STUDI
FENOMENOLOGI INTERPRETATIF
PEMAKNAAN
TUHAN DALAM AJARAN KEPERCAYAAN
TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA KAWERUH HAK 101 CILACAP
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi

Oleh :
Heribertus Damar Wiyono
109114121
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tuhan
merupakan bagian dari otak manusia yang ada secara alamiah. Manusia terlahir dengan
gen untuk mempercayai oknum yang
biasa disebut sebagai Tuhan (Pasiak, 2012). Bloom (2005) menyatakan bahwa
bagian otak yang memuat gen “iman kepada Tuhan” tersebut tumbuh secara
aksidental. Namun bila demikian yang terjadi, mengapa kejadian aksidental
tersebut terjadi pada mayoritas umat manusia? Pasiak (2012) justru menyatakan
bahwa gen tersebut memang ada dalam seluruh umat manusia sebagai
memanifestasikan moralitas. Dengan demikian, menurut neurosains Tuhan adalah
moralitas itu sendiri. Dalam freudian, moralitas ini setara dengan superego
(Pals, 2012). Dorongan moralitas alami tentu ada dalam semua manusia. Dorongan
moralitas inilah yang disebutkan Armstrong (2015) sebagai buah pengetahuan
yaitu kemampuan manusia membedakan baik dan buruk secara alami. Kemampuan
manusia untuk membedakan baik dan buruk secara alami adalah permulaan sejarah
Tuhan (Armstrong, 2015).
Penghayatan
kepada Tuhan senantiasa menjadi kerinduan umat manusia pada masa kini
(Foucault, 1999). Di sisi lain, secara psikologis penghayatan spiritualitas
ketuhanan atau beragama dapat atau tidak dapat menjadi neurotisisme dalam hidup
seseorang (Bonelli & Koenig, 2013). Kecenderungan dampak positif
penghayatan spiritual pada kesehatan psikologis manusia ditunjukkan misalnya
oleh penelitian di Detroit, Amerika Serikat (Ellison, Boardman, Williams, &
Jackson, 2001). Ellison et al (2001) melaporkan bahwa penghayatan spiritualitas
cenderung meningkatkan kesejahteraan hidup, menurunkan tendensi gangguan mental
kecemasan, menurunkan tendensi gangguan mental depresi mayor, dan tidak
memiliki pengaruh sama sekali pada neurotisisme seseorang (Ellison & Levin,
1998). Temuan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian lain yang
menyatakan bahwa penghayatan spiritual manusia cenderung membawa dampak neurotisisme
tertentu (Ellis, 1980);
Hasil
penelitian-penelitian sebagaimana telah disebutkan bukanlah konklusi atas point
kegelisahan Freud secara khusus atau kaum psikoanalisis secara umum dalam hal
permasalahan penghayatan spiritualitas manusia (Pals, 2012; Strachey &
Freud, 1961). Kegelisahan kaum psikoanalisa atas penghayatan spiritualitas
manusia tidak melulu pada urusan diagnostika neurotisisme secara diskretis
dalam psikologi klinis. Kegelisahan tersebut lebih dilihat sebagai neurotisisme
dalam kehidupan manusia yang makin lama nampak makin wajar (Brill, 1938; Freud,
2002; Freud, 2002; Freud, 2010).
Seiring
perjalanan waktu, Freud memiliki banyak penentang. Penentang bangkit melawan
idealisme Freud karena seakan-akan agama atau spiritualitas tidak lebih dari
angan-angan manusia. Pals (2012) sendiri juga menentang Freud karena kurang
jelinya Freud dalam mendefinisikan tentang agama atau spiritualitas itu
sendiri. Selama ini Freud hanya berkutat pada agama teistik atau monoteistik
dan tidak mempertimbangkan agama nonteistik (seperti Buddha) atau politeistik
(seperti Hindu). Namun demikian, Freud akan selalu ada benarnya. Kerja keras
Freud terkait dengan persoalan spiritualitas tidak dapat dianggap salah begitu
saja. Studi Freud yang pesimistik walau bagaimanapun tetap relevan untuk
dijadikan pegangan untuk membangun kepribadian sehat. Selama manusia masih
dihadapkan pada persoalan dinamikan psikologi bawah sadar, ambang sadar, dan
sadar, psikoanalisis Freud akan tetap berfungsi, termasuk untuk menyikapi
persoalan neurotisisme spiritual yang disebabkan oleh kepercayaan religius
(Pals, 2012).
Osborne
(1950) pada akhirnya memberi konklusi bahwa inti dari pada yang ingin
dinyatakan Freud atau para kaum psikoanalisis adalah agar manusia hidup dalam
kesadaran penuh. Hidup dalam kesadaran penuh berarti bahwa ego manusia mampu
mengeksekusi dorongan-dorongan id maupun superego yang sering berasal dari area
ketidaksadaran (Feist & Feist, 2008). Hidup dalam kesadaran penuh adalah
satu-satunya cara bagi manusia untuk menjadi sehat secara psikis (Osborne,
1950; Brahm, 2011; Armstrong, 2013) termasuk dalam berketuhanan atau beragama.
Dengan ini perilaku spiritualitas manusia diharapkan bukan menjadi cerminan
dari neurotisisme belaka.
Pals
(2008) menjelaskan point utama dalam psikoanalisa freudian adalah narasi
kehidupan manusia itu sendiri. Perilaku manusia menurut teori freudian
senantiasa didorong oleh narasi kehidupan manusia tersebut. Salah satu aspek
narasi kehidupan manusia adalah spiritualitas ketuhanan. Psikoanalisis ingin
mengajak manusia untuk mengetahui detail seluk beluk narasi manusia atau dalam
kata lain adalah motif-motif asadar manusia yang senantiasa memiliki sumber
pada masa lalu. Dengan cara ini, Pals (2008) menjelaskan tentang kesadaran
penuh dengan sangat baik. Manusia yang telah mengetahui motif-motif asadar
diharapkan menyadari motif-motif tersebut secara rendah hati dan tidak lagi
berperilaku berdasarkan impuls-impuls asadar tersebut. Dengan kesadaran penuh
ini manusia diajak untuk mengubah paradigma perilaku yaitu dengan meninggalkan
motif yang dirasa kurang tepat dan mengganti dengan motif yang lebih tepat
berdasarkan kesadaran (Pals, 2012; Osborne, 1950) termasuk dalam hal
berketuhanan.
Transformasi
perilaku manusia sebagaimana telah dijelaskan ternyata tidak semudah menasihati
pasien psikoanalisis karena transformasi tersebut telah merambah ranah
kepribadian yaitu motif-motif manusia. Kesulitan manusia untuk merubah motif
perilaku atau kepribadian dikarenakan sulitnya hati manusia untuk merendahkan
hati (Armstrong, 2013). Kerendahan hati diperlukan karena penyadaran motif
seringkali membuat manusia mengerti betapa rusak dan berdosanya kehidupan yang
selama ini telah dijalani. Penyadaran seperti ini membuat kecenderungan
mekanisme pertahanan diri (MPD) kembali menguasai yaitu bila manusia gagal
untuk menerima realitas diri (Feist & Feist, 2008; Pals, 2012).
Tidak
dapat dipungkiri, paradigma yang menyatakan bahwa agama atau spiritualitas
adalah ciri neurotisisme manusia sebagaimana diwariskan oleh Freud masih terus
ada dan berkembang (Pals, 2012). Perkembangan paradigma tersebut cenderung
dipelopori kaum intelektual pro atheisme seperti Sam Harris (2005) dalam The End of Faith dan Letter to a Christian Nation (Harris,
2006), Christopher Hitchens (2007) dalam God
is not Great, Richard Dawkins (2006) dalam The God Delution, maupun Stephen Hawking (2010) dalam The Grand Design. Tanpa kecenderungan
pro atau kontra antheisme, Karen Armstrong (2013) dalam Masa Depan Tuhan menyanggah para tokoh tersebut dengan konklusi
solutif.
Armstrong
(2015) dalam Sejarah Tuhan maupun
dalam Masa Depan Tuhan (Armstrong,
2013) menyatakan bahwa pertentangan agama atau spiritualitas seringkali
berangkat dari sudut pandang yang sempit yaitu latar belakang keilmuan seorang
tokoh itu sendiri. Secara khusus Armstrong (2013) menyanggah kaum atheistis
dengan menyatakan bahwa dasar filosofis mereka amat rapuh. Kaum atheistis
menyerang kaum fundamentalis kristen yang mendasarkan teologi secara literal
pada teks kitab suci. Dasar kaum fundamentalis kristen ini jelas tidak adekuat
karena amat reduksionistik. Selain itu, pertentangan tentang antropomorfisme
perwujudan tuhan misalnya, hanyalah
salah satu segi dalam masalah spiritualitas (Armstrong, 2015). Segi lain
seperti mistisisme juga perlu diketengahkan (Susanto, 1987; Eliade, 2002;
Eliade dalam Pals, 2012; Frager, 2014).
Cara
memandang permasalahan agama atau spiritualitas juga perlu memperhatikan
variasi sudut pandang keilmuan yang jadi latar belakang ilmuan komentator.
Kebenaran yang senantiasa relativistik menyebabkan satu sudut pandang kebenaran
harus diterima oleh sudut pandang yang lain. Hawking (2010) misalnya, tidak
dengan serta merta dapat memaksakan sudut pandang sains fisikanya sebagai
kebenaran mutlak. Dimensi kultural, psikologi, mistisisme, dan lain-lain
kiranya memiliki sudut pandang kebenarannya sendiri-sendiri yang harus selalu
dihargai (Haught, 1995; Barbour, 2002, Haryatmoko, 2014). Pada akhirnya dapat
disimpulkan bahwa permasalahan spiritual bukanlah pada pelemahan gairah manusia
untuk percaya pada ‘yang sakral’ (Eliade, 1959) namun pada kemampuan filsafat
untuk menjelaskan ‘yang sakral’ secara lebih profan sehingga mudah diterima
(Tjaya, 2015).
Agama
atau spiritualitas walau bagaimanapun telah terbukti memberi makna pada sisi
kehidupan manusia misalnya dalam hal kerinduan mistisisme atas sosok Mahakuasa
(Sadra, 2011; Frager, 2014). Spiritualitas yang beragam telah terbukti
berkontribusi dalam perkembangan sejarah kehidupan manusia dari generasi ke
generasi (Armstrong, 2007; Armstrong, 2015). Meski spiritualitas atau agama
senantiasa memiliki sisi gelap, namun dibaliknya selalu ada sisi terang. Sisi
terang inilah yang harus selalu dikembangkan untuk mengikis sisi gelap yang
akan selalu ada secara dialektis (Marx dalam Pals, 2012). Adapun salah satu
cara pengembangan sisi positif spiritualitas atau agama adalah dengan
penelitian-penelitian ilmiah. Dengan demikian, penelitian (seperti ini) perlu
(terus) dilakukan karena spiritualitas atau agama tidak semata-mata merupakan
sebagian bentuk dari neurotisisme manusia sebagaimana yang diyakini Freud
(VanderVeldt & Odenwald, 1952).
Armstrong
(2013) dalam Compassion: 12 Jalan Menuju
Hidup Berbelas Kasih semakin menegaskan bahwa spiritualitas bisa saja
menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan belas kasih antar sesama manusia.
Tidak ada yang salah dengan konsep tuhan, spiritualitas, maupun agama karena
dengan cara tersebut manusia dan peradaban terus berkembang (Susanto, 1987;
Armstrong, 2015). Nasihat Gamaliel dalam Kisah Para Rasul (LAI, 2001) juga
menjelaskan tentang perkembangan institusi rohani atau sekular dengan sangat
bijaksana untuk menyikapi persoalan spiritualitas atau agama. Rabi Gamaliel
menyatakan bahwa suatu gerakan yang tidak berkenan di mata Tuhan pastilah akan musnah
dengan sendirinya (Kis 5: 34-39). Teks kitab suci ini hendak menyatakan bahwa
kelestarian suatu hal dalam dunia pasti memiliki misteri ilahi transenden yang
tak terpahami oleh manusia. Misteri ilahi tersebut merupakan kebijakan Tuhan
yang memiliki makna tertentu bagi kehidupan umat manusia (Mulyatno, 2015).
Sebagaimana
telah dijelaskan Pals (2012), penghayatan spiritual ketuhanan terdiri dari
pemaknaan manusia atas pengalaman religiusnya. Pengalaman mistik ketuhanan yang
sama dapat dimaknai dua orang secara berbeda (Armstrong, 2015; Creswell, 2014).
Dengan reduksi fenomenologi (Smith, 2013), penelitian ini difokuskan pada
pemaknaan tuhan yang berasal dari pengalaman religius para responden.
Metodologi yang dipilih adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
interpretatif (Smith, Flowers, & Larkin, 2009; Smith & Osborn, 2008
dalam Smith, 2008). Pendekatan fenomenologi interpretatif dalam penelitian ini
akan menggali proses-proses pemaknaan responden atas pengalaman ketuhanan untuk
menggali makna tuhan itu sendiri. Fokus pada pemaknaan tuhan dipilih karena
salah satu inti penting dalam dilema spiritualisme manusia adalah sosok tuhan
itu sendiri (Armstrong, 2007; Armstrong, 2013; Armstrong, 2015).
Dalam
konteks Indonesia, kepercayaan spiritual terwujud dalam agama-agama maupun
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penelitian ini mengambil sampel
responden dari komunitas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yaitu Kaweruh
Hak 101 di Cilacap, Jawa Tengah. Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa ditentukan untuk memfokuskan kajian kepustakaan karena ajaran Kaweruh Hak
101 dinilai lebih sederhana (Sumartoyo & Rories, 2013). Kepercayaan Kaweruh
Hak 101 tidak terlalu memperlihatkan kompleksitas proses sejarah dan kultural
dibandingkan agama-agama pada umumnya (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha)
(Armstrong, 2015).
Penelitian
ini akan menggali makna penghayatan tuhan dalam dua responden yang dipilih
secara purposif. Interpretasi akhir hasil penelitian dilakukan dengan
mendiskusikan hasil penelitian dengan teori-teori psikologi religius (James,
2015) maupun kajian ketuhanan secara lebih luas (Armstrong, 2007; Armstrong,
2013; Armstrong, 2015) untuk mendapatkan gambaran lebih menyeluruh mengenai
model-model ketuhanan dalam berbagai latar belakang budaya.
B.
Rumusan
Masalah
Bagaimana
pemaknaan tuhan pada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh
Hak 101?
C.
Tujuan
Penelitian
Mendeskripsikan
pemaknaan tuhan pada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh
Hak 101.
D.
Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat
Teoritis
Penelitian ini
bermanfaat secara teoritis untuk memahami model pemaknaan tuhan pada penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 dengan pendekatan
fenomenologi interpretatif. Model pemaknaan tuhan ini adalah salah satu bentuk
keimanan atau agama lokal Indonesia. Pembahasan dengan teori psikologi dan
kajian ketuhanan akan memberikan manfaat teoritik berupa kajian fenomenologis
atas pengalaman penghayatan seseorang atas tuhan dalam spiritualitas Kaweruh
Hak 101 secara khusus atau kepercayaan spiritualitas ketuhanan secara umum.
Pembahasan ini dapat bermanfaan untuk menjadi referensi teoritik atas model
penghayatan spiritual kepercayaan lokal Indonesia.
2.
Manfaat
Praktis
Penelitian ini
bermanfaat secara praktis untuk memberikan informasi tentang salah satu model
spiritualitas ketuhanan (agama lokal) dalam institusi penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia yaitu Kaweruh Hak 101. Informasi ini
dapat menjadi referensi praktis bagi masyarakat yang ingin mendalami
spiritualitas lokal Indonesia (khususnya Kaweruh Hak 101).
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Studi
Fenomenologi Interpretatif Spiritualitas Ketuhanan
Studi
fenomenologi interpretatif memiliki tujuan utama untuk menggali pemaknaan manusia
atas pengalaman hidup atau fenomena-fenomena yang pernah dialami. Pemaknaan
tersebut muncul dalam dimensi personal maupun dimensi sosio-kultural. Peneliti
memiliki andil yang sangat besar dalam perumusan makna itu karena peran
sertanya dalam melakukan interpretasi. Proses interpretasi dilakukan
menggunakan kajian teori yang lebih luas dari pada topik penelitian. Hal ini
merupakan kelebihan dalam penelitian fenomenologi interpretatif (Smith, 2013).
Fenomena
penghayatan spiritualitas ketuhanan merupakan fokus studi fenomenologi dalam
penelitian ini. Penghayatan spiritualitas ketuhanan merupakan fenomena yang
dialami dan dimaknai oleh sebagian besar umat manusia. Manifestasi penghayatan
spiritualitas ketuhanan terlihat dalam perilaku beragama maupun berkepercayaan.
Perilaku beragama maupun berkepercayaan dilihat sebagai fenomena unik yang
dijalani manusia sehingga menghasilkan pengalaman-pengalaman berkesan seperti
pengalaman mistik. Dengan demikian, pendekatan studi fenomenologi interpretatif
menjadi relevan dalam penelitian ini.
Fenomena
penghayatan spiritualitas ketuhanan memunculkan berbagai polemik dalam
kehidupan manusia. Polemik tersebut ditandai oleh berbagai ragam pemaknaan yang
muncul dalam berbagai lapisan sosial kemasyarakatan. Spiritualitas yang sama
dimaknai secara berbeda oleh masyarakat yang bermukim di tempat yang berbeda.
Contoh klasik adalah spiritualitas monoteisme Yahudi yang amat mitologis,
ditafsirkan secara berbeda oleh dua penulis utama Perjanjian Lama yang
berhaluan Yahweh dan yang berhaluan Elohim (Armstrong, 2013). Contoh yang lebih
modern adalah spiritualisme Islam yang dihayati secara berbeda dalam masyarakat
di jazirah Arab (Armstrong, 2003) dan di Jawa (Chodjim, 2013; Chodjim, 2014;
Chodjim, 2014; Shashangka, 2014).
Ragam
penghayatan spiritualitas sering membawa dampak buruk dalam masyarakat misalnya
berupa konflik antar golongan. Konflik antar golongan ini seringkali berangkat
dari keyakinan-keyakinan teologis meski dapat dimaknai secara lebih politis.
Konflik yang dapat dijumpai bahkan sampai akhir-akhir ini misalnya pertentangan
internal kaum muslim yaitu antara kelompok yang berhaluan sunni dan yang
berhaluan syiah (muslimedianews.com; nahimunkar.com). Selain itu, konflik dalam
skala besar dapat dilihat dalam peristiwa historis seperti perang salib yang
dampaknya masih terasa dalam percaturan politik ekonomi antara negara-negara
Eropa dan Timur Tengah saat ini (Armstrong, 2001; Armstrong, 2004). Konflik
berlatar belakang perbedaan keyakinan spiritual ini dengan demikian menjadi
menarik untuk dieksplorasi dalam penelitian ilmiah berbasis fenomenologi
interpretatif (Smith, 2013).
Secara
khusus dalam penelitian ini, permasalahan spiritual difokuskan model keyakinan
atau pemaknaan atas tuhan sendiri atau secara lebih umum disebut sebagai
masalah ketuhanan. Paham teisme ini adalah salah satu bagian dari akar masalah
diskursus spiritualisme tekstural maupun perilakuan dalam masyarakat atau suatu
budaya. Kecenderungan antropoformisme atau nonantropomorfisme tuhan merupakan
salah satu wujud konkretnya (Armstrong, 2007; Armstrong, 2013; Armstrong,
2015). Masalah ketuhanan ini secara psikologis lebih dilihat sebagai dampak
dari pengalaman-pengalaman manusia dalam memaknai fenomena-fenomena kehidupan
misalnya hal-hal mistis (Eliade, 1959; Pals, 2012). Dengan demikian menjadi
relevanlah apabila topik ini diangkat dalam penelitian fenomenologi
interpretatif ini (Smith, 2013).
B.
Pengalaman
Spiritual dalam Pandangan Psikologi
1.
Haluan
Psikoanalisis Freudian
Diskursus
ketuhanan atau spiritualitas manusia dalam psikoanalisis (Pals, 2012) adalah
usaha untuk memahami narasi (pengalaman) kehidupan seseorang. Psikoanalisis
freudian ingin menggali narasi kehidupan seseorang misalnya dalam aspek
spiritualitas ketuhanan yang diyakini. Spiritualitas ketuhanan merupakan
perilaku yang didorong oleh motif-motif masa lalu yang pada umumnya bersifat
asadar. Motif-motif inilah yang disebut narasi kehidupan seseorang (Pals,
2012).
Secara sederhana
Pals (2012) menjelaskan bahwa kegelisahan Freud tentang spiritual manusia
memiliki tujuan yang baik yaitu demi kesehatan psikologis manusia itu sendiri
(Strachey & Freud, 1961). Sebagaimana sering dikutip Pals (2012) dalam
Strachey & Freud (1961), psikoanalisis ingin membuat semua orang yang masih
berspiritualitas ketuhanan menjadi sehat secara psikologi atau menghindari
neurotisisme tertentu dengan cara menyadari motif-motif spiritual yang
mendasari perilaku spiritual. Orang yang beragama diharapkan menyadari
motif-motifnya sehingga agama bukan merupakan ilusi neurotik namun menjadi
perwujudan atas kebutuhan-kebutuhan manusia yang murni misalnya untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologis.
Freud
menjelaskan dalam The Future of an
Ilusion (Strachey & Freud, 1961 dalam Pals, 2012) tentang agama atau
kecenderungan manusia untuk berspiritualitas sebagai bentuk ilusi murni. Ilusi
adalah kepercayaan yang diyakini seseorang untuk mewujudkan cita-cita tertentu.
Kepercayaan ini masih bersifat reasonable
atau dapat dijelaskan sehingga tidak sama dengan delusi. Contoh kepercayaan
ilusif misalnya cita-cita seorang anak untuk menjadi astronot, presiden, maupun
dokter. Kepercayaan orang kepada tuhan juga merupakan salah satu bentuk ilusi
(Pals, 2012). Delusi berbeda dari ilusi karena dalam delusi kepercayaan orang
tidak lagi dapat dijelaskan dengan akal sehat. Contoh delusi adalah kepercayaan
bahwa seseorang adalah titisan leluhur yang harus dituhankan, kepercayaan bahwa
seseorang merupakan reinkarnasi Napoleon Bonaparte atau bahkan Napoleon
Bonaparte itu sendiri, dan lain-lain. Buku Freud The Future of an Ilusion setelah Totem and Taboo ini masih terasa senada. Freud nampaknya ingin
menyatakan bahwa agama pada dasarnya adalah delusi karena tidak pernah mampu
memberi alasan atau motif-motif yang realistik sehingga dapat difalsifikasi.
Secara sangat permisif, Freud juga ingin mengatakan bahwa pemeluk agama atau
penghayat spiritualitas tertentu pada dasarnya bersifat neurotik karna
kepercayaan deitik cenderung sama dengan khayalan belaka hasil dari
konflik-konflik masa kanak-kanak (Pals, 2012).
Kepercaan
spiritual lantas tidak jadi kehilangan peminat. Di lain pihak tidak pula dapat
dengan mudah dikatakan bahwa Freud mengada-ada dalam berteori. Pointnya adalah
bila spiritualitas masih berkembang pada zaman ini, pasti terdapat penjelasan
positivistik yang cenderung transenden atas teorema agama freudian. Sisi
transendensi psikoanalisa ini dijelaskan lebih lanjut oleh pandangan kaum
mistik (Eliade, 2012; Eliade dalam Pals, 2012; Frager, 2014, Armstrong, 2015).
Penghayatan
spiritualitas ketuhanan yang lepas dari realita sosial dapat bertendensi untuk
menyebabkan neurotisisme. Tendensi gangguan psikologis cenderung terjadi secara
teoritik berdasarkan teori kesehatan psikologis freudian (Pals, 2012). Tendensi
neurotisisme tidak dapat dibenarkan begitu saja karena dimensi perilaku
beragama tidak hanya didorong oleh motif neurotik masa lalu namun juga dapat
didorong oleh motif mistik yang lebih transenden (Eliade, 2002; Eliade dalam
Pals, 2012).
Tendensi
neurotisisme yang dalam hal ini dipandang secara teoritik akan disikapi secara
teoritik pula. Penelitian Ellis (1980), Ellison & Levin (1998), dan
Ellison, Boardman, Williams, & Jackson (2001) menunjukkan semua
kemungkinan. Neurotisisme spiritual dapat terjadi atau tidak terjadi tergantung
pada sikap manusia dalam berpsiritualitas. Dengan demikian, tendensi neurotisme
dalam beragama atau berpsiritualitas perlu untuk selalu diwaspadai oleh setiap
orang terutama yang memutuskan untuk berspiritualitas tertentu. Penyadaran diri
atas motif dalam melakukan perilaku spiritual tertentu harus dipastikan
sehingga seseorang mengetahui dengan pasti bahwa latar belakang tindakan
beragama bukanlah konflik psikologis tertentu namun lebih didorong oleh motif
belas kasih murni (Osborne, 2000; Armstrong, 2013). Motif yang kurang disukai
oleh kalangan berhaluan psikoanalisis freudian ini akan lebih terakomodasi oleh
kalangan psikologi yang berhaluan lebih mistik seperti William James (James,
2015)
2.
Haluan
Pengalaman Religius William James
William James
cenderung bersih dari pengaruh psikoanalisa yang berkembang pesat di zamannya.
Setidaknya, James memiliki perspektif sendiri dalam menyikapi fenomena agama
atau kepercayaan spiritual yang sedang gencar ingin dihancurkan oleh kaum anti
agama pasca Nietzsche (Tjaya, 2015). James memandang pengalaman religius
seseorang secara lebih transenden, kontras bertolak belakang dengan Kant yang
cenderung memandang relevansi suatu pengalaman religius sejauh masuk dalam
rasio manusia saja (Tjaya, 2015). Demikianlah kesan sepintas yang ditimbulkan.
Apabila pendekatan James dikomparasikan dengan pendekatan kaum anti agama
(seperti Freud misalnya) dalam memandang fenomena pengalaman religius, maka
pada dasarnya akan ditemukan ekuivalensi. Pada dasarnya William James
menggunakan bahasa yang lebih halus dan arif dalam menyebutkan terma-terma
negatif yang sering dimunculkan kaum anti agama (James, 2015).
Pengalaman
religius merupakan fenomena unik yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Pengalaman itu harus dipahami, diteliti, dan diperhatikan karena pasti hendak
mengatakan sesuatu. Pengalaman religius bisa jadi merupakan pesan atau hasrat
manusia yang selama ini terkubur dan tidak direalisasi, keinginan manusia untuk
bebas dan bahagia. Pengalaman religius semestinya mendapat jalan, bukannya
ditekan dengan berbagai dalih misalnya ilusi dan delusi (Pals, 2012). Secara
umum, pengalaman manusia yang bersifat transenden diharapkan dapat menjadi
sarana unik bagi manusia untuk memaknai kehidupan. Ada waktu untuk bersikap
rasional dan ada waktu untuk bersikap mitologis, adalah hal yang tak dapat
terelakkan karena banyak aspek dalam kehidupan manusia yang tidak menemukan
jawaban adekuat (James, 2015). Misteri motif pengalaman religius seseorang
diharapkan dapat menjadi sudut pandang baru bagi manusia untuk memaknai kehidupan
yang pada dasarnya tidak terdapat makna (Prasetyantha, 2015).
C.
Makna
Hidup
Makna
merupakan penghayatan manusia atas fenomena-fenomena yang secara umum termaktub
dalam kata-kata (APA, 2007). Ketuhanan atau spiritualitas juga merupakan salah
satu fenomena yang kerap dihayati manusia. Konsep-konsep abstrak tersebut
selalu terejawantah terlebih dahulu ke dalam kata-kata sebelum menemukan
maknanya. Dengan demikian, usaha penelitian makna merupakan usaha pemahaman
atas kompleksitas makna kata-kata yang dihayati seseorang (Danesi, 2011).
Frankl
(1963) menjelaskan makna hidup dengan lebih menitikberatkan pada usaha manusia
untuk meraih kebahagiaan. Frankl tidak menjelaskan makna itu sendiri. Makna
hidup dengan demikian lebih nampak sebagai kebahagiaan itu sendiri.
Spiritualisme manusia dalam kacamata Frankl juga terlihat sebagai usaha manusia
untuk memaknai hidup. Usaha ini berujung pada pencarian kebahagiaan. Secara
lebih sederhana, Frankl ingin mengatakan bahwa tolok ukur keberhasilan manusia
dalam memaknai hidup adalah kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri cenderung sangat
subyektif. Kebahagiaan sering nampak dalam kepuasan atas perilaku yang telah
dilakukan (Frankl, 1963). Kebahagiaan dalam berspiritualitas misalnya, muncul
bila manusia mampu memaknai spiritualisme dengan penuh keyakinan. Keyakinan
adalah dasar dari keberhasilan pemaknaan hidup. Manusia senantiasa hidup dalam
keyakinan-keyakinan atau logo-logo ciptaan kognisi (Frankl, 1963).
D.
Ketuhanan
1.
Etimologi
Ketuhanan
Terma agama,
spiritualitas, dan religiusitas dalam penelitian ini menjurus pada perilaku
manusia untuk mempercayai hal-hal bersifat religius seperti berdoa, praktik
tradisi ritual-ritual, yang pada dasarnya adalah wujud kepercayaan kepada Tuhan
beserta atribut-atribut yang dimiliki oleh oknum
Tuhan tersebut (Adams, 1995 dalam James & Wells, 2003; Armstrong,
2015). Agama sendiri sering merujuk pada institusi yang mewadahi spiritualitas
tertentu. Contoh agama misalnya Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan
lain-lain. Dalam konteks Indonesia, agama tradisi disebut sebagai kepercayaan.
Contoh kepercayaan adalah Ngesthi Kasampurnan, Umat Pran-soeh (Wasito,
1961), Kaweruh Hak 101, dan lain-lain
(Dwiyanto, 2011).
2.
Konsep
Ketuhanan
a.
Ketuhanan
Semitik
Ketuhanan
semitik merupakan konsep ketuhanan yang dianut bangsa semit di wilayah Timur
Tengah yang berbahasa Arab. Konsep ketuhanan ini berakar dari tradisi
masyarakat setempat yang kemudian banyak diadaptasi dalam Judaisme atau agama
Yahudi. Fromm (2011) menyatakan bahwa konsep ketuhanan semitik tidak memandang
Tuhan sebagai apa atau siapa. Tuhan lebih dipandang sebagai manifestasi
perbuatan ilahi, bentuk cinta, kerahiman, keadilan, hukuman, dan lain-lain.
Demikianlah tradisi semitik dalam berketuhanan yang dapat ditemukan dalam
kitab-kitab agama Yahudi (Fromm, 2011).
Cara memandang
Tuhan dalam tradisi semitik menampakkan kemiripan dengan pola umum konsep
ketuhanan masyarakat arkais atau masyarakat purba (Eliade dalam Pals, 2012).
Kemiripan ini makin samar ketika helenisasi digencarkan oleh Alexander Agung
dari Makedonia (Gaarder, 2006). Sampai di sini dapat ditemukanlah dua konsep
utama manusia dalam memandang Tuhan yaitu berorientasi pada zat dan nonzat.
Tradisi konsep ketuhanan masyarakat arkais yang nonzat digeser oleh tradisi
helenisme yang ingin menguak zat Tuhan. Dua kecenderungan ini akan selalu
nampak dalam agama-agama (Armstrong, 2015) dan juga tradisi konsep ketuhanan
dalam konteks budaya Jawa.
Kelemahan
filsafat berketuhanan semitik atau bangsa barat adalah kelalaian untuk memegang
semangat utama helenisme. Semangat utama helenisme sebagaimana dinyatakan
Heideger (dalam Tjaya, 2015) adalah untuk menggali atau memaknai sang ‘ada’
sendiri. Filsafat ketuhanan barat pasca abad pertengahan atau masa renaisance
cenderung disibukkan oleh usaha mencari pengada-pengada sehingga tidak pernah
menemukan sang ‘ada’ (Tjaya, 2015). Kelalaian inilah yang sering menjadi dasar
rapuh kaum atheis dalam menentang theisme khususnya monotheisme (Armstrong
2013). Pada akhirnya dengan kecenderungan reduksionistik yang tak terelakkan,
‘pengada’ sering menjurus pada akal budi manusia sedangkan sang ‘ada’
senantiasa bersifat transenden dan tak terselami sama sekali. Dengan demikian
tak dapat disalahkan apabila teologi teistik masa kini cenderung menganggap
bahwa diskursus ketuhanan (misalnya kitab suci) merupakan hasil olah pikir
(refleksi akal budi) manusia (Armstrong, 2013; Haryatmoko, 2015; Tjaya, 2015).
b.
Ketuhanan
dalam Tradisi Timur
Tradisi
ketuhanan timur secara umum cenderung bersifat nonantropomorfis atau tidak berfokus
pada pencarian zat atau esensi tuhan. Armstrong (2013) menyebut tradisi timur
ini lebih mementingkan kontemplasi dan meditasi dari pada pemikiran
logika-logika konstruksi teologi. Ketuhanan dalam tradisi timur dapat ditemukan
dalam spiritualitas Hindu, Budha, Taoisme, Konfusianisme, dan lain-lain.
Dalam konteks
Indonesia, ketuhanan nampak lebih samar antara kecenderungan condong ke barat
atau ke timur. Pengaruh barat dan timur seakan berpadu dalam proses asimilasi
yang terjadi selama berabad-abad. Ketuhanan Indonesia sendiri misalnya yang
kini dapat dijumpai dalam tradisi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
sulit dikatakan sebagai murni Indonesia (atau murni Jawa) karena pengaruh
Hindu, Budha (Shashangka, 2015), Islam yang terasa amat kental. Asimilasi
spiritual memang tidak dapat dihindarkan dari sifat umum bangsa Indonesia
(Jawa) yang cenderung nrima (senang
menerim dengan ikhlas hati). Dengan demikian mesti diakui bahwa dalam konteks
Indonesia, tradisi ketuhanan merupakan perpaduan antara kecenderungan
antropomorfisme barat (terutama dari pengaruh Islam) dan nonantropomorfisme
timur (terutama dari pengaruh Hindu dan Budha). Perpaduan inilah yang secara
umum membentuk model ketuhanan dalam budaya Indonesia (Jawa) yang selanjutnya
sering dikatakan indigenous (asli)
padahal belum tentu (Armstrong, 2006; Brahm, 2011 Chodjim, 2013; Chodjim, 2014;
Chodjim, 2014; Fudyartanto, 2003; Shashangka, 2015; Subagya, 1976; Warsito,
Rasjidi, & Bakry,1973).
Sampai tahap
ini, nampaknya tidak penting lagi untuk menegakkan konstruksi model asli
spiritualisme suatu bangsa misalnya Indonesia. Bila seseorang tetap ingin
mencari model spiritualisme asli suatu bangsa misalnya Indonesia, maka
hendaknya merunut sampai ke akar sejarah spiritualitas tanah yang kini disebut
Indonesia. Akar sejarah ini pastilah bermula pada era aksial berbudaya arkais
dimana masyarakat di tanah yang kini disebut Indonesia masih hidup terasing dan
murni dari pengaruh bangsa pendatang (Armstrong, 2007).
3.
Penghayatan
Spiritualitas Ketuhanan di Indonesia
a.
Sejarah
Singkat
Ajaran spiritual
Jawa yang diyakini otentik sebenarnya belum menemukan bukti ilmiah. Salah satu
fragmen yang menjelaskan kemungkinan kebenaran otentisitas ajaran spiritual
Jawa adalah tumpengan (yang nyaris tidak terdapat dalam budaya lain). Bukti
arkeologi tumpengan pun belum diketahui secara pasti (Shashangka, 2015). Pada
perkembangan kemudian akan dipahami bahwa otentisitas ajaran spiritual Jawa
nampak tidak relevan lagi untuk ditegakkan.
Adapun istilah
awal dari ajaran spiritual Jawa adalah Jawadipa (bukan Jawadwipa yang berarti
Pulau Jawa). Istilah Jawadipa inilah yang kemudian berkembang menjadi
‘kebatinan’ (tahun 1960an). Istilah kebatinan pada tahun 1980an kemudian
berganti menjadi ‘Kapitayan’ serapan dari kata ‘Kepercayaan’. Kepercayaan
inilah yang saat ini dikenal secara yuridis sebagai Penghayatan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Shashangka, 2015).
Penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berbeda dengan kejawen. Kejawen adalah
perpaduan ajaran Islam sufistik dan Jawa Buda (sinkretis ajaran Siwa, Buddha
Mahayana/ Tantrayana, dan Jawadipa). Kejawen inilah yang diprakarsai oleh Wali
Sangan terutama Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga (Shashangka, 2015). Ajaran
kejawen inilah yang akhirnya sering disebut sebagai Islam abangan (Geertz,
2014).
b.
Pancasila:
Ketuhanan Yang Maha Esa
Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau agama lokal di Indonesia dilindungi oleh
Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun sila pertama
Pancasila tersebut terimplementasi dalam Himpunan Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa di bawah Direktorat Binyat Dirjen Kebudayaan
Depdikbud RI (Prawirohardjono, 2006). Selain itu, implementasi sila pertama
Pancasila juga terwujud dalam jaminan perlindungan hukum warga penghayat sesuai
dengan Peraturan Mendagri Nomor 33 Tahun 2013 tentang Pedoman Pendaftaran
Organisasi Kemasyarakatan Dilingkungan Kemendagri dan Pemda (Sumikan &
Rories, 2013).
Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu kearifan lokal agama asli
bangsa Indonesia (Riyanto et al, 2015). Agama asli bangsa Indonesia merupakan
kepercayaan spiritual yang diyakini memiliki akar otentik dari kebudayaan atau
tradisi masyarakat setempat (Soesilo, 2005; Dwiyanto, 2011). Otentisitas ini
masih diperdebatkan karena ajaran spiritual lokal Indonesia juga memiliki
kemiripan dengan ajaran Islam, Hindu, maupun Buddha (Soesilo, 2005; Chodjim,
2013; Chodjim, 2014; Chodjim, 2014; Warsito, Rasjidi, & Bakry, 1973).
Contoh
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa antara lain Paguyuban Ngesthi Tunggal
di Yogyakarta, Budi Utomo di Sleman, Persatuan Warga Sapta Darma di Yogyakarta
(Dwiyanto, 2011), Umat Pransoeh di Muntilan (Wasito, 1961), Ngesthi Kasampurnan
di Magelang (Prawirohardjono, 2006), Kaweruh Hak 101 di Cilacap (Sumikan &
Rories, 2013), dan lain-lain.
c.
Kaweruh
Hak 101
Kaweruh Hak 101
merupakan salah satu organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Organisasi Kaweruh Hak 101 beralamat di di Jl. Kapiwara RT 001, RW 007,
Desa Ayam Alas, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 53282.
Komunitas Kaweruh Hak 101 telah terdaftar sebagai Ormas berbadan hukum dengan
Akta AHU-221.AH.02.01/2008 Nomor 20.-/04 September 2013 (Sumikan & Rories,
2013).
Kaweruh Hak 101
memiliki dua ajaran pokok ketuhanan yang termaktub dalam sembahyangan sarasehan
dan lagu Sabda Palon (Sumikan &
Rories, 2013). Ajaran pokok ketuhanan sebagaimana dalam sembahyangan antara
lain.
Ajaran
pokok ketuhanan sebagaimana dalam lagu Sabda
Palon antara lain.
(Sumikan
& Rories, 2013)
4.
Solusi
Ketuhanan: Kembali Kepada Belas Kasih
Diskursus
spiritualitas ketuhanan terutama yang mengambil jalan penelitian ilmiah
merupakan aktivitas menarik karena dilatarbelakangi oleh kerinduan untuk
mengatasi konflik interpersonal antar manusia yang memiliki keyakinan spiritual
berbeda-beda. Studi spiritualitas semacam ini pada umumnya ingin menyodorkan
satu pendekatan humanis baru untuk meredam dan mengatasi konflik antar
keyakinan yang jamak terjadi dalam masyarakat. Sayangnya, pendekatan psikologi maupun
teologi semata ternyata tidak dapat mengatasi konflik antar keyakinan. Masalah
ini dikarenakan keragaman sudut pandang penyebab konflik yang tidak melulu
terkait masalah psikologi maupun teologi namun dapat jadi bermotif ekonomi dan
politik (Armstrong, 2001; Armstrong, 2001; Armstrong, 2004). Couteau (2015)
dalam artikel di Kompas Minggu, 25 Oktober 2015 bahkan menyebutkan bahwa motif
agama tidak lebih dari sekadar modus dalam memunculkan konflik antar pihak atau
golongan.
Akar masalah
spiritualitas juga dapat berupa diskursus eksistensial yaitu keberadaan Tuhan.
Masalah ini mulai jamak terjadi di Eropa yang nampak mulai amat anti dengan
kristianitas yang pada abad pertengahan sempat menggoreskan luka tak
tersembuhkan (Armstrong, 2013). Secara lebih holistik, masalah eksistensi tuhan
dapat disikapi secara filolosif dengan kembali mengacu pada esensi dari ada itu
sendiri. Tjaya (2015) menjelaskan keberadaan tuhan dengan amat baik. Tuhan
kiranya melampaui ada itu sendiri. Jika tuhan adalah kasih maka kasih harus
sudah ada sebelum ada. Tuhan harus lepas dari persyaratan-persyaratan yang
diperlukan manusia untuk berperilaku. Manusia perlu menjadi ada dahulu sebelum
berperilaku sedangkan tuhan semestinya tidak memerlukan kondisi ada terlebih
dahulu (Tjaya, 2015). Dengan demikian, tuhan tidak perlu ada karena tuhan lebih
ada (supreme being) dari pada ada (to be). Penjelasan Tjaya (2015) ini
kiranya menjadi pendekatan lebih humanis untuk menjembatani kaum antar kaum
pegiat masalah teologis.
Adapun studi
spiritualitas maupun diskusi lintas keyakinan bukanlah usaha untuk mencari
titik temu antar perbedaan kepercayaan (misalnya agama). Titik temu tidak akan
pernah ada. Perbedaan yang beraneka ragam tidak untuk disatukan namun untuk
dihidupkan bersama-sama (Prasetyantha, 2015). Pada akhirnya orang harus
mengambil jalan untuk kembali pada belas kasih. Spiritualitas yang baik tentu
menyebabkan perkembangan belas kasih antar sesama manusia. Belas kasih yang
melampaui sekadar tindak toleransi perlu dilatih agar manusia mampu berperilaku
secara humanis di tengah perbedaan yang tak terhindarkan (Armstrong, 2013).
Dengan demikian, manusia akan dapat hidup bahagian yang sebenarnya yaitu dapat
meninggal dalam damai sejahtera (Brahm, 2011).
E.
Kerangka
Berpikir Teoritik
![]() |
Penjelasan:
Fokus
penelitian untuk mengeksplorasi fenomena atau pengalaman pemaknaan tuhan pada
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 merupakan
reduksi fenomenologi agar bidang penelitian tidak terlalu generik. Fokus inilah
yang dipakai untuk mendapatkan data penelitian berupa paparan responden melalui
proses wawancara. Data wawancara pertama-tama ditranskrip kemudian diberi
komentar untuk memudahkan pemahaman konteks pemaknaan responden atau pesan
sebenarnya yang ingin disampaikan responden. Komentar ini kemudian digunakan
untuk membantu peneliti menarik tema-tema umum atau tema-tema sementara dari
tiap paparan atau bagian paparan responden. Tema umum kemudian dikumpulkan
secara kronologis lalu disusun secara berkelompok berdasarkan kemiripan tema
yang lebih umum (tema utama). Dari sini kemudian tema-tema utama dapat ditarik
secara interpretatif. Proses interpretasi kemudian dilanjutkan dalam pembahasan
dan diskusi dengan kajian teori yang lebih luas. Tahap akhir dari interpretasi
data adalah penarikan kesimpulan untuk masing-masing responden.
F.
Pertanyaan
Penelitian
Bagaimana
pemaknaan tuhan pada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh
Hak 101?
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini berjenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
interpretatif. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian ilmiah yang tidak
menggunakan metode kuantifikasi numerik untuk memperoleh data kualitatif. Data
kualitatif sendiri adalah segala data penelitian ilmiah yang bukan berbentuk
kuantitatif numerik (APA, 2007). Dengan demikian, cakupan pendekatan penelitian
kualitatif adalah sangat luas. Smith (2008) menggolongkan cakupan pendekatan
penelitian kualitatif ini menjadi tujuh pendekatan utama yaitu naratif,
fenomenologi, grounded theory,
analisis percakapan, analisis diskursus, fokus grup, dan fenomenologi
interpretatif.
Studi
fenomenologi interpretatif yang baik harus mampu untuk menggambarkan pengalaman
seobjektif mungkin berdasarkan kesadaran atau pemaknaan responden yang paling
hakiki dalam dimensi pribadi maupun dalam dimensi sosialnya (Smith, 2013; Husserl
dalam Tjaya, 2015). Proses pencarian makna responden dalam studi fenomenologi
interpretatif ini selalu didasarkan atas interpretasi data oleh peneliti.
Dengan demikian peneliti dituntut untuk tidak apriori sehingga subyektifitas
peneliti dalam analisis data dapat tereduksi.
Pendekatan
fenomenologi interpretatif dipakai dalam penelitian ini karena lebih relevan
untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ingin menggali makna dari fenomena
atau pengalaman spiritual ketuhanan responden. Kekhasan dari pendekatan
fenomenologi interpretatif adalah pada proses interpretasi selama analisis data
dan pengkajian hasil penelitian dengan teori yang lebih luas (Smith, 2008;
Smith, 2009; Smith, 2013).
B.
Fokus
Penelitian
Fokus
penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pemaknaan pengalaman spiritual
ketuhanan responden. Eksplorasi ini difokuskan atas cara-cara responden untuk
memaknai tuhan yang secara umum lebih tergali melalui paparan spiritualitas
ketuhanan. Dalam beberapa konteks, pendefinisian tuhan mungkin nampak terlalu
abstrak dan ambigu. Oleh sebab itu, eksplorasi makna tuhan lebih didekati
berdasarkan sudut pandang pemaknaan spiritualitas secara umum selama masih
terkait dengan ketuhanan. Berdasarkan paparan spiritualitas ketuhanan tersebut,
peneliti akan menginterpretasi fokus utama penelitian yaitu makna tuhan itu
sendiri.
C.
Sasaran
Komunitas Penelitian
1.
Karakteristik
Komunitas Penelitian
Responden
penelitian adalah dari komunitas yang telah dipilih sebelumnya sebagai sasaran
penelitian berdasarkan tujuan penelitian. Komunitas yang dipilih sebagai
sasaran melaksanakan penelitian adalah Organisasi Kemasyarakatan Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 di Jl. Kapiwara RT
001, RW 007, Desa Ayam Alas, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah
53282. Komunitas Kaweruh Hak 101 telah terdaftar sebagai Ormas berbadan hukum
dengan Akta AHU-221.AH.02.01/2008 Nomor 20.-/04 September 2013 (Sumikan &
Rories, 2013).
Penghayat
kepercayaan Kaweruh Hak 101 mengadakan kegiatan rutin berupa sembahyangan dan
sarasehan setiap Malam Jumat Manis pukul 07.00 – 24.00 WIB yang bertempat di
Padepokan Kaweruh Hak 101, Jl. Kapiwara RT 001, RW 007, Desa Ayam Alas,
Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 53282. Padepokan ini dapat
menampung sampai 50 orang penghayat yang hadir dalam kegiatan sembahyangan dan
sarasehan.
Penghayat
Kaweruh Hak 101 telah memiliki buku ajaran kepercayaan sendiri. Buku ini berisi
tata cara sembahyangan, nota-nota keputusan hukum keorganisasian, dan ajaran
kepercayaan dalam lagu Sabdo Palon.
Buku ini dipergunakan sebagai pegangan utama penghayat Kaweruh Hak 101 dalam
menghayati ajaran Kaweruh Hak 101 sehingga legal secara hukum berdasarkan
Peraturan Mendagri No. 33 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi
Kemasyarakatan Di Lingkungan Kemendagri dan Pemda (Sumikan & Rories, 2013).
Permen ini juga menjadi dasar bagi penghayat Kaweruh Hak 101 untuk mengosongkan
kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).
2.
Alasan
Pemilihan Komunitas Penelitian
Sampel dalam
penelitian fenomenologi interpretatif harus berasal dari satu komunitas
tertentu. Dalam hal ini, penelitian fenomenologi interpretatif memang cenderung
bersifat etnografis dan studi kasus karena ingin mengungkapkan pemaknaan
responden dalam dimensi personal dan sosial atas suatu fenomena (Smith, 2013;
Creswell, 2014). Dengan demikian pemilihan komunitas sampel dalam penelitian
ini dilakukan secara purposif.
Penelitian
fenomenologi interpretatif ini mengambil sampel komunitas Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101. Secara teoritik, pemilihan
komunitas penghayat kepercayaan dipilih karena organisasi ini masih tergolong
kecil dan tidak memiliki kompleksitas teologis sebagaimana dalam agama-agama
besar seperti Islam, kristiani, Hindu, maupun Buddha. Kesederhanaan latar
belakang teologis organisasi masyarakat yang setara dengan agama ini diharapkan
relatif lebih memudahkan proses interpretasi atau analisis data oleh peneliti
pemula. Ormas kecil juga dapat menjadi prototipe ekuivalen bagi agama besar
dalam hal penghayatan tuhan. Adapun setiap agama besar juga dimulai dari
pembentukan sekte kecil (Armstrong, 2015; Haryatmoko, 2015)
Selain itu,
komunitas penghayat kepercayaan Kaweruh Hak 101 dipilih karena organisasi ini
telah berbadan hukum dan memiliki standar kegiatan organisasi yang pasti.
Kaweruh Hak 101 merupakan satu-satunya organisasi penghayat kepercayaan yang
berbadan hukum di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan totalitas
komitmen penghayat untuk menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
secara terlepas dari keikutsertaan pada agama-agama besar seperti Islam atau
Kristiani. Totalitas ini juga ditunjukkan oleh pengosongan kolom agama dalam
KTP. Totalitas ini cenderung tidak dimiliki oleh penghayat kepercayaan lain di
luar Kabupaten Cilacap yang secara umum menganggap kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa sebagai spiritualitas kedua setelah agama. Dengan demikian,
pemilihan Kabupaten Cilacap dikarenakan oleh totalitas penghayat-penghayat
kepercayaan secara umum dengan mengosongkan kolom agama dalam KTP sedangkan
pemilihan organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 karena
Kaweruh Hak 101 merupakan satu-satunya organisasi penghayat kepercayaan yang
telah berbadan hukum ( http:// kebudayaan. kemdikbud. go.id/ditpkt /2014/04/10/sejarah-
direktorat-pembinaan -kepercayaan- terhadap-tuhan-yme-dan-tradisi/*; Hasil
wawancara dan catatan lapangan).
D.
Responden
Penelitian
Pemilihan
responden penelitian ditetapkan melalui sampling bertujuan. Sampling bertujuan
merupakan pemilihan sampel penelitian dengan melihat ciri-ciri pada individu
yang memenuhi kriteria sebagai responden untuk penelitian (Herdiansyah, 2010).
Syarat menjadi responden dalam penelitian ini adalah mampu bercerita (memaknai)
pengalaman ketuhanannya secara otentik baik dalam dimensi personal maupun
dimensi komunitas (Smith, 2013) Kaweruh Hak 101. Dengan demikian, responden
penelitian dipastikan terdaftar aktif sebagai penghayat kepercayaan Kaweruh Hak
101. Hal ini ditentukan agar penghayat yang menjadi responden penelitian
benar-benar memiliki pengalaman spiritual ketuhanan nyata terutama yang
bersumber dari pelaksanakan ajaran Kaweruh Hak 101. Dengan demikian responden
penelitian adalah dua tetua atau sesepuh Kaweruh
Hak 101 yang juga selaku ketua dan sekertaris 1 Kaweruh Hak 101 dan penyusun
buku ajaran Kaweruh Hak 101 (Sumikan & Rories, 2013).
E.
Sumber
Data
Sumber
data utama dari penelitian ini diperoleh dari wawancara semi terstruktur yang
dilakukan dengan dua responden penelitian. Wawancara semi terstruktur dilakukan
agar penelitian menghasilkan data yang terbuka pada berbagai kemungkinan hal
baru yang ingin diungkapkan responden. Selain itu, wawancara semi terstruktur
juga dapat menghasilkan data yang lebih mendalam dibandingkan bila menggunakan
wawancara terstruktur yang cenderung kaku (Smith, 2013). Pada dasarnya peneliti
menyiapkan daftar pertanyaan untuk memandu proses wawancara. Namun demikian
daftar itu tidak digunakan secara kaku. Peneliti lebih fleksibel dalam
mengikuti arah pembicaraan dengan responden. Adapun responden pada dasarnya
juga dibebaskan untuk mengarahkan pembicaraan selama masih ada dalam konteks
tujuan penelitian (Smith, 2013).
Sumber
data lain adalah observasi lapangan yang dilakukan sebelum, selama, dan sesudah
wawancara. Observasi juga menghasilkan catatan lapangan dari kegiatan
sembahyangan dan sarasehan Malam Jumat Manis di Padepokan Kaweruh Hak 101.
Adapun buku ajaran Kaweruh Hak 101 (Sumikan & Rories, 2013) juga menjadi
sumber data tambahan yang berguna untuk mengetahui tata cara sembahyangan dan
point-point ajaran Kaweruh Hak 101. Data-data sekunder ini tidak diikutsertakan
dalam proses interpretasi analisis data. Data-data sekunder ini dicadangkan
dengan kemungkinan akan bermanfaat dalam proses diskusi setelah pembahasan pada
Bab IV.
F.
Kehadiran
Peneliti
Kehadiran
peneliti di lokasi penelitian bersifat semi observatoris. Di luar wawancara
peneliti juga menghadiri sembahyangan dan sarasehan Malam Jumat Manis yang
diselenggarakan penghayat Kaweruh Hak 101. Kehadiran peneliti ini diharapkan
dapat semakin memperkaya pemahaman atas pengalaman dan motif-motif spiritual
responden. Kehadiran peneliti dalam sembahyangan dan sarasehan juga akan
meningkatkan pemahaman atas konteks sosial budaya lokasi penelitian yaitu
tradisi spiritual dan kehidupan sehari-hari adat Banyumasan.
G. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pencatatan lapangan dan
perekaman wawancara mendalam tak terstruktur dengan bantuan daftar pertanyaan
terbuka berdasarkan fokus penelitian. Wawancara mendalam merupakan usaha
eksplorasi pengalaman spiritual responden dengan cara menggali pemaknaan
responden yang paling primer (Moore dalam Suseno, 2006). Upaya menggali makna
primern ini juga menggunakan prinsip berpikir kritis yaitu selalu mengejar
maksud-maksud penjelasan subyek yang belum jelas (Moore & Parker, 1986).
Tabel.
1
Daftar
Pertanyaan Wawancara
________________________________________________________________________
No Pertanyaan
Wawancara
________________________________________________________________________
1. Dapatkah anda ceritakan dasar atau
inti ajaran Kaweruh Hak 101?
2. Bagaimanakah pengalaman anda dalam
menghayati ajaran Kaweruh Hak 101?
3. Pengalaman apa yang paling berkesan?
4. Apakah makna dari pengalaman tersebut?
5. Mengapa anda akhirnya memutuskan untuk
menghayati Kaweruh Hak 101?
6. Apakah ada pengalaman duka terkait
dengan penghayatan Kaweruh Hak 101?
7. Apakah ada masalah dalam penghayatan
Kaweruh Hak 101?
8. Bagaimana anda memecahkan masalah
tersebut?
9.
Bagaimanakah gambaran tuhan dalam
Kaweruh Hak 101?
10. Apakah ketuhanan Yang Maha Esa itu?
11. Bagaimana cara anda menghayati Tuhan
Yang Maha Esa?
12. Apa pendapat anda tentang politik di
Indonesia akhir-akhir ini?
Tahapan
wawancara:
1. Mengikuti
acara sembahyangan dan sarasehan Kaweruh Hak 101.
2. Mencari
dan menghubungi responden berdasarkan sampling bertujuan.
3. Mengenal
responden lebih jauh dengan berkunjung (raport).
4. Melakukan
wawancara utama dengan meminta ijin untuk merekam suara. Adapun informed concent atau ijin dilakukan
secara lisan untuk benar-benar menganonimkan responden penelitian.
Keterangan:
Pengambilan
data dilakukan sebanya tiga kali. Wawancara pertama dilakukan setelah kunjungan
pertama (raport). Pengambilan data pertama ini bertujuan untuk eksplorasi
pengalaman responden secara lebih bebas. Dua kali pengambilan data yang
selanjutnya mulai difokuskan pada pengalaman penghayatan responden atas
spiritualitas ketuhanan dalam Kaweruh Hak 101. Adapun wawancara dilakukan
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (Jogja-Banyumasan) secara campur.
Peneliti juga tidak terpaku pada daftar pertanyaan yang telah dibuat. Wawancara
dibawa mengalir seperti percakapan antara guru dan murid dengan peneliti
menempatkan diri sebagai murid. Wawancara direkam dengan digital recorder dari ponsel.
H. Metode Analisis Data
Tujuan
utama analisis data kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif
adalah untuk memahami dan mendeskripsikan (mengeksplorasi) pemaknaan responden
atas pengalamannya yang dalam hal ini adalah seputar penghayatan spiritualitas
ketuhanan dalam Kaweruh Hak 101. Adapun proses analisis data adalah sebagai
berikut (Smith, 2013):
1. Melakukan
transkrip wawancara dan catatan lapangan.
2. Membaca
transkrip secara berulang-ulang sampai memahami konteks pemaknaan responden.
3. Menuliskan
komentar atau hal-hal yang menarik dan signifikan dari paparan responden.
Komentar juga dapat berisi saduran paparan responden secara lebih generik
maupun interpretasi tematik pendahuluan. Adapun komentar dituliskan di kolom
sebelah kiri transkrip.
4. Menentukan
tema-tema umum yang muncul dalam transkrip wawancara. Tema merupakan bentuk
sintesa dari komentar secara lebih generik. Kemiripan tema mungkin terjadi
sepanjang analisis tematik. Penulisan tema yang mirip tidak perlu memperhatikan
kesamaan kata-kata yang dipakai karena akan dilakukan pengelompokan tema pada
tahap analisis data selanjutnya. Frekuensi kemunculan tema yang sama juga tidak
menandakan lebih kuatnya makna tertentu dibandingkan dengan makna lain yang
memiliki frekuensi kemunculan tema yang lebih sedikit. Dengan demikian
penulisan tema-tema umum tetap berpegang pada interpretaasi makna responden
pada bagian transkrip terkait.
5. Menuliskan
daftar tema-tema yang muncul dalam tabel tersendiri. Tema-tema ini dituliskan
secara kronologis. Penulisan daftar tema secara kronologis ini akan memudahkan
proses analisis data selanjutnya yaitu untuk menemukan tema utama.
6. Menuliskan
pengelompokan tema-tema dalam tabel tersendiri. Tema yang dikelompokkan adalah
tema yang telah dituliskan dalam daftar tema secara kronologis. Pengelompokan
tema dilakukan berdasarkan kemiripan tema utama yang melandasi beberapa tema.
Pengelompokan tema ini akan memudahkan peneliti untuk menarik tema utama.
7. Menuliskan
tema utama pada tabel tersendiri. Tema utama inilah yang ditarik dari tema-tema
yang sebelumnya telah dikelompokkan. Dalam satu kelompok tema mungkin akan
ditemukan lebih dari satu tema utama. Adapun dalam tabel yang sama juga
disertakan identifier berupa keterangan baris dan halaman di mana tema-tema
ditemukan dalam transkrip. Selain itu juga dituliskan kata-kata kunci untuk
masing-masing tema. Penulisan identifier bertujuan untuk memudahkan peneliti
dalam melakukan pembahasan hasil penelitian yang senantiasa memerlukan
bukti-bukti paparan responden dalam transkrip.
8. Melakukan
analisis data interpretatif dengan metode yang sama untuk responden 2.
9. Menuliskan
pembahasan dengan menguraikan kembali tema-tema utama yang muncul. Pembahasan
tuliskan secara deskriptif atau naratif tanpa tabel. Teknik yang dipakai dalam
pembahasan masih berupa interpretasi makna-makna tema utama. Pembahasan ini
memuat dinamika antar tema dalam tema utama maupun antar tema utama. Pembahasan
masing-masing responden dituliskan secara terpisah.
10. Menuliskan
diskusi penelitian secara deskriptif atau naratif tanpa tabel. Diskusi berisi
kajian teoritik hasil pembahasan dengan teori-teori yang lebih luas sebagaimana
telah dituliskan dalam kajian teori. Teknik interpretatif masih dipakai dalam
diskusi ini. Adapun kedalaman penelitian akan sangat ditentukan oleh sejauh
mana diskusi akan membicarakan kajian teoritik atas pembahasan penelitian.
Diskusi penelitian masing-masing responden dituliskan secara terpisah.
11. Perbandingan
analisis pembahasan dan diskusi kajian teoritik antar responden. Perbandingan
makna antar responden bermanfaat untuk memperkaya interpretasi dalam diskusi
meski tidak akan mempengaruhi kesimpulan penelitian. Pendekatan fenomenologi
interpretatif sebenarnya tidak mengharuskan adanya perbandingan makna antar
responden. Namun demikian hal ini tetap dapat dilakukan untuk memperluas sudut
pandang makna-makna pengalaman responden meski tidak bertujuan untuk melakukan
generalisasi.
I.
Kualitas
Riset Kualitatif
1.
Kajian
Teoritis tentang Kualitas Riset Kualitatif
Paradigma
filosofis keabsahan data dalam penelitian kualitatif tidak sama dengan
paradigma filosofis keabsahan data yang dipakai dalam penelitian kuantitatif.
Kajian keabsahan data ini membuat kecenderungan munculnya dua istilah yaitu
validitas dan reliabilitas. Dua kata tersebut lebih identik dengan penelitian
kuantitatif karena menuntut uji kualitas riset secara numerik pasca riset
kualitatif selesai dijalankan. Prinsip ini jauh berbeda dengan uji kualitas
riset kualitatif yang dilakukan secara deskriptif berdasarkan proses pengerjaan
penelitian dari awal hingga akhir. Prinsip uji kualitas riset kualitatif ini
pada dasarnya dilakukan peneliti sejak awal penelitian sebagai pedoman tindakan
riset yang harus selalu dijalankan. Dengan demikian istilah keabsahan data yang
dipakai dalam penelitian kualitatif yang secara prinsip filosofis ekuivalen
dengan validitas dan reliabilitas adalah kualitas riset kualitatif (Smith, 2013).
Prinsip umum
metode penegakan kualitas riset kualitatif adalah kejelasan prosedural dan
generalisasi prosedur. Metode penegakan kualitas riset kualitatif yang baik
harus terjabarkan secara jelas secara prosedural. Prosedur yang jelas ini juga
harus dapat dijalankan untuk seluruh pendekatan riset kualitatif (generalisasi
prosedur). Prinsip umum metode penegakan kualitas riset kualitatif tersebut
terwujud dalam prosedur (validasi) sebagai berikut: memperhatikan kepekaan
terhadap konteks, komitmen, keketatan, transparansi, koherensi, dampak &
arti penting, audit independen (Smith, 2013).
2.
Kepekaan
Terhadap Konteks
Penelitian
kualitatif menjadi berkualitas, absah, dan ilmiah apabila peneliti peka
terhadap beberapa koteks dalam penelitian. Kepekaan terhadap konteks merupakan
usaha penegakan kualitas riset kualitatif yang dalam penelitian ini dilakukan
sejak awal oleh peneliti dengan cara (Smith, 2013):
2.1.
Peka terhadap konteks kajian pustaka.
Peneliti melakukan kajian pustaka mendalam untuk menarik topik penelitian dan
mengangkatnya dalam proposal penelitian. Kajian pustaka didalami dan terus
diperbaharui sepanjang proses penelitian apabila peneliti menemukan hal-hal
baru yang relevan dengan topik penelitian. Penguasaan kajian pustaka ini nanti
akan dibuktikan dalam penulisan subbab diskusi pada bab IV. Creswell (2014)
menyebut prosedur ini sebagai trianggulasi teoritik. Dengan kepekaan (menguasai)
kajian teori yang mendalam, peneliti akan dapat membuat diskusi yang kritis,
terbuka atas berbagai sudut pandang, mendalam, adekuat, namun tetap membuka
kemungkinan terhadap falsifikasi.
2.2.
Peka terhadap metodologi penelitian yang
dipakai. Peneliti mendalami metodologi penelitian yang dipakai yaitu riset
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif. Pemahaman mendalam
atas metolodogi akan membuat konsistensi penulisan penelitian berdasarkan
standar ilmiah penulisan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan para ahli.
Dengan ini penelitian kualitatif akan dikatakan ilmiah karena disamping
landasan keyakinan filosofis melalui kajian pustaka, juga dilandasai oleh
prosedur yang telah mapan.
2.3.
Peka terhadap data lapangan. Peneliti mendalami
data lapangan yang didapat dan membacanya berulang-ulang. Pendalaman atas data
riset akan membuat peneliti makin mampu untuk menangkap pemaknaan responden
seobjektif mungkin. Dengan ini proses interpretasi akan dilakukan secara
profesional tanpa pengaruh keberpihakan filosofis pribadi peneliti yang terlalu
ekstrem.
2.4.
Peka terhadap konteks lapangan. Peneliti
memahami konteks situasi dan kondisi lapangan di mana penelitian dijalankan.
Pemahaman ini diperjuangkan peneliti dengan menghadiri acara sembahyangan dan
sarasehan Kaweruh Hak 101 sebelum memulai riset dan setiap sebelum pengambilan
data. Pemahaman atas konteks lapangan juga diusahakan peneliti dengan cara
melakukan wawancara tak terstruktur secara langsung dengan mendatangi kediaman
responden. Kehadiran peneliti seperti ini akan lebih membawa pemahaman atas
kondisi lapangan dari pada melakukan wawancara melalui ponsel. Kepekaan
terhadap konteks lapangan juga telah terwujud dalam rupa pengangkatan peneliti
sebagai anggota tidak tetap Ormas Kaweruh Hak 101 dan kontribusi peneliti dalam
pencetakan buku ajaran Kaweruh Hak 101 Jilid 2. Kepekaan terhadap konteks
lapangan juga dapat dilihat dalam paparan responden 2 yang berani mengungkapkan
beberapa hal ihwal yang sebenarnya rahasia. Hal ini menandakan bahwa kehadian peneliti
telah disikapi secara nyaman.
2.5.
Peka untuk menuliskan bukti transkrip
yang dirasa perlu untuk mendukung dinamika pembahasan. Penulisan bukti
transkrip dalam pembahasan akan memberi legitimasi atas dinamika interpretasi
yang dilakukan.
3.
Komitmen,
Keketatan, Transparansi, dan Koherensi
3.1. Komitmen
merupakan usaha menegakkan kualitas riset kualitatif yang dilakukan dengan
konsistensi untuk menggunakan satu pendekatan penelitian yang dalam hal ini
fenomenologi interpretatif. Komintmen ini dapat dilihat dalam analisis data
yang menggunakan prosedur analisis data fenomenologi interpretatif dan bukan
prosedur pendekatan penelitian kualitatif lain. Kepekaan terhadap konteks
lapangan juga dianggap sebagai wujud komitmen dalam melakukan penelitian
(Smith, 2013).
3.2. Keketatan
merupakan usaha menegakkan kualitas riset kualitatif yang dilakukan dengan
memastikan kelengkapan pelaksanaan prosedur penelitian dari awal hingga akhir
termasuk kelengkapan berkas laporan penelitian. Keketatan juga dilakukan
peneliti dengan memastikan bahwa sampel yang dipilih telah relevan dengan
tujuan penelitian. Dengan demikian, sampling purposif merupakan salah satu
wujud keketatan (Smith, 2013).
3.3. Transparansi
merupakan usaha menegakkan kualitas riset kualitatif yang dilakukan dengan
penyajian laporan penelitian secara transparan yaitu tanpa ada data yang
ditutup-tutupi karena kredibilitas etika anonimitas bank data yang tak
diragukan lagi. Bank data dalam hal ini adalah institusi di mana peneliti akan
memberikan hasil penelitian yaitu Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Transparansi akan dapat dilihat dari kelengkapan berkas laporan penelitian ini
baik secara hard copy maupun soft copy sehingga memudahkan berbagai pihak yang
akan melakukan evaluasi atas penelitian ini (Smith, 2013).
3.4. Koherensi
merupakan usaha menegakkan kualitas riset kualitatif yang dilakukan dengan
memastikan bahwa topik dan pendekatan penelitian ini ditentukan berdasarkan
kegelisahan peneliti atau asumsi dan keyakinan filosofis peneliti (Smith, 2013;
Creswell, 2014). Koherensi juga ditunjukkan oleh alur penulisan laporan
penelitian ini yang logis dan koheren mulai dari judul sampai pada kesimpulan
(Smith, 2013).
4. Dampak
dan Arti Penting
Riset kualitatif
yang absah, ilmiah, dan berkualitas adalah riset yang mampu menunjukkan dampak
dan arti penting hasil penelitian bagi masyarakat luas. Riset harus bermanfaat
dan sebisamungkin dapat mengemukakan hal baru secara teoritik (Smith, 2013).
Adapun manfaat penelitian telah dituliskan dalam Bab I. Secara lebih praktis
lagi, peneliti juga mengusahakan dampak dan arti penting penelitian ini dengan
cara mempublikasikan proses penelitian (secara bertahap), gagasan filosofis
baru berdasarkan penelitian ini, dan hasil penelitian secara tekstural melalui
blog pribadi yaitu mbahdam.blogspot.com. Selain itu, usaha publikasi juga
dilakukan secara audiovisual melalui channel youtube pribadi peneliti yaitu
Surat Mbah Dam. Dengan demikian secara praktis peneliti dapat semakin berharap
bahwa penelitian ini akan berdampak penting bagi perubahan sosial secara luas
misalnya perubahan cara berpikir secara lebih filosofis dan meninggalkan
kecenderungan katanya & pokoknya (url
blog dan youtube akan disertakan)
5. Audit
Independen
Audit independen
merupakan uji kualitas riset kualitatif yang dilakukan oleh tim audit independen
yang tidak melakukan riset kualitatif (Smith, 2013). Dalam konteks penelitian
ini, audit independen dilakukan oleh tim penguji dalam ujian pendadaran. Adapun
kontribusi peneliti untuk meningkatkan kualitas riset dengan demikian dilakukan
dengan menyediakan laporan penelitian sebaik mungkin berdasarkan kriteria
kepekaan terhadap konteks, komitmen, keketatan, transparansi, koherensi,
dampak, dan arti penting sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya. Seluruh
manuskrip proses penelitian dari awal hingga akhir juga akan disertakan (dalam soft copy) sehingga tim audit independen
dapat memeriksa perkembangan revisi dari proposal penelitian hingga kesimpulan
akhir.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Penelitian
1.
Konteks
Lapangan
Penelitian ini
mengambil responden dari komunitas Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa Kaweruh Hak 101 di Jl. Kapiwara RT 001, RW 007, Desa Ayam Alas,
Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 53282. Komunitas Kaweruh Hak
101 yang telah terdaftar sebagai Ormas berbadan hukum dengan Akta
AHU-221.AH.02.01/2008 Nomor 20.-/04 September 2013 (Sumikan & Rories,
2013). Latar belakang budaya komunitas ini adalah Jawa Banyumasan. Komunitas
juga melakukan kegiatan rutin berupa sembahyangan dan sarasehan yaitu tiap
malam Jumat Manis di tempat yang sama.
Konteks
spiritual masyarakat Cilacap cenderung beragam meski masih bersifat agraris.
Ragam ditunjukkan oleh banyaknya komunitas penghayat kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa di samping agama-agama besar yang telah mapan seperti Islam,
Budha, dan Kristiani. Cukup disayangkan, organisasi penghayat kepercayaan yang
telah berbadan hukum resmi baru Kaweruh Hak 101 di tengah puluhan organisasi
lain yang tersebar secara sporadis. Semangat agraris ditunjukkan oleh komitmen
untuk mengosongkan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang menandakan
totalitas diri sebagai penghayat. Sisi buruk dari semangat agraris ini adalah
fundamentalisme atau militanisme yang muncul pada beberapa organisasi penghayat
yang belum berbadan hukum. Fanatisme tersebut misalnya ditunjukkan oleh adanya
organisasi penghayat tertentu yang mendiskriminasi warga yang tidak tergabung
dalam kepenghayatan misalnya karena masih memegang teguh agama konvensional.
Secara holistik,
dilaporkan oleh beberapa orang dalam pengamatan lapangan yang dilakukan
peneliti, isu toleransi cenderung terjadi secara sporadis. Terdapat daerah yang
memegang teguh semangat toleransi namun juga ada daerah yang kurang toleran.
Salah satu penghayat Kaweruh Hak 101 juga pernah menjadi dampak intoleransi
dari kaum mayoritas Islam. Sebaliknya, di alamat padepokan Kaweruh Hak 101
sendiri tercipta toleransi yang baik antar warga penghayat dan agama.
2.
Profil
Responden
a. Responden
1
Responden
pertama adalah salah satu sesepuh atau
yang dituakan dalam komunitas Kaweruh Hak 101. Responden 1 beralamat di Desa
Glempang Pasir, Kec. Adipala, Kab. Cilacap, Jawa Tengah. Profesi responden 1
adalah petani sekaligus pedagang makanan. Responden 1 adalah lulusan SLTP,
berusia 46 tahun, telah menikah, dan memiliki tiga orang anak. Istri bekerja
sebagai TKI di luar negri.
Responden 1
adalah orang yang sangat ramah dan antusias dalam menjawab setiap pertanyaan
peneliti. Responden 1 senang sekali bercerita sampai sering sulit untuk disela
peneliti yang ingin beralih topik. Responden 1 juga orang yang memiliki
disiplin spiritual misalnya dilihat dari cara berpakaian yang dilengkapi dengan
ikat kepala, atribut-atribut rumah yang kental dengan suasana spiritualitas
Jawa, dan pemakaian bahasa Jawaa halus yang sangat baik.
b. Responden
2
Responden kedua
adalah sesepuh utama dalam komunitas
Kaweruh Hak 101 karena merupakan ahli waris pendiri yang dahulu masih bernama
Kaweruh Hak saja. Responden 2 bermukim di Jl. Kapiwara RT 001, RW 007, Desa
Ayam Alas, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yaitu di depan
sanggar pertemuan atau padepokan Kaweruh Hak 101. Sehari-hari, responden 2
berprofesi sebagai petani dan supir mobil bila sedang ada job. Pendidikan
terakhir responden 2 yang kini berusia 49 tahun adalah SLTP. Responden 2 juga
telah menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Istri bekerja sebagai ibu rumah
tangga.
Sebagai tuan
rumah dan ahli waris organisasi, responden 2 dikenal sangat ramah dan selalu
senang menerima tamu. Keluarga responden 2 senang menyediakan makanan
alakadarnya pada setiap tamu. Tamu sering hadir untuk meminta nasihat spiritual
maupun penyembuhan-penyembuhan alternatif dengan metode spiritual. Responden 2
nampak memiliki kekuatan adialami yang enggan dinyatakannya. Responden 2 hanya
ingin berbagi dan tidak ingin sombong dengan kemampuan yang dimiliki. Responden
2 memang terkesan memiliki daya magi yang membuat tiap tamu merasa sudah
diketahui maksud kehadirannya. Namun demikian, peneliti sendiri merasa nyaman
dengan responden 2 yang tidak cenderung intimidatif.
Responden 2
sangat kooperatif selama proses wawancara dengan peneliti. Antusiasme terkadang
sampai beberapa kali membuat nafas responden 2 tidak teratur. Mungkin responden
2 memiliki penyakit asma atau sesak nafas. Paparan responden 2 tergolong cepat
hingga terkadang sulit dipahami karena logat Banyumasan yang jauh lebih kental
dari pada responden 1. Ketika menjawab pertanyaan wawancara dengan bahasa
Indonesiapun, logat Banyumasan responden 2 masih amat kental. Namun demikian,
intonasi suara responden 2 tergolong sangat baik.
3.
Pelaksanaan
Wawancara
Tabel.
2
Pelaksanaan
Wawancara
_____________________________________________________________________
Responden Waktu Lokasi
_____________________________________________________________________
1 17
April 2015/ 07.30 – 10.30 WIB Rumah Responden 1
23
Mei 2015/ 07.45 – 10.45 WIB Rumah Responden 1
26
Juni 2015/ 07.15 – 11.15 WIB Rumah Responden 1
2 17
April 2015/ 18.00 – 20.00 WIB Rumah Responden 2
23
Mei 2015/ 18.00 – 20.00 WIB Rumah Responden 2
26
Juni 2015/ 18.00 – 20.00 WIB Rumah Responden 2
B.
Hasil
Penelitian
1. Responden
1
a.
Tema Kronologis
Tema-tema yang
muncul dalam transkrip wawancara responden 1 disajikan secara kronologis dalam
tabel berikut:
b.
Pengelompokan Tema
Tema-tema yang
muncul secara kronologis dalam transkrip wawancara responden 1 kemudian
disajikan secara berkelompok berdasarkan kemiripan tema yang lebih generik
(tema utama). Kluster tema disajikan dalam tabel berikut:
c.
Analisis Tema Utama
Tema-tema utama yang dapat ditarik
berdasarkan kluster tema responden 1 disajikan dalam tabel berikut:
2. Responden
2
a. Tema
Kronologis
Tema-tema yang
muncul dalam transkrip wawancara responden 2 disajikan secara kronologis dalam
tabel berikut:
b. Pengelompokan
Tema
Tema-tema yang
muncul secara kronologis dalam transkrip wawancara responden 2 kemudian
disajikan secara berkelompok berdasarkan kemiripan tema yang lebih generik
(tema utama). Kluster tema disajikan dalam tabel berikut:
c. Analisis
Tema Utama
Tema-tema utama
yang dapat ditarik berdasarkan kluster tema responden 1 disajikan dalam tabel
berikut:
C.
Pembahasan
1.
Interpretasi
Tematik Responden 1
2.
Interpretasi
Tematik Responden 2
D.
Diskusi
1.
Diskusi
Teoritik Responden 1
2.
Diskusi
Teoritik Responden 2
E.
Perbandingan
Antar Responden
1.
Perbandingan
Pembahasan Tematik
2.
Perbandingan
Diskusi Teoritik
BAB V
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
B.
Analisis
Falsifikasi Penelitian
C.
Saran
Penelitian Selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
(daftar pustaka yang berikutnya sudah
memakai standar APA)
Abt, L. A., & Bellak, L. (1959).
Projective Psychology, Clinicall
Approaches to the Total Personality. New York: Grove Press.
Achenbach, T. M. (1974). Developmental Psychopathology. New York:
John Wiley and Sons, Inc.
Al-Quran Sahabat. Klaten: CV. Sahabat.
Ahmadi, R. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Anderson, B. R. O. (2003). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa.
Yogyakarta: Bentang Budaya.
APA. (2007). APA Dictionary of Psychology. Washington: APA.
Armstrong, K. (2001). The Battle for God. USA: The Ballantine
Book.
Armstrong, K. (2003). Melintas Gerbang Sempit: Kisah Biarawati,
Autobiografi Spiritual. Surabaya: Pustaka Promethea.
Armstrong, K. (2003). Islam: Sejarang Singkat. Yogyakarta:
Penerbit Jendela.
Armstrong, K. (2004). Berperang Demi Tuhan. Jakarta: Serambi.
Armstrong, K. (2006). Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
Armstrong, K. (2007). The Great Transformation Awal Sejarah Tuhan.
Bandung: Mizan.
Armstrong, K. (2013). Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas
Kasih. Bandung: Mizan.
Armstrong, K. (2013). Masa Depan Tuhan. Bandung: Mizan.
Armstrong, K. (2013). Sejarah Alkitab. Bandung: Mizan.
Armstrong, K. (2015). Sejarah Tuhan, Kisah 4000 Tahun Pencarian
Tuhan dalam Agama-Agama Manusia. Bandung: Mizan.
Barbour, I. (2002). Juru Bicara Tuhan. Bandung: Mizan.
Baumgardner, S. R., & Crothers, M.
K. (2009). Positive Psychology. New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Bellak, L., & Abrams, D. M. (1997). The Thematic Apperception Test, The
Children’s Apperception Test, and The Senior Apperception Technique in Clinical
Use. USA: Allyn and Bacon.
Bjork, E. L., & Bjork, R. A. (1996).
Memory: Handbook of Perception and
Cognition second edition. USA: Academic Press, Inc.
Bloom, P. (2005). Is God an Accident?. The Atlantic Monthly, December 2005.
Boeving, N. G. (2010). Spiritualism. Dalam Leeming, D. A.,
Madden, K., & Marlan, S. (2010). Encyclopedia
of Psychology and Religion. USA: Springer Science.
Bonelli,
R. M., & Koenig, H. G. (2013). Mental Disorders, Religion and Spirituality
1990 to 2010: A Systematic Evidence-Based Review. Journal of J Relig Health (2013) 52:657–673 DOI
10.1007/s10943-013-9691-4. New York: Springer Science+Business Media.
Brahm, A. (2011). Hidup Senang Mati Tenang. Tangerang: Ehipassiko.
Brill, A. A. (1938). The Basic Writings Of Sigmund Freud. New
York: Random House, Inc.
Carey, P. (1974). The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java Pangeran
Diponegoro, a case study. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Carey, P. (1986). Asal-Usul Perang Jawa Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh.
Jakarta: Pustaka Azet.
Carey, P. (1986). Ekologi Kebudayaan Jawa. Jakarta: Pustaka Azet.
Chodjim, A. (2014). Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Chodjim, A. (2014). Syekh Siti Jenar Makna Kematian. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Chodjim, A. (2013). Syekh
Siti Jenar Makrifat Kesunyataan 1. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Chow, R. K. (2005). Life’s Quest For
Spiritual Well-Being: A Holistic and Gerontological Nurse Perspective. Unboundmedicine Imprint Journal Sep-Oct;52(4):80-3.
PMID:16294647.
Coelho, P.
(2014). Seperti Sungai yang Mengalir.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Couteau, J. (2015). Semoga Belum
Terlambat. Artikel Kompas Minggu, 25
Oktober 2015 hlmn. 13.
Crapps, R. W. (1993). Dialog Psikologi dan Agama Sejak William
James hingga Gordon W. Allport. Yogyakarta: Kanisius.
Creswell, J. W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, dan Mixed Ed. 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset
Memilih Di Antara Lima Pendekatan ed. 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dagun, S. M. (2006). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan edisi kedua.
Jakarta: Golo Riwu.
Damasio, A. (2009). Memahami Kerja Otak. Yogyakarta: Penerbit BACA!.
Danesi, M. (2011). Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Dawkins, R. (2006). The God Delution. UK: Bantam Books.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Descartes, R. (1995). Risalah Tentang Metode. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Dhakidae, D., Witdarmono, H., &
Santoso, F. H. (2001). Profil Daerah
Kabupaten dan Kota. Jakarta: Buku Kompas.
Dwiyanto, D. (2011). Bangkitnya Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan YME. Yogyakarta: Ampera Utama.
Echols, J. M., & Shadily, H. (2000).
Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia Jakarta.
Eliade, M. (1959). The Sacred and the Profane: the Nature Religion. New York:
Harcourt, Bracean Company.
Eliade, M. (2002). Mitos: Gerak Kembali Yang Abadi Kosmos
Dan Sejarah. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Ellis,
A. (1980). “Psychotherapy and Atheistic Values: A Response to A.E. Bergin’s
‘Psychotherapy and Religious Values.’ Journal of Consulting and Clinical
Psychology 48:635-39.
Ellison,
C. G., & Levin, J. S. (1998). “The Religion-Health Connection: Evidence,
Theory, and Future Directions.” Health Education and Behavior 25:700-720.
Ellison,
C. G., Boardman, J. D., Williams, D. R., & Jackson, J. S. (2001). Religious Involvement, Stress, and Mental Health:
Findings from the 1995 Detroit Area Study. Social Forces, September 2001, 80(1):215-249 The
University of North Carolina Press.
Endraswara, S. (2010). Etika
Kebijaksanaan Dalam Ajaran Budi Pekerti Luhur Penghayat Kepercayaan Kejawen. Makara,
Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 1, Juli 2010: 1-10.
Endraswara, S., Pujiharto., Taum, Y. Y.,
Widayat, A., & Santosa, E. (2013). Folklore
dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern: Kesatuan dan Keberagaman.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Foucault, M. (1999). Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai,
Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault. Jogjakarta: Jalasutra.
Frager, R. (2014). Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh. Jakarta:
Penerbit Zaman.
Frankl, V. E. (1963). Man’s Search for Meaning: An Introduction to
Logotherapy. London: Hodder and Stougton.
Freud, S. (2002). Civilization and Its Discontents: Peradaban dan Kekecewaan-Kekecewaan.
Yogyakarta: Jendela.
Freud, S. (2002). Psikoanalisis Sigmund Freud. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Freud, S. (2002). Totem dan Tabu. Yogyakarta: Jendela.
Freud, S. (2010). Cinta yang Menyimpang. Surabaya: Portico Publishing.
Fromm, E. (2011). Manusia Menjadi Tuhan. Yogyakarta: Jalasutra.
Fudyartanto, K. (2003). Psikologi Kepribadian Timur. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gaarder, J. (2006). Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan.
Geertz, C. (2014). Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Hamilton, E. (1942). Mithology. New York: Mentor Books.
Haq, M. Z. (2011). Jalaluddin Rumi: Terbang Menuju Keabadian Cinta Hingga Makna di Balik
Kisah. Bantul: Kreasi Wacana Offset.
Harris, S. (2005). The End of Faith. USA: W.W. Norton & Company, Inc.
Harris, S. (2006). Letter to a Christian Nation. USA: Personal Essay.
Haught, J. (1995). Science & Religion from Conflict to Conversation. USA: Paulist
Press.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
Grand Design. New York: Random House, Inc. Dipungut dari www.qiraat.net/.
Heridiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk
Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta Selatan: Penerbit Salemba Humanika.
Herusatoto, B. (2012). Mitologi Jawa. Depok: Oncor Semesta
Ilmu.
Hitchens,
C. (2007). God is not Great. USA:
Twelve Books.
Huffman,
K., Vernoy, M., & Vernoy, J. (2000). Psychology
in Action 5th ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Idler,
E. (2008). The
Psychological and Physical Benefits of Spiritual/Religious Practices. Article
of Spirituality in Higher Education Newsletter Vol. 4, Issue 2.
Irmawati. Pemberdayaan kearifan
lokal melalui pendekatan psikologi ulayat untuk pembangunan bangsa. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Kampus USU, 20 September 2008.
Isaccson, W. (2013). Einstein: Kehidupan dan Pengaruhnya Bagi
Dunia. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Ivtzan, I., Chan, C. P. L., Gardner, H.
E., & Prashar, K. (2011). Linking Religion and Spirituality with
Psychological Well-being: Examining Self-actualisation, Meaning in Life, and
Personal Growth Initiative. Springer
Journal of Religion and Health ISSN 0022-4197 DOI 10.1007/s10943-011-9540-2.
Jalil, A. (2013). Spiritual Enterpreneurship Transformasi Spiritualitas Kewirausahaan.
Yogyakarta: Penerbit LkiS.
James,
A., & Wells, A. (2003). Religion
and mental health: Towards a cognitive-behavioural framework. British Journal of Health Psychology (2003),
8, 359–376 © 2003 The British
Psychological Society
James, W. (2015). The Varieties of Religious Experience: Pengalaman-Pengalaman Religius.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Jatmika, S. (2009). Urip Mung Mampir Ngguyu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Jatmiko, A. (2012). Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Kaelan, M. S. (1991). Filsafat Pancasila: disusun berdasarkan
silabus dan SAP tahun 1990. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Keraf, A. S., & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius.
Kim, S. S. (2008). Interdependence of
Spirituality and Well-Being Among Korean Elders and Family Caregivers. Dissertation from The University of Arizona.
Kim, U., Yang, K. S., & Hwang, K. H.
(2010). Indigenous and Cultural
Psychology: Memahami Orang Dalam Konteksnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kirchberger, G. (2007). Allah Menggugat: Sebuah Dogma Kristiani.
Maumere: Ledalero.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008).
Jakarta: Gramedia.
Khab, J. (2014). Memajukan Usaha dengan Ritual-Spiritual Agama. Diambil dari http://www. nu. or.id/a, public - m, dinamic-s, detail-
ids,12-id, 56510- lang ,id-c, buku -t, Memajukan +Usaha+dengan+Ritual+Spiritual+Agama-.phpx
Koentjaraningrat. (1967). Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: Dian Rakyat.
Leeming, D. A., Madden, K., &
Marlan, S. (2010). Encyclopedia of
Psychology and Religion. USA: Springer Science.
Lehmann, A. C., & Myers, J. E.
(1985). Magic, Witchcraft, and Religion:
An Anthropological Study of the Supernatural. California: Mayfield
Publishing Company.
Lembaga Alkitab Indonesia. (2001). Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: LAI.
Liwarti.
(2013). Hubungan pengalaman spiritual dengan psychological well-being pada
penghuni lembaga pemasyarakatan. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, I(I),
77-88. Dipungut 1 September, 2014, dari
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jspp/article/view/1350.
Lopez, S. J. (2009). The Encyclopedia of Positive Psychology vol.
II. Singapore: Wiley-Blackwell.
Lopez, S. J., & Snyder, C. R.
(2009). Oxford Handbook of Positive
Psychology 2nd ed. USA: Oxford University Press.
Mahardini, A. P., Saryono, D., &
Suherjanto, I. (2013). Legenda Dam Bagong Desa Ngantru Trenggalek Jawa Timur:
Telaah Kajian Folklore. Skripsi UIN
Malang, 2013.
May, R., Angel, E., & Ellenberger,
H. F. (1967). Exixtence. USA: Simon
and Schuster.
Moodley, T. (2008). The Relationship
Between Coping And Spiritual Well-Being During Adolescence. Dissertation
of Faculty of Humanities Department of Psychology at the University of Free
State Bloemfontein.
Moore, B. N., & Parker, R. (1986). Critical Thinking: Evaluating Claims and Arguments
in Everyday Life. USA: Mayfield Publishing Company.
Mulder, N. (2006). Doing Java. Yogyakarta: Kanisius.
Mulyani, H., & Herimanto, S. B.
(2013). Studi Tentang Komplek Makam Syekh Jangkung di Dukuh Landoh, Desa Kayen,
Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Jurnal
FKIP UNS Vol. 5 No. 1 (2013).
Mulyatno, C. B. (2015). Gereja dan
Dialog Budaya: Perspektif Kitab Suci Perjanjian Baru. Diktat Extention Course Semester Gasa 2015-2016#2. Yogyakarta: STT
Wedhabakti.
Munandar, A. A. (2008). Ibukota Mahapahit, Masa Jaya dan Pencapaian.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Murniatmo, G., Budi, N. S., Sumarsih,
S., & Purwaningsih, E. (2003). Budaya
Spiritual Petilasan Parangkusumo Dan Sekitarnya. Yogyakarta: Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata.
Muzakki, S. (2012). Ritual Malem Minggu
Wage Paguyuban Tunggul Sabdo Jati di Gunung Srandil Desa Glempang Pasir,
Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi FBS UNY.
Nadjib, E. A. (1994). Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah.
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Nardo, D. (2011). Mitologi Mesir. Depok: Oncor Semesta Ilmu.
Negara, S. P. (2010). Gunung Srandil & Selok: Tempat Olah dan
Laku Spiritual Kejawen para Pemimpin Indoneisa. Yogyakarta: Penerbit
Narasi.
Nugroho, J. (2007). Proses dan Fungsi
Ritual Tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi
Jawa Timur: Sebuah Kajian Folklore. Skripsi
Prodi Sastra Indonesia USD 2007.
Oxford Advanded Learner’s Dictionary.
(2010). UK: Oxford University Press.
Osborne, R. (2000). Freud Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Pals, D. L. (2012). Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: IRCiSoD.
Parker, I. (2008). Psikologi Kualitatif. Yogyakarta: Andi Offset.
Pasiak, T. (2012). Tuhan dalam Otak Manusia. Bandung: Mizan Media Utama.
Pedrotti, J. T., Edwards, L. M., &
Lopez, S. J. (2009). Positive Psychology
Within a Cultural Context. Dalam Lopez, S. J., & Snyder, C. R. (2009). Oxford Handbook of Positive Psychology 2nd
ed. USA: Oxford University Press.
Pemberton, J. (2003). Jawa: On The Subject of Java.
Yogyakarta: Mata Bangsa.
Peraturan
Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang semboyan resmi Negara Republik Indonesia
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33
Tahun 2013 tentang pedoman pendaftaran organisasi kemasyarakatan di lingkungan
Kementrian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
Poerwandari,
K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta:
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Pratt, J. B. (1920). The Religious Consciousness: A Psychological
Studi. New York: Macmillan.
Prawirohardjono, P. (2006). Ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa “Ngesthi
Kasampurnan”. Magelang: Ngesthi Kasampurnan.
Prawitasari, J. E. (2011). Psikologi Klinis: Pengantar Terapan Mikro
& Makro. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Purwadi. (2005). Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwadi. (2009). Misteri Gajah Mada. Yogyakarta: Gerai Ilmu.
Purwantari, R. S. (2007). Menguak Pesugihan Bulus Jimbung di Klaten.
Yogyakarta: Penerbit Kunci Ilmu.
Putri, Adelia Khrisna. 2012. Sadness as
perceived by Indonesian male and female adolescents. International Journal
of Research Studies in Psychology. Volume 1 Number 1, 27-36.
Radhakrishnan, S. (2009). Bhagawadgita. Jogjakarta: IRCiSoD.
Rahimsyah, M. B. (2006). Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen
Pergumulan Tasawwuf Versi Jawa. Surabaya: Pustaka Agung Harapan.
Rarasati, Niken. 2012. Javanese
adolescents’ future orientation: An indigenous psychological analysis. International
Journal of Research Studies in Psychology
Ras, J. J. (1987). Babad Tanah Jawi. USA: Foris Publications.
Riyanto, A., Ohoitimur, J., Mulyatno, C.
B., & Madung, O. G. (2015). Kearifan
Lokal Pancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius.
Roberts, T. T. (2002). Spiritualitas Postreligius. Yogyakarta:
Penerbit Qalam.
Ryan,
R. M., & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of
research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Reviews of Psychology,
52(1), 141-166.
Ryff,
C. D. (2014). Psychological well-being revisited: Advances in the science and
pactice of eudaimonia. Psychotherapy and Psychosomatics, 83, 10-28. doi:
10.1159/000353263.
Sadra, M. (2011). Manifestasi-Manifestasi Ilahi. Jakarta: Sadra Press.
Salim, P. (2006). The Contemporary English – Indonesian Dictionary with British and
American Pronunciation and Spelling. Jakarta: Media Eka Pustaka.
Salim, P., & Salim, Y. (1991). Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Modern English Press.
Saroglou, V. (2013). APA Handbook of Psychology,
Religion, and Spirituality Chapter 24. Vol. 1. Context, Theory, and
Research, K. I. DOI:10.1037/XXXXX.XXX.
Shashangka, D. (2011). Sabda Palon. Jakarta Selatan: Dolphin.
Shashangka, D. (2014). Induk Ilmu Kejawen. Jakarta Selatan:
Dolphin.
Shashangka, D.
(2015). Ilmu Jawa Kuno. Jakarta
Selatan: Dolphin.
Silitonga, S.
(1977). Mitologi Yunani. Jakarta:
Djembatan.
Smith, J. A.
(2008). Qualitative Psychology: a
practical guide to reserch methods (2nd. edition). London: Sage
Publication.
Smith, J. A.,
Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative
Phenomenological Analysis: theory, method and research. Los Angeles: Sage.
Smith, L., &
Raeper, W. (2000). Ide-Ide Filsafat dan
Agama Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Kanisius.
Smith, J. A.
(2013). Dasar-dasar Psikologi Kualitatif:
Pedoman Praktis Metode Penelitian. Bandung: Nusa Media.
Snyder, C. R.,
Lopez, S. J., & Pedrotti, J. T. (2011). Positive
Psychology: The Scientific and Practical Explirations of Human Strengths 2nd
ed. USA: Sage Publications, Inc.
Soedarsono, R.
M., & Murniatmo, G. (1986). Unsur
Tasawuf dan Mitologi dalam Beberapa Karya Sastra Islam-Jawa. Yogyakarta:
Depdikbud Dirjen Kebudayaan.
Soesilo. (2005). Kejawen: Philosofi dan Perilaku. Malang: Yayasan Yusula.
Sternberg, R. J. (2008). Psikologi Kognitif edisi keempat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stern, K. (1954). The Third Revolution: A Study of Psychiatry and Religion. New York:
Image Books.
Strachey, J., & Freud, A. (1961). The Standard Edition of the Complete
Psychological Works of Sigmund Freud. London: Hogarth Press.
Subagya, R. (1976). Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudarminta, J. (2002). Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat
Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Sulistyobudi, N., Sunjata, W. P., &
Sujarno. (2013). Upacara Adat.
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY.
Sumartoyo, K. N. S., & Rories, R. S.
(2013). Paguyuban Kaweruh Hak 101
Kabupaten Cilacap. Cilacap: Kawruh Hak 101.
Suryadi, L.
(1993). Regol Megal Megol: Fenomena
Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset.
Suryamentaram, K. A. (1976). Ilmu Jiwa Kramadangsa I. Jakarta: Idayu.
Susanti, D. (2014). Cerita Rakyat Gunung
Srandil di Desa Glempang Pasir Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap (Tinjauan
Folklor). Jurnal Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo Vol. 04/ No. 03/ Mei
2004.
Susanto, H. (1987). Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, F. M. (2006). Pengantar Etika Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Suyami. (2008). Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya
Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.
Syam, A. (2010). Hubungan Antara
Kesehatan Spiritual Dengan Kesehatan Jiwa Pada Lansia Muslim Di Sasana Tresna Werdha
KBRP Jakarta Timur. Tesis FIK UI.
Tjaya, T. H. (2015). Diskursus Mengenai
Tuhan di Luar Metafisika. Majalah Basis
Nomor 09-10, Tahun ke-64, 2015.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 dan Amandemennya. Surakarta: Pustaka Mandiri.
Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Undang – Undang No. 9, Tahun 1998
Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Undang – Undang No. 23 Tahun 2006
Tentang Kependudukan.
Undang – Undang No. 41 Tahun 2009 &
Undang – Undang No. 43 Tahun 2009 tentang pedoman pelayanan kepada Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
VanderVeldt, J. H., & Odenwald,
R. P. (1952). Psychiatry and Catholicism.
New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.
Warsito., Rasjidi, H. M., & Bakry,
H. (1973). Disekitar Kebatinan.
Jakarta: Bulan Bintang.
Wasito, D. (1961). Kitab Agung Pandom Suci. Wonosari: Dewan
Agama Pran-Soeh.
Wulff, D. M. (1997). Psychology of Religion Classic &
Contemporary 2nd ed. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Zaidan, A. R., Tasai, S. A., &
Suyatno, S. (2002). Mitologi Jawa Dalam
Puisi Indonesia 1971-1990. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Sumber Website:
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpkt/2014/04/10/sejarah-direktorat-pembinaan-kepercayaan-terhadap-tuhan-yme-dan-tradisi/
muslimedianews.com
nahimunkar.com
Sumber Lisan
Extention
Course #2 Kamis, 3 September 2015 @STT Wedhabhakti Sanata Dharma, Kenthungan,
Yogyakarta.
Kuliah
Umum: Ronggowarsito dan Kejawen. Oleh: Herman Sinung Janutama.
Dipungut
dari https://www.youtube.com/watch?v=P4BnDtbCLqQ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar