Tanggapan
atas Faust dan Anti-Faust, essay Mangunwijaya (1988)
Essay 11 November 2015
Seseorang yang kini telah menjadi
romo Jesuit pernah bilang, “Saya dulu pacarnya banyak. Kalau cari cewe itu
paling menyenangkan kalau penuh tantangan. Cewe menantang adalah perempuan
sejati yang tidak gampangan. Ia susah dirayu. Butuh seribu satu cara untuk
membuatnya bertekuk lutut padamu!” Demikianlah ujarannya pada kami, siswa De
Britto yang lelaki semua.
Kaum pria tingkat tinggi idealnya
mengharapkan perempuan yang jual mahal nan sulit ditaklukan. Perumpamaan
reflektif saya atas kasih mengasihi tersebut ingin dibawa menuju pemikiran maju
bangsa Eropa yang sarat akan ilmu
filsafat dan sastranya, terutama Perancis. Bangsa
Eropa yang notabene sering dilabeli dengan sebutan bangsa barat itu ingin sikap bangsa
timur yang sulit alias jual mahal dalam mengadopsi kebudayaan atau
peradaban barat (misalnya dalam bidang teknologi, filosofi, kultur, edukasi,
dll). Bangsa barat ingin tantangan
dari bangsa timur yang mencoba
menegakkan idealisme sendiri yang berbeda dengan apa yang sudah dianut oleh bangsa barat.
Saya masih ragu atas kemampuan
bangsa timur. Nampaknya tidak ada dua mainstream perkembangan peradaban dunia
ini. Sebagaimana sejarah itu tunggal, masa depan juga tunggal. Hanya ada satu
prototipe peradaban dan yang terjadi adalah bangsa barat telah di depan sedang
bangsa timur tertatih mengejarnya dari belakang nun jauh. Entah apa namanya
keyakinan filosofis saya ini. Apakah dapat ditegakkan pula? Saya juga masih
ragu. Kesimpulan saya atas ketunggalan prototipe kebudayaan dipicu atas
perkembangan ekonomi dunia yang selalu identik.
Mari lihat pada contoh berikut: saat
ini orang Indonesia sedang ribut binti
gaduh ala resah karena pembangunan apartemen, hotel, gedung pencakar langit,
industrialisasi dalam berbagai bidang, mekanisasi, globalisasi tanpa batas,
dll. Singkat kata, keributan ala kegaduhan bin keresahan seperti itu sudah
dialami bangsa barat dua ratus sampai lima ratus tahun lalu. Jadi, kita orang
Indonesia ini nyata sedang tertatih mengejar nun jauh di belakang.
Tidak hanya dalam hal ekonomi. Mari
lihat contoh sitir dunia pendidikan ini: pada abad pertengahan bangsa barat
sudah mendirikan Universitas Oxford, Cambridge, maupun Hardvard sedangkan kita
orang Indonesia masih disibukkan oleh gosip perceraian Ken Arok dan Ken Dedes.
Mungkin saya memang dan amat sangat
reduksionistik tapi saya sering merasa bahwa keyakinan reduksionis itu bukan
tanpa dasar. Kalau mengingat dua contoh ketertinggalan kita orang Indonesia
itu, saya sering merasa sedih dan putus asa. Mungkinkah kita menyaingi mereka
dengan asumsi bahwa masa depan adalah setunggal sejarah? Saya sering curiga dan
resah, jangan-jangan kebanggaan kita pada budaya nenek moyang ini hanyalah
kompensasi atas kegagalan kita dalam berbagai aspek peradaban (seperti ekonomi,
edukasi, politik, dll).
Seandainya resah dan curiga saya di
atas tidak berdasar dan sama sekali salah, hati ini masih sedih. Mengapa?
Karena dengan motif apapun kita membanggakan kebudayaan lokal, warisan nenek
moyang, kearifan lokal, dll itu, apakah iya kita ini masih menguri-urinya? Berapa banyak sih dari kita
(yang bersuku Jawa) bisa membaca teks Serat Centhini, Serat Wedhatama,
Arjunawiwaha, Mahabharata, dll yang berbahasa Jawa Kuno? Oke ga usah jauh-jauh
lah ya, berapa banyak sih dari kita anak Jateng, Jogja, dan Jatim yang masih
bisa berbahasa Jawa Krama Inggil? Berapa banyak sih dari anak Jabar yang bisa
bahasa Sunda? Berapa banyak sih anak Toba yang bisa Bahasa Batak Toba? Ga usah
jauh-jauh membaca Pustaha Ni Bangso Batak lah ya, hahahhahah.
Masalahnya memang rumit. Saya
sendiri bisa mempelajari budaya lokal adalah karena itu memang pekerjaan. Kalau
anak lain yang punya kerjaan bukan belajar seperti saya, pasti memakai keadaan
sosial ekonomi sebagai alasan, dst. Nah, memang rumit dan dalam hal ini saya
tidak mau reduksionistik.
Ijinkan sekali lagi saya
menyampaikan kegelisahan saya:
1.
Belajar tentang Diponegoro pasti merujuk ke
Peter Carey.
2.
Belajar tentang tradisi agama Jawa pasti merujuk
ke Clifford Geertz.
3.
Belajar tentang keluarga Jawa pasti merujuk ke
John Pamberton.
4.
Belajar tentang tata bahasa beberapa suku
nusantara pasti merujuk ke Van der Tuuk.
5.
Belajar tentang adat Batak Toba pasti merujuk ke
Vergouwen.
6.
Belajar tentang kepustakaan Jawa pasti merujuk
ke Zoetmulder.
7.
Belajar tentang antropologi Jawa pasti merujuk
ke Niels Mulder.
8.
Belajar tentang etika Jawa pasti merujuk ke
Franz Magnis Suseno.
9.
Belajar tentang pustaha Batak pasti merujuk ke Uli Kozok.
Apa yang miris? Apa yang menyedihkan?
Ada yang merasa kita masih terjajah?
Ada yang merasa bahwa naluri inlander itu masih
subur?
Ada yang merasa tidak berdaya?
Ada yang iba?
Ada yang menyayangkan tidak dihargainya akademisi
kita?
Ada yang menyayangkan akademisi kita yang kurang
proaktif?
Ada yang ingin proaktif saja langsung?
Ada yang ingin berkontribusi?
Yuk mari setidaknya kita mencintai
budaya lokal bangsa kita sendiri seperti yang saya lakukan. Membaca. Ya, cukup
membaca saja karya mereka itu dan bandingkan dengan karya anak bangsa seperti
Ranggawarsita, Suryomentaram, Mangkunegara IV, Edi Setyawati, Umar Kayam,
Kuntowijoyo, Toer, Sapardi Djoko Damono, sampai Linus Suryadi. Lalu bandingkan
lagi dengan rasa anda sendiri selama menjalani kehidupan di tanah pertiwi ini.
Cinta tanah air kan? Ingin bela negara tanpa pertumpahan darah kan? Ingin
melakukan usaha paling praktif untuk bangsa ini kan? Mulailah membaca di
waktu-waktu luang anda dari pada menghabiskan waktu luang itu untuk ngegame,
membuka situs yang ga bener, melakukan aktivitas kotor, dll.
Semoga saya sedang memberikan
keteladanan yang baik lah ya. Syukur kalau kita juga punya kebiasaan menulis
dan upload tulisan itu ke blog atau fesbuk sehingga yang diaplot itu ya tulisan
yang bermutu, bukan curhat melulu dong! Kalau cuma status yang ga pentiiiiing
gitu aja yang ditulis, aduh maaf, kapan kita akan jadi bangsa maju? Kapan kita
maju kalau tidak menghargai pendidikan? Kapan kita maju kalau orang seperti
saya malah dihate speech: ‘sok intelek’? Kapan kita maju kalau bukan kita juga
yang mempelopori kemajuan itu sendiri? Dalam keputusasaan ekonomi dan
kemautidakmauan kembali kepada etika, saya terpaksa mengatakan bahwa
satu-satunya jalan menuju kemajuan bangsa dan negara adalah melalui pendidikan.
Maaf, mungkin saya juga sedang
menjadi kaum anti-Faust.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar