Essay 28 Oktober 2015
Biografi Singkat Kesatria Cahaya Asal Soromintan
Sore, 18.33 WIB saya baru mulai
menulis setelah terdorong oleh tulisan Panji Pragiwaksono yang incredeble dalam
Nasional.is.me. Panji bercerita sejarah hidupnya dengan singkat dalam subab
kedua. Saya jadi ingin menuliskan sejarah singkat hidup saya.
Latar belakang keluarga. Jujur saja,
saya kurang mengerti cara bapak dan ibu membangun keluarga ini. Saya belum
pernah tanya sejarah keluarga Wiyanan kami. Secara umum yang kutau, dulu kami tidak
semapan sekarang. Kami baru mulai mapan setelah ibu melanjutkan usaha temannya
yang banyak hutang dengan ibu. Usaha itu adalah arisan pasar. Kemampuan ini
saya tahu diwarisi ibu dari nenek yang sungguh tekun cari duit dengan bisnis
arisan.
Saya masih berpegang teguh bahwa
dasar paling fundamental dari sebuah keluarga adalah status ekonomi. Overall,
kami tergolong mapan setelah ibu berbisnis arisan, tepatnya pasca orde baru.
Sebelum orba sendiri ayah dan ibu memang sudah bekerja kantoran. Ayah adalah PNS
di UGM sedangkan ibu adalah perawat di RS. Panti Rapih Yogyakarta. Penghasilan
pas-pasan saja. Saya ingat kala masih balita, entah usia berapa, suka sekali
jajan kalau lagi ke warung pak Karno. Dibeliin sih sama ibu tapi setelah sampai
rumah diomelin, “Dasar boros!”
Omelan itu sungguh berpengaruh pada
saat ini. Saya ambil hikmah positifnya. Saya jadi tidak seneng jajan alias bisa
super hemat. Saking hematnya nih ya, kalau akhir-akhir ini antar kakak belanja
ke supermarket, bawaannya sewot melulu, “Kenapa sih belanja di supermarket
kalau bisa belanja di pasar yang lebih murah!” Kakak perempuan saya tidak
menggubris karena ingin memberi panganan ‘terbaik’ bagi sulungnya yang dua
tahun tiga bulan. Tapi sungguh, kalau aku punya anak kelak, meski baik keadaan
ekonomiku, anak kan kuberi makan hasil bumi sendiri atau hasil belanja dari
pasar biar dia tahu seperti apa hidup prihatin itu. Hahahhaha. Btw, prihatin
tidak selalu sama dengan miskin.
Ok, anyway. Kembali ke biografi.
Balita. Ingatan pertama yang masih bercokol
di otakku adalah minta ditetah bapak. Jalanku serasa masih kaku sekaligus
lemes. Rengekku terus menerus, “Tetah, tetah, tetah.” Samar ingatan itu. Yang
lebih jelas adalah terakhir kali aku netek ibu. Waktu itu sudah bisa lari-lari
kecil. Tepatnya di samping rumah kakek nenek dari ayah, tiba-tiba aku ingin
netek. Ibu, kakak ipar perempuan bapak juga ada di sana, dan entah siapa lagi
sontak tertawa dengan nada sedikit marah menyindir, tapi aku bergeming. Aku
tetap saja netek. Kenikmatannya bukan di manisnya asi, tapi di kenyotan bibirku
ke puting ibu. Asinya sih hambar.
Ibu yang mungkin malu lalu
menyiasati dengan ide dari beberapa orang di sana yaitu dengan mengolesi puting
dengan daun pepaya. Memori audio itu amat membekas.
Lalu aku netek lagi. Pahit rasanya.
Kapoklah aku.
Itulah terakhir kali aku netek ibu.
Memori ini begitu membekas. Berkesan. Mungkin aku orang yang berbakat dalam hal
ingat mengingat. Itulah mengapa sekarang saya bergelut dalam bidang sains atau
ilmu pengetahuan terutama kajian sosial yang perlu mengingat banyak hal.
Anehnya di sini, jadi kalau soal mengingat konsep ilmiah, ga sombong ya,
perkara mudahlah bagiku. Tapiiiiiii,,,,,, kalau untuk mengingat perkara
sehari-hari, di mana meletakkan kunci, tadi ke mana aja, di mana meletakkan ini
itu, sedang ninggal apa di dapur, sedang ninggal kompor nyala atau tidak, dan
seterusnya, aku betul-betul teledor. Entah mengapa. Ada juga profesor salah
satu universitas yang begitu. Kalau tentang matematika, aduh, semua rumus tak
ada yang terlupa, tapiiiiiiiiii, tadi taruh mobil di mana, lupa.
Balita. Aku cukup bahagia. Secara
umum meski waktu itu kami belum terlalu mapan namun saya tidak merasakan
kemiskinan secara signifikan. Begitu banyak yang jauh lebih tidak beruntung
dari pada kami. Pernah waktu itu aku bawa Oreo (kayaknya sudah tidak balita
lagi sih) yang biasa saja bagitu tapi jadi rebutan super seru bagi
teman-temanku.
Bahkan kami sempat punya asisten
rumah tangga. Aku pernah dirambati hewan paling kubenci seumur hidup, reno
alias kelabang yang tubuhnya super sensitif. Senggol sedikit saja darahnya
nyala, hijau warnanya. Mungkin alien dia itu, masih tunggal bapak ibu dengan
sang predator. Nah, asisten rumah tangga waktu itu malah ada dua yang lantas
menolongku untuk selamat dari gerayangan hewan menyebalkan itu.
Lalu jelang TK kami tak punya
asisten rumah tangga. TK, kami punya lagi, namanya Amini, kupanggil Lik Ni.
Kedekatanku dengan Lik Ni melebihi kedekatanku dengan ibu, bapak, maupun kakak
perempuanku.
Sampai tahap ini kupending dulu tulisan
ini. Aku terpikir oleh konsep tulisan yang ‘seharusnya’. Jujur saja, essai ini
tadi tidak kukonsep dengan peta sistematis yang baik. Jadi sekarang terasa:
harusnya tadi gini lalu gitu lalu gini dan seterusnya.
Baik, kalau begitu, aku konsep dulu
di sini:
Autobiografi singkat yang baik
adalah:
-
Maksimal 10 halaman kuarto agar bisa jadi cerita
pendek dengan teknik konversi ekuivalen. Tapi toh lebih ya tidak apa-apa karena
essay sosial lepas seperti kebiasaanku tidak memiliki batasan maksimal.
-
Menceritakan garis besar cerita kehidupan
pribadi secara holistik.
-
Mula-mula dengan sudut pandang orang pertama
tokoh utama serba tahu.
-
Dimulai dari latar belakang sosial:
memperkenalkan profil diri dan keluarga. Nama lengkap anggota keluarga,
domisili, spiritualitas, pekerjaan masing-masing, hobi, dan lain sebagainya
sejauh enak jadi informasi menarik bagi orang lain. Ingat point pentingnya:
bermanfaat bagi orang lain alias bisa dipelajari, bukan sekadar curcol kosong
di hadapan psikeater atau psikolog.
-
Latar belakang ekonomi: diikutkan dalam
perkembangan masa hidup.
-
Balita: ingatan pertama,
-
TK
-
SD
-
SMP
-
SMA
-
Kuliah
-
Saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar