Jumat, 30 Oktober 2015

Biografi Singkat Kesatria Cahaya Asal Soromintan



Essay 28 Oktober 2015
Biografi Singkat Kesatria Cahaya Asal Soromintan
Sore, 18.33 WIB saya baru mulai menulis setelah terdorong oleh tulisan Panji Pragiwaksono yang incredeble dalam Nasional.is.me. Panji bercerita sejarah hidupnya dengan singkat dalam subab kedua. Saya jadi ingin menuliskan sejarah singkat hidup saya.
Latar belakang keluarga. Jujur saja, saya kurang mengerti cara bapak dan ibu membangun keluarga ini. Saya belum pernah tanya sejarah keluarga Wiyanan kami. Secara umum yang kutau, dulu kami tidak semapan sekarang. Kami baru mulai mapan setelah ibu melanjutkan usaha temannya yang banyak hutang dengan ibu. Usaha itu adalah arisan pasar. Kemampuan ini saya tahu diwarisi ibu dari nenek yang sungguh tekun cari duit dengan bisnis arisan.
Saya masih berpegang teguh bahwa dasar paling fundamental dari sebuah keluarga adalah status ekonomi. Overall, kami tergolong mapan setelah ibu berbisnis arisan, tepatnya pasca orde baru. Sebelum orba sendiri ayah dan ibu memang sudah bekerja kantoran. Ayah adalah PNS di UGM sedangkan ibu adalah perawat di RS. Panti Rapih Yogyakarta. Penghasilan pas-pasan saja. Saya ingat kala masih balita, entah usia berapa, suka sekali jajan kalau lagi ke warung pak Karno. Dibeliin sih sama ibu tapi setelah sampai rumah diomelin, “Dasar boros!”
Omelan itu sungguh berpengaruh pada saat ini. Saya ambil hikmah positifnya. Saya jadi tidak seneng jajan alias bisa super hemat. Saking hematnya nih ya, kalau akhir-akhir ini antar kakak belanja ke supermarket, bawaannya sewot melulu, “Kenapa sih belanja di supermarket kalau bisa belanja di pasar yang lebih murah!” Kakak perempuan saya tidak menggubris karena ingin memberi panganan ‘terbaik’ bagi sulungnya yang dua tahun tiga bulan. Tapi sungguh, kalau aku punya anak kelak, meski baik keadaan ekonomiku, anak kan kuberi makan hasil bumi sendiri atau hasil belanja dari pasar biar dia tahu seperti apa hidup prihatin itu. Hahahhaha. Btw, prihatin tidak selalu sama dengan miskin.
Ok, anyway. Kembali ke biografi.
Balita. Ingatan pertama yang masih bercokol di otakku adalah minta ditetah bapak. Jalanku serasa masih kaku sekaligus lemes. Rengekku terus menerus, “Tetah, tetah, tetah.” Samar ingatan itu. Yang lebih jelas adalah terakhir kali aku netek ibu. Waktu itu sudah bisa lari-lari kecil. Tepatnya di samping rumah kakek nenek dari ayah, tiba-tiba aku ingin netek. Ibu, kakak ipar perempuan bapak juga ada di sana, dan entah siapa lagi sontak tertawa dengan nada sedikit marah menyindir, tapi aku bergeming. Aku tetap saja netek. Kenikmatannya bukan di manisnya asi, tapi di kenyotan bibirku ke puting ibu. Asinya sih hambar.
Ibu yang mungkin malu lalu menyiasati dengan ide dari beberapa orang di sana yaitu dengan mengolesi puting dengan daun pepaya. Memori audio itu amat membekas.
Lalu aku netek lagi. Pahit rasanya.
Kapoklah aku.
Itulah terakhir kali aku netek ibu. Memori ini begitu membekas. Berkesan. Mungkin aku orang yang berbakat dalam hal ingat mengingat. Itulah mengapa sekarang saya bergelut dalam bidang sains atau ilmu pengetahuan terutama kajian sosial yang perlu mengingat banyak hal. Anehnya di sini, jadi kalau soal mengingat konsep ilmiah, ga sombong ya, perkara mudahlah bagiku. Tapiiiiiii,,,,,, kalau untuk mengingat perkara sehari-hari, di mana meletakkan kunci, tadi ke mana aja, di mana meletakkan ini itu, sedang ninggal apa di dapur, sedang ninggal kompor nyala atau tidak, dan seterusnya, aku betul-betul teledor. Entah mengapa. Ada juga profesor salah satu universitas yang begitu. Kalau tentang matematika, aduh, semua rumus tak ada yang terlupa, tapiiiiiiiiii, tadi taruh mobil di mana, lupa.
Balita. Aku cukup bahagia. Secara umum meski waktu itu kami belum terlalu mapan namun saya tidak merasakan kemiskinan secara signifikan. Begitu banyak yang jauh lebih tidak beruntung dari pada kami. Pernah waktu itu aku bawa Oreo (kayaknya sudah tidak balita lagi sih) yang biasa saja bagitu tapi jadi rebutan super seru bagi teman-temanku.
Bahkan kami sempat punya asisten rumah tangga. Aku pernah dirambati hewan paling kubenci seumur hidup, reno alias kelabang yang tubuhnya super sensitif. Senggol sedikit saja darahnya nyala, hijau warnanya. Mungkin alien dia itu, masih tunggal bapak ibu dengan sang predator. Nah, asisten rumah tangga waktu itu malah ada dua yang lantas menolongku untuk selamat dari gerayangan hewan menyebalkan itu.
Lalu jelang TK kami tak punya asisten rumah tangga. TK, kami punya lagi, namanya Amini, kupanggil Lik Ni. Kedekatanku dengan Lik Ni melebihi kedekatanku dengan ibu, bapak, maupun kakak perempuanku.
Sampai tahap ini kupending dulu tulisan ini. Aku terpikir oleh konsep tulisan yang ‘seharusnya’. Jujur saja, essai ini tadi tidak kukonsep dengan peta sistematis yang baik. Jadi sekarang terasa: harusnya tadi gini lalu gitu lalu gini dan seterusnya.
Baik, kalau begitu, aku konsep dulu di sini:
Autobiografi singkat yang baik adalah:
-          Maksimal 10 halaman kuarto agar bisa jadi cerita pendek dengan teknik konversi ekuivalen. Tapi toh lebih ya tidak apa-apa karena essay sosial lepas seperti kebiasaanku tidak memiliki batasan maksimal.
-          Menceritakan garis besar cerita kehidupan pribadi secara holistik.
-          Mula-mula dengan sudut pandang orang pertama tokoh utama serba tahu.
-          Dimulai dari latar belakang sosial: memperkenalkan profil diri dan keluarga. Nama lengkap anggota keluarga, domisili, spiritualitas, pekerjaan masing-masing, hobi, dan lain sebagainya sejauh enak jadi informasi menarik bagi orang lain. Ingat point pentingnya: bermanfaat bagi orang lain alias bisa dipelajari, bukan sekadar curcol kosong di hadapan psikeater atau psikolog.
-          Latar belakang ekonomi: diikutkan dalam perkembangan masa hidup.
-          Balita: ingatan pertama,
-          TK
-          SD
-          SMP
-          SMA
-          Kuliah
-          Saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar