Tahapan
Penelitian Kualitatif (bidang ilmu sosial, khususnya psikologi)
Essay 3 November 2015
Cara melakukan penelitian
kualitatif tidak seinstan yang dituturkan melalui kiat-kiat dan buku how to.
Tulisan ini bukan how to karena anda akan menjalani proses setidaknya dua
bulan. Iya, sebenarnya cukup dua bulan untuk menyelesaikan satu penelitian
kualitatif. Cukup dua bulan untuk menyelesaikan skripsi kualitatif. Saya bisa
menulis demikian karena pengalaman gagal dalam melaksanakan penelitian
kualitatif saya yang baru selesai dalam satu tahun. Ternyata cuma dua bulan,
kalau dikerjakan terus, hahahahha.
Baik, tahapan penelitian
kualitatif adalah sebagai berikut:
1.
Tetapkan satu buku metodologi pegangan utama.
Saya sarankan di sini dengan memakai buku Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif yang ditulis
Smith (2013). Sebenarnya buku Creswell (2014) jauh lebih bagus, lebih
sistematis, lebih mendasar, dan lebih mudah diaplikasikan. Di hati terdalam,
saya sebenarnya lebih merekomendasikan Creswell (2014).
2.
Pahami dasar kajian ilmiah psikologi kualitatif
(apa itu penelitian kualitatif, mengapa kualitatif ilmiah, dll).
3.
Pastikan topik anda memiliki kajian pustaka yang
adekuat sehingga memang relevan dan penting untuk dilakukan dalam penelitian
ilmiah.
4.
Pilih satu pendekatan penelitian: fenomenologi,
analisis fenomenologi interpretative, teori dari dasar, naratif, analisis
percakapan, analisis wacana, kelompok-kelompok fokus, atau penelitian
kooperatif, dll.
5.
Pahami semua pendekatan tersebut agar anda mampu
memberi argumentasi: mengapa memakai pendekatan a dan bukan b? Bagaimana
argumentasi anda lebih penting dari keseluruhan proses penelitian selanjutnya.
Tanpa dasar ini bangunan penelitian pasti tidak kokoh. Pendekatan ibarat jenis
batu yang paling tepat untuk konstruksi bangunan penelitian tertentu. Contoh:
penelitian biografi Einstein tentu dilakukan dengan pendekatan analisis wacana
misalnya dengan biografi yang ditulis Walter Isaacson. Peneliti yang melakukan
penelitian dengan pendekatan naratif pasti akan memiliki laporan penelitian
yang tidak kuat dan mengada-ada. Penelitian itu jadi jayus pula, hahahahahhaha.
6.
Tidak kalah penting, isu validitas juga perlu
dibahas agar penelitian yang dilakukan valid. Selain itu isu ini juga membawa
pada pemahaman tentang plus minus penelitian. Bisa jadi penelitian memang tidak
bisa valid. Nah, dengan ini peneliti bisa tahu kelemahan penelitian. Penelitian
mah memang harus bisa difalsifikasi ya, kalau tidak bisa namanya bukan
penelitian ilmiah tapi ilmu doktrin agama. Hahahahhahahah.
Maka marilah sekarang kita bahas satu
persatu:
1.
Tahap 1: memengerti kajian dasar metodologi
penelitian kualitatif
-
Dasar penelitian kualitatif adalah pengalaman
manusia atau individu/kelompok. Semua pendekatan penelitian kualitatif akan
berpijak pada dasar generik ini.
-
Secara umum, penelitian kualitatif ingin
menginterpretasi pengalaman manusia itu sehingga tersaji secara ilmiah, memberi
sentuhan makna, dan bahkan manfaat bagi kehidupan yang lebih luas.
-
Terma pengalaman mungkin terlalu menjurus pada
individu namun pada intinya tak dapat dipungkiri bahwa objek kajian penelitian
kualitatif adalah kualitas hakekat sosial atau konstruksi atribut-atribut
manusia yang tak lain sebenarnya adalah pengalaman juga (experience, hal yang
pernah dialami manusia).
-
Apakah pengalaman itu sendiri? Defisini
operasioan atas pengalaman menurut Fechner tentu sangat reduksionistik. Hal ini
ditentang keras oleh William James dan saya sendiri. Hehe. Menurut Wundt,
pengalaman intinya adalah kompleksitas struktur-struktur dan unsur-unsur dalam
kehidupan manusia secara holistik. Apa itu? Semuanya. Artinya manusia dalam
dimensi kualitatif tersusun atas pengalaman-pengalaman (Wundt dalam Smith,
2013). Saya kira Brentano ingin menjelaskan definisi yang sama namun ia
menambahkan bahwa sebagai kompleksitas, pengalaman manusia memiliki klasifikasi
misalnya: pengalaman sedih berbeda dengan pengalaman senang dan seterusnya.
Pengalaman dengan demikian memiliki dimensi yang luas dan terkotak-kotak
sehingga penelitian kuailtatif perlu berfokus pada satu dimensi pengalaman saja
agar benar-benar mendalam. Memang kalau dibalik, penelitian kualitatif yang
ingin mengungkap kompleksitas pengalaman manusia secara holistik memang tidak
make sense.
-
Berdasarkan Bretano, inti penelitian kualitatif
adalah menjelaskan pengalaman manusia yang merupakan kaitan antara objek
pembentuk pengalaman dan pengalaman manusia itu sendiri sebagaimana dituturkan
dalam instrospeksi, narasi, atau beragam cara perolehan data yang lain (metoda
ini cenderung bersifat fungisionalisme yang ingin mencari dasar atau penjelasan
keterkaitan atas berbagai hal yang seakan-akan terumuskan dalam fungsi
matematis tertentu).
-
Sekarang lihat pada DO William James, pengalaman
adalah arus kesadaran manusia yang berproses dan berubah terus menerus. Ia
ingin mengatakan bahwa tidak ada yang abadi di dunia kecuali perubahan itu
sendiri. Nah, saya tidak akan membuat komparasi DO tapi akan lebih membuat
sitesa DO-DO yang ada sebagai kesatuan teori yang saling melengkapi. Nah,
pendapat James di sini membantu kita membuat penegasan bahwa tidak ada yang
stagnan di dunia ini. Kepribadian misalnya atau pengalaman manusia itu sendiri
merupakan dinamika alam bawah sadar yang memiliki tema atau makna yang
berubah-ubah. Jujur saja, saya sendiri masih meragukan teorema trait meski saya
sendiri memiliki watak yang rasanya sulit dirubah karena sudah menjadi atribut
abadi yang disematkan Tuhan sejak kehidupan yang lalu-lalu.
-
Husserl tiba-tiba nimbrung dengan konsep
fenomenologinya. William James lalu menjelaskan tentang diri (yang ada
tingkatannya seperti dalam Buddhisme). Kesimpulannya adalah baik pengalaman,
fenomena, maupun diri sebenarnya adalah satu, esa. Maksudnya adalah bahwa semua
itu merupakan bentukan kognisi manusia yang unik dan hanya tergambarkan dengan
otentik dan menarik dengan penelitian kualitatif. Nah, kalau saya tak suka
debat masalah terminologi seperti itu karena pada intinya dalam hal ini
metodologi penelitian kualitatif merupakan usaha manusia untuk mengungkapkan
kognisi atau pikiran atau isi otaknya secara terstruktur, sistematis, dan
massif sehingga dikatakan ilmiah. Fokus pada individu, inilah kekhasan
penelitian kualitatif. Ia jadi sangat mendalam namun terkendala masalah
objektivitas metodologi. Inilah mengapa nanti penting untuk sampai pada
pendekatan-pendekatan.
-
Point di atas adalah kesimpulan saya yang cukup
berani berdasarkan pembacaan buku-buku filsafat atau teologi yang notabene juga
menggunakan metodologi penelitian yang sangat implisit dibandingkan kertas
laporan karya ilmiah.
-
Kalau melihat dari buku James Pengalaman-Pengalaman Religius maka
secara implicit James ingin mengatakan bahwa inti dari penelitian kualitatif
adalah pengungkapan kontek sadar atau asadar dalam otak manusia (ya pengalaman,
ya fenomena, ya diri, ya bukan diri, dll) tanpa mempersalahkan objek kajian
lain yang disasar konten-konten otak manusia. Ketika manusia membicarakan Tuhan
misalnya, tak perlulah mempersalahkan Tuhan yang di luar otak manusia itu
karena yang lebih penting adalah memahami konsep Tuhan dalam otak manusia itu secara
apa adanya.
-
Amat mungkin, sintesa saya ini belepotan alias
salah di sana sini. Prinsip saya, lebih baik salah seribu kali dari pada benar
sekali karena yang paling penting adalah proses belajarnya. Dalam berani salah
ada keberanian untuk mempelajari kajian-kajian teori secara otentik tanpa
menanggalkan keyakinan filosofisnya sendiri. Nah, kalau Paulo Coelho malah
mengatakan bahwa manusia tidak dapat belajar kecuali dari membuat
kesalahan-kesalahan.
-
Kembali kepada kajian teoritis. Setelah
perdebatan James dkk itu, maka awal tahun 1900 munculan behaviorisme yang
dimulai oleh Watson. Sejarah dan angka tahun tidak penting di sini karena yang
perlu kita perhatikan adalah pemahaman mereka tentang ilmu psikologi itu
sendiri. Psikologi tentu kalau begitu dibentuk oleh hasrat para teoretisi untuk
melakukan penelitian kualitatif atau penguakan konten otak manusia. Lalu lambat
laun akhirnya menyadari bahwa inti yang lebih terukur dan tidak terlalu abstrak
dari tujuan penelitian kualitataif adalah menjelaskan perilaku manusia. Inilah
behaviorisme, psikologi itu sendiri.
-
Watson ingin menggantikan apa yang dikatakan
sebagai instrospeksi menjadi studi perilaku. Yah, pada hakekatnya kan sama yak!
Instronsspeksi atau apaan itu sebenarnya kan juga gambaran dari perilaku seseorang
jua. Perilaku kan ada dua, pertama ada di taraf material seperti sepak bola
misalnya dan satunya ada di taraf formal seperti berpikir. Ini mah pendapat
saya yang mungkin reduksionistik dalam usaha menjelaskan secara holistik. Tapi
memang sih, sekat yang dibangun kaum behaviorisme belum dapat dipatahkan.
Mereka bersikukuh bahwa yang ilmiah adalah yang teramati melalui indra. Dengan
keyakinan filosofis ini mereka tetap setia menentang intronspeksionisme alias
penelitian proses mental. Yah, kebenaran memang sejak dulu relative, hahahah.
-
Untuk sementara, psikologi kita masukkan dalam
kajian ilmu kognitif. Psikologi sampai saat ini sudah terbelah jadi dua:
perilakuan dan kognitif. Satu memandang perilaku yang teramati dan yang lain
lebih senang dengan proses kognitif yang tidak teramati secara langsung oleh
peneliti. Data responden diharapkan representasi atau proyeksi dari bentuk
kognisinya.
-
Akhirnya metodologi kualitatif sendiri
dirumuskan sebagai usaha menjelaskan pengalaman manusia secara lebih seksama
atau mendalam.
-
Sekarang masuk kepada kajian metodologi
penelitian kualitatif sendiri. Pada awalnya usaha pengkajian ini dipelopori
oleh Edmund Husserl. Ia menyodorkan pendekatan yang dikenal sebagai
fenomenologi mengingat pada dasarnya metodologi kualitatif ingin menguak
fenomena pengalaman manusia secara mendalam (pada dasarnya, pengalaman manusia
adalah fenomena ya). Tujuan Husserl adalah baik yaitu menyediakan metodologi
yang ilmiah untuk mendekati suatu pengalaman sehingga peneliti tidak lagi
berpegang pada keyakinan umum atau common sense.
-
Mengapa Husserl sangat semangat? Karena waktu
itu beliau melihat bahwa ilmuan pembangun disiplin psikologi tidak memiliki
dasar fundamental yang adekuat dalam menyusun teori. Ilmuan-ilmuan waktu itu
dinilai Husserl terlalu buru-buru untuk membuat kesimpulan yang dalam kata lain
kurang melihat fenomena pengalaman manusia secara mendalam. Metodologi mendalam
itu belum ada sehingga fenomenologi Husserl ia harapkan bisa membantu
memperdalam kajian teoritik atau pembahasan fenomena pengalaman manusia.
Caranya? Kembali kepada pengalaman itu sendiri.
-
Perlu diperhatikan, fenomenologi Husserl tidak
merisaukan dasar yang lebih primern dari pengalaman itu sendiri misalnya motif
responden. Pengalaman itu sendiri hendak dideskripsikan secara mendalam dalam
arti mendetail dan seobjektif mungkin. Apakah anda mulai mencium aroma narasi?
-
Lalu apa bedanya dengan laporan jurnalistik? Ya
jelas beda karena fenomenologi juga menyajikan kompleks kognitif dari
pengalaman manusia. Inilah yang disebut fenomen. Aku lapar bukanlah fenomen
tapi aku lapar karena sudah tidak hari tidak makan karena memang tidak ada yang
dimakan karena sedang dalam masa perang karena aku tidak berani keluar rumah
untuk ke posko bantuan sosial karena takut peluru nyasar, merupakan fenomen.
-
Sedikit penjelasan tentang positivism:
kualitatif hanya mengkaji objek positivistic? Belum tentu karena manusia tidak
hidup di satu dunia dan memiliki pengalaman yang beraneka ragamnya. Kualitatif
lebih melihat manusia yang hidup di kompleksitas dunianya sendiri-sendiri
(taraf formal). Jadi, dalam kualitatif secara umum atau dalam fenomenologi
secara khusus, objek kajian tidak harus secara positivistic materiil tapi boleh
juga atau malah lebih baik bila berupa makna-makna subyektif.
-
Lagi, pengalaman juga dilihat sebagai sistem
pemaknaan yang saling berhubungan (Husserl, 1936/1970 dalam Smith, 2013: 17).
Contohnya adalah burung camar. Bagi ahli paleontology, burung camar mungkin
masih kerabat dengan dinosaurus dan bunga mawar tapi bagi seniman seperti saya,
burung camar memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dimasak dengan teknik
kuliner khas Batak Toba. Contohnya gitu sih.
-
Maafkan bila paparan saya ini bersifat mozaik
atau point-point.
-
Nah, selanjutnya, kualitatif juga menolak
determinisme sosial yang cenderung dilakukan oleh kaum psikoanalisis dan
perilakuan. Sebaiknya tidak mengatakan bahwa ada determinisme dalam kajian
kualitatif. Pengalaman manusia adalah untuk untuk sekadar dikonstruksikan dalam
rumusan sebab akibat.
-
Mari sejenak berkenalan dengan Allport. Dia
adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang berkontribusi menegakkan paradigm
pedagogi kualitatif. Baginya, manusia harus dipandang secara kualitatif karena
tiap orang memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Eysenck dikritiknya karena terlalu
menyederhanakan pemaknaan manusia yang tidak lebih dari pertemuan mozaik-mozaik
kuantitatif. Yah mungkin mereka memiliki konsep kebenaran dan keyakinan
filosofis yang berbeda. pasti.
-
Allport pernah mengajukan metodologi penuturan
diri dan analisis dokumen pribadi untuk memahami kepribadian seorang responden.
Waktu kuliah kepribadian 1, sang maestro Didik Suryo Hartoko nampak mendukung
teori Allport ini dengan menempatkan diri di sisi pro.
-
Sekilas tentang konstruksionisme: memandang
manusia sebagai bagaian dari konstruksi sosial. Manusia adalah seperti apa yang
ia konstruksikan sendiri misalnya melalui narasi. Paham konstruksionisme ini
nampaknya akan membawa kepada pendekatan etnografi atau studi kasus (yang
justru tidak dibahas dalam buku Smith ini).
-
George Herbert Mead: menjami validitas kata-kata
sebagai representasi objektif dari kognisi. Atas dasar apa? Atas dasar
keyakinan filosofis dalam konstruksionisme bahwasanya kata-kata adalah
konstruksi dari diri manusia itu (pemikiran internal sama dengan komunikasi
eksternal dan keduanya terbuat dari bahan yang sama, penjelasan saya:
komunikasi eksternal diilhami hanya oleh pemikiran internal sehingga keduanya
memiliki hakekat yang sama). Misalnya manusia berbohong? Maka peneliti harus
sanggup mengungkap bahwa kebohongan itu adalah konstruksi manusia juga yang
pasti akan ditemukan konstruksi yang tidak relevan atau saling tumpang tindih
atau tidak konsisten. Dengan metode ini peneliti akan membuat kesimpulan bahwa
dalam hal tertentu responden pasti sedang berbohong atau menyampaikan konstruk
yang bukan representasi dari konstruksi pribadinya.
-
Kajian yang dilakukan Mead ini sebenarnya
menuntun pada metode penelitian diskursif yang ingin menyatakan bahwa makna
manusia atau dunia manusia itu sendiri adalah bentukan dari kemampuan manusia
memahami atau berkognisi dengan kata-katanya. Hal ini sama dengan yang
diungkapkan Wittgenstein mengenai permainan bahasa: batas dunia saya sebanding
dengan jangkauan bahasa saya.
-
Teori Mead sebenarnya lebih menjurus pada pendekatan
etnografi karena manusia harus dilihat dari konstruksi sosial yang membentuknya
di mana di sisi lain konstruksi sosial itu juga dibentuk oleh individu-individu
yang beraneka ragam.
-
George Kelly: kalau arek satu ini intinya
mengatakan bahwa tiap manusia memiliki konstruk diri atau kepribadiannya
masing-masing. Jadi ia lebih condong kepada naratifisme (Rep Grid) dari pada
etnografi.
-
Kecenderungan melihat manusia sebagai konstruksi
akan membawa kita pada interpretasi alias hermeneutika (pengintaian makna dan
kecurigaan, yang kedua ini menjurus pada TAT sedangkan yang pertama lebih
menjurus pada IPA atau penelitian kualitatif secara umum).
-
Kelemahan atau kritik pada metodologi penelitian
kualitatif (Kenneth Gregen, 1994 dalam Smith, 2013): metodologi kualitatif
tidak mungkin dilaksanakan secara sempurna untuk menyingkap dunia hidup
seseorang secara holistik. Keyakinan konstruksionisme sendiri tidak bisa
mengantarkan orang pada keyakinan bahwa konstruksi memiliki keterkaitan dengan
realitas (yang olehnya manusia mengkonstruksi dirinya). Kalau menurut pandangan
saya yang lebih holistik mengenaik kajian realita, Gregen sebagaimana
Wittgenstein dan Derrida pada hakekatnya ingin mengatakan bahwa hasil
penelitian kualitatif bukanlah realita itu sendiri karena pada tataran yang
lebih mendasar lagi, realita sebenarnya tidak ada. Realita tidak lain adalah
bentukan-bentukan atau konstruksi dari tiap manusia sehingga realita sangat
subyektif binti relative berdasarkan sudut pandang mana atau siapa. Benda yang
mengarahkan laju kursor ini misalnya, ada yang menyebutnya tetikus dan ada yang
menyebutnya mouse. Seseorang dari planet Namex mungkin menyebutnya sebagai
Slekethep. Nah, paparan saya ini amat berbau ontologis yang meyakini bahwa
secara ontologis tidak ada apapun di muka bumi ini. Mobil misalnya, sebenarnya
tidak ada. Yang ada hanyalah konstruksi mesin, ban, dll sedemikian rupa
sehingga membentuk konstruk yang demikian. Apakah makin bingung?
-
Perlu diketahui pula, gagasan modernis ingin
mengajak orang untuk selalu mengacu pada alam material. Yang benar adalah yang
ada secara material. Gagasan ini tentu benar di satu pihak dan kurang tepat di
pihak yang lain. Bagaimana dengan keberadaan Tuhan? Bagaimana pula dengan
keberadaan planet Namex dalam dada saya? Akhirnya paham postmodernis menentang
kaum modernis. Paham postmodernis lebih mengakomodasi kebenaran dari perpektif
yang beragam. Relativisme kebenaran amat dihargai kaum postmodern. Yang benar
dalam paham postmodern adalah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dengan satu teori yang dipakai berdasarkan keyakinan filosofis tertentu.
-
Kalau Derrida: segala sesuatu adalah wacana,
segala sesuatu adalah teks. Lalu manusia? Manusia juga terstruktur dari
wacana-wacana. Interpretasi saya: konsep wacana dalam Derrida sama dengan
konsep makna secara umum dalam psikologi kualitatif. Wacana sama juga dengan
konsep konstruk dalam konstruksionisme secara umum. Sejauh ini saya memandang
bahwa banyak ilmuan itu hanya berdebat masalah terma-terma yang dapat dikatakan
ekuivalen pada beberapa titik.
-
Kalau Michel Foucault malah mengatakan bahwa
wacana atau kulturlah yang mengkonstruksi individu. Anyway, lalu saya sendiri?
Ada dimana atau saya membikin aliran tersendiri?
-
Sebelumnya, keuntungan riset kualitatif itu apa
sih? Pertama, bisa mengetahui secara kualitatif perberdaan antar individu atau
kelompok. Perbedaan secara kualitatif ini akan lebih kentara dan bermakna untuk
menuju keuntungan kedua. Kedua, riset kualitatif bisa menyuarakan suara kaum
marginal karena keluwesan pengambilan data berupa paparan-paparan narasi.
Keuntungan lain silahkan cari sendiri.
-
Keyakinan saya atas manusia adalah sebagai
berikut: bagi saya manusia harus dilihat secara relative berdasarkan tujuan
pelihat. Seorang pelihat yang sedang belajar fisiologi tentu harus melihat
manusia dalam dimensi biologis material. Kalau pelihat ingin belajar tentang
filsafat kognitif tentu harus melihat manusia dari kompleksitas kognitifnya.
Dan seterusnya. Jadi, relative saja berdasarkan latar belakang dan tujuan orang
memandang manusia. Apakah cukup jelas? Saya memang sangat berhati-hati dalam
berteori. Adapun teori itu juga tidak baru karena merupakan hasil refleksi dari
pembelajaran tentang keberadaan atau filsafat sejauh ini.
Baik. Sebelum lanjut kepada pendekatan
fenomenologi, mari kita beristirahat sejenak.
2.
Tahap 2: memengerti pendekatan fenomenologi
-
Perintis: Edmund Husserl
-
Ternyata pada awalnya baik psikologi maupun
fenomenologi merupakan disiplin ilmu yang berjalan sendiri-sendiri tanpa perlu
disamakan atau dibedakan meski dalam perkembangannya para ahli mencoba mencari
titik temu. Bagi saya sendiri yang lebih penting adalah tujuan penelitiannya.
Kalau ingin berpsikologi ya silahkan berpsikologi misalnya dengan menggunakan
fenomenologi kalau memang relevan. Di samping itu kalau mau berfenomenologi ya
silahkan begitu. Nah, anda mulai terganggu untuk membikin kesimpulan? Silahkan
saja.
-
Curcol, sebelum memutuskan untuk menggunakan
pendekatan IPA, saya mencoba mengkonstruksi pendekatan metodologi psikoanalisis
yang didasari oleh hermeneutika kecurigaan. Usaha saya itu untungnya tidak
keterusan karena memang pendekatan psikoanalisis bersifat amat rentan
keilmiahannya. Psikologi arus besar pada umumnya (misalnya yang digagas Smith
maupun Creswell) cenderung menentang pendekatan psikoanalisis karena tidak
berangkat dari laboratorium sentries. Namun sekarang hal ini tidak lagi relevan
setelah merebaknya TAT karya Bellack dkk. Nah, pointnya di sini kalau digunakan
sebagai pendekatan penelitian sebagaimana kecenderungan arus besar, maka
pendekatan kualitatif kurang memiliki dasar metodologi yang terstruktur secara
ilmiah. Memang sih si Abt & Bellak sudah menuliskan standar analisis
penelitiannya tapi itukan untuk tujuan klinis dan bukan penelitian kualitatif
pada umumnya.
-
Pokok ajaran fenomenologi: menjelaskan situasi
atau gejala sehari-hari manusia. Fenomenologi ingin memperinci gejala itu dan
menjelaskannya secara hakiki melalui pencarian makna-makna atas gejala itu,
makna-makna yang dimiliki si responden. Gejala tak lain adalah pengalaman.
Amin.
-
Intinya: bagaiaman orang mengalami dan
menginterpretasi pengalaman mereka berdasarkan data restrospeksi deskriptif
hasil paparan responden maupun dari catatan lapangan yang dilakukan sekreatif
mungkin untuk menangkap ekspresi non verbal responden yang mungkin masih
terkait dengan pemaknaannya atas pengalamannya.
-
Konsep kunci: intensionalitas, memandang
kesadaran manusia (consciousness, bukan awareness) dan arahnya yaitu pada objek
kesadaran itu sendiri. Pengalaman cinta misalnya, tidak hanya makna dari cinta
menurut responden tapi juga sasaran cinta itu dimasukkan sebagai bagian dari
analisis.
-
Konsep kunci 2: reduksi fenomenologis:
menyederhanakan kesadaran kepada pemahaman atas fenomena yang didasarkan atas
keyakinan filosofis (mirip dengan konsep Creswell). Hal ini nanti akan jadi
pegangan untuk melihat apa realitas itu yang sebenarnya. Realita yang mengada
tidak secara langsung tapi misalnya malalui symbol-simbol bahasa, dll. Oh gini,
secara sederhana tu, reduksi fenomenologis adalah usaha memfokuskan topik pada
fenomena tertentu misalnya fenomena takut tikus merah saja.
-
Langkah analisis data 1, memfokuskan diri pada
topik penelitian. Baca data secara menyeluruh. Fenomenologi akan berangkat dari
pemahaman global atas data yang diperloleh dari responden.
-
Langkah analisis data 2, menyusun bagian-bagian
deskripsi atau unit makna: tiap kali menemukan satuan makna atau tema, pisahkan
dengan garis miring. Tiap bagian dalam garis miring berarti memiliki makna atau
tema yang sama. Tiap bagian ini nanti akan dituliskan di baris kolom paling
kiri.
-
Langkah analisis data 3, transformasi makna:
menuliskan kembali paparan responden dengan cara yang lebih generik (agar yang
tersirat menjadi tersurat). Transformasi makna ini untuk memudahkan pemahaman
peneliti atas konteks makna responden. Bagian ini ditempatkan di baris kolom
tengah, sebelah kanan unit makna.
-
Langkah analisis data 4, analisis utama:
dituliskan pada kolom baris paling kanan, merupakan analisis utama dari unit
makna yang telah ditransformasikan. Bisa jadi, satu transformasi makna hanya
memiliki satu analisis data. Di samping itu juga bisa jadi, dua atau lebih
transformasi makna hanya memiliki satu analisis data. Peneliti harus berani
melakukan analisis psikologis berdasarkan data yang ada. Jangan takut salah,
toh nanti akan dikonfirmasi ke responden og.
-
Contoh implementasi dapat dilihat pada Smith
(2013). Dari contoh analisis data tersebut dapat diketahuilah keuntungan
metodologi kualitatif: mampu membenamkan diri dalam dunia subyektif responden
sehingga dengan demikian benar-benar mengerti kompleksitas perbedaan cara
responden satu dan lainnya dalam memaknai suatu hal (sebagaimana yang telah
ditetapkan peneliti sebagai topic penelitiannya/dalam reduksi fenomenologis).
-
Analisis data fenomenologi akhirnya diakhiri
dengan pembahasan hubungan data dan metode. Inilah yang dinamakan analisis
structural. Setelah itu dilaporkan atau dikomunikasikan dengan kolega yang
kompeten.
-
Perlu diketahui: kebohongan responden dianggap
tidak masalah karena paparan dilihat sebagai subyektif semata, bukan objektif
yang memuat benar salah. Yang penting adalah bagaimana cara responden mengalami
situasinya. Maksudnya? Ya pemaknaannya pada saat ini, bukan pengalaman objektif
pada masa lalu itu lho.
-
Ternyata fenomenologi sekadar usaha untuk
mencari tahu apa yang terjadi dan bukan berangkat dari kajian teori tertentu
(Giorgi, 1986 dalam Smith, 2013). Kalaupun kajian teori itu seyogyanya
dilakukan sesuai dengan kebutuhan pembahasan data. Misalnya telah ditemukan
pada beberapa korban selamat pesawat jatuh: yang terjadi justru tidak ada
ketakutan sama sekali (fokus reduksi fenomenologis yang ditetapkan). Nah, baru
setelah mendapat temuan ini peneliti menuliskan kajian teori mengenai ketakutan
yang menghilang. Eh, sebentar, sebentar. Penulisan kajian teori juga bisa
dilakukan berdasarkan reduksi fenomenologis yang memang ditetapkan oleh
peneliti ding.
-
Kerentanan pendekatan fenomenologi juga bisa
ditimbulkan oleh proses penelitian yang secara umum amat bergantung pada sang
peneliti (pada transformasi data dan pada analisis akhir). Kerentanan ini dapat
diatasi dengan banyaknya data yang bisa mendukung a posteriorisme peneliti.
Kekurangan data pasti menyebabkan a priorisme peneliti yang bisa jadi sangat
subyektif, bias, dan tidak tepat. Kiat lain untuk mengatasi hal ini adalah
dengan mengkomunikasikan hasil atau bahkan proses penelitian dengan peneliti
lain (kalau perlu, capailah kesepakatan dalam proses analisis data-diskusi
sengit karena perbedaan pendapat merupakan hal yang sangat baik untuk mencapai
kesimpulan yang makin bermakna). Bila memang memungkinkan sebenarnya juga bisa
melakukan ricek kepada responden tapi perlu hati-hati dengan memperhatikan
etika professional yang tak tertulis.
3.
Tahap 3: memengerti pendekatan analisis fenomenologi
Interpretatif
-
IPA tidak berusaha merinci kebenaran material
pengalaman responden namun lebih kepada bagaimana responden memaknai
pengalamannya (secara interpretatif).
-
Langkah secara umum: responden menceritakan
pengalaman mereka lalu peneliti menginterpretasikannya.
-
Cara interpretasi: memadukan hermeneutika
empatik dan kecurigaan (apa adanya dan dugaan-dugaan yang biasanya bersifat
psikoanalitik).
-
Smith (2013) ini sebagaimana Creswell (2014)
sama-sama mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada standar prosedural dalam
pelaksanaan riset kualitatif. Lalu bagaimana kualitatif tetap disebut ilmiah?
Pemula memang sebaiknya mengikuti prosedur misalnya sebagaimana yang ditawarkan
Smith (2013) sendiri. Namun, tolok ukur keilmiahan adalah pada keyakinan filosofis
pendekatan riset kualitatif sendiri. Dalam hal ini IPA, ilmiah karena peneliti
memegang keyakinan filosofis IPA yaitu mencari makna yang terkandung dalam
paparan responden seobjektif mungkin dengan metode interpretasi.
-
Dalam penentuan topik agar tidak terlalu
holistik, IPA juga memerlukan reduksi fenomenologis atau pemfokusan fenomena
apa yang ingin diteliti sebagaimana dalam riset fenomenologis karena pada
dasarnya IPA juga riset fenomenologis hanya, IPA menggunakan metode
interpretasi dalam menarik makna pengalaman responden.
-
Ingat selalu, pendekatan IPA ini mirip studi
kasus dan etnografi dalam Creswell (2014) yaitu berfokus untuk memaknai
pengalaman responden dalam dunia personal dan sosialnya. Sekali lagi, dalam
dunia personal dan sosialnya. Jadi, responden harus berasal dari satu komunitas
yang jelas. Pemaknaan yang diinterpretasi adalah pengalaman personal responden
atas suatu hal secara pribadinya dan dalam konteks komunitasnya. Dengan
demikian, sampel dalam penelitian IPA pastilah purposif. Penentuan komunitaspun
disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
-
Pembahasan dalam penelitian IPA dilakukan dengan
keumuman teoretis yaitu dengan membandingkan hasil temuan dengan teori yang
lebih luas. Inilah kekuatan penelitian IPA.
-
Sampel penelitian: tidak dibakukan, sesuai
kebutuhan peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian.
-
Wawancara: semi terstruktur. Responden harus
menceritakan pengalamannya dengan sedikit dorongan saja dari peneliti. Dalam
kasus saya, responden malah nyerocos terus tanpa ditanya satu pertanyaanpun.
Bagaimana dengan hal ini? Asal tidak menyimpang dari tujuan penelitian maka
tidak menjadi masalah. Tapi memang, Smith (2013) mengatakan bahwa respondenlah
yang menentukan jalannya wawancara. Responden saya keduanya begitu. Yang
pertama mendominasi sedang yang kedua senantiasa bertanya, “Apa lagi mas
Damar?”
-
Responden mungkin akan mengulangi paparan yang
sama selama proses wawancara. Namun demikian, IPA tidak memerlukan pengukuran
frekuensi kemunculan paparan yang sama untuk menekankan makna yang terkandung
di dalamnya (tidak memicu penarikan tema utama). IPA tetap berfokus untuk
menginterpretasi makna yang muncul, itu saja.
-
Metode analisis data secara umum adalah:
o
Menuliskan transkrip wawancara
o
Menuliskan komentar di sebelah kiri transkrip
wawancara
o
Menuliskan tema sementara di sebelah kanan
transkrip wawancara
o
Di tabel lain: menuliskan tema sementara yang
muncul sepanjang transkrip. Penulisan tema sementara ini dilakukan secara
kronologis.
o
Di tabel lain lagi: mengelompokkan tema
sementara berdasarkan kemiripan suatu hal yang nanti akan ditarik sebagai tema
utama.
o
Menuliskan tema utama berdasarkan kelompok tema
sementara. Satu kelompok tema sementara mungkin bisa ditari lebih dari satu
tema utama. Di bagian bawah tiap tema utama ini masih perlu dituliskan
tema-tema sementara untuk memudahkan identifikasi dalam pembahasan nanti.
o
Di sebelah kanan kolom tema utama dan tema
sementara yang mengikuti itu dituliskan identifier untuk memudahkan pembahasan
hasil penelitian. Identifier berupa kode baris & halaman dan kata-kata
kunci dalam transkrip yang olehnya tema sementara ditarik.
o
Pembahasan: dituliskan secara deskriptif tanpa
kolom (bab IV dalam skripsi). Pembahasan ini berisi dinamika tema utama maupun
antar tema utama. Dinamika dituliskan masih dengan metode interpretatif.
o
Diskusi: dituliskan secara deskriptif setelah
bagian pembahasan. Diskusi merupakan interpretasi hasil penelitian berdasarkan
kajian teori yang telah dilakukan sebelumnya. Teori yang lebih luas ini dipakai
untuk mengkaji hasil penelitian sehingga dari sini temuan akan dikonstruksi
secara teoritik hingga dapat dikatakan ilmiah secara penuh. Teori yang lebih
luas dapat memberi bukti atas hasil penelitian. Dalam kasus tertentu, peneliti
mungkin tidak menemukan teori yang relevan untuk mengkaji hasil penelitian.
Dengan demikian, hasil penelitian dapat digunakan untuk memfalsifikasi teori
yang ada karena hasil penelitian dapat diklaim sebagai temuan yang sama sekali
baru.
o
Menarik kesimpulan akhir berdasarkan pembahasan
dan diskusi.
-
Kesimpulan teoritik dari metode IPA ini adalah
adanya kandungan studi kasus, etnografi, dan grounded theory yang cukup pekat
sepanjang proses analisis data.
4.
Tahap 4: memengerti pendekatan Grounded Theory
Isu ini tidak akan dibahas saat ini
mengingat keterbatasan waktu saya.
5.
Tahap 5: memengerti pendekatan Naratif
Isu ini tidak akan dibahas saat ini
mengingat keterbatasan waktu saya.
6.
Tahap 6: memengerti pendekatan analisis
percakapan
Isu ini tidak akan dibahas saat ini
mengingat keterbatasan waktu saya.
7.
Tahap 7: memengerti pendekatan analisis wacana
Isu ini tidak akan dibahas saat ini
mengingat keterbatasan waktu saya.
8.
Tahap 8: memengerti pendekatan kelompok-kelompok
fokus
Isu ini tidak akan dibahas saat ini
mengingat keterbatasan waktu saya.
9.
Tahap 9: memengerti pendekatan kooperatif
Isu ini tidak akan dibahas saat ini
mengingat keterbatasan waktu saya.
10.
Tahap 10: memengerti validitas penelitian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar