Senin, 26 Oktober 2015

Pandangan Freudian tentang Agama



Essay 16 Oktober 2016
Pandangan Freudian tentang Agama

Diskursus ketuhanan atau spiritualitas manusia dalam freudian adalah narasi kehidupan seseorang yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu. Pengalaman inilah yang dipandang secara fenomenologis dalam pendekatan penelitian kualitatif fenomenologi interpretatif. Psikoanalisis freudian ingin menggali narasi kehidupan seseorang misalnya dalam aspek spiritualitas ketuhanan yang diyakini. Spiritualitas ketuhanan merupakan perilaku yang didorong oleh motif-motif masa lalu yang pada umumnya bersifat asadar. Motif-motif inilah yang disebut narasi kehidupan seseorang (Pals, 2012).
Secara sederhana Pals (2012) menjelaskan bahwa kegelisahan Freud tentang spiritual manusia memiliki tujuan yang baik yaitu demi kesehatan psikologis manusia itu sendiri (Strachey & Freud, 1961). Sebagaimana sering dikutip Pals (2012) dalam Strachey & Freud (1961), psikoanalisis ingin membuat semua orang yang masih berspiritualitas ketuhanan menjadi sehat secara psikologi atau menghindari neurotisisme tertentu dengan cara menyadari motif-motif spiritual yang mendasari perilaku spiritual. Orang yang beragama diharapkan menyadari motif-motifnya sehingga agama bukan merupakan ilusi neurotik namun menjadi perwujudan atas kebutuhan-kebutuhan manusia yang murni misalnya untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis.
Freud menjelaskan dalam The Future of an Ilusion (Strachey & Freud, 1961 dalam Pals, 2012) tentang agama atau kecenderungan manusia untuk berspiritualitas sebagai bentuk ilusi murni. Ilusi adalah kepercayaan yang diyakini seseorang untuk mewujudkan cita-cita tertentu. Kepercayaan ini masih bersifat reasonable atau dapat dijelaskan sehingga tidak sama dengan delusi. Contoh kepercayaan ilusif misalnya cita-cita seorang anak untuk menjadi astronot, presiden, maupun dokter. Kepercayaan orang kepada tuhan juga merupakan salah satu bentuk ilusi (Pals, 2012). Delusi berbeda dari ilusi karena dalam delusi kepercayaan orang tidak lagi dapat dijelaskan dengan akal sehat. Contoh delusi adalah kepercayaan bahwa seseorang adalah titisan leluhur yang harus dituhankan, kepercayaan bahwa seseorang merupakan reinkarnasi Napoleon Bonaparte atau bahkan Napoleon Bonaparte itu sendiri, dan lain-lain. Buku Freud The Future of an Ilusion setelah Totem and Taboo ini masih terasa senada. Freud nampaknya ingin menyatakan bahwa agama pada dasarnya adalah delusi karena tidak pernah mampu memberi alasan atau motif-motif yang realistik sehingga dapat difalsifikasi. Secara sangat permisif, Freud juga ingin mengatakan bahwa pemeluk agama atau penghayat spiritualitas tertentu pada dasarnya bersifat neurotik karna kepercayaan deitik cenderung sama dengan khayalan belaka hasil dari konflik-konflik masa kanak-kanak (Pals, 2012).
Kepercaan spiritual lantas tidak jadi kehilangan peminat. Di lain pihak tidak pula dapat dengan mudah dikatakan bahwa Freud mengada-ada dalam berteori. Pointnya adalah bila spiritualitas masih berkembang pada zaman ini, pasti terdapat penjelasan positivistik yang cenderung transenden atas teorema agama freudian. Sisi transendensi psikoanalisa ini dijelaskan lebih lanjut oleh pandangan kaum mistik (Eliade, 2012; Eliade dalam Pals, 2012; Frager, 2014, Armstrong, 2015).
Penghayatan spiritualitas ketuhanan yang lepas dari realita sosial dapat bertendensi untuk menyebabkan neurotisisme. Tendensi gangguan psikologis cenderung terjadi secara teoritik berdasarkan teori kesehatan psikologis freudian (Pals, 2012). Tendensi neurotisisme tidak dapat dibenarkan begitu saja karena dimensi perilaku beragama tidak hanya didorong oleh motif neurotik masa lalu namun juga dapat didorong oleh motif mistik (Eliade, 2002; Eliade dalam Pals, 2012).
Tendensi neurotisisme yang dalam hal ini dipandang secara teoritik akan disikapi secara teoritik pula. Penelitian Ellis (1980), Ellison & Levin (1998), dan Ellison, Boardman, Williams, & Jackson (2001) menunjukkan semua kemungkinan. Neurotisisme spiritual dapat terjadi atau tidak terjadi tergantung pada sikap manusia dalam berpsiritualitas. Dengan demikian, tendensi neurotisme dalam beragama atau berpsiritualitas perlu untuk selalu diwaspadai oleh setiap orang terutama yang memutuskan untuk berspiritualitas tertentu. Penyadaran diri atas motif dalam melakukan perilaku spiritual tertentu harus dipastikan sehingga seseorang mengetahui dengan pasti bahwa latar belakang tindakan beragama bukanlah konflik psikologis tertentu (Osborne, 2000; Armstrong, 2013).
Kata tendensi akan sering diikutsertakan dalam justifikasi atas kecenderungan neurotisisme tertentu karena data wawancara dan pengamatan yang dilakukan dirasa kurang memadahi untuk dengan yakin melakukan diagnosis klinis. Diagnosis klinis harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan pengamatan mendetail yang memiliki validitas tak diragukan lagi (Straus dalam May, Angel, & Ellenberger, 1967). Tanggungjawab ini tidak relevan dengan permasalahan penelitian bila dilakukan dalam penelitian kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar