Kamis, 05 November 2015

Belajar Spiritual secara Aposteriori, mungkinkah?



Belajar Spiritual secara Aposteriori, mungkinkah?
Essay 3 November 2015
Sulit tapi bisa. Kecenderungan berpikir ilmiah, kritis, dan reasonable selama proses pembelajaran akademik menyebabkan intuisi menumpul dan hati tidak peka pada sisi-sisi transendensi dunia. Akademisi bahkan memiliki kecenderungan untuk mengatakan bahwa para pemilik intuisi dan penghayat transendensi adalah kaum marginal yang berspiritualitas sebagai kompensasi atas kelemahan akademis dan ekonomi politik. Mengapa jadi makin runyam?
Karena terlalu banyak pikiran yang sebenarnya tidak penting. Tujuan terlupakan oleh kesenangan indrawi, pengecoh fokus manusia. Fenomena ini disebut sacred procrastination (sp). Tidak ada rasa bersalah dalam sp. Lambat laun sp akan mirip dengan surat peringatan dimana membuat manusia meninggalkan sp. Sp3 mungkin, ketika sp makin merajalela, hati tak tahan untuk kembali kepada fokus tujuan.
Ini adalah pengalaman saya mengerjakan skripsi. Sp menjelma dalam hobi saya membaca buku yang lama terpendam. Hobi itu tiba-tiba aktif kembali secara membabi buta sampai skripsi tertunda karena pekerjaan membaca dan menulis essay semacam ini. Sp3 saja, biasanya tidak lebih. Sayapun kembali pada fokus yaitu untuk mengerjakan skripsi. Hati tak tahan rasanya bila tugas utama tak kunjung usai. Toh, hobi nanti bisa dijalani lagi setelah skripsi selesai. Bila waktu itu tiba, maka hati akan benar-benar lega untuk menyalurkan hobi sampai ke taraf keuntungan financial. Saat ini saya merasa seperti dipenjara. Penjara kewajiban yang tidak diinginkan. Ah, kalau tahu dari awal bahwa akan seperti ini maka……………………………..
Pointnya adalah untuk segera merampungkan skripsi agar hati segera merasakan plong. Plong untuk sesaat sebelum dirundung kewajiban selanjutnya yaitu mencari penghasilan untuk hidup mapan. Setelah hidup mapan maka hati plong. Plong sesaat sebelum kembali dirundung kewajiban sosial yang sebenarnya bisa tidak dikerjakan. Bukankah berkeluarga bukan kewajiban mutlak sebagaimana mencari uang untuk memenuhi kebutuhan primern sehari-hari? Memang sih, berkeluarga adalah ibadah, tapi apakah itu cara satu-satunya untuk beribadah? Mengapa ibadah jenis ini diperjuangkan mati-matian sedangkan ibadah jenis lain seperti puasa nabi cenderung dilupakan? Itulah manusia bro, sis.
Kembali kepada fokus pengerjaan tugas, skripsi atau apapun yang sedang menjadi beban kewajiban kita saa ini. Bagi saya itu berarti harus memfokuskan pembacaan dalam bidang spiritualitas saja. Novel dan karya sastra lain dapat dibaca nanti-nanti tidak dosa. Nah, dengan begitu penulisan laporan juga bisa segera diselesaikan. Niscaya, tidak sampai seminggu pasti sudah selesai, kalau dikerjakan terus.
Belajar spiritualitas Jawa, sufisme, dan semitik abrahamistik adalah fokus saya untuk pembahasan skripsi. Pembelajaran spiritualitas ini bisakah dibikin aposteriori? Inilah tantangan akademis saya untuk melakukan kajian teori dan pembahasan. Di satu pihak, spiritualitas sendiri meminta orang untuk lebih menggunakan intuisi dan rasa sedangkan kaidah ilmiah skripsi mendorong orang untuk berpikir teoritis non intuitif. Pointnya bukan di sini.
Spiritualitas aposteriori adalah usaha yang (saya) dilakukan untuk melihat spiritualitas seseorang secara apa adanya. Metode yang sama juga digunakan dalam kajian pustaka teoritik. Dorongan apriori tentu selalu menghantui peneilti seperti saya karena pada dasarnya pengalaman pribadi tidak mungkin dilepaskan dalam proses ilmiah penulisan laporan. Bagaimana menyikapi kecenderungan ini?
Pendekatan analisis fenomenologi interpretative memberikan solusi yang sangat praktis. Cara untuk menjadi aposteriori adalah selalu kembali kepada data apa adanya. Analisis data harus dilakukan secara apa adanya tanpa interpretasi apapun. Interpretasi baru akan dilakukan pada pembahasan. Apriori memang akan dibutuhkan karena peneliti dituntut untuk memiliki keberpihakan filosofis. Apriori tak selamanya buruk asalkan aposteriori tetap dapat dilakukan. Maksudnya adalah pemakaian pola piker apriori harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Inilah yang disebut keberpihakan filosofis (Creswell, 2014 menyebutnya sebagai keyakinan filosofis). Dengan begini, penelitian akan menarik untuk dibaca dan diharapkan lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. Semoga.
Semoga minggu ini sudah selesai. Minggu depan latihan ujian. Minggu ketiga bulan ini ujian. Minggu keempat bulan ini mulai judicial review sehingga akhir tahun sudah yudisium. Mengapa buru-buru? Karena saya sudah lima setengah tahun ini dan kalau masuk tahun depan, selain makin lama masa studi, bahaya juga karena harus bayar UKT dan kartu merah skripsi yang mengharuskan mahasiswa bayar SKS lagi. Hahahahhaha. Makanya harus cepat. Hari ini selesai. Bisa? Bisa, tapi sulit. Oh tidak! Sulit? Iya, sulit sekali tapi bisa. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar