku ini yang selalu dikasihi Tuhan.” Btw,
trimakasih kepada simbok misterius yang menginspirasi melalui petuah itu.
Ngomong-ngomong tentang jadi
orang, saya langsung teringat filosofi asumsi data normal statistika. Filosofi
ini pernah saya posting sebelumnya. Yah, intinya saya tidak ingin mengatakan
bahwa orang yang ‘jadi’ semata-mata adalah orang yang ‘bejo’. Tidak! Tidak,
meski hal itu memang benar. Saya juga tidak ingin mengatakan bahwa orang yang
jadi semata-mata karena faktor x tertentu di ekstrem kanan. Tidak! Tidak, meski
hal tersebut mungkin benar.
Sekali lagi, maafkan aku yang
tidak jadi. Maafkan aku yang sampah masyarakat ini. Mungkin mereka masih
membutuhkanku sebagai objek kajian kemiskinan dan kemelaratan. Mungkin mereka
membutuhkanku untuk objek cinta kasih kaum KLMTD (kecil, lemah, miskin,
tertindas, difabel-yang notabene mereka agung-agungkan dan doakan tiap hari,
meski iman itu tidak disertai perbuatan).
Btw, terimakasih juga kepada
seorang bapak yang pernah kubenci karena pertanyaannya kurang bermutu tapi
ternyata bermutiara. Bapak itu pernah menyatakan bahwa Tuhan dalam salah satu tradisi
keagamaan pernah bersabda, “Orang miskin akan selalu ada padamu.” Mari kita
pahami nats tersebut tidak secara literal namun lebih esensial. Menjuruslah
pertama-tama pada teori asumsi data normal statistika. Orang miskin akan selalu
ada di dunia. Penderitaan, kesedihan, kemelaratan, ketidakbahagiaan, tangis,
nestapa, iblis, setan, jin, akan selalu ada di dunia ini. Kalau kita melihat
salah satu tradisi agama lain, kondisi dimana hanya ada kebahagiaan semata-mata
juga tidak baik. Tanpa penderitaan manusia tak dapat instrospeksi diri dan jadi
suci.
Ah, sekian dulu curahan hati ini.
Semoga semua mahluk bahagia ya! Bahagialah dalam menempuh jalan tengah kalian
masing-masing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar