Belajar
Spiritual secara Aposteriori, mungkinkah?
Essay 3 November 2015
Sulit tapi bisa. Kecenderungan
berpikir ilmiah, kritis, dan reasonable selama proses pembelajaran akademik
menyebabkan intuisi menumpul dan hati tidak peka pada sisi-sisi transendensi dunia.
Akademisi bahkan memiliki kecenderungan untuk mengatakan bahwa para pemilik
intuisi dan penghayat transendensi adalah kaum marginal yang berspiritualitas
sebagai kompensasi atas kelemahan akademis dan ekonomi politik. Mengapa jadi
makin runyam?
Karena terlalu banyak pikiran yang
sebenarnya tidak penting. Tujuan terlupakan oleh kesenangan indrawi, pengecoh
fokus manusia. Fenomena ini disebut sacred
procrastination (sp). Tidak ada rasa bersalah dalam sp. Lambat laun sp akan
mirip dengan surat peringatan dimana membuat manusia meninggalkan sp. Sp3
mungkin, ketika sp makin merajalela, hati tak tahan untuk kembali kepada fokus
tujuan.
Ini adalah pengalaman saya
mengerjakan skripsi. Sp menjelma dalam hobi saya membaca buku yang lama
terpendam. Hobi itu tiba-tiba aktif kembali secara membabi buta sampai skripsi
tertunda karena pekerjaan membaca dan menulis essay semacam ini. Sp3 saja,
biasanya tidak lebih. Sayapun kembali pada fokus yaitu untuk mengerjakan
skripsi. Hati tak tahan rasanya bila tugas utama tak kunjung usai. Toh, hobi
nanti bisa dijalani lagi setelah skripsi selesai. Bila waktu itu tiba, maka
hati akan benar-benar lega untuk menyalurkan hobi sampai ke taraf keuntungan
financial. Saat ini saya merasa seperti dipenjara. Penjara kewajiban yang tidak
diinginkan. Ah, kalau tahu dari awal bahwa akan seperti ini maka……………………………..
Pointnya adalah untuk segera
merampungkan skripsi agar hati segera merasakan plong. Plong untuk sesaat
sebelum dirundung kewajiban selanjutnya yaitu mencari penghasilan untuk hidup
mapan. Setelah hidup mapan maka hati plong. Plong sesaat sebelum kembali
dirundung kewajiban sosial yang sebenarnya bisa tidak dikerjakan. Bukankah
berkeluarga bukan kewajiban mutlak sebagaimana mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan primern sehari-hari? Memang sih, berkeluarga adalah ibadah, tapi
apakah itu cara satu-satunya untuk beribadah? Mengapa ibadah jenis ini
diperjuangkan mati-matian sedangkan ibadah jenis lain seperti puasa nabi
cenderung dilupakan? Itulah manusia bro, sis.
Kembali kepada fokus pengerjaan
tugas, skripsi atau apapun yang sedang menjadi beban kewajiban kita saa ini.
Bagi saya itu berarti harus memfokuskan pembacaan dalam bidang spiritualitas
saja. Novel dan karya sastra lain dapat dibaca nanti-nanti tidak dosa. Nah,
dengan begitu penulisan laporan juga bisa segera diselesaikan. Niscaya, tidak
sampai seminggu pasti sudah selesai, kalau dikerjakan terus.
Belajar spiritualitas Jawa,
sufisme, dan semitik abrahamistik adalah fokus saya untuk pembahasan skripsi.
Pembelajaran spiritualitas ini bisakah dibikin aposteriori? Inilah tantangan
akademis saya untuk melakukan kajian teori dan pembahasan. Di satu pihak,
spiritualitas sendiri meminta orang untuk lebih menggunakan intuisi dan rasa
sedangkan kaidah ilmiah skripsi mendorong orang untuk berpikir teoritis non
intuitif. Pointnya bukan di sini.
Spiritualitas aposteriori adalah
usaha yang (saya) dilakukan untuk melihat spiritualitas seseorang secara apa
adanya. Metode yang sama juga digunakan dalam kajian pustaka teoritik. Dorongan
apriori tentu selalu menghantui peneilti seperti saya karena pada dasarnya
pengalaman pribadi tidak mungkin dilepaskan dalam proses ilmiah penulisan
laporan. Bagaimana menyikapi kecenderungan ini?
Pendekatan analisis fenomenologi
interpretative memberikan solusi yang sangat praktis. Cara untuk menjadi
aposteriori adalah selalu kembali kepada data apa adanya. Analisis data harus
dilakukan secara apa adanya tanpa interpretasi apapun. Interpretasi baru akan
dilakukan pada pembahasan. Apriori memang akan dibutuhkan karena peneliti
dituntut untuk memiliki keberpihakan filosofis. Apriori tak selamanya buruk
asalkan aposteriori tetap dapat dilakukan. Maksudnya adalah pemakaian pola
piker apriori harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Inilah yang disebut
keberpihakan filosofis (Creswell, 2014 menyebutnya sebagai keyakinan
filosofis). Dengan begini, penelitian akan menarik untuk dibaca dan diharapkan
lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. Semoga.
Semoga minggu ini sudah selesai.
Minggu depan latihan ujian. Minggu ketiga bulan ini ujian. Minggu keempat bulan
ini mulai judicial review sehingga akhir tahun sudah yudisium. Mengapa
buru-buru? Karena saya sudah lima setengah tahun ini dan kalau masuk tahun
depan, selain makin lama masa studi, bahaya juga karena harus bayar UKT dan kartu
merah skripsi yang mengharuskan mahasiswa bayar SKS lagi. Hahahahhaha. Makanya
harus cepat. Hari ini selesai. Bisa? Bisa, tapi sulit. Oh tidak! Sulit? Iya,
sulit sekali tapi bisa. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar