Mengenalku
Teman berbeda dengan kenalan. Teman
tahu seluk beluk tapi kenalan hanya tahu nama dan permukaan. Siapakah temanku?
Yaitu mereka yang mengetahui
sisi-sisi bajinganku. Dosaku yang selama ini tersembunyi, keburukanku,
kenajisanku, dan segala sisi negatifku, bila seseorang tahu dan mengerti,
dialah temanku. Siapakah dia?
Entahlah. Aku merasa tidak punya
teman. Kalau kenalan super banyak. Just like Artemisia dalam The Rise of
Empire, “Even I stand among ten thousand of man, I’m alone.”
Aku ini Heribertus Damar Wiyono,
asal dusun Soromintan, RT 4, RW 9, Kelurahan Sendang Arum, Kecamatan Minggir,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Bapakku adalah Stanilaus Panggung Wiyono dan
ibuku adalah Natalia Setiarni. Saudara kandung ada satu, Imaculata Setiowati,
sudah menikah dengan Antonius Pracoyo Nugroho dan dikaruniai seorang anak,
Andira Prasetiani.
Rawurunga, aku akan jadi petani.
Niat ini sudah bulat tinggal ibuku bisa atau tidak menerimanya. Ia tentu ingin
aku kerja inlanderis jadi karyawan dan meniti karier di dunia itu, dunia babu!
Padahal dulu ibu pernah bilang, “Kalau bisa kamu itu jangan jadi babu kaya ibu
yang perawat ini.”
Karier tidak akan dibahas lebih jauh
di sini.
Pertemanan akan dibahas lebih jauh.
Awalnya aku ingin dikenal luas. Tapi
apa untungnya? Kalau tidak ada uang! Kalau bisa sedikit teman sedikit kenalan
tapi punya banyak uang.
Kenapa ingin dikenal luas? Oh tidak!
Aku tidak ingin dikenal! Aku ingin dianggap tak pernah ada! Resiko dalam
perkenalan atau pertemanan rasanya tidak relevan lagi untuk dihadapi. Plus
minus dalam dunia itu sudah muak bagiku.
Trapis? Seorang pengembara di hutan
belantara? Inginkah aku ke sana? Tidak!
Meski kini aku benar-benar sendiri,
aku tidak kesepian karena kesepian itu telah berubah jadi keheningan. Mata dan
hatiku sekarang senang melihat kegaduhan di luar sana, orang-orang yang tiap
hari berusaha mempertahankan kehidupan. Andai aku normal-normal saja seperti
mereka. Tapi aku benar-benar tak bisa. Itu bukan jalanku. Itu bukan legendaku.
Dari sinilah, temanku musti mengenal sisi-sisi bajinganku.
Aku ini bajingan, wong edan. Memang
edan, mau apa? Tapi aku punya mimpi dan punya kaki untuk melangkah pergi,
mengejar mimpi meski mungkin gagal.
Setidaknya, segala topeng kini telah
ditanggalkan sang kesatria cahaya. Ia kini mengembara tak tentu arah, mencari
legenda pribadi yang jauh di sisinya.
Jogja, 28 Oktober 2015,
11.09 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar