Essay
16 Oktober 2016
Pandangan
Freudian tentang Agama
Diskursus ketuhanan
atau spiritualitas manusia dalam freudian adalah narasi kehidupan seseorang
yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu. Pengalaman inilah yang dipandang
secara fenomenologis dalam pendekatan penelitian kualitatif fenomenologi
interpretatif. Psikoanalisis freudian ingin menggali narasi kehidupan seseorang
misalnya dalam aspek spiritualitas ketuhanan yang diyakini. Spiritualitas
ketuhanan merupakan perilaku yang didorong oleh motif-motif masa lalu yang pada
umumnya bersifat asadar. Motif-motif inilah yang disebut narasi kehidupan
seseorang (Pals, 2012).
Secara sederhana Pals
(2012) menjelaskan bahwa kegelisahan Freud tentang spiritual manusia memiliki
tujuan yang baik yaitu demi kesehatan psikologis manusia itu sendiri (Strachey
& Freud, 1961). Sebagaimana sering dikutip Pals (2012) dalam Strachey &
Freud (1961), psikoanalisis ingin membuat semua orang yang masih
berspiritualitas ketuhanan menjadi sehat secara psikologi atau menghindari neurotisisme
tertentu dengan cara menyadari motif-motif spiritual yang mendasari perilaku
spiritual. Orang yang beragama diharapkan menyadari motif-motifnya sehingga
agama bukan merupakan ilusi neurotik namun menjadi perwujudan atas
kebutuhan-kebutuhan manusia yang murni misalnya untuk meningkatkan
kesejahteraan psikologis.
Freud menjelaskan dalam
The Future of an Ilusion (Strachey
& Freud, 1961 dalam Pals, 2012) tentang agama atau kecenderungan manusia
untuk berspiritualitas sebagai bentuk ilusi murni. Ilusi adalah kepercayaan
yang diyakini seseorang untuk mewujudkan cita-cita tertentu. Kepercayaan ini
masih bersifat reasonable atau dapat
dijelaskan sehingga tidak sama dengan delusi. Contoh kepercayaan ilusif
misalnya cita-cita seorang anak untuk menjadi astronot, presiden, maupun
dokter. Kepercayaan orang kepada tuhan juga merupakan salah satu bentuk ilusi
(Pals, 2012). Delusi berbeda dari ilusi karena dalam delusi kepercayaan orang
tidak lagi dapat dijelaskan dengan akal sehat. Contoh delusi adalah kepercayaan
bahwa seseorang adalah titisan leluhur yang harus dituhankan, kepercayaan bahwa
seseorang merupakan reinkarnasi Napoleon Bonaparte atau bahkan Napoleon
Bonaparte itu sendiri, dan lain-lain. Buku Freud The Future of an Ilusion setelah Totem and Taboo ini masih terasa senada. Freud nampaknya ingin
menyatakan bahwa agama pada dasarnya adalah delusi karena tidak pernah mampu
memberi alasan atau motif-motif yang realistik sehingga dapat difalsifikasi.
Secara sangat permisif, Freud juga ingin mengatakan bahwa pemeluk agama atau
penghayat spiritualitas tertentu pada dasarnya bersifat neurotik karna
kepercayaan deitik cenderung sama dengan khayalan belaka hasil dari
konflik-konflik masa kanak-kanak (Pals, 2012).
Kepercaan spiritual
lantas tidak jadi kehilangan peminat. Di lain pihak tidak pula dapat dengan
mudah dikatakan bahwa Freud mengada-ada dalam berteori. Pointnya adalah bila
spiritualitas masih berkembang pada zaman ini, pasti terdapat penjelasan
positivistik yang cenderung transenden atas teorema agama freudian. Sisi
transendensi psikoanalisa ini dijelaskan lebih lanjut oleh pandangan kaum
mistik (Eliade, 2012; Eliade dalam Pals, 2012; Frager, 2014, Armstrong, 2015).
Penghayatan
spiritualitas ketuhanan yang lepas dari realita sosial dapat bertendensi untuk
menyebabkan neurotisisme. Tendensi gangguan psikologis cenderung terjadi secara
teoritik berdasarkan teori kesehatan psikologis freudian (Pals, 2012). Tendensi
neurotisisme tidak dapat dibenarkan begitu saja karena dimensi perilaku
beragama tidak hanya didorong oleh motif neurotik masa lalu namun juga dapat
didorong oleh motif mistik (Eliade, 2002; Eliade dalam Pals, 2012).
Tendensi neurotisisme
yang dalam hal ini dipandang secara teoritik akan disikapi secara teoritik
pula. Penelitian Ellis (1980), Ellison & Levin (1998), dan Ellison,
Boardman, Williams, & Jackson (2001) menunjukkan semua kemungkinan.
Neurotisisme spiritual dapat terjadi atau tidak terjadi tergantung pada sikap
manusia dalam berpsiritualitas. Dengan demikian, tendensi neurotisme dalam beragama
atau berpsiritualitas perlu untuk selalu diwaspadai oleh setiap orang terutama
yang memutuskan untuk berspiritualitas tertentu. Penyadaran diri atas motif
dalam melakukan perilaku spiritual tertentu harus dipastikan sehingga seseorang
mengetahui dengan pasti bahwa latar belakang tindakan beragama bukanlah konflik
psikologis tertentu (Osborne, 2000; Armstrong, 2013).
Kata tendensi akan
sering diikutsertakan dalam justifikasi atas kecenderungan neurotisisme
tertentu karena data wawancara dan pengamatan yang dilakukan dirasa kurang
memadahi untuk dengan yakin melakukan diagnosis klinis. Diagnosis klinis harus
dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan pengamatan mendetail yang memiliki
validitas tak diragukan lagi (Straus dalam May, Angel, & Ellenberger, 1967).
Tanggungjawab ini tidak relevan dengan permasalahan penelitian bila dilakukan
dalam penelitian kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar