Kamis, 05 November 2015

Tahapan Penelitian Kualitatif (bidang ilmu sosial, khususnya psikologi)



Tahapan Penelitian Kualitatif (bidang ilmu sosial, khususnya psikologi)
Essay 3 November 2015
Cara melakukan penelitian kualitatif tidak seinstan yang dituturkan melalui kiat-kiat dan buku how to. Tulisan ini bukan how to karena anda akan menjalani proses setidaknya dua bulan. Iya, sebenarnya cukup dua bulan untuk menyelesaikan satu penelitian kualitatif. Cukup dua bulan untuk menyelesaikan skripsi kualitatif. Saya bisa menulis demikian karena pengalaman gagal dalam melaksanakan penelitian kualitatif saya yang baru selesai dalam satu tahun. Ternyata cuma dua bulan, kalau dikerjakan terus, hahahahha.
Baik, tahapan penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:
1.       Tetapkan satu buku metodologi pegangan utama. Saya sarankan di sini dengan memakai buku Dasar-dasar Penelitian Kualitatif  yang ditulis Smith (2013). Sebenarnya buku Creswell (2014) jauh lebih bagus, lebih sistematis, lebih mendasar, dan lebih mudah diaplikasikan. Di hati terdalam, saya sebenarnya lebih merekomendasikan Creswell (2014).
2.       Pahami dasar kajian ilmiah psikologi kualitatif (apa itu penelitian kualitatif, mengapa kualitatif ilmiah, dll).
3.       Pastikan topik anda memiliki kajian pustaka yang adekuat sehingga memang relevan dan penting untuk dilakukan dalam penelitian ilmiah.
4.       Pilih satu pendekatan penelitian: fenomenologi, analisis fenomenologi interpretative, teori dari dasar, naratif, analisis percakapan, analisis wacana, kelompok-kelompok fokus, atau penelitian kooperatif, dll.
5.       Pahami semua pendekatan tersebut agar anda mampu memberi argumentasi: mengapa memakai pendekatan a dan bukan b? Bagaimana argumentasi anda lebih penting dari keseluruhan proses penelitian selanjutnya. Tanpa dasar ini bangunan penelitian pasti tidak kokoh. Pendekatan ibarat jenis batu yang paling tepat untuk konstruksi bangunan penelitian tertentu. Contoh: penelitian biografi Einstein tentu dilakukan dengan pendekatan analisis wacana misalnya dengan biografi yang ditulis Walter Isaacson. Peneliti yang melakukan penelitian dengan pendekatan naratif pasti akan memiliki laporan penelitian yang tidak kuat dan mengada-ada. Penelitian itu jadi jayus pula, hahahahahhaha.
6.       Tidak kalah penting, isu validitas juga perlu dibahas agar penelitian yang dilakukan valid. Selain itu isu ini juga membawa pada pemahaman tentang plus minus penelitian. Bisa jadi penelitian memang tidak bisa valid. Nah, dengan ini peneliti bisa tahu kelemahan penelitian. Penelitian mah memang harus bisa difalsifikasi ya, kalau tidak bisa namanya bukan penelitian ilmiah tapi ilmu doktrin agama. Hahahahhahahah.

Maka marilah sekarang kita bahas satu persatu:
1.       Tahap 1: memengerti kajian dasar metodologi penelitian kualitatif
-          Dasar penelitian kualitatif adalah pengalaman manusia atau individu/kelompok. Semua pendekatan penelitian kualitatif akan berpijak pada dasar generik ini.
-          Secara umum, penelitian kualitatif ingin menginterpretasi pengalaman manusia itu sehingga tersaji secara ilmiah, memberi sentuhan makna, dan bahkan manfaat bagi kehidupan yang lebih luas.
-          Terma pengalaman mungkin terlalu menjurus pada individu namun pada intinya tak dapat dipungkiri bahwa objek kajian penelitian kualitatif adalah kualitas hakekat sosial atau konstruksi atribut-atribut manusia yang tak lain sebenarnya adalah pengalaman juga (experience, hal yang pernah dialami manusia).
-          Apakah pengalaman itu sendiri? Defisini operasioan atas pengalaman menurut Fechner tentu sangat reduksionistik. Hal ini ditentang keras oleh William James dan saya sendiri. Hehe. Menurut Wundt, pengalaman intinya adalah kompleksitas struktur-struktur dan unsur-unsur dalam kehidupan manusia secara holistik. Apa itu? Semuanya. Artinya manusia dalam dimensi kualitatif tersusun atas pengalaman-pengalaman (Wundt dalam Smith, 2013). Saya kira Brentano ingin menjelaskan definisi yang sama namun ia menambahkan bahwa sebagai kompleksitas, pengalaman manusia memiliki klasifikasi misalnya: pengalaman sedih berbeda dengan pengalaman senang dan seterusnya. Pengalaman dengan demikian memiliki dimensi yang luas dan terkotak-kotak sehingga penelitian kuailtatif perlu berfokus pada satu dimensi pengalaman saja agar benar-benar mendalam. Memang kalau dibalik, penelitian kualitatif yang ingin mengungkap kompleksitas pengalaman manusia secara holistik memang tidak make sense.
-          Berdasarkan Bretano, inti penelitian kualitatif adalah menjelaskan pengalaman manusia yang merupakan kaitan antara objek pembentuk pengalaman dan pengalaman manusia itu sendiri sebagaimana dituturkan dalam instrospeksi, narasi, atau beragam cara perolehan data yang lain (metoda ini cenderung bersifat fungisionalisme yang ingin mencari dasar atau penjelasan keterkaitan atas berbagai hal yang seakan-akan terumuskan dalam fungsi matematis tertentu).
-          Sekarang lihat pada DO William James, pengalaman adalah arus kesadaran manusia yang berproses dan berubah terus menerus. Ia ingin mengatakan bahwa tidak ada yang abadi di dunia kecuali perubahan itu sendiri. Nah, saya tidak akan membuat komparasi DO tapi akan lebih membuat sitesa DO-DO yang ada sebagai kesatuan teori yang saling melengkapi. Nah, pendapat James di sini membantu kita membuat penegasan bahwa tidak ada yang stagnan di dunia ini. Kepribadian misalnya atau pengalaman manusia itu sendiri merupakan dinamika alam bawah sadar yang memiliki tema atau makna yang berubah-ubah. Jujur saja, saya sendiri masih meragukan teorema trait meski saya sendiri memiliki watak yang rasanya sulit dirubah karena sudah menjadi atribut abadi yang disematkan Tuhan sejak kehidupan yang lalu-lalu.
-          Husserl tiba-tiba nimbrung dengan konsep fenomenologinya. William James lalu menjelaskan tentang diri (yang ada tingkatannya seperti dalam Buddhisme). Kesimpulannya adalah baik pengalaman, fenomena, maupun diri sebenarnya adalah satu, esa. Maksudnya adalah bahwa semua itu merupakan bentukan kognisi manusia yang unik dan hanya tergambarkan dengan otentik dan menarik dengan penelitian kualitatif. Nah, kalau saya tak suka debat masalah terminologi seperti itu karena pada intinya dalam hal ini metodologi penelitian kualitatif merupakan usaha manusia untuk mengungkapkan kognisi atau pikiran atau isi otaknya secara terstruktur, sistematis, dan massif sehingga dikatakan ilmiah. Fokus pada individu, inilah kekhasan penelitian kualitatif. Ia jadi sangat mendalam namun terkendala masalah objektivitas metodologi. Inilah mengapa nanti penting untuk sampai pada pendekatan-pendekatan.
-          Point di atas adalah kesimpulan saya yang cukup berani berdasarkan pembacaan buku-buku filsafat atau teologi yang notabene juga menggunakan metodologi penelitian yang sangat implisit dibandingkan kertas laporan karya ilmiah.
-          Kalau melihat dari buku James Pengalaman-Pengalaman Religius maka secara implicit James ingin mengatakan bahwa inti dari penelitian kualitatif adalah pengungkapan kontek sadar atau asadar dalam otak manusia (ya pengalaman, ya fenomena, ya diri, ya bukan diri, dll) tanpa mempersalahkan objek kajian lain yang disasar konten-konten otak manusia. Ketika manusia membicarakan Tuhan misalnya, tak perlulah mempersalahkan Tuhan yang di luar otak manusia itu karena yang lebih penting adalah memahami konsep Tuhan dalam otak manusia itu secara apa adanya.
-          Amat mungkin, sintesa saya ini belepotan alias salah di sana sini. Prinsip saya, lebih baik salah seribu kali dari pada benar sekali karena yang paling penting adalah proses belajarnya. Dalam berani salah ada keberanian untuk mempelajari kajian-kajian teori secara otentik tanpa menanggalkan keyakinan filosofisnya sendiri. Nah, kalau Paulo Coelho malah mengatakan bahwa manusia tidak dapat belajar kecuali dari membuat kesalahan-kesalahan.
-          Kembali kepada kajian teoritis. Setelah perdebatan James dkk itu, maka awal tahun 1900 munculan behaviorisme yang dimulai oleh Watson. Sejarah dan angka tahun tidak penting di sini karena yang perlu kita perhatikan adalah pemahaman mereka tentang ilmu psikologi itu sendiri. Psikologi tentu kalau begitu dibentuk oleh hasrat para teoretisi untuk melakukan penelitian kualitatif atau penguakan konten otak manusia. Lalu lambat laun akhirnya menyadari bahwa inti yang lebih terukur dan tidak terlalu abstrak dari tujuan penelitian kualitataif adalah menjelaskan perilaku manusia. Inilah behaviorisme, psikologi itu sendiri.
-          Watson ingin menggantikan apa yang dikatakan sebagai instrospeksi menjadi studi perilaku. Yah, pada hakekatnya kan sama yak! Instronsspeksi atau apaan itu sebenarnya kan juga gambaran dari perilaku seseorang jua. Perilaku kan ada dua, pertama ada di taraf material seperti sepak bola misalnya dan satunya ada di taraf formal seperti berpikir. Ini mah pendapat saya yang mungkin reduksionistik dalam usaha menjelaskan secara holistik. Tapi memang sih, sekat yang dibangun kaum behaviorisme belum dapat dipatahkan. Mereka bersikukuh bahwa yang ilmiah adalah yang teramati melalui indra. Dengan keyakinan filosofis ini mereka tetap setia menentang intronspeksionisme alias penelitian proses mental. Yah, kebenaran memang sejak dulu relative, hahahah.
-          Untuk sementara, psikologi kita masukkan dalam kajian ilmu kognitif. Psikologi sampai saat ini sudah terbelah jadi dua: perilakuan dan kognitif. Satu memandang perilaku yang teramati dan yang lain lebih senang dengan proses kognitif yang tidak teramati secara langsung oleh peneliti. Data responden diharapkan representasi atau proyeksi dari bentuk kognisinya.
-          Akhirnya metodologi kualitatif sendiri dirumuskan sebagai usaha menjelaskan pengalaman manusia secara lebih seksama atau mendalam.
-          Sekarang masuk kepada kajian metodologi penelitian kualitatif sendiri. Pada awalnya usaha pengkajian ini dipelopori oleh Edmund Husserl. Ia menyodorkan pendekatan yang dikenal sebagai fenomenologi mengingat pada dasarnya metodologi kualitatif ingin menguak fenomena pengalaman manusia secara mendalam (pada dasarnya, pengalaman manusia adalah fenomena ya). Tujuan Husserl adalah baik yaitu menyediakan metodologi yang ilmiah untuk mendekati suatu pengalaman sehingga peneliti tidak lagi berpegang pada keyakinan umum atau common sense.
-          Mengapa Husserl sangat semangat? Karena waktu itu beliau melihat bahwa ilmuan pembangun disiplin psikologi tidak memiliki dasar fundamental yang adekuat dalam menyusun teori. Ilmuan-ilmuan waktu itu dinilai Husserl terlalu buru-buru untuk membuat kesimpulan yang dalam kata lain kurang melihat fenomena pengalaman manusia secara mendalam. Metodologi mendalam itu belum ada sehingga fenomenologi Husserl ia harapkan bisa membantu memperdalam kajian teoritik atau pembahasan fenomena pengalaman manusia. Caranya? Kembali kepada pengalaman itu sendiri.
-          Perlu diperhatikan, fenomenologi Husserl tidak merisaukan dasar yang lebih primern dari pengalaman itu sendiri misalnya motif responden. Pengalaman itu sendiri hendak dideskripsikan secara mendalam dalam arti mendetail dan seobjektif mungkin. Apakah anda mulai mencium aroma narasi?
-          Lalu apa bedanya dengan laporan jurnalistik? Ya jelas beda karena fenomenologi juga menyajikan kompleks kognitif dari pengalaman manusia. Inilah yang disebut fenomen. Aku lapar bukanlah fenomen tapi aku lapar karena sudah tidak hari tidak makan karena memang tidak ada yang dimakan karena sedang dalam masa perang karena aku tidak berani keluar rumah untuk ke posko bantuan sosial karena takut peluru nyasar, merupakan fenomen.
-          Sedikit penjelasan tentang positivism: kualitatif hanya mengkaji objek positivistic? Belum tentu karena manusia tidak hidup di satu dunia dan memiliki pengalaman yang beraneka ragamnya. Kualitatif lebih melihat manusia yang hidup di kompleksitas dunianya sendiri-sendiri (taraf formal). Jadi, dalam kualitatif secara umum atau dalam fenomenologi secara khusus, objek kajian tidak harus secara positivistic materiil tapi boleh juga atau malah lebih baik bila berupa makna-makna subyektif.
-          Lagi, pengalaman juga dilihat sebagai sistem pemaknaan yang saling berhubungan (Husserl, 1936/1970 dalam Smith, 2013: 17). Contohnya adalah burung camar. Bagi ahli paleontology, burung camar mungkin masih kerabat dengan dinosaurus dan bunga mawar tapi bagi seniman seperti saya, burung camar memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dimasak dengan teknik kuliner khas Batak Toba. Contohnya gitu sih.
-          Maafkan bila paparan saya ini bersifat mozaik atau point-point.
-          Nah, selanjutnya, kualitatif juga menolak determinisme sosial yang cenderung dilakukan oleh kaum psikoanalisis dan perilakuan. Sebaiknya tidak mengatakan bahwa ada determinisme dalam kajian kualitatif. Pengalaman manusia adalah untuk untuk sekadar dikonstruksikan dalam rumusan sebab akibat.
-          Mari sejenak berkenalan dengan Allport. Dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang berkontribusi menegakkan paradigm pedagogi kualitatif. Baginya, manusia harus dipandang secara kualitatif karena tiap orang memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Eysenck dikritiknya karena terlalu menyederhanakan pemaknaan manusia yang tidak lebih dari pertemuan mozaik-mozaik kuantitatif. Yah mungkin mereka memiliki konsep kebenaran dan keyakinan filosofis yang berbeda. pasti.
-          Allport pernah mengajukan metodologi penuturan diri dan analisis dokumen pribadi untuk memahami kepribadian seorang responden. Waktu kuliah kepribadian 1, sang maestro Didik Suryo Hartoko nampak mendukung teori Allport ini dengan menempatkan diri di sisi pro.
-          Sekilas tentang konstruksionisme: memandang manusia sebagai bagaian dari konstruksi sosial. Manusia adalah seperti apa yang ia konstruksikan sendiri misalnya melalui narasi. Paham konstruksionisme ini nampaknya akan membawa kepada pendekatan etnografi atau studi kasus (yang justru tidak dibahas dalam buku Smith ini).
-          George Herbert Mead: menjami validitas kata-kata sebagai representasi objektif dari kognisi. Atas dasar apa? Atas dasar keyakinan filosofis dalam konstruksionisme bahwasanya kata-kata adalah konstruksi dari diri manusia itu (pemikiran internal sama dengan komunikasi eksternal dan keduanya terbuat dari bahan yang sama, penjelasan saya: komunikasi eksternal diilhami hanya oleh pemikiran internal sehingga keduanya memiliki hakekat yang sama). Misalnya manusia berbohong? Maka peneliti harus sanggup mengungkap bahwa kebohongan itu adalah konstruksi manusia juga yang pasti akan ditemukan konstruksi yang tidak relevan atau saling tumpang tindih atau tidak konsisten. Dengan metode ini peneliti akan membuat kesimpulan bahwa dalam hal tertentu responden pasti sedang berbohong atau menyampaikan konstruk yang bukan representasi dari konstruksi pribadinya.
-          Kajian yang dilakukan Mead ini sebenarnya menuntun pada metode penelitian diskursif yang ingin menyatakan bahwa makna manusia atau dunia manusia itu sendiri adalah bentukan dari kemampuan manusia memahami atau berkognisi dengan kata-katanya. Hal ini sama dengan yang diungkapkan Wittgenstein mengenai permainan bahasa: batas dunia saya sebanding dengan jangkauan bahasa saya.
-          Teori Mead sebenarnya lebih menjurus pada pendekatan etnografi karena manusia harus dilihat dari konstruksi sosial yang membentuknya di mana di sisi lain konstruksi sosial itu juga dibentuk oleh individu-individu yang beraneka ragam.
-          George Kelly: kalau arek satu ini intinya mengatakan bahwa tiap manusia memiliki konstruk diri atau kepribadiannya masing-masing. Jadi ia lebih condong kepada naratifisme (Rep Grid) dari pada etnografi.
-          Kecenderungan melihat manusia sebagai konstruksi akan membawa kita pada interpretasi alias hermeneutika (pengintaian makna dan kecurigaan, yang kedua ini menjurus pada TAT sedangkan yang pertama lebih menjurus pada IPA atau penelitian kualitatif secara umum).
-          Kelemahan atau kritik pada metodologi penelitian kualitatif (Kenneth Gregen, 1994 dalam Smith, 2013): metodologi kualitatif tidak mungkin dilaksanakan secara sempurna untuk menyingkap dunia hidup seseorang secara holistik. Keyakinan konstruksionisme sendiri tidak bisa mengantarkan orang pada keyakinan bahwa konstruksi memiliki keterkaitan dengan realitas (yang olehnya manusia mengkonstruksi dirinya). Kalau menurut pandangan saya yang lebih holistik mengenaik kajian realita, Gregen sebagaimana Wittgenstein dan Derrida pada hakekatnya ingin mengatakan bahwa hasil penelitian kualitatif bukanlah realita itu sendiri karena pada tataran yang lebih mendasar lagi, realita sebenarnya tidak ada. Realita tidak lain adalah bentukan-bentukan atau konstruksi dari tiap manusia sehingga realita sangat subyektif binti relative berdasarkan sudut pandang mana atau siapa. Benda yang mengarahkan laju kursor ini misalnya, ada yang menyebutnya tetikus dan ada yang menyebutnya mouse. Seseorang dari planet Namex mungkin menyebutnya sebagai Slekethep. Nah, paparan saya ini amat berbau ontologis yang meyakini bahwa secara ontologis tidak ada apapun di muka bumi ini. Mobil misalnya, sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah konstruksi mesin, ban, dll sedemikian rupa sehingga membentuk konstruk yang demikian. Apakah makin bingung?
-          Perlu diketahui pula, gagasan modernis ingin mengajak orang untuk selalu mengacu pada alam material. Yang benar adalah yang ada secara material. Gagasan ini tentu benar di satu pihak dan kurang tepat di pihak yang lain. Bagaimana dengan keberadaan Tuhan? Bagaimana pula dengan keberadaan planet Namex dalam dada saya? Akhirnya paham postmodernis menentang kaum modernis. Paham postmodernis lebih mengakomodasi kebenaran dari perpektif yang beragam. Relativisme kebenaran amat dihargai kaum postmodern. Yang benar dalam paham postmodern adalah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan satu teori yang dipakai berdasarkan keyakinan filosofis tertentu.
-          Kalau Derrida: segala sesuatu adalah wacana, segala sesuatu adalah teks. Lalu manusia? Manusia juga terstruktur dari wacana-wacana. Interpretasi saya: konsep wacana dalam Derrida sama dengan konsep makna secara umum dalam psikologi kualitatif. Wacana sama juga dengan konsep konstruk dalam konstruksionisme secara umum. Sejauh ini saya memandang bahwa banyak ilmuan itu hanya berdebat masalah terma-terma yang dapat dikatakan ekuivalen pada beberapa titik.
-          Kalau Michel Foucault malah mengatakan bahwa wacana atau kulturlah yang mengkonstruksi individu. Anyway, lalu saya sendiri? Ada dimana atau saya membikin aliran tersendiri?
-          Sebelumnya, keuntungan riset kualitatif itu apa sih? Pertama, bisa mengetahui secara kualitatif perberdaan antar individu atau kelompok. Perbedaan secara kualitatif ini akan lebih kentara dan bermakna untuk menuju keuntungan kedua. Kedua, riset kualitatif bisa menyuarakan suara kaum marginal karena keluwesan pengambilan data berupa paparan-paparan narasi. Keuntungan lain silahkan cari sendiri.
-          Keyakinan saya atas manusia adalah sebagai berikut: bagi saya manusia harus dilihat secara relative berdasarkan tujuan pelihat. Seorang pelihat yang sedang belajar fisiologi tentu harus melihat manusia dalam dimensi biologis material. Kalau pelihat ingin belajar tentang filsafat kognitif tentu harus melihat manusia dari kompleksitas kognitifnya. Dan seterusnya. Jadi, relative saja berdasarkan latar belakang dan tujuan orang memandang manusia. Apakah cukup jelas? Saya memang sangat berhati-hati dalam berteori. Adapun teori itu juga tidak baru karena merupakan hasil refleksi dari pembelajaran tentang keberadaan atau filsafat sejauh ini.

Baik. Sebelum lanjut kepada pendekatan fenomenologi, mari kita beristirahat sejenak.


2.       Tahap 2: memengerti pendekatan fenomenologi
-          Perintis: Edmund Husserl
-          Ternyata pada awalnya baik psikologi maupun fenomenologi merupakan disiplin ilmu yang berjalan sendiri-sendiri tanpa perlu disamakan atau dibedakan meski dalam perkembangannya para ahli mencoba mencari titik temu. Bagi saya sendiri yang lebih penting adalah tujuan penelitiannya. Kalau ingin berpsikologi ya silahkan berpsikologi misalnya dengan menggunakan fenomenologi kalau memang relevan. Di samping itu kalau mau berfenomenologi ya silahkan begitu. Nah, anda mulai terganggu untuk membikin kesimpulan? Silahkan saja.
-          Curcol, sebelum memutuskan untuk menggunakan pendekatan IPA, saya mencoba mengkonstruksi pendekatan metodologi psikoanalisis yang didasari oleh hermeneutika kecurigaan. Usaha saya itu untungnya tidak keterusan karena memang pendekatan psikoanalisis bersifat amat rentan keilmiahannya. Psikologi arus besar pada umumnya (misalnya yang digagas Smith maupun Creswell) cenderung menentang pendekatan psikoanalisis karena tidak berangkat dari laboratorium sentries. Namun sekarang hal ini tidak lagi relevan setelah merebaknya TAT karya Bellack dkk. Nah, pointnya di sini kalau digunakan sebagai pendekatan penelitian sebagaimana kecenderungan arus besar, maka pendekatan kualitatif kurang memiliki dasar metodologi yang terstruktur secara ilmiah. Memang sih si Abt & Bellak sudah menuliskan standar analisis penelitiannya tapi itukan untuk tujuan klinis dan bukan penelitian kualitatif pada umumnya.
-          Pokok ajaran fenomenologi: menjelaskan situasi atau gejala sehari-hari manusia. Fenomenologi ingin memperinci gejala itu dan menjelaskannya secara hakiki melalui pencarian makna-makna atas gejala itu, makna-makna yang dimiliki si responden. Gejala tak lain adalah pengalaman. Amin.
-          Intinya: bagaiaman orang mengalami dan menginterpretasi pengalaman mereka berdasarkan data restrospeksi deskriptif hasil paparan responden maupun dari catatan lapangan yang dilakukan sekreatif mungkin untuk menangkap ekspresi non verbal responden yang mungkin masih terkait dengan pemaknaannya atas pengalamannya.
-          Konsep kunci: intensionalitas, memandang kesadaran manusia (consciousness, bukan awareness) dan arahnya yaitu pada objek kesadaran itu sendiri. Pengalaman cinta misalnya, tidak hanya makna dari cinta menurut responden tapi juga sasaran cinta itu dimasukkan sebagai bagian dari analisis.
-          Konsep kunci 2: reduksi fenomenologis: menyederhanakan kesadaran kepada pemahaman atas fenomena yang didasarkan atas keyakinan filosofis (mirip dengan konsep Creswell). Hal ini nanti akan jadi pegangan untuk melihat apa realitas itu yang sebenarnya. Realita yang mengada tidak secara langsung tapi misalnya malalui symbol-simbol bahasa, dll. Oh gini, secara sederhana tu, reduksi fenomenologis adalah usaha memfokuskan topik pada fenomena tertentu misalnya fenomena takut tikus merah saja.
-          Langkah analisis data 1, memfokuskan diri pada topik penelitian. Baca data secara menyeluruh. Fenomenologi akan berangkat dari pemahaman global atas data yang diperloleh dari responden.
-          Langkah analisis data 2, menyusun bagian-bagian deskripsi atau unit makna: tiap kali menemukan satuan makna atau tema, pisahkan dengan garis miring. Tiap bagian dalam garis miring berarti memiliki makna atau tema yang sama. Tiap bagian ini nanti akan dituliskan di baris kolom paling kiri.
-          Langkah analisis data 3, transformasi makna: menuliskan kembali paparan responden dengan cara yang lebih generik (agar yang tersirat menjadi tersurat). Transformasi makna ini untuk memudahkan pemahaman peneliti atas konteks makna responden. Bagian ini ditempatkan di baris kolom tengah, sebelah kanan unit makna.
-          Langkah analisis data 4, analisis utama: dituliskan pada kolom baris paling kanan, merupakan analisis utama dari unit makna yang telah ditransformasikan. Bisa jadi, satu transformasi makna hanya memiliki satu analisis data. Di samping itu juga bisa jadi, dua atau lebih transformasi makna hanya memiliki satu analisis data. Peneliti harus berani melakukan analisis psikologis berdasarkan data yang ada. Jangan takut salah, toh nanti akan dikonfirmasi ke responden og.
-          Contoh implementasi dapat dilihat pada Smith (2013). Dari contoh analisis data tersebut dapat diketahuilah keuntungan metodologi kualitatif: mampu membenamkan diri dalam dunia subyektif responden sehingga dengan demikian benar-benar mengerti kompleksitas perbedaan cara responden satu dan lainnya dalam memaknai suatu hal (sebagaimana yang telah ditetapkan peneliti sebagai topic penelitiannya/dalam reduksi fenomenologis).
-          Analisis data fenomenologi akhirnya diakhiri dengan pembahasan hubungan data dan metode. Inilah yang dinamakan analisis structural. Setelah itu dilaporkan atau dikomunikasikan dengan kolega yang kompeten.
-          Perlu diketahui: kebohongan responden dianggap tidak masalah karena paparan dilihat sebagai subyektif semata, bukan objektif yang memuat benar salah. Yang penting adalah bagaimana cara responden mengalami situasinya. Maksudnya? Ya pemaknaannya pada saat ini, bukan pengalaman objektif pada masa lalu itu lho.
-          Ternyata fenomenologi sekadar usaha untuk mencari tahu apa yang terjadi dan bukan berangkat dari kajian teori tertentu (Giorgi, 1986 dalam Smith, 2013). Kalaupun kajian teori itu seyogyanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pembahasan data. Misalnya telah ditemukan pada beberapa korban selamat pesawat jatuh: yang terjadi justru tidak ada ketakutan sama sekali (fokus reduksi fenomenologis yang ditetapkan). Nah, baru setelah mendapat temuan ini peneliti menuliskan kajian teori mengenai ketakutan yang menghilang. Eh, sebentar, sebentar. Penulisan kajian teori juga bisa dilakukan berdasarkan reduksi fenomenologis yang memang ditetapkan oleh peneliti ding.
-          Kerentanan pendekatan fenomenologi juga bisa ditimbulkan oleh proses penelitian yang secara umum amat bergantung pada sang peneliti (pada transformasi data dan pada analisis akhir). Kerentanan ini dapat diatasi dengan banyaknya data yang bisa mendukung a posteriorisme peneliti. Kekurangan data pasti menyebabkan a priorisme peneliti yang bisa jadi sangat subyektif, bias, dan tidak tepat. Kiat lain untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengkomunikasikan hasil atau bahkan proses penelitian dengan peneliti lain (kalau perlu, capailah kesepakatan dalam proses analisis data-diskusi sengit karena perbedaan pendapat merupakan hal yang sangat baik untuk mencapai kesimpulan yang makin bermakna). Bila memang memungkinkan sebenarnya juga bisa melakukan ricek kepada responden tapi perlu hati-hati dengan memperhatikan etika professional yang tak tertulis.
3.       Tahap 3: memengerti pendekatan analisis fenomenologi Interpretatif
-          IPA tidak berusaha merinci kebenaran material pengalaman responden namun lebih kepada bagaimana responden memaknai pengalamannya (secara interpretatif).
-          Langkah secara umum: responden menceritakan pengalaman mereka lalu peneliti menginterpretasikannya.
-          Cara interpretasi: memadukan hermeneutika empatik dan kecurigaan (apa adanya dan dugaan-dugaan yang biasanya bersifat psikoanalitik).
-          Smith (2013) ini sebagaimana Creswell (2014) sama-sama mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada standar prosedural dalam pelaksanaan riset kualitatif. Lalu bagaimana kualitatif tetap disebut ilmiah? Pemula memang sebaiknya mengikuti prosedur misalnya sebagaimana yang ditawarkan Smith (2013) sendiri. Namun, tolok ukur keilmiahan adalah pada keyakinan filosofis pendekatan riset kualitatif sendiri. Dalam hal ini IPA, ilmiah karena peneliti memegang keyakinan filosofis IPA yaitu mencari makna yang terkandung dalam paparan responden seobjektif mungkin dengan metode interpretasi.
-          Dalam penentuan topik agar tidak terlalu holistik, IPA juga memerlukan reduksi fenomenologis atau pemfokusan fenomena apa yang ingin diteliti sebagaimana dalam riset fenomenologis karena pada dasarnya IPA juga riset fenomenologis hanya, IPA menggunakan metode interpretasi dalam menarik makna pengalaman responden.
-          Ingat selalu, pendekatan IPA ini mirip studi kasus dan etnografi dalam Creswell (2014) yaitu berfokus untuk memaknai pengalaman responden dalam dunia personal dan sosialnya. Sekali lagi, dalam dunia personal dan sosialnya. Jadi, responden harus berasal dari satu komunitas yang jelas. Pemaknaan yang diinterpretasi adalah pengalaman personal responden atas suatu hal secara pribadinya dan dalam konteks komunitasnya. Dengan demikian, sampel dalam penelitian IPA pastilah purposif. Penentuan komunitaspun disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
-          Pembahasan dalam penelitian IPA dilakukan dengan keumuman teoretis yaitu dengan membandingkan hasil temuan dengan teori yang lebih luas. Inilah kekuatan penelitian IPA.
-          Sampel penelitian: tidak dibakukan, sesuai kebutuhan peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian.
-          Wawancara: semi terstruktur. Responden harus menceritakan pengalamannya dengan sedikit dorongan saja dari peneliti. Dalam kasus saya, responden malah nyerocos terus tanpa ditanya satu pertanyaanpun. Bagaimana dengan hal ini? Asal tidak menyimpang dari tujuan penelitian maka tidak menjadi masalah. Tapi memang, Smith (2013) mengatakan bahwa respondenlah yang menentukan jalannya wawancara. Responden saya keduanya begitu. Yang pertama mendominasi sedang yang kedua senantiasa bertanya, “Apa lagi mas Damar?”
-          Responden mungkin akan mengulangi paparan yang sama selama proses wawancara. Namun demikian, IPA tidak memerlukan pengukuran frekuensi kemunculan paparan yang sama untuk menekankan makna yang terkandung di dalamnya (tidak memicu penarikan tema utama). IPA tetap berfokus untuk menginterpretasi makna yang muncul, itu saja.
-          Metode analisis data secara umum adalah:
o   Menuliskan transkrip wawancara
o   Menuliskan komentar di sebelah kiri transkrip wawancara
o   Menuliskan tema sementara di sebelah kanan transkrip wawancara
o   Di tabel lain: menuliskan tema sementara yang muncul sepanjang transkrip. Penulisan tema sementara ini dilakukan secara kronologis.
o   Di tabel lain lagi: mengelompokkan tema sementara berdasarkan kemiripan suatu hal yang nanti akan ditarik sebagai tema utama.
o   Menuliskan tema utama berdasarkan kelompok tema sementara. Satu kelompok tema sementara mungkin bisa ditari lebih dari satu tema utama. Di bagian bawah tiap tema utama ini masih perlu dituliskan tema-tema sementara untuk memudahkan identifikasi dalam pembahasan nanti.
o   Di sebelah kanan kolom tema utama dan tema sementara yang mengikuti itu dituliskan identifier untuk memudahkan pembahasan hasil penelitian. Identifier berupa kode baris & halaman dan kata-kata kunci dalam transkrip yang olehnya tema sementara ditarik.
o   Pembahasan: dituliskan secara deskriptif tanpa kolom (bab IV dalam skripsi). Pembahasan ini berisi dinamika tema utama maupun antar tema utama. Dinamika dituliskan masih dengan metode interpretatif.
o   Diskusi: dituliskan secara deskriptif setelah bagian pembahasan. Diskusi merupakan interpretasi hasil penelitian berdasarkan kajian teori yang telah dilakukan sebelumnya. Teori yang lebih luas ini dipakai untuk mengkaji hasil penelitian sehingga dari sini temuan akan dikonstruksi secara teoritik hingga dapat dikatakan ilmiah secara penuh. Teori yang lebih luas dapat memberi bukti atas hasil penelitian. Dalam kasus tertentu, peneliti mungkin tidak menemukan teori yang relevan untuk mengkaji hasil penelitian. Dengan demikian, hasil penelitian dapat digunakan untuk memfalsifikasi teori yang ada karena hasil penelitian dapat diklaim sebagai temuan yang sama sekali baru.
o   Menarik kesimpulan akhir berdasarkan pembahasan dan diskusi.
-          Kesimpulan teoritik dari metode IPA ini adalah adanya kandungan studi kasus, etnografi, dan grounded theory yang cukup pekat sepanjang proses analisis data.
4.       Tahap 4: memengerti pendekatan Grounded Theory
Isu ini tidak akan dibahas saat ini mengingat keterbatasan waktu saya.
5.       Tahap 5: memengerti pendekatan Naratif
Isu ini tidak akan dibahas saat ini mengingat keterbatasan waktu saya.
6.       Tahap 6: memengerti pendekatan analisis percakapan
Isu ini tidak akan dibahas saat ini mengingat keterbatasan waktu saya.
7.       Tahap 7: memengerti pendekatan analisis wacana
Isu ini tidak akan dibahas saat ini mengingat keterbatasan waktu saya.
8.       Tahap 8: memengerti pendekatan kelompok-kelompok fokus
Isu ini tidak akan dibahas saat ini mengingat keterbatasan waktu saya.
9.       Tahap 9: memengerti pendekatan kooperatif
Isu ini tidak akan dibahas saat ini mengingat keterbatasan waktu saya.
10.   Tahap 10: memengerti validitas penelitian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar