Kamis, 19 November 2015

Tanggapan atas Faust dan Anti-Faust, essay Mangunwijaya (1988)



Tanggapan atas Faust dan Anti-Faust, essay Mangunwijaya (1988)
Essay 11 November 2015
Seseorang yang kini telah menjadi romo Jesuit pernah bilang, “Saya dulu pacarnya banyak. Kalau cari cewe itu paling menyenangkan kalau penuh tantangan. Cewe menantang adalah perempuan sejati yang tidak gampangan. Ia susah dirayu. Butuh seribu satu cara untuk membuatnya bertekuk lutut padamu!” Demikianlah ujarannya pada kami, siswa De Britto yang lelaki semua.
Kaum pria tingkat tinggi idealnya mengharapkan perempuan yang jual mahal nan sulit ditaklukan. Perumpamaan reflektif saya atas kasih mengasihi tersebut ingin dibawa menuju pemikiran maju bangsa Eropa yang sarat akan ilmu filsafat dan sastranya, terutama Perancis. Bangsa Eropa yang notabene sering dilabeli dengan sebutan bangsa barat itu ingin sikap bangsa timur yang sulit alias jual mahal dalam mengadopsi kebudayaan atau peradaban barat (misalnya dalam bidang teknologi, filosofi, kultur, edukasi, dll). Bangsa barat ingin tantangan dari bangsa timur yang mencoba menegakkan idealisme sendiri yang berbeda dengan apa yang sudah dianut oleh bangsa barat.
Saya masih ragu atas kemampuan bangsa timur. Nampaknya tidak ada dua mainstream perkembangan peradaban dunia ini. Sebagaimana sejarah itu tunggal, masa depan juga tunggal. Hanya ada satu prototipe peradaban dan yang terjadi adalah bangsa barat telah di depan sedang bangsa timur tertatih mengejarnya dari belakang nun jauh. Entah apa namanya keyakinan filosofis saya ini. Apakah dapat ditegakkan pula? Saya juga masih ragu. Kesimpulan saya atas ketunggalan prototipe kebudayaan dipicu atas perkembangan ekonomi dunia yang selalu identik.
Mari lihat pada contoh berikut: saat ini orang Indonesia sedang ribut binti gaduh ala resah karena pembangunan apartemen, hotel, gedung pencakar langit, industrialisasi dalam berbagai bidang, mekanisasi, globalisasi tanpa batas, dll. Singkat kata, keributan ala kegaduhan bin keresahan seperti itu sudah dialami bangsa barat dua ratus sampai lima ratus tahun lalu. Jadi, kita orang Indonesia ini nyata sedang tertatih mengejar nun jauh di belakang.
Tidak hanya dalam hal ekonomi. Mari lihat contoh sitir dunia pendidikan ini: pada abad pertengahan bangsa barat sudah mendirikan Universitas Oxford, Cambridge, maupun Hardvard sedangkan kita orang Indonesia masih disibukkan oleh gosip perceraian Ken Arok dan Ken Dedes.
Mungkin saya memang dan amat sangat reduksionistik tapi saya sering merasa bahwa keyakinan reduksionis itu bukan tanpa dasar. Kalau mengingat dua contoh ketertinggalan kita orang Indonesia itu, saya sering merasa sedih dan putus asa. Mungkinkah kita menyaingi mereka dengan asumsi bahwa masa depan adalah setunggal sejarah? Saya sering curiga dan resah, jangan-jangan kebanggaan kita pada budaya nenek moyang ini hanyalah kompensasi atas kegagalan kita dalam berbagai aspek peradaban (seperti ekonomi, edukasi, politik, dll).
Seandainya resah dan curiga saya di atas tidak berdasar dan sama sekali salah, hati ini masih sedih. Mengapa? Karena dengan motif apapun kita membanggakan kebudayaan lokal, warisan nenek moyang, kearifan lokal, dll itu, apakah iya kita ini masih menguri-urinya? Berapa banyak sih dari kita (yang bersuku Jawa) bisa membaca teks Serat Centhini, Serat Wedhatama, Arjunawiwaha, Mahabharata, dll yang berbahasa Jawa Kuno? Oke ga usah jauh-jauh lah ya, berapa banyak sih dari kita anak Jateng, Jogja, dan Jatim yang masih bisa berbahasa Jawa Krama Inggil? Berapa banyak sih dari anak Jabar yang bisa bahasa Sunda? Berapa banyak sih anak Toba yang bisa Bahasa Batak Toba? Ga usah jauh-jauh membaca Pustaha Ni Bangso Batak lah ya, hahahhahah.
Masalahnya memang rumit. Saya sendiri bisa mempelajari budaya lokal adalah karena itu memang pekerjaan. Kalau anak lain yang punya kerjaan bukan belajar seperti saya, pasti memakai keadaan sosial ekonomi sebagai alasan, dst. Nah, memang rumit dan dalam hal ini saya tidak mau reduksionistik.
Ijinkan sekali lagi saya menyampaikan kegelisahan saya:
1.       Belajar tentang Diponegoro pasti merujuk ke Peter Carey.
2.       Belajar tentang tradisi agama Jawa pasti merujuk ke Clifford Geertz.
3.       Belajar tentang keluarga Jawa pasti merujuk ke John Pamberton.
4.       Belajar tentang tata bahasa beberapa suku nusantara pasti merujuk ke Van der Tuuk.
5.       Belajar tentang adat Batak Toba pasti merujuk ke Vergouwen.
6.       Belajar tentang kepustakaan Jawa pasti merujuk ke Zoetmulder.
7.       Belajar tentang antropologi Jawa pasti merujuk ke Niels Mulder.
8.       Belajar tentang etika Jawa pasti merujuk ke Franz Magnis Suseno.
9.       Belajar tentang pustaha Batak pasti merujuk ke Uli Kozok.

Apa yang miris? Apa yang menyedihkan?
Ada yang merasa kita masih terjajah?
Ada yang merasa bahwa naluri inlander itu masih subur?
Ada yang merasa tidak berdaya?
Ada yang iba?
Ada yang menyayangkan tidak dihargainya akademisi kita?
Ada yang menyayangkan akademisi kita yang kurang proaktif?
Ada yang ingin proaktif saja langsung?
Ada yang ingin berkontribusi?

Yuk mari setidaknya kita mencintai budaya lokal bangsa kita sendiri seperti yang saya lakukan. Membaca. Ya, cukup membaca saja karya mereka itu dan bandingkan dengan karya anak bangsa seperti Ranggawarsita, Suryomentaram, Mangkunegara IV, Edi Setyawati, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Toer, Sapardi Djoko Damono, sampai Linus Suryadi. Lalu bandingkan lagi dengan rasa anda sendiri selama menjalani kehidupan di tanah pertiwi ini. Cinta tanah air kan? Ingin bela negara tanpa pertumpahan darah kan? Ingin melakukan usaha paling praktif untuk bangsa ini kan? Mulailah membaca di waktu-waktu luang anda dari pada menghabiskan waktu luang itu untuk ngegame, membuka situs yang ga bener, melakukan aktivitas kotor, dll.
Semoga saya sedang memberikan keteladanan yang baik lah ya. Syukur kalau kita juga punya kebiasaan menulis dan upload tulisan itu ke blog atau fesbuk sehingga yang diaplot itu ya tulisan yang bermutu, bukan curhat melulu dong! Kalau cuma status yang ga pentiiiiing gitu aja yang ditulis, aduh maaf, kapan kita akan jadi bangsa maju? Kapan kita maju kalau tidak menghargai pendidikan? Kapan kita maju kalau orang seperti saya malah dihate speech: ‘sok intelek’? Kapan kita maju kalau bukan kita juga yang mempelopori kemajuan itu sendiri? Dalam keputusasaan ekonomi dan kemautidakmauan kembali kepada etika, saya terpaksa mengatakan bahwa satu-satunya jalan menuju kemajuan bangsa dan negara adalah melalui pendidikan.
Maaf, mungkin saya juga sedang menjadi kaum anti-Faust.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar