Kamis, 19 November 2015

Terusik-usik



Terusik-usik
Essay 9 November 2015
Kebiasaan senin pagi adalah membaca koran hari minggu di perpustakaan Sanata Dharma. Ini adalah cara saya untuk berhemat. Membeli koran tidak dilakukan karena perpus sudah menyediakan beragam koran. Semoga yang seperti saya ini tidak banyak karena dua hal. Satu, penjualan koran akan menurun drastis dan dua, perpus akan penuh sesak. Hahahahha..... memang agak impossible. Jadi tak perlu khawatirlah dengan orang macam saya ini karena kiranya satu dari seribu saja kok. Kalau anda ingin tahu alasan paling fundamental, silahkan hubungi WA saya di 085743773301. Sengaja tidak saya tulis di sini karena sangat innocent, hahahhaha.
Ada dua hal yang cukup mengusik-usik hati dan pikiran saya dari koran minggu kemarin. Pertama, saya jadi tergoda untuk merenungkan kembali tentang surat edaran Kapolri yang pada intinya ingin menegaskan kembali pasal ITE. Kedua, ada tulisan menggelitik: Banyu segara diuyahi // wong tuwo diwarahi.
Pertama dulu tentang pasal ITE. Saya sangat mendukung pasal ini karena membuat orang lebih menghargai etika publik. Semoga buku-buku etika publik makin laris dan makin diimplementasi juga kiranya. Tapi tidak dapat dipungkiri, mereka yang memanfaatkan UU ini akan mendapat dampak baik sekaligus buruk. Dampak baiknya adalah rasa hormat (semoga bukan klise) yang akan diterima pengguna jasa UU ITE dari orang-orang disekitarnya. Ia akan disegani kalau memang menang dipengadilan dan mampu mempidanakan pelanggar UU ITE (yang maaf, biasanya dari kalangan tidak mampu, miskin, lemah hukum, dll). Harapan saya bagi para pengguna UU ITE dan bagi yang berminat menggunakannya dapat makin semangat dalam menegakkan harga diri misalnya ketika pelanggar yang ingin dilaporkan adalah anak Bupati atau Gubenur sedangkan calon pelapor adalah masyarakat umum atau pekerja pemerintah tingkat rendah. Maaf, apakah masih berani? Harapan saya sih UU ITE ini juga berlaku secara internasional misalnya ketika Indonesia dilecehkan oleh Kim Jong Un maka masyarakat Indonesia tertentu bisa memperkarakan Kim Jong Un ke mahkamah internasional berbekal jalan yang telah disiapkan UU ITE (semoga tidak memakai jasa broker juga kali hahahhahahah).
Anyway, saya ingin mengatakan yang sebenarnya di lain pihak bahwa pengguna jasa UU ITE justru nampak tidak memiliki kebesaran hati dan jiwa yang adekuat. Mereka justru akan terlihat lemah karena tidak mampu mentertawakan diri sendiri, tidak mampu mengatakan tidak di atas tidak dan ya di atas ya. Apakah jiwa kepahlawanan yang gagah perkasa akan terusik oleh musuh remeh temeh? Inilah dampak negatifnya. Pengguna jasa UU ITE mungkin terlihat hebat karena mampu memperkarakan orang lain namun ternyata keseganan masyarakat atau publik tidak lebih dari sikap klise.
Ah, cuma gitu kok lapor, hahahahha. Mungkin demikianlah yang jamak dikatakan orang.
Ya semoga tidak banyak orang yang seperti saya ini, boro-boro bersedia dihina, malah menghina diri sendiri. Betapa hinanya saya yang tidak lebih dari asu bajingan ini. Aduh, bila toh aku mahahina sekalipun, aku masih tidak layak berada di depanMu oh Tuhanku, hahahahhahah...... Tuhan, maafkan aku yang sering meninggikan diri, sombong, congkak, dan tidak mengerti kebesaranMu. Maafkan aku yang lupa saat mengatakan bahwa di depanMu aku tak lebih dari debu dan kotoran. Tuhan, semoga aku ingat selalu untuk merendahkan hati, bahkan merendahkan diri, bahkan menganggap diriku sendiri tidak ada karena yang ada hanya Engkau. Yah benar, tiada apapun selain Engkau sendiri ya Tuhan. Tak ada yang lain. Benar, tak ada yang lain.
Pembaca yang budiman, semoga doa-doa yang senang kita daraskan (mungkin tujuh kali sehari) itu juga kita hidupi dalam perilaku sehari-hari. Semoga.

Sekarang kita beralih ke pengusik kedua:
Banyu segara diuyahi.......................................air laut digarami
Wong tuwo diwarahi .......................................orang tua diajar (oleh anak)

Guyon ora waton itu adalah pantun pendek yang ingin mengatakan bahwa perilaku anak yang mengajari orang tua sama sia-sianya dengan usaha menggarami lautan yang memang telah asin sejak dari sononya. Saya kurang setuju dengan pantun itu. Memang sih sebagai guyonan pantun tersebut pasti bisa difalsifikasi agar sebagai ilmu pengetahuan bisa berkembang.
Dalam hal tertentu memang mengajari orang tua suatu ilmu kebijaksanaan memang tidak bermanfaat. Inilah inti yang pasti dimaksudkan pantun tersebut. Jadi terma marahi atau mengajari orang tua difokuskan pada mengajari ilmu baik dan bajik dalam kehidupan ini. Pantun tersebut tidak relevan dengan konteks pendidikan formal misalnya di mana orang paruh baya yang kebetulan mengambil S2 dan dididik seorang profesor yang baru berusia 39 tahun. Pantun itu juga tidak berlaku bagi orang tua yang sudah pikun sehingga dalam segala hal perlu diingatkan anak-anaknya bahkan dalam hal ilmu baik dan bajik.
Pada saatnya kelak orang tua juga memerlukan anak untuk merawat mereka di hari tuanya. Sebenarnya pantun itu juga berharap agar orang tua pada masa sudan tidak bisa apa-apa itu masih bisa apa-apa dalam hal pengajaran ilmu baik dan bajik. Penulis pantun nampaknya juga berharap agar orang tua tidak perlu pikun agar anak dapat ngangsu kaweruh sehingga anak tak perlu marahi orang tua.
Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar