Kamis, 05 November 2015

Untuk Salah Satu Pahlawan Hidupku



Untuk Salah Satu Pahlawan Hidupku
Essay 5 November 2015
Dia yang awalnya aku kagum lalu kubenci sejadi-jadinya. Ia yang sempat bikin hidupku carut marut bahkan ingin kuhabisi agar tidak jadi hama di dunia beradab ini. Tapi akhirnya justru aku harus sangat berterima kasih pada satu musuh bebuyutan itu karena olehnyalah sekarang aku seperti ini. Karena tutur katanya yang sedikit waktu itulah aku kini berubah jadi orang bermutu, mengerti apa artinya belajar, mengerti apa artinya proses menjadi manusia, dan paling penting, mengerti apa artinya menjadi lelaki sejati.
Berani jamin, si dia pasti tidak pernah mengerti mengapa saya sampai berpikiran begini, andai kusebutkan namanya. Maaf, menyebutkan namanya sungguh tidak etis karena dulu aku betul-betul ingin membunuhnya. Sekarang ia adalah malaikatku yang nanti akan sering kusebut jasanya. Maaf, untuk nama anda semua tak perlu cari tahu. Dia mungkin berpikir begini kalau tahu, “Ah opo seh si Damar ki! Emang aku wis tau ngapakna deknen ampe ingin bunuh aku segala! Kayaknya aku ki malah belum pernah cakap-cakap mbek deknen ki! Damar orangnya emang gitu, berlebihan kalau memuji! Ane!”
Dunia harus tahu jasanya buat hidupku tapi sekali lagi, dunia tak perlu tahu namanya. Biarlah ia dikenang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa meski jasanya sungguh sangat besar. Biarlah kelak ia meninggal dalam damai sejahtera setelah mewariskan jutaan ilmunya di dunia ini, termasuk yang untukku. Niscaya, warisan itu akan berfaedah sangat bagi hidupnya di masa mendatang. Semoga dalam masa tuanya senantiasa dilingkupi rejeki dan kebahagiaan serta kedamaian, juga bagi seisi rumah dan keluarga besarnya.
Sungguh, kepada musuhmulah pertama-tama perlu kau ucapkah rasa syukur. Nietzsche bilang bahwa selama mereka tidak membunuhmu, tindasannya hanya makin menguatkan. Musuh adalah pihak yang berkata paling objektif dan memotivasi untuk melakukan sesuatu. Sesuatu itulah yang kini terus kujalani meski seakan-akan aku selalu terlambat lima tahun bahkan belakangan ternyata sepuluh tahun, dalam segala bidang.
Akhir kata maka marilah kita menyadari kebijaksanaan untuk mendoakan musuh. Mereka adalah pihak yang pertama-tama paling pantas diberikan doa-doa. Berkat, kelimpahan, sukacita, dan ketenangan hidup kiranya melingkupi para musuh. Lupakanlah mereka yang keterlaluan, andai dosanya padamu tak termaafkan, ya jangan maafkan tapi doakan. Mungkin mereka mendapat azab juga dari Tuhan bila itu memang harus, tapi jangan lupakan doamu. Rasa sakit pasti akan berhenti dan doa kan mengalir, ini hanya masalah waktu. Percayalah.
Ingat satu kebiasaan Foucault ini, ia selalu membiarkan orang untuk mencintainya dengan cara orang-orang itu sendiri. Kalau Foucault saja begitu, apalagi Tuhan ya kan. Kita-kita manusia ini begitu juga baik bukan. Maka jadi tahulah sekarang, mungkin musuh-musuh itu mencintai kita dengan cara menyakiti. Apapun bentuk cinta, semua orang tahu, ujung-ujungnya baik. Semoga. Asal mereka tidak membunuhmu atau membunuh orang yang kau cintai. Bila sampai ada pembunuhan, urusan lain. Mungkin suatu saat memang perlu, mata ganti mata, gigi ganti gigi. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar