Kamis, 19 November 2015

STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF



STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF
PEMAKNAAN TUHAN DALAM AJARAN  KEPERCAYAAN
TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA KAWERUH HAK 101 CILACAP

Skripsi 

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi

Description: D:\foto fam\SADHAR.JPG
Oleh :
Heribertus Damar Wiyono
109114121
                                     

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Tuhan merupakan bagian dari otak manusia yang ada secara alamiah. Manusia terlahir dengan gen untuk mempercayai oknum yang biasa disebut sebagai Tuhan (Pasiak, 2012). Bloom (2005) menyatakan bahwa bagian otak yang memuat gen “iman kepada Tuhan” tersebut tumbuh secara aksidental. Namun bila demikian yang terjadi, mengapa kejadian aksidental tersebut terjadi pada mayoritas umat manusia? Pasiak (2012) justru menyatakan bahwa gen tersebut memang ada dalam seluruh umat manusia sebagai memanifestasikan moralitas. Dengan demikian, menurut neurosains Tuhan adalah moralitas itu sendiri. Dalam freudian, moralitas ini setara dengan superego (Pals, 2012). Dorongan moralitas alami tentu ada dalam semua manusia. Dorongan moralitas inilah yang disebutkan Armstrong (2015) sebagai buah pengetahuan yaitu kemampuan manusia membedakan baik dan buruk secara alami. Kemampuan manusia untuk membedakan baik dan buruk secara alami adalah permulaan sejarah Tuhan (Armstrong, 2015).
Penghayatan kepada Tuhan senantiasa menjadi kerinduan umat manusia pada masa kini (Foucault, 1999). Di sisi lain, secara psikologis penghayatan spiritualitas ketuhanan atau beragama dapat atau tidak dapat menjadi neurotisisme dalam hidup seseorang (Bonelli & Koenig, 2013). Kecenderungan dampak positif penghayatan spiritual pada kesehatan psikologis manusia ditunjukkan misalnya oleh penelitian di Detroit, Amerika Serikat (Ellison, Boardman, Williams, & Jackson, 2001). Ellison et al (2001) melaporkan bahwa penghayatan spiritualitas cenderung meningkatkan kesejahteraan hidup, menurunkan tendensi gangguan mental kecemasan, menurunkan tendensi gangguan mental depresi mayor, dan tidak memiliki pengaruh sama sekali pada neurotisisme seseorang (Ellison & Levin, 1998). Temuan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa penghayatan spiritual manusia cenderung membawa dampak neurotisisme tertentu (Ellis, 1980);
Hasil penelitian-penelitian sebagaimana telah disebutkan bukanlah konklusi atas point kegelisahan Freud secara khusus atau kaum psikoanalisis secara umum dalam hal permasalahan penghayatan spiritualitas manusia (Pals, 2012; Strachey & Freud, 1961). Kegelisahan kaum psikoanalisa atas penghayatan spiritualitas manusia tidak melulu pada urusan diagnostika neurotisisme secara diskretis dalam psikologi klinis. Kegelisahan tersebut lebih dilihat sebagai neurotisisme dalam kehidupan manusia yang makin lama nampak makin wajar (Brill, 1938; Freud, 2002; Freud, 2002; Freud, 2010).  
Seiring perjalanan waktu, Freud memiliki banyak penentang. Penentang bangkit melawan idealisme Freud karena seakan-akan agama atau spiritualitas tidak lebih dari angan-angan manusia. Pals (2012) sendiri juga menentang Freud karena kurang jelinya Freud dalam mendefinisikan tentang agama atau spiritualitas itu sendiri. Selama ini Freud hanya berkutat pada agama teistik atau monoteistik dan tidak mempertimbangkan agama nonteistik (seperti Buddha) atau politeistik (seperti Hindu). Namun demikian, Freud akan selalu ada benarnya. Kerja keras Freud terkait dengan persoalan spiritualitas tidak dapat dianggap salah begitu saja. Studi Freud yang pesimistik walau bagaimanapun tetap relevan untuk dijadikan pegangan untuk membangun kepribadian sehat. Selama manusia masih dihadapkan pada persoalan dinamikan psikologi bawah sadar, ambang sadar, dan sadar, psikoanalisis Freud akan tetap berfungsi, termasuk untuk menyikapi persoalan neurotisisme spiritual yang disebabkan oleh kepercayaan religius (Pals, 2012).
Osborne (1950) pada akhirnya memberi konklusi bahwa inti dari pada yang ingin dinyatakan Freud atau para kaum psikoanalisis adalah agar manusia hidup dalam kesadaran penuh. Hidup dalam kesadaran penuh berarti bahwa ego manusia mampu mengeksekusi dorongan-dorongan id maupun superego yang sering berasal dari area ketidaksadaran (Feist & Feist, 2008). Hidup dalam kesadaran penuh adalah satu-satunya cara bagi manusia untuk menjadi sehat secara psikis (Osborne, 1950; Brahm, 2011; Armstrong, 2013) termasuk dalam berketuhanan atau beragama. Dengan ini perilaku spiritualitas manusia diharapkan bukan menjadi cerminan dari neurotisisme belaka.
Pals (2008) menjelaskan point utama dalam psikoanalisa freudian adalah narasi kehidupan manusia itu sendiri. Perilaku manusia menurut teori freudian senantiasa didorong oleh narasi kehidupan manusia tersebut. Salah satu aspek narasi kehidupan manusia adalah spiritualitas ketuhanan. Psikoanalisis ingin mengajak manusia untuk mengetahui detail seluk beluk narasi manusia atau dalam kata lain adalah motif-motif asadar manusia yang senantiasa memiliki sumber pada masa lalu. Dengan cara ini, Pals (2008) menjelaskan tentang kesadaran penuh dengan sangat baik. Manusia yang telah mengetahui motif-motif asadar diharapkan menyadari motif-motif tersebut secara rendah hati dan tidak lagi berperilaku berdasarkan impuls-impuls asadar tersebut. Dengan kesadaran penuh ini manusia diajak untuk mengubah paradigma perilaku yaitu dengan meninggalkan motif yang dirasa kurang tepat dan mengganti dengan motif yang lebih tepat berdasarkan kesadaran (Pals, 2012; Osborne, 1950) termasuk dalam hal berketuhanan.
Transformasi perilaku manusia sebagaimana telah dijelaskan ternyata tidak semudah menasihati pasien psikoanalisis karena transformasi tersebut telah merambah ranah kepribadian yaitu motif-motif manusia. Kesulitan manusia untuk merubah motif perilaku atau kepribadian dikarenakan sulitnya hati manusia untuk merendahkan hati (Armstrong, 2013). Kerendahan hati diperlukan karena penyadaran motif seringkali membuat manusia mengerti betapa rusak dan berdosanya kehidupan yang selama ini telah dijalani. Penyadaran seperti ini membuat kecenderungan mekanisme pertahanan diri (MPD) kembali menguasai yaitu bila manusia gagal untuk menerima realitas diri (Feist & Feist, 2008; Pals, 2012).
Tidak dapat dipungkiri, paradigma yang menyatakan bahwa agama atau spiritualitas adalah ciri neurotisisme manusia sebagaimana diwariskan oleh Freud masih terus ada dan berkembang (Pals, 2012). Perkembangan paradigma tersebut cenderung dipelopori kaum intelektual pro atheisme seperti Sam Harris (2005) dalam The End of Faith dan Letter to a Christian Nation (Harris, 2006), Christopher Hitchens (2007) dalam God is not Great, Richard Dawkins (2006) dalam The God Delution, maupun Stephen Hawking (2010) dalam The Grand Design. Tanpa kecenderungan pro atau kontra antheisme, Karen Armstrong (2013) dalam Masa Depan Tuhan menyanggah para tokoh tersebut dengan konklusi solutif.
Armstrong (2015) dalam Sejarah Tuhan maupun dalam Masa Depan Tuhan (Armstrong, 2013) menyatakan bahwa pertentangan agama atau spiritualitas seringkali berangkat dari sudut pandang yang sempit yaitu latar belakang keilmuan seorang tokoh itu sendiri. Secara khusus Armstrong (2013) menyanggah kaum atheistis dengan menyatakan bahwa dasar filosofis mereka amat rapuh. Kaum atheistis menyerang kaum fundamentalis kristen yang mendasarkan teologi secara literal pada teks kitab suci. Dasar kaum fundamentalis kristen ini jelas tidak adekuat karena amat reduksionistik. Selain itu, pertentangan tentang antropomorfisme perwujudan tuhan misalnya, hanyalah salah satu segi dalam masalah spiritualitas (Armstrong, 2015). Segi lain seperti mistisisme juga perlu diketengahkan (Susanto, 1987; Eliade, 2002; Eliade dalam Pals, 2012; Frager, 2014).
Cara memandang permasalahan agama atau spiritualitas juga perlu memperhatikan variasi sudut pandang keilmuan yang jadi latar belakang ilmuan komentator. Kebenaran yang senantiasa relativistik menyebabkan satu sudut pandang kebenaran harus diterima oleh sudut pandang yang lain. Hawking (2010) misalnya, tidak dengan serta merta dapat memaksakan sudut pandang sains fisikanya sebagai kebenaran mutlak. Dimensi kultural, psikologi, mistisisme, dan lain-lain kiranya memiliki sudut pandang kebenarannya sendiri-sendiri yang harus selalu dihargai (Haught, 1995; Barbour, 2002, Haryatmoko, 2014). Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa permasalahan spiritual bukanlah pada pelemahan gairah manusia untuk percaya pada ‘yang sakral’ (Eliade, 1959) namun pada kemampuan filsafat untuk menjelaskan ‘yang sakral’ secara lebih profan sehingga mudah diterima (Tjaya, 2015).
Agama atau spiritualitas walau bagaimanapun telah terbukti memberi makna pada sisi kehidupan manusia misalnya dalam hal kerinduan mistisisme atas sosok Mahakuasa (Sadra, 2011; Frager, 2014). Spiritualitas yang beragam telah terbukti berkontribusi dalam perkembangan sejarah kehidupan manusia dari generasi ke generasi (Armstrong, 2007; Armstrong, 2015). Meski spiritualitas atau agama senantiasa memiliki sisi gelap, namun dibaliknya selalu ada sisi terang. Sisi terang inilah yang harus selalu dikembangkan untuk mengikis sisi gelap yang akan selalu ada secara dialektis (Marx dalam Pals, 2012). Adapun salah satu cara pengembangan sisi positif spiritualitas atau agama adalah dengan penelitian-penelitian ilmiah. Dengan demikian, penelitian (seperti ini) perlu (terus) dilakukan karena spiritualitas atau agama tidak semata-mata merupakan sebagian bentuk dari neurotisisme manusia sebagaimana yang diyakini Freud (VanderVeldt & Odenwald, 1952).
Armstrong (2013) dalam Compassion: 12 Jalan Menuju Hidup Berbelas Kasih semakin menegaskan bahwa spiritualitas bisa saja menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan belas kasih antar sesama manusia. Tidak ada yang salah dengan konsep tuhan, spiritualitas, maupun agama karena dengan cara tersebut manusia dan peradaban terus berkembang (Susanto, 1987; Armstrong, 2015). Nasihat Gamaliel dalam Kisah Para Rasul (LAI, 2001) juga menjelaskan tentang perkembangan institusi rohani atau sekular dengan sangat bijaksana untuk menyikapi persoalan spiritualitas atau agama. Rabi Gamaliel menyatakan bahwa suatu gerakan yang tidak berkenan di mata Tuhan pastilah akan musnah dengan sendirinya (Kis 5: 34-39). Teks kitab suci ini hendak menyatakan bahwa kelestarian suatu hal dalam dunia pasti memiliki misteri ilahi transenden yang tak terpahami oleh manusia. Misteri ilahi tersebut merupakan kebijakan Tuhan yang memiliki makna tertentu bagi kehidupan umat manusia (Mulyatno, 2015).
Sebagaimana telah dijelaskan Pals (2012), penghayatan spiritual ketuhanan terdiri dari pemaknaan manusia atas pengalaman religiusnya. Pengalaman mistik ketuhanan yang sama dapat dimaknai dua orang secara berbeda (Armstrong, 2015; Creswell, 2014). Dengan reduksi fenomenologi (Smith, 2013), penelitian ini difokuskan pada pemaknaan tuhan yang berasal dari pengalaman religius para responden. Metodologi yang dipilih adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif (Smith, Flowers, & Larkin, 2009; Smith & Osborn, 2008 dalam Smith, 2008). Pendekatan fenomenologi interpretatif dalam penelitian ini akan menggali proses-proses pemaknaan responden atas pengalaman ketuhanan untuk menggali makna tuhan itu sendiri. Fokus pada pemaknaan tuhan dipilih karena salah satu inti penting dalam dilema spiritualisme manusia adalah sosok tuhan itu sendiri (Armstrong, 2007; Armstrong, 2013; Armstrong, 2015). 
Dalam konteks Indonesia, kepercayaan spiritual terwujud dalam agama-agama maupun kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penelitian ini mengambil sampel responden dari komunitas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yaitu Kaweruh Hak 101 di Cilacap, Jawa Tengah. Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ditentukan untuk memfokuskan kajian kepustakaan karena ajaran Kaweruh Hak 101 dinilai lebih sederhana (Sumartoyo & Rories, 2013). Kepercayaan Kaweruh Hak 101 tidak terlalu memperlihatkan kompleksitas proses sejarah dan kultural dibandingkan agama-agama pada umumnya (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) (Armstrong, 2015).
Penelitian ini akan menggali makna penghayatan tuhan dalam dua responden yang dipilih secara purposif. Interpretasi akhir hasil penelitian dilakukan dengan mendiskusikan hasil penelitian dengan teori-teori psikologi religius (James, 2015) maupun kajian ketuhanan secara lebih luas (Armstrong, 2007; Armstrong, 2013; Armstrong, 2015) untuk mendapatkan gambaran lebih menyeluruh mengenai model-model ketuhanan dalam berbagai latar belakang budaya.

B.   Rumusan Masalah
Bagaimana pemaknaan tuhan pada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101?

C.   Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan pemaknaan tuhan pada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101.

D.   Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat secara teoritis untuk memahami model pemaknaan tuhan pada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 dengan pendekatan fenomenologi interpretatif. Model pemaknaan tuhan ini adalah salah satu bentuk keimanan atau agama lokal Indonesia. Pembahasan dengan teori psikologi dan kajian ketuhanan akan memberikan manfaat teoritik berupa kajian fenomenologis atas pengalaman penghayatan seseorang atas tuhan dalam spiritualitas Kaweruh Hak 101 secara khusus atau kepercayaan spiritualitas ketuhanan secara umum. Pembahasan ini dapat bermanfaan untuk menjadi referensi teoritik atas model penghayatan spiritual kepercayaan lokal Indonesia.

2.      Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat secara praktis untuk memberikan informasi tentang salah satu model spiritualitas ketuhanan (agama lokal) dalam institusi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia yaitu Kaweruh Hak 101. Informasi ini dapat menjadi referensi praktis bagi masyarakat yang ingin mendalami spiritualitas lokal Indonesia (khususnya Kaweruh Hak 101).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.   Studi Fenomenologi Interpretatif Spiritualitas Ketuhanan
Studi fenomenologi interpretatif memiliki tujuan utama untuk menggali pemaknaan manusia atas pengalaman hidup atau fenomena-fenomena yang pernah dialami. Pemaknaan tersebut muncul dalam dimensi personal maupun dimensi sosio-kultural. Peneliti memiliki andil yang sangat besar dalam perumusan makna itu karena peran sertanya dalam melakukan interpretasi. Proses interpretasi dilakukan menggunakan kajian teori yang lebih luas dari pada topik penelitian. Hal ini merupakan kelebihan dalam penelitian fenomenologi interpretatif (Smith, 2013).
Fenomena penghayatan spiritualitas ketuhanan merupakan fokus studi fenomenologi dalam penelitian ini. Penghayatan spiritualitas ketuhanan merupakan fenomena yang dialami dan dimaknai oleh sebagian besar umat manusia. Manifestasi penghayatan spiritualitas ketuhanan terlihat dalam perilaku beragama maupun berkepercayaan. Perilaku beragama maupun berkepercayaan dilihat sebagai fenomena unik yang dijalani manusia sehingga menghasilkan pengalaman-pengalaman berkesan seperti pengalaman mistik. Dengan demikian, pendekatan studi fenomenologi interpretatif menjadi relevan dalam penelitian ini.
Fenomena penghayatan spiritualitas ketuhanan memunculkan berbagai polemik dalam kehidupan manusia. Polemik tersebut ditandai oleh berbagai ragam pemaknaan yang muncul dalam berbagai lapisan sosial kemasyarakatan. Spiritualitas yang sama dimaknai secara berbeda oleh masyarakat yang bermukim di tempat yang berbeda. Contoh klasik adalah spiritualitas monoteisme Yahudi yang amat mitologis, ditafsirkan secara berbeda oleh dua penulis utama Perjanjian Lama yang berhaluan Yahweh dan yang berhaluan Elohim (Armstrong, 2013). Contoh yang lebih modern adalah spiritualisme Islam yang dihayati secara berbeda dalam masyarakat di jazirah Arab (Armstrong, 2003) dan di Jawa (Chodjim, 2013; Chodjim, 2014; Chodjim, 2014; Shashangka, 2014).
Ragam penghayatan spiritualitas sering membawa dampak buruk dalam masyarakat misalnya berupa konflik antar golongan. Konflik antar golongan ini seringkali berangkat dari keyakinan-keyakinan teologis meski dapat dimaknai secara lebih politis. Konflik yang dapat dijumpai bahkan sampai akhir-akhir ini misalnya pertentangan internal kaum muslim yaitu antara kelompok yang berhaluan sunni dan yang berhaluan syiah (muslimedianews.com; nahimunkar.com). Selain itu, konflik dalam skala besar dapat dilihat dalam peristiwa historis seperti perang salib yang dampaknya masih terasa dalam percaturan politik ekonomi antara negara-negara Eropa dan Timur Tengah saat ini (Armstrong, 2001; Armstrong, 2004). Konflik berlatar belakang perbedaan keyakinan spiritual ini dengan demikian menjadi menarik untuk dieksplorasi dalam penelitian ilmiah berbasis fenomenologi interpretatif (Smith, 2013).
Secara khusus dalam penelitian ini, permasalahan spiritual difokuskan model keyakinan atau pemaknaan atas tuhan sendiri atau secara lebih umum disebut sebagai masalah ketuhanan. Paham teisme ini adalah salah satu bagian dari akar masalah diskursus spiritualisme tekstural maupun perilakuan dalam masyarakat atau suatu budaya. Kecenderungan antropoformisme atau nonantropomorfisme tuhan merupakan salah satu wujud konkretnya (Armstrong, 2007; Armstrong, 2013; Armstrong, 2015). Masalah ketuhanan ini secara psikologis lebih dilihat sebagai dampak dari pengalaman-pengalaman manusia dalam memaknai fenomena-fenomena kehidupan misalnya hal-hal mistis (Eliade, 1959; Pals, 2012). Dengan demikian menjadi relevanlah apabila topik ini diangkat dalam penelitian fenomenologi interpretatif ini (Smith, 2013).

B.   Pengalaman Spiritual dalam Pandangan Psikologi
1.      Haluan Psikoanalisis Freudian
Diskursus ketuhanan atau spiritualitas manusia dalam psikoanalisis (Pals, 2012) adalah usaha untuk memahami narasi (pengalaman) kehidupan seseorang. Psikoanalisis freudian ingin menggali narasi kehidupan seseorang misalnya dalam aspek spiritualitas ketuhanan yang diyakini. Spiritualitas ketuhanan merupakan perilaku yang didorong oleh motif-motif masa lalu yang pada umumnya bersifat asadar. Motif-motif inilah yang disebut narasi kehidupan seseorang (Pals, 2012).
Secara sederhana Pals (2012) menjelaskan bahwa kegelisahan Freud tentang spiritual manusia memiliki tujuan yang baik yaitu demi kesehatan psikologis manusia itu sendiri (Strachey & Freud, 1961). Sebagaimana sering dikutip Pals (2012) dalam Strachey & Freud (1961), psikoanalisis ingin membuat semua orang yang masih berspiritualitas ketuhanan menjadi sehat secara psikologi atau menghindari neurotisisme tertentu dengan cara menyadari motif-motif spiritual yang mendasari perilaku spiritual. Orang yang beragama diharapkan menyadari motif-motifnya sehingga agama bukan merupakan ilusi neurotik namun menjadi perwujudan atas kebutuhan-kebutuhan manusia yang murni misalnya untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis.
Freud menjelaskan dalam The Future of an Ilusion (Strachey & Freud, 1961 dalam Pals, 2012) tentang agama atau kecenderungan manusia untuk berspiritualitas sebagai bentuk ilusi murni. Ilusi adalah kepercayaan yang diyakini seseorang untuk mewujudkan cita-cita tertentu. Kepercayaan ini masih bersifat reasonable atau dapat dijelaskan sehingga tidak sama dengan delusi. Contoh kepercayaan ilusif misalnya cita-cita seorang anak untuk menjadi astronot, presiden, maupun dokter. Kepercayaan orang kepada tuhan juga merupakan salah satu bentuk ilusi (Pals, 2012). Delusi berbeda dari ilusi karena dalam delusi kepercayaan orang tidak lagi dapat dijelaskan dengan akal sehat. Contoh delusi adalah kepercayaan bahwa seseorang adalah titisan leluhur yang harus dituhankan, kepercayaan bahwa seseorang merupakan reinkarnasi Napoleon Bonaparte atau bahkan Napoleon Bonaparte itu sendiri, dan lain-lain. Buku Freud The Future of an Ilusion setelah Totem and Taboo ini masih terasa senada. Freud nampaknya ingin menyatakan bahwa agama pada dasarnya adalah delusi karena tidak pernah mampu memberi alasan atau motif-motif yang realistik sehingga dapat difalsifikasi. Secara sangat permisif, Freud juga ingin mengatakan bahwa pemeluk agama atau penghayat spiritualitas tertentu pada dasarnya bersifat neurotik karna kepercayaan deitik cenderung sama dengan khayalan belaka hasil dari konflik-konflik masa kanak-kanak (Pals, 2012).
Kepercaan spiritual lantas tidak jadi kehilangan peminat. Di lain pihak tidak pula dapat dengan mudah dikatakan bahwa Freud mengada-ada dalam berteori. Pointnya adalah bila spiritualitas masih berkembang pada zaman ini, pasti terdapat penjelasan positivistik yang cenderung transenden atas teorema agama freudian. Sisi transendensi psikoanalisa ini dijelaskan lebih lanjut oleh pandangan kaum mistik (Eliade, 2012; Eliade dalam Pals, 2012; Frager, 2014, Armstrong, 2015).
Penghayatan spiritualitas ketuhanan yang lepas dari realita sosial dapat bertendensi untuk menyebabkan neurotisisme. Tendensi gangguan psikologis cenderung terjadi secara teoritik berdasarkan teori kesehatan psikologis freudian (Pals, 2012). Tendensi neurotisisme tidak dapat dibenarkan begitu saja karena dimensi perilaku beragama tidak hanya didorong oleh motif neurotik masa lalu namun juga dapat didorong oleh motif mistik yang lebih transenden (Eliade, 2002; Eliade dalam Pals, 2012).
Tendensi neurotisisme yang dalam hal ini dipandang secara teoritik akan disikapi secara teoritik pula. Penelitian Ellis (1980), Ellison & Levin (1998), dan Ellison, Boardman, Williams, & Jackson (2001) menunjukkan semua kemungkinan. Neurotisisme spiritual dapat terjadi atau tidak terjadi tergantung pada sikap manusia dalam berpsiritualitas. Dengan demikian, tendensi neurotisme dalam beragama atau berpsiritualitas perlu untuk selalu diwaspadai oleh setiap orang terutama yang memutuskan untuk berspiritualitas tertentu. Penyadaran diri atas motif dalam melakukan perilaku spiritual tertentu harus dipastikan sehingga seseorang mengetahui dengan pasti bahwa latar belakang tindakan beragama bukanlah konflik psikologis tertentu namun lebih didorong oleh motif belas kasih murni (Osborne, 2000; Armstrong, 2013). Motif yang kurang disukai oleh kalangan berhaluan psikoanalisis freudian ini akan lebih terakomodasi oleh kalangan psikologi yang berhaluan lebih mistik seperti William James (James, 2015)
2.      Haluan Pengalaman Religius William James
William James cenderung bersih dari pengaruh psikoanalisa yang berkembang pesat di zamannya. Setidaknya, James memiliki perspektif sendiri dalam menyikapi fenomena agama atau kepercayaan spiritual yang sedang gencar ingin dihancurkan oleh kaum anti agama pasca Nietzsche (Tjaya, 2015). James memandang pengalaman religius seseorang secara lebih transenden, kontras bertolak belakang dengan Kant yang cenderung memandang relevansi suatu pengalaman religius sejauh masuk dalam rasio manusia saja (Tjaya, 2015). Demikianlah kesan sepintas yang ditimbulkan. Apabila pendekatan James dikomparasikan dengan pendekatan kaum anti agama (seperti Freud misalnya) dalam memandang fenomena pengalaman religius, maka pada dasarnya akan ditemukan ekuivalensi. Pada dasarnya William James menggunakan bahasa yang lebih halus dan arif dalam menyebutkan terma-terma negatif yang sering dimunculkan kaum anti agama (James, 2015).
Pengalaman religius merupakan fenomena unik yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pengalaman itu harus dipahami, diteliti, dan diperhatikan karena pasti hendak mengatakan sesuatu. Pengalaman religius bisa jadi merupakan pesan atau hasrat manusia yang selama ini terkubur dan tidak direalisasi, keinginan manusia untuk bebas dan bahagia. Pengalaman religius semestinya mendapat jalan, bukannya ditekan dengan berbagai dalih misalnya ilusi dan delusi (Pals, 2012). Secara umum, pengalaman manusia yang bersifat transenden diharapkan dapat menjadi sarana unik bagi manusia untuk memaknai kehidupan. Ada waktu untuk bersikap rasional dan ada waktu untuk bersikap mitologis, adalah hal yang tak dapat terelakkan karena banyak aspek dalam kehidupan manusia yang tidak menemukan jawaban adekuat (James, 2015). Misteri motif pengalaman religius seseorang diharapkan dapat menjadi sudut pandang baru bagi manusia untuk memaknai kehidupan yang pada dasarnya tidak terdapat makna (Prasetyantha, 2015).

C.   Makna Hidup
Makna merupakan penghayatan manusia atas fenomena-fenomena yang secara umum termaktub dalam kata-kata (APA, 2007). Ketuhanan atau spiritualitas juga merupakan salah satu fenomena yang kerap dihayati manusia. Konsep-konsep abstrak tersebut selalu terejawantah terlebih dahulu ke dalam kata-kata sebelum menemukan maknanya. Dengan demikian, usaha penelitian makna merupakan usaha pemahaman atas kompleksitas makna kata-kata yang dihayati seseorang (Danesi, 2011).
Frankl (1963) menjelaskan makna hidup dengan lebih menitikberatkan pada usaha manusia untuk meraih kebahagiaan. Frankl tidak menjelaskan makna itu sendiri. Makna hidup dengan demikian lebih nampak sebagai kebahagiaan itu sendiri. Spiritualisme manusia dalam kacamata Frankl juga terlihat sebagai usaha manusia untuk memaknai hidup. Usaha ini berujung pada pencarian kebahagiaan. Secara lebih sederhana, Frankl ingin mengatakan bahwa tolok ukur keberhasilan manusia dalam memaknai hidup adalah kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri cenderung sangat subyektif. Kebahagiaan sering nampak dalam kepuasan atas perilaku yang telah dilakukan (Frankl, 1963). Kebahagiaan dalam berspiritualitas misalnya, muncul bila manusia mampu memaknai spiritualisme dengan penuh keyakinan. Keyakinan adalah dasar dari keberhasilan pemaknaan hidup. Manusia senantiasa hidup dalam keyakinan-keyakinan atau logo-logo ciptaan kognisi (Frankl, 1963).  

D.   Ketuhanan
1.      Etimologi Ketuhanan
Terma agama, spiritualitas, dan religiusitas dalam penelitian ini menjurus pada perilaku manusia untuk mempercayai hal-hal bersifat religius seperti berdoa, praktik tradisi ritual-ritual, yang pada dasarnya adalah wujud kepercayaan kepada Tuhan beserta atribut-atribut yang dimiliki oleh oknum Tuhan tersebut (Adams, 1995 dalam James & Wells, 2003; Armstrong, 2015). Agama sendiri sering merujuk pada institusi yang mewadahi spiritualitas tertentu. Contoh agama misalnya Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan lain-lain. Dalam konteks Indonesia, agama tradisi disebut sebagai kepercayaan. Contoh kepercayaan adalah Ngesthi Kasampurnan, Umat Pran-soeh (Wasito, 1961),  Kaweruh Hak 101, dan lain-lain (Dwiyanto, 2011).
2.      Konsep Ketuhanan
a.      Ketuhanan Semitik
Ketuhanan semitik merupakan konsep ketuhanan yang dianut bangsa semit di wilayah Timur Tengah yang berbahasa Arab. Konsep ketuhanan ini berakar dari tradisi masyarakat setempat yang kemudian banyak diadaptasi dalam Judaisme atau agama Yahudi. Fromm (2011) menyatakan bahwa konsep ketuhanan semitik tidak memandang Tuhan sebagai apa atau siapa. Tuhan lebih dipandang sebagai manifestasi perbuatan ilahi, bentuk cinta, kerahiman, keadilan, hukuman, dan lain-lain. Demikianlah tradisi semitik dalam berketuhanan yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab agama Yahudi (Fromm, 2011).
Cara memandang Tuhan dalam tradisi semitik menampakkan kemiripan dengan pola umum konsep ketuhanan masyarakat arkais atau masyarakat purba (Eliade dalam Pals, 2012). Kemiripan ini makin samar ketika helenisasi digencarkan oleh Alexander Agung dari Makedonia (Gaarder, 2006). Sampai di sini dapat ditemukanlah dua konsep utama manusia dalam memandang Tuhan yaitu berorientasi pada zat dan nonzat. Tradisi konsep ketuhanan masyarakat arkais yang nonzat digeser oleh tradisi helenisme yang ingin menguak zat Tuhan. Dua kecenderungan ini akan selalu nampak dalam agama-agama (Armstrong, 2015) dan juga tradisi konsep ketuhanan dalam konteks budaya Jawa.
Kelemahan filsafat berketuhanan semitik atau bangsa barat adalah kelalaian untuk memegang semangat utama helenisme. Semangat utama helenisme sebagaimana dinyatakan Heideger (dalam Tjaya, 2015) adalah untuk menggali atau memaknai sang ‘ada’ sendiri. Filsafat ketuhanan barat pasca abad pertengahan atau masa renaisance cenderung disibukkan oleh usaha mencari pengada-pengada sehingga tidak pernah menemukan sang ‘ada’ (Tjaya, 2015). Kelalaian inilah yang sering menjadi dasar rapuh kaum atheis dalam menentang theisme khususnya monotheisme (Armstrong 2013). Pada akhirnya dengan kecenderungan reduksionistik yang tak terelakkan, ‘pengada’ sering menjurus pada akal budi manusia sedangkan sang ‘ada’ senantiasa bersifat transenden dan tak terselami sama sekali. Dengan demikian tak dapat disalahkan apabila teologi teistik masa kini cenderung menganggap bahwa diskursus ketuhanan (misalnya kitab suci) merupakan hasil olah pikir (refleksi akal budi) manusia (Armstrong, 2013; Haryatmoko, 2015; Tjaya, 2015).
b.      Ketuhanan dalam Tradisi Timur
Tradisi ketuhanan timur secara umum cenderung bersifat nonantropomorfis atau tidak berfokus pada pencarian zat atau esensi tuhan. Armstrong (2013) menyebut tradisi timur ini lebih mementingkan kontemplasi dan meditasi dari pada pemikiran logika-logika konstruksi teologi. Ketuhanan dalam tradisi timur dapat ditemukan dalam spiritualitas Hindu, Budha, Taoisme, Konfusianisme, dan lain-lain.
Dalam konteks Indonesia, ketuhanan nampak lebih samar antara kecenderungan condong ke barat atau ke timur. Pengaruh barat dan timur seakan berpadu dalam proses asimilasi yang terjadi selama berabad-abad. Ketuhanan Indonesia sendiri misalnya yang kini dapat dijumpai dalam tradisi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sulit dikatakan sebagai murni Indonesia (atau murni Jawa) karena pengaruh Hindu, Budha (Shashangka, 2015), Islam yang terasa amat kental. Asimilasi spiritual memang tidak dapat dihindarkan dari sifat umum bangsa Indonesia (Jawa) yang cenderung nrima (senang menerim dengan ikhlas hati). Dengan demikian mesti diakui bahwa dalam konteks Indonesia, tradisi ketuhanan merupakan perpaduan antara kecenderungan antropomorfisme barat (terutama dari pengaruh Islam) dan nonantropomorfisme timur (terutama dari pengaruh Hindu dan Budha). Perpaduan inilah yang secara umum membentuk model ketuhanan dalam budaya Indonesia (Jawa) yang selanjutnya sering dikatakan indigenous (asli) padahal belum tentu (Armstrong, 2006; Brahm, 2011 Chodjim, 2013; Chodjim, 2014; Chodjim, 2014; Fudyartanto, 2003; Shashangka, 2015; Subagya, 1976; Warsito, Rasjidi, & Bakry,1973).
Sampai tahap ini, nampaknya tidak penting lagi untuk menegakkan konstruksi model asli spiritualisme suatu bangsa misalnya Indonesia. Bila seseorang tetap ingin mencari model spiritualisme asli suatu bangsa misalnya Indonesia, maka hendaknya merunut sampai ke akar sejarah spiritualitas tanah yang kini disebut Indonesia. Akar sejarah ini pastilah bermula pada era aksial berbudaya arkais dimana masyarakat di tanah yang kini disebut Indonesia masih hidup terasing dan murni dari pengaruh bangsa pendatang (Armstrong, 2007).
3.      Penghayatan Spiritualitas Ketuhanan di Indonesia
a.      Sejarah Singkat
Ajaran spiritual Jawa yang diyakini otentik sebenarnya belum menemukan bukti ilmiah. Salah satu fragmen yang menjelaskan kemungkinan kebenaran otentisitas ajaran spiritual Jawa adalah tumpengan (yang nyaris tidak terdapat dalam budaya lain). Bukti arkeologi tumpengan pun belum diketahui secara pasti (Shashangka, 2015). Pada perkembangan kemudian akan dipahami bahwa otentisitas ajaran spiritual Jawa nampak tidak relevan lagi untuk ditegakkan.
Adapun istilah awal dari ajaran spiritual Jawa adalah Jawadipa (bukan Jawadwipa yang berarti Pulau Jawa). Istilah Jawadipa inilah yang kemudian berkembang menjadi ‘kebatinan’ (tahun 1960an). Istilah kebatinan pada tahun 1980an kemudian berganti menjadi ‘Kapitayan’ serapan dari kata ‘Kepercayaan’. Kepercayaan inilah yang saat ini dikenal secara yuridis sebagai Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Shashangka, 2015).
Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berbeda dengan kejawen. Kejawen adalah perpaduan ajaran Islam sufistik dan Jawa Buda (sinkretis ajaran Siwa, Buddha Mahayana/ Tantrayana, dan Jawadipa). Kejawen inilah yang diprakarsai oleh Wali Sangan terutama Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga (Shashangka, 2015). Ajaran kejawen inilah yang akhirnya sering disebut sebagai Islam abangan (Geertz, 2014).  
b.      Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau agama lokal di Indonesia dilindungi oleh Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun sila pertama Pancasila tersebut terimplementasi dalam Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di bawah Direktorat Binyat Dirjen Kebudayaan Depdikbud RI (Prawirohardjono, 2006). Selain itu, implementasi sila pertama Pancasila juga terwujud dalam jaminan perlindungan hukum warga penghayat sesuai dengan Peraturan Mendagri Nomor 33 Tahun 2013 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan Dilingkungan Kemendagri dan Pemda (Sumikan & Rories, 2013).
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu kearifan lokal agama asli bangsa Indonesia (Riyanto et al, 2015). Agama asli bangsa Indonesia merupakan kepercayaan spiritual yang diyakini memiliki akar otentik dari kebudayaan atau tradisi masyarakat setempat (Soesilo, 2005; Dwiyanto, 2011). Otentisitas ini masih diperdebatkan karena ajaran spiritual lokal Indonesia juga memiliki kemiripan dengan ajaran Islam, Hindu, maupun Buddha (Soesilo, 2005; Chodjim, 2013; Chodjim, 2014; Chodjim, 2014; Warsito, Rasjidi, & Bakry, 1973).
Contoh kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa antara lain Paguyuban Ngesthi Tunggal di Yogyakarta, Budi Utomo di Sleman, Persatuan Warga Sapta Darma di Yogyakarta (Dwiyanto, 2011), Umat Pransoeh di Muntilan (Wasito, 1961), Ngesthi Kasampurnan di Magelang (Prawirohardjono, 2006), Kaweruh Hak 101 di Cilacap (Sumikan & Rories, 2013), dan lain-lain.
c.       Kaweruh Hak 101
Kaweruh Hak 101 merupakan salah satu organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi Kaweruh Hak 101 beralamat di di Jl. Kapiwara RT 001, RW 007, Desa Ayam Alas, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 53282. Komunitas Kaweruh Hak 101 telah terdaftar sebagai Ormas berbadan hukum dengan Akta AHU-221.AH.02.01/2008 Nomor 20.-/04 September 2013 (Sumikan & Rories, 2013).
Kaweruh Hak 101 memiliki dua ajaran pokok ketuhanan yang termaktub dalam sembahyangan sarasehan dan lagu Sabda Palon (Sumikan & Rories, 2013). Ajaran pokok ketuhanan sebagaimana dalam sembahyangan antara lain.
Ajaran pokok ketuhanan sebagaimana dalam lagu Sabda Palon antara lain.
(Sumikan & Rories, 2013)
4.      Solusi Ketuhanan: Kembali Kepada Belas Kasih
Diskursus spiritualitas ketuhanan terutama yang mengambil jalan penelitian ilmiah merupakan aktivitas menarik karena dilatarbelakangi oleh kerinduan untuk mengatasi konflik interpersonal antar manusia yang memiliki keyakinan spiritual berbeda-beda. Studi spiritualitas semacam ini pada umumnya ingin menyodorkan satu pendekatan humanis baru untuk meredam dan mengatasi konflik antar keyakinan yang jamak terjadi dalam masyarakat. Sayangnya, pendekatan psikologi maupun teologi semata ternyata tidak dapat mengatasi konflik antar keyakinan. Masalah ini dikarenakan keragaman sudut pandang penyebab konflik yang tidak melulu terkait masalah psikologi maupun teologi namun dapat jadi bermotif ekonomi dan politik (Armstrong, 2001; Armstrong, 2001; Armstrong, 2004). Couteau (2015) dalam artikel di Kompas Minggu, 25 Oktober 2015 bahkan menyebutkan bahwa motif agama tidak lebih dari sekadar modus dalam memunculkan konflik antar pihak atau golongan.
Akar masalah spiritualitas juga dapat berupa diskursus eksistensial yaitu keberadaan Tuhan. Masalah ini mulai jamak terjadi di Eropa yang nampak mulai amat anti dengan kristianitas yang pada abad pertengahan sempat menggoreskan luka tak tersembuhkan (Armstrong, 2013). Secara lebih holistik, masalah eksistensi tuhan dapat disikapi secara filolosif dengan kembali mengacu pada esensi dari ada itu sendiri. Tjaya (2015) menjelaskan keberadaan tuhan dengan amat baik. Tuhan kiranya melampaui ada itu sendiri. Jika tuhan adalah kasih maka kasih harus sudah ada sebelum ada. Tuhan harus lepas dari persyaratan-persyaratan yang diperlukan manusia untuk berperilaku. Manusia perlu menjadi ada dahulu sebelum berperilaku sedangkan tuhan semestinya tidak memerlukan kondisi ada terlebih dahulu (Tjaya, 2015). Dengan demikian, tuhan tidak perlu ada karena tuhan lebih ada (supreme being) dari pada ada (to be). Penjelasan Tjaya (2015) ini kiranya menjadi pendekatan lebih humanis untuk menjembatani kaum antar kaum pegiat masalah teologis. 
Adapun studi spiritualitas maupun diskusi lintas keyakinan bukanlah usaha untuk mencari titik temu antar perbedaan kepercayaan (misalnya agama). Titik temu tidak akan pernah ada. Perbedaan yang beraneka ragam tidak untuk disatukan namun untuk dihidupkan bersama-sama (Prasetyantha, 2015). Pada akhirnya orang harus mengambil jalan untuk kembali pada belas kasih. Spiritualitas yang baik tentu menyebabkan perkembangan belas kasih antar sesama manusia. Belas kasih yang melampaui sekadar tindak toleransi perlu dilatih agar manusia mampu berperilaku secara humanis di tengah perbedaan yang tak terhindarkan (Armstrong, 2013). Dengan demikian, manusia akan dapat hidup bahagian yang sebenarnya yaitu dapat meninggal dalam damai sejahtera (Brahm, 2011).












E.   Kerangka Berpikir Teoritik


 












Penjelasan:
Fokus penelitian untuk mengeksplorasi fenomena atau pengalaman pemaknaan tuhan pada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 merupakan reduksi fenomenologi agar bidang penelitian tidak terlalu generik. Fokus inilah yang dipakai untuk mendapatkan data penelitian berupa paparan responden melalui proses wawancara. Data wawancara pertama-tama ditranskrip kemudian diberi komentar untuk memudahkan pemahaman konteks pemaknaan responden atau pesan sebenarnya yang ingin disampaikan responden. Komentar ini kemudian digunakan untuk membantu peneliti menarik tema-tema umum atau tema-tema sementara dari tiap paparan atau bagian paparan responden. Tema umum kemudian dikumpulkan secara kronologis lalu disusun secara berkelompok berdasarkan kemiripan tema yang lebih umum (tema utama). Dari sini kemudian tema-tema utama dapat ditarik secara interpretatif. Proses interpretasi kemudian dilanjutkan dalam pembahasan dan diskusi dengan kajian teori yang lebih luas. Tahap akhir dari interpretasi data adalah penarikan kesimpulan untuk masing-masing responden.
F.    Pertanyaan Penelitian
Bagaimana pemaknaan tuhan pada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101?
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.   Jenis Penelitian
Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian ilmiah yang tidak menggunakan metode kuantifikasi numerik untuk memperoleh data kualitatif. Data kualitatif sendiri adalah segala data penelitian ilmiah yang bukan berbentuk kuantitatif numerik (APA, 2007). Dengan demikian, cakupan pendekatan penelitian kualitatif adalah sangat luas. Smith (2008) menggolongkan cakupan pendekatan penelitian kualitatif ini menjadi tujuh pendekatan utama yaitu naratif, fenomenologi, grounded theory, analisis percakapan, analisis diskursus, fokus grup, dan fenomenologi interpretatif.
Studi fenomenologi interpretatif yang baik harus mampu untuk menggambarkan pengalaman seobjektif mungkin berdasarkan kesadaran atau pemaknaan responden yang paling hakiki dalam dimensi pribadi maupun dalam dimensi sosialnya (Smith, 2013; Husserl dalam Tjaya, 2015). Proses pencarian makna responden dalam studi fenomenologi interpretatif ini selalu didasarkan atas interpretasi data oleh peneliti. Dengan demikian peneliti dituntut untuk tidak apriori sehingga subyektifitas peneliti dalam analisis data dapat tereduksi.
Pendekatan fenomenologi interpretatif dipakai dalam penelitian ini karena lebih relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ingin menggali makna dari fenomena atau pengalaman spiritual ketuhanan responden. Kekhasan dari pendekatan fenomenologi interpretatif adalah pada proses interpretasi selama analisis data dan pengkajian hasil penelitian dengan teori yang lebih luas (Smith, 2008; Smith, 2009; Smith, 2013).

B.   Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pemaknaan pengalaman spiritual ketuhanan responden. Eksplorasi ini difokuskan atas cara-cara responden untuk memaknai tuhan yang secara umum lebih tergali melalui paparan spiritualitas ketuhanan. Dalam beberapa konteks, pendefinisian tuhan mungkin nampak terlalu abstrak dan ambigu. Oleh sebab itu, eksplorasi makna tuhan lebih didekati berdasarkan sudut pandang pemaknaan spiritualitas secara umum selama masih terkait dengan ketuhanan. Berdasarkan paparan spiritualitas ketuhanan tersebut, peneliti akan menginterpretasi fokus utama penelitian yaitu makna tuhan itu sendiri.

C.   Sasaran Komunitas Penelitian
1.      Karakteristik Komunitas Penelitian
Responden penelitian adalah dari komunitas yang telah dipilih sebelumnya sebagai sasaran penelitian berdasarkan tujuan penelitian. Komunitas yang dipilih sebagai sasaran melaksanakan penelitian adalah Organisasi Kemasyarakatan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 di Jl. Kapiwara RT 001, RW 007, Desa Ayam Alas, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 53282. Komunitas Kaweruh Hak 101 telah terdaftar sebagai Ormas berbadan hukum dengan Akta AHU-221.AH.02.01/2008 Nomor 20.-/04 September 2013 (Sumikan & Rories, 2013).
Penghayat kepercayaan Kaweruh Hak 101 mengadakan kegiatan rutin berupa sembahyangan dan sarasehan setiap Malam Jumat Manis pukul 07.00 – 24.00 WIB yang bertempat di Padepokan Kaweruh Hak 101, Jl. Kapiwara RT 001, RW 007, Desa Ayam Alas, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 53282. Padepokan ini dapat menampung sampai 50 orang penghayat yang hadir dalam kegiatan sembahyangan dan sarasehan.
Penghayat Kaweruh Hak 101 telah memiliki buku ajaran kepercayaan sendiri. Buku ini berisi tata cara sembahyangan, nota-nota keputusan hukum keorganisasian, dan ajaran kepercayaan dalam lagu Sabdo Palon. Buku ini dipergunakan sebagai pegangan utama penghayat Kaweruh Hak 101 dalam menghayati ajaran Kaweruh Hak 101 sehingga legal secara hukum berdasarkan Peraturan Mendagri No. 33 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan Di Lingkungan Kemendagri dan Pemda (Sumikan & Rories, 2013). Permen ini juga menjadi dasar bagi penghayat Kaweruh Hak 101 untuk mengosongkan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).
2.      Alasan Pemilihan Komunitas Penelitian
Sampel dalam penelitian fenomenologi interpretatif harus berasal dari satu komunitas tertentu. Dalam hal ini, penelitian fenomenologi interpretatif memang cenderung bersifat etnografis dan studi kasus karena ingin mengungkapkan pemaknaan responden dalam dimensi personal dan sosial atas suatu fenomena (Smith, 2013; Creswell, 2014). Dengan demikian pemilihan komunitas sampel dalam penelitian ini dilakukan secara purposif.
Penelitian fenomenologi interpretatif ini mengambil sampel komunitas Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101. Secara teoritik, pemilihan komunitas penghayat kepercayaan dipilih karena organisasi ini masih tergolong kecil dan tidak memiliki kompleksitas teologis sebagaimana dalam agama-agama besar seperti Islam, kristiani, Hindu, maupun Buddha. Kesederhanaan latar belakang teologis organisasi masyarakat yang setara dengan agama ini diharapkan relatif lebih memudahkan proses interpretasi atau analisis data oleh peneliti pemula. Ormas kecil juga dapat menjadi prototipe ekuivalen bagi agama besar dalam hal penghayatan tuhan. Adapun setiap agama besar juga dimulai dari pembentukan sekte kecil (Armstrong, 2015; Haryatmoko, 2015)
Selain itu, komunitas penghayat kepercayaan Kaweruh Hak 101 dipilih karena organisasi ini telah berbadan hukum dan memiliki standar kegiatan organisasi yang pasti. Kaweruh Hak 101 merupakan satu-satunya organisasi penghayat kepercayaan yang berbadan hukum di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan totalitas komitmen penghayat untuk menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara terlepas dari keikutsertaan pada agama-agama besar seperti Islam atau Kristiani. Totalitas ini juga ditunjukkan oleh pengosongan kolom agama dalam KTP. Totalitas ini cenderung tidak dimiliki oleh penghayat kepercayaan lain di luar Kabupaten Cilacap yang secara umum menganggap kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai spiritualitas kedua setelah agama. Dengan demikian, pemilihan Kabupaten Cilacap dikarenakan oleh totalitas penghayat-penghayat kepercayaan secara umum dengan mengosongkan kolom agama dalam KTP sedangkan pemilihan organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 karena Kaweruh Hak 101 merupakan satu-satunya organisasi penghayat kepercayaan yang telah berbadan hukum ( http:// kebudayaan. kemdikbud. go.id/ditpkt /2014/04/10/sejarah- direktorat-pembinaan -kepercayaan- terhadap-tuhan-yme-dan-tradisi/*; Hasil wawancara dan catatan lapangan).

D.   Responden Penelitian
Pemilihan responden penelitian ditetapkan melalui sampling bertujuan. Sampling bertujuan merupakan pemilihan sampel penelitian dengan melihat ciri-ciri pada individu yang memenuhi kriteria sebagai responden untuk penelitian (Herdiansyah, 2010). Syarat menjadi responden dalam penelitian ini adalah mampu bercerita (memaknai) pengalaman ketuhanannya secara otentik baik dalam dimensi personal maupun dimensi komunitas (Smith, 2013) Kaweruh Hak 101. Dengan demikian, responden penelitian dipastikan terdaftar aktif sebagai penghayat kepercayaan Kaweruh Hak 101. Hal ini ditentukan agar penghayat yang menjadi responden penelitian benar-benar memiliki pengalaman spiritual ketuhanan nyata terutama yang bersumber dari pelaksanakan ajaran Kaweruh Hak 101. Dengan demikian responden penelitian adalah dua tetua atau sesepuh Kaweruh Hak 101 yang juga selaku ketua dan sekertaris 1 Kaweruh Hak 101 dan penyusun buku ajaran Kaweruh Hak 101 (Sumikan & Rories, 2013).

E.   Sumber Data
Sumber data utama dari penelitian ini diperoleh dari wawancara semi terstruktur yang dilakukan dengan dua responden penelitian. Wawancara semi terstruktur dilakukan agar penelitian menghasilkan data yang terbuka pada berbagai kemungkinan hal baru yang ingin diungkapkan responden. Selain itu, wawancara semi terstruktur juga dapat menghasilkan data yang lebih mendalam dibandingkan bila menggunakan wawancara terstruktur yang cenderung kaku (Smith, 2013). Pada dasarnya peneliti menyiapkan daftar pertanyaan untuk memandu proses wawancara. Namun demikian daftar itu tidak digunakan secara kaku. Peneliti lebih fleksibel dalam mengikuti arah pembicaraan dengan responden. Adapun responden pada dasarnya juga dibebaskan untuk mengarahkan pembicaraan selama masih ada dalam konteks tujuan penelitian (Smith, 2013).
Sumber data lain adalah observasi lapangan yang dilakukan sebelum, selama, dan sesudah wawancara. Observasi juga menghasilkan catatan lapangan dari kegiatan sembahyangan dan sarasehan Malam Jumat Manis di Padepokan Kaweruh Hak 101. Adapun buku ajaran Kaweruh Hak 101 (Sumikan & Rories, 2013) juga menjadi sumber data tambahan yang berguna untuk mengetahui tata cara sembahyangan dan point-point ajaran Kaweruh Hak 101. Data-data sekunder ini tidak diikutsertakan dalam proses interpretasi analisis data. Data-data sekunder ini dicadangkan dengan kemungkinan akan bermanfaat dalam proses diskusi setelah pembahasan pada Bab IV.

F.    Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian bersifat semi observatoris. Di luar wawancara peneliti juga menghadiri sembahyangan dan sarasehan Malam Jumat Manis yang diselenggarakan penghayat Kaweruh Hak 101. Kehadiran peneliti ini diharapkan dapat semakin memperkaya pemahaman atas pengalaman dan motif-motif spiritual responden. Kehadiran peneliti dalam sembahyangan dan sarasehan juga akan meningkatkan pemahaman atas konteks sosial budaya lokasi penelitian yaitu tradisi spiritual dan kehidupan sehari-hari adat Banyumasan.

G.  Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pencatatan lapangan dan perekaman wawancara mendalam tak terstruktur dengan bantuan daftar pertanyaan terbuka berdasarkan fokus penelitian. Wawancara mendalam merupakan usaha eksplorasi pengalaman spiritual responden dengan cara menggali pemaknaan responden yang paling primer (Moore dalam Suseno, 2006). Upaya menggali makna primern ini juga menggunakan prinsip berpikir kritis yaitu selalu mengejar maksud-maksud penjelasan subyek yang belum jelas (Moore & Parker, 1986).





Tabel. 1
Daftar Pertanyaan Wawancara
________________________________________________________________________
No                                           Pertanyaan Wawancara
________________________________________________________________________
1.               Dapatkah anda ceritakan dasar atau inti ajaran Kaweruh Hak 101?
2.               Bagaimanakah pengalaman anda dalam menghayati ajaran Kaweruh Hak 101?
3.               Pengalaman apa yang paling berkesan?
4.               Apakah makna dari pengalaman tersebut?
5.               Mengapa anda akhirnya memutuskan untuk menghayati Kaweruh Hak 101?
6.               Apakah ada pengalaman duka terkait dengan penghayatan Kaweruh Hak 101?
7.               Apakah ada masalah dalam penghayatan Kaweruh Hak 101?
8.               Bagaimana anda memecahkan masalah tersebut?
9.               Bagaimanakah gambaran tuhan dalam Kaweruh Hak 101?
10.           Apakah ketuhanan Yang Maha Esa itu?
11.           Bagaimana cara anda menghayati Tuhan Yang Maha Esa?
12.           Apa pendapat anda tentang politik di Indonesia akhir-akhir ini?

Tahapan wawancara:
1.      Mengikuti acara sembahyangan dan sarasehan Kaweruh Hak 101.
2.      Mencari dan menghubungi responden berdasarkan sampling bertujuan.
3.      Mengenal responden lebih jauh dengan berkunjung (raport).
4.      Melakukan wawancara utama dengan meminta ijin untuk merekam suara. Adapun informed concent atau ijin dilakukan secara lisan untuk benar-benar menganonimkan responden penelitian.

Keterangan:
Pengambilan data dilakukan sebanya tiga kali. Wawancara pertama dilakukan setelah kunjungan pertama (raport). Pengambilan data pertama ini bertujuan untuk eksplorasi pengalaman responden secara lebih bebas. Dua kali pengambilan data yang selanjutnya mulai difokuskan pada pengalaman penghayatan responden atas spiritualitas ketuhanan dalam Kaweruh Hak 101. Adapun wawancara dilakukan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (Jogja-Banyumasan) secara campur. Peneliti juga tidak terpaku pada daftar pertanyaan yang telah dibuat. Wawancara dibawa mengalir seperti percakapan antara guru dan murid dengan peneliti menempatkan diri sebagai murid. Wawancara direkam dengan digital recorder dari ponsel.

H.  Metode Analisis Data
Tujuan utama analisis data kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif adalah untuk memahami dan mendeskripsikan (mengeksplorasi) pemaknaan responden atas pengalamannya yang dalam hal ini adalah seputar penghayatan spiritualitas ketuhanan dalam Kaweruh Hak 101. Adapun proses analisis data adalah sebagai berikut (Smith, 2013):
1.      Melakukan transkrip wawancara dan catatan lapangan.
2.      Membaca transkrip secara berulang-ulang sampai memahami konteks pemaknaan responden.
3.      Menuliskan komentar atau hal-hal yang menarik dan signifikan dari paparan responden. Komentar juga dapat berisi saduran paparan responden secara lebih generik maupun interpretasi tematik pendahuluan. Adapun komentar dituliskan di kolom sebelah kiri transkrip.
4.      Menentukan tema-tema umum yang muncul dalam transkrip wawancara. Tema merupakan bentuk sintesa dari komentar secara lebih generik. Kemiripan tema mungkin terjadi sepanjang analisis tematik. Penulisan tema yang mirip tidak perlu memperhatikan kesamaan kata-kata yang dipakai karena akan dilakukan pengelompokan tema pada tahap analisis data selanjutnya. Frekuensi kemunculan tema yang sama juga tidak menandakan lebih kuatnya makna tertentu dibandingkan dengan makna lain yang memiliki frekuensi kemunculan tema yang lebih sedikit. Dengan demikian penulisan tema-tema umum tetap berpegang pada interpretaasi makna responden pada bagian transkrip terkait.
5.      Menuliskan daftar tema-tema yang muncul dalam tabel tersendiri. Tema-tema ini dituliskan secara kronologis. Penulisan daftar tema secara kronologis ini akan memudahkan proses analisis data selanjutnya yaitu untuk menemukan tema utama.
6.      Menuliskan pengelompokan tema-tema dalam tabel tersendiri. Tema yang dikelompokkan adalah tema yang telah dituliskan dalam daftar tema secara kronologis. Pengelompokan tema dilakukan berdasarkan kemiripan tema utama yang melandasi beberapa tema. Pengelompokan tema ini akan memudahkan peneliti untuk menarik tema utama.
7.      Menuliskan tema utama pada tabel tersendiri. Tema utama inilah yang ditarik dari tema-tema yang sebelumnya telah dikelompokkan. Dalam satu kelompok tema mungkin akan ditemukan lebih dari satu tema utama. Adapun dalam tabel yang sama juga disertakan identifier berupa keterangan baris dan halaman di mana tema-tema ditemukan dalam transkrip. Selain itu juga dituliskan kata-kata kunci untuk masing-masing tema. Penulisan identifier bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan pembahasan hasil penelitian yang senantiasa memerlukan bukti-bukti paparan responden dalam transkrip.
8.      Melakukan analisis data interpretatif dengan metode yang sama untuk responden 2.
9.      Menuliskan pembahasan dengan menguraikan kembali tema-tema utama yang muncul. Pembahasan tuliskan secara deskriptif atau naratif tanpa tabel. Teknik yang dipakai dalam pembahasan masih berupa interpretasi makna-makna tema utama. Pembahasan ini memuat dinamika antar tema dalam tema utama maupun antar tema utama. Pembahasan masing-masing responden dituliskan secara terpisah.
10.  Menuliskan diskusi penelitian secara deskriptif atau naratif tanpa tabel. Diskusi berisi kajian teoritik hasil pembahasan dengan teori-teori yang lebih luas sebagaimana telah dituliskan dalam kajian teori. Teknik interpretatif masih dipakai dalam diskusi ini. Adapun kedalaman penelitian akan sangat ditentukan oleh sejauh mana diskusi akan membicarakan kajian teoritik atas pembahasan penelitian. Diskusi penelitian masing-masing responden dituliskan secara terpisah.
11.  Perbandingan analisis pembahasan dan diskusi kajian teoritik antar responden. Perbandingan makna antar responden bermanfaat untuk memperkaya interpretasi dalam diskusi meski tidak akan mempengaruhi kesimpulan penelitian. Pendekatan fenomenologi interpretatif sebenarnya tidak mengharuskan adanya perbandingan makna antar responden. Namun demikian hal ini tetap dapat dilakukan untuk memperluas sudut pandang makna-makna pengalaman responden meski tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi.
I.      Kualitas Riset Kualitatif
1.      Kajian Teoritis tentang Kualitas Riset Kualitatif
Paradigma filosofis keabsahan data dalam penelitian kualitatif tidak sama dengan paradigma filosofis keabsahan data yang dipakai dalam penelitian kuantitatif. Kajian keabsahan data ini membuat kecenderungan munculnya dua istilah yaitu validitas dan reliabilitas. Dua kata tersebut lebih identik dengan penelitian kuantitatif karena menuntut uji kualitas riset secara numerik pasca riset kualitatif selesai dijalankan. Prinsip ini jauh berbeda dengan uji kualitas riset kualitatif yang dilakukan secara deskriptif berdasarkan proses pengerjaan penelitian dari awal hingga akhir. Prinsip uji kualitas riset kualitatif ini pada dasarnya dilakukan peneliti sejak awal penelitian sebagai pedoman tindakan riset yang harus selalu dijalankan. Dengan demikian istilah keabsahan data yang dipakai dalam penelitian kualitatif yang secara prinsip filosofis ekuivalen dengan validitas dan reliabilitas adalah kualitas riset kualitatif  (Smith, 2013).
Prinsip umum metode penegakan kualitas riset kualitatif adalah kejelasan prosedural dan generalisasi prosedur. Metode penegakan kualitas riset kualitatif yang baik harus terjabarkan secara jelas secara prosedural. Prosedur yang jelas ini juga harus dapat dijalankan untuk seluruh pendekatan riset kualitatif (generalisasi prosedur). Prinsip umum metode penegakan kualitas riset kualitatif tersebut terwujud dalam prosedur (validasi) sebagai berikut: memperhatikan kepekaan terhadap konteks, komitmen, keketatan, transparansi, koherensi, dampak & arti penting, audit independen (Smith, 2013).
2.      Kepekaan Terhadap Konteks
Penelitian kualitatif menjadi berkualitas, absah, dan ilmiah apabila peneliti peka terhadap beberapa koteks dalam penelitian. Kepekaan terhadap konteks merupakan usaha penegakan kualitas riset kualitatif yang dalam penelitian ini dilakukan sejak awal oleh peneliti dengan cara (Smith, 2013):
2.1.   Peka terhadap konteks kajian pustaka. Peneliti melakukan kajian pustaka mendalam untuk menarik topik penelitian dan mengangkatnya dalam proposal penelitian. Kajian pustaka didalami dan terus diperbaharui sepanjang proses penelitian apabila peneliti menemukan hal-hal baru yang relevan dengan topik penelitian. Penguasaan kajian pustaka ini nanti akan dibuktikan dalam penulisan subbab diskusi pada bab IV. Creswell (2014) menyebut prosedur ini sebagai trianggulasi teoritik. Dengan kepekaan (menguasai) kajian teori yang mendalam, peneliti akan dapat membuat diskusi yang kritis, terbuka atas berbagai sudut pandang, mendalam, adekuat, namun tetap membuka kemungkinan terhadap falsifikasi.
2.2.   Peka terhadap metodologi penelitian yang dipakai. Peneliti mendalami metodologi penelitian yang dipakai yaitu riset kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif. Pemahaman mendalam atas metolodogi akan membuat konsistensi penulisan penelitian berdasarkan standar ilmiah penulisan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan para ahli. Dengan ini penelitian kualitatif akan dikatakan ilmiah karena disamping landasan keyakinan filosofis melalui kajian pustaka, juga dilandasai oleh prosedur yang telah mapan.
2.3.   Peka terhadap data lapangan. Peneliti mendalami data lapangan yang didapat dan membacanya berulang-ulang. Pendalaman atas data riset akan membuat peneliti makin mampu untuk menangkap pemaknaan responden seobjektif mungkin. Dengan ini proses interpretasi akan dilakukan secara profesional tanpa pengaruh keberpihakan filosofis pribadi peneliti yang terlalu ekstrem.
2.4.   Peka terhadap konteks lapangan. Peneliti memahami konteks situasi dan kondisi lapangan di mana penelitian dijalankan. Pemahaman ini diperjuangkan peneliti dengan menghadiri acara sembahyangan dan sarasehan Kaweruh Hak 101 sebelum memulai riset dan setiap sebelum pengambilan data. Pemahaman atas konteks lapangan juga diusahakan peneliti dengan cara melakukan wawancara tak terstruktur secara langsung dengan mendatangi kediaman responden. Kehadiran peneliti seperti ini akan lebih membawa pemahaman atas kondisi lapangan dari pada melakukan wawancara melalui ponsel. Kepekaan terhadap konteks lapangan juga telah terwujud dalam rupa pengangkatan peneliti sebagai anggota tidak tetap Ormas Kaweruh Hak 101 dan kontribusi peneliti dalam pencetakan buku ajaran Kaweruh Hak 101 Jilid 2. Kepekaan terhadap konteks lapangan juga dapat dilihat dalam paparan responden 2 yang berani mengungkapkan beberapa hal ihwal yang sebenarnya rahasia. Hal ini menandakan bahwa kehadian peneliti telah disikapi secara nyaman.
2.5.   Peka untuk menuliskan bukti transkrip yang dirasa perlu untuk mendukung dinamika pembahasan. Penulisan bukti transkrip dalam pembahasan akan memberi legitimasi atas dinamika interpretasi yang dilakukan.
3.      Komitmen, Keketatan, Transparansi, dan Koherensi
3.1.   Komitmen merupakan usaha menegakkan kualitas riset kualitatif yang dilakukan dengan konsistensi untuk menggunakan satu pendekatan penelitian yang dalam hal ini fenomenologi interpretatif. Komintmen ini dapat dilihat dalam analisis data yang menggunakan prosedur analisis data fenomenologi interpretatif dan bukan prosedur pendekatan penelitian kualitatif lain. Kepekaan terhadap konteks lapangan juga dianggap sebagai wujud komitmen dalam melakukan penelitian (Smith, 2013).
3.2.   Keketatan merupakan usaha menegakkan kualitas riset kualitatif yang dilakukan dengan memastikan kelengkapan pelaksanaan prosedur penelitian dari awal hingga akhir termasuk kelengkapan berkas laporan penelitian. Keketatan juga dilakukan peneliti dengan memastikan bahwa sampel yang dipilih telah relevan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian, sampling purposif merupakan salah satu wujud keketatan (Smith, 2013).
3.3.   Transparansi merupakan usaha menegakkan kualitas riset kualitatif yang dilakukan dengan penyajian laporan penelitian secara transparan yaitu tanpa ada data yang ditutup-tutupi karena kredibilitas etika anonimitas bank data yang tak diragukan lagi. Bank data dalam hal ini adalah institusi di mana peneliti akan memberikan hasil penelitian yaitu Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Transparansi akan dapat dilihat dari kelengkapan berkas laporan penelitian ini baik secara hard copy maupun soft copy sehingga memudahkan berbagai pihak yang akan melakukan evaluasi atas penelitian ini (Smith, 2013).
3.4.   Koherensi merupakan usaha menegakkan kualitas riset kualitatif yang dilakukan dengan memastikan bahwa topik dan pendekatan penelitian ini ditentukan berdasarkan kegelisahan peneliti atau asumsi dan keyakinan filosofis peneliti (Smith, 2013; Creswell, 2014). Koherensi juga ditunjukkan oleh alur penulisan laporan penelitian ini yang logis dan koheren mulai dari judul sampai pada kesimpulan (Smith, 2013).
4.      Dampak dan Arti Penting
Riset kualitatif yang absah, ilmiah, dan berkualitas adalah riset yang mampu menunjukkan dampak dan arti penting hasil penelitian bagi masyarakat luas. Riset harus bermanfaat dan sebisamungkin dapat mengemukakan hal baru secara teoritik (Smith, 2013). Adapun manfaat penelitian telah dituliskan dalam Bab I. Secara lebih praktis lagi, peneliti juga mengusahakan dampak dan arti penting penelitian ini dengan cara mempublikasikan proses penelitian (secara bertahap), gagasan filosofis baru berdasarkan penelitian ini, dan hasil penelitian secara tekstural melalui blog pribadi yaitu mbahdam.blogspot.com. Selain itu, usaha publikasi juga dilakukan secara audiovisual melalui channel youtube pribadi peneliti yaitu Surat Mbah Dam. Dengan demikian secara praktis peneliti dapat semakin berharap bahwa penelitian ini akan berdampak penting bagi perubahan sosial secara luas misalnya perubahan cara berpikir secara lebih filosofis dan meninggalkan kecenderungan katanya & pokoknya (url blog dan youtube akan disertakan)
5.      Audit Independen
Audit independen merupakan uji kualitas riset kualitatif yang dilakukan oleh tim audit independen yang tidak melakukan riset kualitatif (Smith, 2013). Dalam konteks penelitian ini, audit independen dilakukan oleh tim penguji dalam ujian pendadaran. Adapun kontribusi peneliti untuk meningkatkan kualitas riset dengan demikian dilakukan dengan menyediakan laporan penelitian sebaik mungkin berdasarkan kriteria kepekaan terhadap konteks, komitmen, keketatan, transparansi, koherensi, dampak, dan arti penting sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya. Seluruh manuskrip proses penelitian dari awal hingga akhir juga akan disertakan (dalam soft copy) sehingga tim audit independen dapat memeriksa perkembangan revisi dari proposal penelitian hingga kesimpulan akhir.



BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A.   Pelaksanaan Penelitian
1.      Konteks Lapangan
Penelitian ini mengambil responden dari komunitas Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 di Jl. Kapiwara RT 001, RW 007, Desa Ayam Alas, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 53282. Komunitas Kaweruh Hak 101 yang telah terdaftar sebagai Ormas berbadan hukum dengan Akta AHU-221.AH.02.01/2008 Nomor 20.-/04 September 2013 (Sumikan & Rories, 2013). Latar belakang budaya komunitas ini adalah Jawa Banyumasan. Komunitas juga melakukan kegiatan rutin berupa sembahyangan dan sarasehan yaitu tiap malam Jumat Manis di tempat yang sama.
Konteks spiritual masyarakat Cilacap cenderung beragam meski masih bersifat agraris. Ragam ditunjukkan oleh banyaknya komunitas penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di samping agama-agama besar yang telah mapan seperti Islam, Budha, dan Kristiani. Cukup disayangkan, organisasi penghayat kepercayaan yang telah berbadan hukum resmi baru Kaweruh Hak 101 di tengah puluhan organisasi lain yang tersebar secara sporadis. Semangat agraris ditunjukkan oleh komitmen untuk mengosongkan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang menandakan totalitas diri sebagai penghayat. Sisi buruk dari semangat agraris ini adalah fundamentalisme atau militanisme yang muncul pada beberapa organisasi penghayat yang belum berbadan hukum. Fanatisme tersebut misalnya ditunjukkan oleh adanya organisasi penghayat tertentu yang mendiskriminasi warga yang tidak tergabung dalam kepenghayatan misalnya karena masih memegang teguh agama konvensional.
Secara holistik, dilaporkan oleh beberapa orang dalam pengamatan lapangan yang dilakukan peneliti, isu toleransi cenderung terjadi secara sporadis. Terdapat daerah yang memegang teguh semangat toleransi namun juga ada daerah yang kurang toleran. Salah satu penghayat Kaweruh Hak 101 juga pernah menjadi dampak intoleransi dari kaum mayoritas Islam. Sebaliknya, di alamat padepokan Kaweruh Hak 101 sendiri tercipta toleransi yang baik antar warga penghayat dan agama.
2.      Profil Responden
a.       Responden 1
Responden pertama adalah salah satu sesepuh atau yang dituakan dalam komunitas Kaweruh Hak 101. Responden 1 beralamat di Desa Glempang Pasir, Kec. Adipala, Kab. Cilacap, Jawa Tengah. Profesi responden 1 adalah petani sekaligus pedagang makanan. Responden 1 adalah lulusan SLTP, berusia 46 tahun, telah menikah, dan memiliki tiga orang anak. Istri bekerja sebagai TKI di luar negri.
Responden 1 adalah orang yang sangat ramah dan antusias dalam menjawab setiap pertanyaan peneliti. Responden 1 senang sekali bercerita sampai sering sulit untuk disela peneliti yang ingin beralih topik. Responden 1 juga orang yang memiliki disiplin spiritual misalnya dilihat dari cara berpakaian yang dilengkapi dengan ikat kepala, atribut-atribut rumah yang kental dengan suasana spiritualitas Jawa, dan pemakaian bahasa Jawaa halus yang sangat baik.
b.      Responden 2
Responden kedua adalah sesepuh utama dalam komunitas Kaweruh Hak 101 karena merupakan ahli waris pendiri yang dahulu masih bernama Kaweruh Hak saja. Responden 2 bermukim di Jl. Kapiwara RT 001, RW 007, Desa Ayam Alas, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yaitu di depan sanggar pertemuan atau padepokan Kaweruh Hak 101. Sehari-hari, responden 2 berprofesi sebagai petani dan supir mobil bila sedang ada job. Pendidikan terakhir responden 2 yang kini berusia 49 tahun adalah SLTP. Responden 2 juga telah menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Istri bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Sebagai tuan rumah dan ahli waris organisasi, responden 2 dikenal sangat ramah dan selalu senang menerima tamu. Keluarga responden 2 senang menyediakan makanan alakadarnya pada setiap tamu. Tamu sering hadir untuk meminta nasihat spiritual maupun penyembuhan-penyembuhan alternatif dengan metode spiritual. Responden 2 nampak memiliki kekuatan adialami yang enggan dinyatakannya. Responden 2 hanya ingin berbagi dan tidak ingin sombong dengan kemampuan yang dimiliki. Responden 2 memang terkesan memiliki daya magi yang membuat tiap tamu merasa sudah diketahui maksud kehadirannya. Namun demikian, peneliti sendiri merasa nyaman dengan responden 2 yang tidak cenderung intimidatif.
Responden 2 sangat kooperatif selama proses wawancara dengan peneliti. Antusiasme terkadang sampai beberapa kali membuat nafas responden 2 tidak teratur. Mungkin responden 2 memiliki penyakit asma atau sesak nafas. Paparan responden 2 tergolong cepat hingga terkadang sulit dipahami karena logat Banyumasan yang jauh lebih kental dari pada responden 1. Ketika menjawab pertanyaan wawancara dengan bahasa Indonesiapun, logat Banyumasan responden 2 masih amat kental. Namun demikian, intonasi suara responden 2 tergolong sangat baik.
3.      Pelaksanaan Wawancara

Tabel. 2
Pelaksanaan Wawancara
_____________________________________________________________________
Responden                                                Waktu                                     Lokasi
_____________________________________________________________________
1                            17 April 2015/ 07.30 – 10.30 WIB        Rumah Responden 1
                              23 Mei 2015/ 07.45 – 10.45 WIB          Rumah Responden 1
                              26 Juni 2015/ 07.15 – 11.15 WIB          Rumah Responden 1
2                            17 April 2015/ 18.00 – 20.00 WIB        Rumah Responden 2
                              23 Mei 2015/ 18.00 – 20.00 WIB          Rumah Responden 2
                              26 Juni 2015/ 18.00 – 20.00 WIB          Rumah Responden 2

B.   Hasil Penelitian
1.      Responden 1
a.                               Tema Kronologis
Tema-tema yang muncul dalam transkrip wawancara responden 1 disajikan secara kronologis dalam tabel berikut:
           
b.                              Pengelompokan Tema
Tema-tema yang muncul secara kronologis dalam transkrip wawancara responden 1 kemudian disajikan secara berkelompok berdasarkan kemiripan tema yang lebih generik (tema utama). Kluster tema disajikan dalam tabel berikut:

c.                               Analisis Tema Utama
Tema-tema utama yang dapat ditarik berdasarkan kluster tema responden 1 disajikan dalam tabel berikut:

2.      Responden 2
a.       Tema Kronologis
Tema-tema yang muncul dalam transkrip wawancara responden 2 disajikan secara kronologis dalam tabel berikut:

b.      Pengelompokan Tema
Tema-tema yang muncul secara kronologis dalam transkrip wawancara responden 2 kemudian disajikan secara berkelompok berdasarkan kemiripan tema yang lebih generik (tema utama). Kluster tema disajikan dalam tabel berikut:

c.       Analisis Tema Utama
Tema-tema utama yang dapat ditarik berdasarkan kluster tema responden 1 disajikan dalam tabel berikut:


C.   Pembahasan
1.      Interpretasi Tematik Responden 1

2.      Interpretasi Tematik Responden 2
D.   Diskusi
1.      Diskusi Teoritik Responden 1

2.      Diskusi Teoritik Responden 2


E.   Perbandingan Antar Responden
1.      Perbandingan Pembahasan Tematik

2.      Perbandingan Diskusi Teoritik






BAB V
KESIMPULAN

A.   Kesimpulan
B.   Analisis Falsifikasi Penelitian
C.   Saran Penelitian Selanjutnya






DAFTAR PUSTAKA


(daftar pustaka yang berikutnya sudah memakai standar APA)

            Abt, L. A., & Bellak, L. (1959). Projective Psychology, Clinicall Approaches to the Total Personality. New York: Grove Press.

Achenbach, T. M. (1974). Developmental Psychopathology. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Al-Quran Sahabat. Klaten: CV. Sahabat.

Ahmadi, R. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Anderson, B. R. O. (2003). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

APA. (2007). APA Dictionary of Psychology. Washington: APA.

Armstrong, K. (2001). The Battle for God. USA: The Ballantine Book.

Armstrong, K. (2003). Melintas Gerbang Sempit: Kisah Biarawati, Autobiografi Spiritual. Surabaya: Pustaka Promethea.

Armstrong, K. (2003). Islam: Sejarang Singkat. Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Armstrong, K. (2004). Berperang Demi Tuhan. Jakarta: Serambi.

Armstrong, K. (2006). Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.

Armstrong, K. (2007). The Great Transformation Awal Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.

Armstrong, K. (2013). Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih. Bandung: Mizan.

Armstrong, K. (2013). Masa Depan Tuhan. Bandung: Mizan.

Armstrong, K. (2013). Sejarah Alkitab. Bandung: Mizan.

Armstrong, K. (2015). Sejarah Tuhan, Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia. Bandung: Mizan.

Barbour, I. (2002). Juru Bicara Tuhan. Bandung: Mizan.

Baumgardner, S. R., & Crothers, M. K. (2009). Positive Psychology. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Bellak, L., & Abrams, D. M. (1997). The Thematic Apperception Test, The Children’s Apperception Test, and The Senior Apperception Technique in Clinical Use. USA: Allyn and Bacon.

Bjork, E. L., & Bjork, R. A. (1996). Memory: Handbook of Perception and Cognition second edition. USA: Academic Press, Inc.

Bloom, P. (2005). Is God an Accident?. The Atlantic Monthly, December 2005.

Boeving, N. G. (2010). Spiritualism. Dalam Leeming, D. A., Madden, K., & Marlan, S. (2010). Encyclopedia of Psychology and Religion. USA: Springer Science.

Bonelli, R. M., & Koenig, H. G. (2013). Mental Disorders, Religion and Spirituality 1990 to 2010: A Systematic Evidence-Based Review. Journal of J Relig Health (2013) 52:657–673 DOI 10.1007/s10943-013-9691-4. New York: Springer Science+Business Media.

Brahm, A. (2011). Hidup Senang Mati Tenang. Tangerang: Ehipassiko.

Brill, A. A. (1938). The Basic Writings Of Sigmund Freud. New York: Random House, Inc.

Carey, P. (1974). The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java Pangeran Diponegoro, a case study. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Carey, P. (1986). Asal-Usul Perang Jawa Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh. Jakarta: Pustaka Azet.

Carey, P. (1986). Ekologi Kebudayaan Jawa. Jakarta: Pustaka Azet.

Chodjim, A. (2014). Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Chodjim, A. (2014). Syekh Siti Jenar Makna Kematian. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Chodjim, A. (2013).  Syekh Siti Jenar Makrifat Kesunyataan 1. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Chow, R. K. (2005). Life’s Quest For Spiritual Well-Being: A Holistic and Gerontological Nurse Perspective. Unboundmedicine Imprint Journal Sep-Oct;52(4):80-3. PMID:16294647.

Coelho, P. (2014). Seperti Sungai yang Mengalir. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Couteau, J. (2015). Semoga Belum Terlambat. Artikel Kompas Minggu, 25 Oktober 2015 hlmn. 13.

Crapps, R. W. (1993). Dialog Psikologi dan Agama Sejak William James hingga Gordon W. Allport. Yogyakarta: Kanisius.

Creswell, J. W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Ed. 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih Di Antara Lima Pendekatan ed. 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dagun, S. M. (2006). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan edisi kedua. Jakarta: Golo Riwu.

Damasio, A. (2009). Memahami Kerja Otak. Yogyakarta: Penerbit BACA!.

Danesi, M. (2011). Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Dawkins, R. (2006). The God Delution. UK: Bantam Books.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Descartes, R. (1995). Risalah Tentang Metode. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dhakidae, D., Witdarmono, H., & Santoso, F. H. (2001). Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jakarta: Buku Kompas.

Dwiyanto, D. (2011). Bangkitnya Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. Yogyakarta: Ampera Utama.

Echols, J. M., & Shadily, H. (2000). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Jakarta.

Eliade, M. (1959). The Sacred and the Profane: the Nature Religion. New York: Harcourt, Bracean Company.

Eliade, M. (2002). Mitos: Gerak Kembali Yang Abadi Kosmos Dan Sejarah. Yogyakarta: Ikon Teralitera.

Ellis, A. (1980). “Psychotherapy and Atheistic Values: A Response to A.E. Bergin’s ‘Psychotherapy and Religious Values.’ Journal of Consulting and Clinical Psychology 48:635-39.

Ellison, C. G., & Levin, J. S. (1998). “The Religion-Health Connection: Evidence, Theory, and Future Directions.” Health Education and Behavior 25:700-720.

Ellison, C. G., Boardman, J. D., Williams, D. R., & Jackson, J. S. (2001). Religious Involvement, Stress, and Mental Health: Findings from the 1995 Detroit Area Study. Social Forces, September 2001, 80(1):215-249 The University of North Carolina Press.

Endraswara, S. (2010). Etika Kebijaksanaan Dalam Ajaran Budi Pekerti Luhur Penghayat Kepercayaan Kejawen. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 1, Juli 2010: 1-10.

Endraswara, S., Pujiharto., Taum, Y. Y., Widayat, A., & Santosa, E. (2013). Folklore dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern: Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Foucault, M. (1999). Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault. Jogjakarta: Jalasutra.

Frager, R. (2014). Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh. Jakarta: Penerbit Zaman.

Frankl, V. E. (1963). Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy. London: Hodder and Stougton.

Freud, S. (2002). Civilization and Its Discontents: Peradaban dan Kekecewaan-Kekecewaan. Yogyakarta: Jendela.

Freud, S. (2002). Psikoanalisis Sigmund Freud. Yogyakarta: Ikon Teralitera.

Freud, S. (2002). Totem dan Tabu. Yogyakarta: Jendela.

Freud, S. (2010). Cinta yang Menyimpang. Surabaya: Portico Publishing.

Fromm, E. (2011). Manusia Menjadi Tuhan. Yogyakarta: Jalasutra.

Fudyartanto, K. (2003). Psikologi Kepribadian Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gaarder, J. (2006). Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan.

Geertz, C. (2014). Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Hamilton, E. (1942). Mithology. New York: Mentor Books.

Haq, M. Z. (2011). Jalaluddin Rumi: Terbang Menuju Keabadian Cinta Hingga Makna di Balik Kisah. Bantul: Kreasi Wacana Offset.

Harris, S. (2005). The End of Faith. USA: W.W. Norton & Company, Inc.

Harris, S. (2006). Letter to a Christian Nation. USA: Personal Essay.

Haught, J. (1995). Science & Religion from Conflict to Conversation. USA: Paulist Press.

Hawking, S., & Mlodinow, L.  (2010). The Grand Design. New York: Random House, Inc. Dipungut dari www.qiraat.net/.

Heridiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta Selatan: Penerbit Salemba Humanika.

Herusatoto, B. (2012). Mitologi Jawa. Depok: Oncor Semesta Ilmu.

Hitchens, C. (2007). God is not Great. USA: Twelve Books.

Huffman, K., Vernoy, M., & Vernoy, J. (2000). Psychology in Action 5th ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Idler, E. (2008). The Psychological and Physical Benefits of Spiritual/Religious Practices. Article of Spirituality in Higher Education Newsletter Vol. 4, Issue 2.

Irmawati. Pemberdayaan kearifan lokal melalui pendekatan psikologi ulayat untuk pembangunan bangsa. Pidato  Pengukuhan Jabatan Guru Besar Kampus USU, 20 September 2008.
Isaccson, W. (2013). Einstein: Kehidupan dan Pengaruhnya Bagi Dunia. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Ivtzan, I., Chan, C. P. L., Gardner, H. E., & Prashar, K. (2011). Linking Religion and Spirituality with Psychological Well-being: Examining Self-actualisation, Meaning in Life, and Personal Growth Initiative. Springer Journal of Religion and Health ISSN 0022-4197 DOI 10.1007/s10943-011-9540-2.

Jalil, A. (2013). Spiritual Enterpreneurship Transformasi Spiritualitas Kewirausahaan. Yogyakarta: Penerbit LkiS.

James, A., & Wells, A. (2003). Religion and mental health: Towards a cognitive-behavioural framework. British Journal of Health Psychology (2003), 8, 359–376 © 2003 The British Psychological Society

James, W. (2015). The Varieties of Religious Experience: Pengalaman-Pengalaman Religius. Yogyakarta: IRCiSoD.

Jatmika, S. (2009). Urip Mung Mampir Ngguyu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Jatmiko, A. (2012). Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Kaelan, M. S. (1991). Filsafat Pancasila: disusun berdasarkan silabus dan SAP tahun 1990. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

Keraf, A. S., & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.

Kim, S. S. (2008). Interdependence of Spirituality and Well-Being Among Korean Elders and Family Caregivers. Dissertation from The University of Arizona.

Kim, U., Yang, K. S., & Hwang, K. H. (2010). Indigenous and Cultural Psychology: Memahami Orang Dalam Konteksnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kirchberger, G. (2007). Allah Menggugat: Sebuah Dogma Kristiani. Maumere: Ledalero.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Gramedia.

Khab, J. (2014). Memajukan Usaha dengan Ritual-Spiritual Agama. Diambil dari http://www. nu. or.id/a, public - m, dinamic-s, detail- ids,12-id, 56510- lang ,id-c, buku -t, Memajukan +Usaha+dengan+Ritual+Spiritual+Agama-.phpx

Koentjaraningrat. (1967). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Leeming, D. A., Madden, K., & Marlan, S. (2010). Encyclopedia of Psychology and Religion. USA: Springer Science.

Lehmann, A. C., & Myers, J. E. (1985). Magic, Witchcraft, and Religion: An Anthropological Study of the Supernatural. California: Mayfield Publishing Company.

Lembaga Alkitab Indonesia. (2001). Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: LAI.

Liwarti. (2013). Hubungan pengalaman spiritual dengan psychological well-being pada penghuni lembaga pemasyarakatan. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, I(I), 77-88. Dipungut 1 September, 2014, dari http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jspp/article/view/1350.

Lopez, S. J. (2009). The Encyclopedia of Positive Psychology vol. II. Singapore: Wiley-Blackwell.

Lopez, S. J., & Snyder, C. R. (2009). Oxford Handbook of Positive Psychology 2nd ed. USA: Oxford University Press.

Mahardini, A. P., Saryono, D., & Suherjanto, I. (2013). Legenda Dam Bagong Desa Ngantru Trenggalek Jawa Timur: Telaah Kajian Folklore. Skripsi UIN Malang, 2013.

May, R., Angel, E., & Ellenberger, H. F. (1967). Exixtence. USA: Simon and Schuster.

Moodley, T. (2008). The Relationship Between Coping And Spiritual Well-Being During Adolescence.  Dissertation of Faculty of Humanities Department of Psychology at the University of Free State Bloemfontein.

Moore, B. N., & Parker, R. (1986). Critical Thinking: Evaluating Claims and Arguments in Everyday Life. USA: Mayfield Publishing Company.

Mulder, N. (2006). Doing Java. Yogyakarta: Kanisius.

Mulyani, H., & Herimanto, S. B. (2013). Studi Tentang Komplek Makam Syekh Jangkung di Dukuh Landoh, Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Jurnal FKIP UNS Vol. 5 No. 1 (2013).

Mulyatno, C. B. (2015). Gereja dan Dialog Budaya: Perspektif Kitab Suci Perjanjian Baru. Diktat Extention Course Semester Gasa 2015-2016#2. Yogyakarta: STT Wedhabakti.

Munandar, A. A. (2008). Ibukota Mahapahit, Masa Jaya dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu.

Murniatmo, G., Budi, N. S., Sumarsih, S., & Purwaningsih, E. (2003). Budaya Spiritual Petilasan Parangkusumo Dan Sekitarnya. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Muzakki, S. (2012). Ritual Malem Minggu Wage Paguyuban Tunggul Sabdo Jati di Gunung Srandil Desa Glempang Pasir, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi FBS UNY.

Nadjib, E. A. (1994). Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Nardo, D. (2011). Mitologi Mesir. Depok: Oncor Semesta Ilmu.

Negara, S. P. (2010). Gunung Srandil & Selok: Tempat Olah dan Laku Spiritual Kejawen para Pemimpin Indoneisa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Nugroho, J. (2007). Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur: Sebuah Kajian Folklore. Skripsi Prodi Sastra Indonesia USD 2007.
Oxford Advanded Learner’s Dictionary. (2010). UK: Oxford University Press.

Osborne, R. (2000). Freud Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.

Pals, D. L. (2012). Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: IRCiSoD.

Parker, I. (2008). Psikologi Kualitatif. Yogyakarta: Andi Offset.

Pasiak, T. (2012). Tuhan dalam Otak Manusia. Bandung: Mizan Media Utama.

Pedrotti, J. T., Edwards, L. M., & Lopez, S. J. (2009). Positive Psychology Within a Cultural Context. Dalam Lopez, S. J., & Snyder, C. R. (2009). Oxford Handbook of Positive Psychology 2nd ed. USA: Oxford University Press.

Pemberton, J. (2003). Jawa: On The Subject of Java. Yogyakarta: Mata Bangsa.

Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang semboyan resmi Negara Republik Indonesia

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2013 tentang pedoman pendaftaran organisasi kemasyarakatan di lingkungan Kementrian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.

Poerwandari, K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Pratt, J. B. (1920). The Religious Consciousness: A Psychological Studi. New York: Macmillan.

Prawirohardjono, P. (2006). Ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa “Ngesthi Kasampurnan”. Magelang: Ngesthi Kasampurnan.

Prawitasari, J. E. (2011). Psikologi Klinis: Pengantar Terapan Mikro & Makro. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Purwadi. (2005). Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purwadi. (2009). Misteri Gajah Mada. Yogyakarta: Gerai Ilmu.

Purwantari, R. S. (2007). Menguak Pesugihan Bulus Jimbung di Klaten. Yogyakarta: Penerbit Kunci Ilmu.

Putri, Adelia Khrisna. 2012. Sadness as perceived by Indonesian male and female adolescents. International Journal of Research Studies in Psychology. Volume 1 Number 1, 27-36.

Radhakrishnan, S. (2009). Bhagawadgita. Jogjakarta: IRCiSoD.

Rahimsyah, M. B. (2006). Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen Pergumulan Tasawwuf Versi Jawa. Surabaya: Pustaka Agung Harapan.

Rarasati, Niken. 2012. Javanese adolescents’ future orientation: An indigenous psychological analysis. International Journal of Research Studies in Psychology

Ras, J. J. (1987). Babad Tanah Jawi. USA: Foris Publications.

Riyanto, A., Ohoitimur, J., Mulyatno, C. B., & Madung, O. G. (2015). Kearifan Lokal Pancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius.

Roberts, T. T. (2002). Spiritualitas Postreligius. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Reviews of Psychology, 52(1), 141-166.

Ryff, C. D. (2014). Psychological well-being revisited: Advances in the science and pactice of eudaimonia. Psychotherapy and Psychosomatics, 83, 10-28. doi: 10.1159/000353263.

Sadra, M. (2011). Manifestasi-Manifestasi Ilahi. Jakarta: Sadra Press.

Salim, P. (2006). The Contemporary English – Indonesian Dictionary with British and American Pronunciation and Spelling. Jakarta: Media Eka Pustaka.

Salim, P., & Salim, Y. (1991). Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.

Saroglou, V. (2013). APA Handbook of Psychology, Religion, and Spirituality Chapter 24. Vol. 1. Context, Theory, and Research, K. I.  DOI:10.1037/XXXXX.XXX.

Shashangka, D. (2011). Sabda Palon. Jakarta Selatan: Dolphin.

Shashangka, D. (2014). Induk Ilmu Kejawen. Jakarta Selatan: Dolphin.

Shashangka, D. (2015). Ilmu Jawa Kuno. Jakarta Selatan: Dolphin.

Silitonga, S. (1977). Mitologi Yunani. Jakarta: Djembatan.

Smith, J. A. (2008). Qualitative Psychology: a practical guide to reserch methods (2nd. edition). London: Sage Publication.

Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative Phenomenological Analysis: theory, method and research. Los Angeles: Sage.

Smith, L., & Raeper, W. (2000). Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Kanisius.

Smith, J. A. (2013). Dasar-dasar Psikologi Kualitatif: Pedoman Praktis Metode Penelitian. Bandung: Nusa Media.
                  
Snyder, C. R., Lopez, S. J., & Pedrotti, J. T. (2011). Positive Psychology: The Scientific and Practical Explirations of Human Strengths 2nd ed. USA: Sage Publications, Inc.

Soedarsono, R. M., & Murniatmo, G. (1986). Unsur Tasawuf dan Mitologi dalam Beberapa Karya Sastra Islam-Jawa. Yogyakarta: Depdikbud Dirjen Kebudayaan.

Soesilo. (2005). Kejawen: Philosofi dan Perilaku. Malang: Yayasan Yusula.

Sternberg, R. J. (2008). Psikologi Kognitif edisi keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Stern, K. (1954). The Third Revolution: A Study of Psychiatry and Religion. New York: Image Books.

Strachey, J., & Freud, A. (1961). The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud. London: Hogarth Press.

Subagya, R. (1976). Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Sudarminta, J. (2002). Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Sulistyobudi, N., Sunjata, W. P., & Sujarno. (2013). Upacara Adat. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY.

Sumartoyo, K. N. S., & Rories, R. S. (2013). Paguyuban Kaweruh Hak 101 Kabupaten Cilacap. Cilacap: Kawruh Hak 101.

Suryadi, L. (1993). Regol Megal Megol: Fenomena Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset.
Suryamentaram, K. A. (1976). Ilmu Jiwa Kramadangsa I. Jakarta: Idayu.

Susanti, D. (2014). Cerita Rakyat Gunung Srandil di Desa Glempang Pasir Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap (Tinjauan Folklor). Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo Vol. 04/ No. 03/ Mei 2004.

Susanto, H. (1987). Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, F. M. (2006). Pengantar Etika Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Suyami. (2008). Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.

Syam, A. (2010). Hubungan Antara Kesehatan Spiritual Dengan Kesehatan Jiwa Pada Lansia Muslim Di Sasana Tresna Werdha KBRP Jakarta Timur. Tesis FIK UI.

Tjaya, T. H. (2015). Diskursus Mengenai Tuhan di Luar Metafisika. Majalah Basis Nomor 09-10, Tahun ke-64, 2015.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Amandemennya. Surakarta: Pustaka Mandiri.

Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang – Undang No. 9, Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Undang – Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Kependudukan.

Undang – Undang No. 41 Tahun 2009 & Undang – Undang No. 43 Tahun 2009 tentang pedoman pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

            VanderVeldt, J. H., & Odenwald, R. P. (1952). Psychiatry and Catholicism. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Warsito., Rasjidi, H. M., & Bakry, H. (1973). Disekitar Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang.

            Wasito, D. (1961). Kitab Agung Pandom Suci. Wonosari: Dewan Agama Pran-Soeh.
           
            Wulff, D. M. (1997). Psychology of Religion Classic & Contemporary 2nd ed. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Zaidan, A. R., Tasai, S. A., & Suyatno, S. (2002). Mitologi Jawa Dalam Puisi Indonesia 1971-1990. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.



Sumber Website:

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpkt/2014/04/10/sejarah-direktorat-pembinaan-kepercayaan-terhadap-tuhan-yme-dan-tradisi/
muslimedianews.com
nahimunkar.com


Sumber Lisan

Extention Course #2 Kamis, 3 September 2015 @STT Wedhabhakti Sanata Dharma, Kenthungan, Yogyakarta.
Kuliah Umum: Ronggowarsito dan Kejawen. Oleh: Herman Sinung Janutama.
Dipungut dari https://www.youtube.com/watch?v=P4BnDtbCLqQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar