Terusik-usik
Essay 9 November 2015
Kebiasaan senin pagi adalah membaca
koran hari minggu di perpustakaan Sanata Dharma. Ini adalah cara saya untuk
berhemat. Membeli koran tidak dilakukan karena perpus sudah menyediakan beragam
koran. Semoga yang seperti saya ini tidak banyak karena dua hal. Satu,
penjualan koran akan menurun drastis dan dua, perpus akan penuh sesak.
Hahahahha..... memang agak impossible. Jadi tak perlu khawatirlah dengan orang
macam saya ini karena kiranya satu dari seribu saja kok. Kalau anda ingin tahu
alasan paling fundamental, silahkan hubungi WA saya di 085743773301. Sengaja
tidak saya tulis di sini karena sangat innocent, hahahhaha.
Ada dua hal yang cukup mengusik-usik
hati dan pikiran saya dari koran minggu kemarin. Pertama, saya jadi tergoda
untuk merenungkan kembali tentang surat edaran Kapolri yang pada intinya ingin
menegaskan kembali pasal ITE. Kedua, ada tulisan menggelitik: Banyu segara diuyahi // wong tuwo diwarahi.
Pertama dulu tentang pasal ITE. Saya
sangat mendukung pasal ini karena membuat orang lebih menghargai etika publik.
Semoga buku-buku etika publik makin laris dan makin diimplementasi juga
kiranya. Tapi tidak dapat dipungkiri, mereka yang memanfaatkan UU ini akan
mendapat dampak baik sekaligus buruk. Dampak baiknya adalah rasa hormat (semoga
bukan klise) yang akan diterima pengguna jasa UU ITE dari orang-orang
disekitarnya. Ia akan disegani kalau memang menang dipengadilan dan mampu
mempidanakan pelanggar UU ITE (yang maaf, biasanya dari kalangan tidak mampu,
miskin, lemah hukum, dll). Harapan saya bagi para pengguna UU ITE dan bagi yang
berminat menggunakannya dapat makin semangat dalam menegakkan harga diri
misalnya ketika pelanggar yang ingin dilaporkan adalah anak Bupati atau Gubenur
sedangkan calon pelapor adalah masyarakat umum atau pekerja pemerintah tingkat
rendah. Maaf, apakah masih berani? Harapan saya sih UU ITE ini juga berlaku
secara internasional misalnya ketika Indonesia dilecehkan oleh Kim Jong Un maka
masyarakat Indonesia tertentu bisa memperkarakan Kim Jong Un ke mahkamah
internasional berbekal jalan yang telah disiapkan UU ITE (semoga tidak memakai
jasa broker juga kali hahahhahahah).
Anyway, saya ingin mengatakan yang
sebenarnya di lain pihak bahwa pengguna jasa UU ITE justru nampak tidak
memiliki kebesaran hati dan jiwa yang adekuat. Mereka justru akan terlihat
lemah karena tidak mampu mentertawakan diri sendiri, tidak mampu mengatakan
tidak di atas tidak dan ya di atas ya. Apakah jiwa kepahlawanan yang gagah
perkasa akan terusik oleh musuh remeh temeh? Inilah dampak negatifnya. Pengguna
jasa UU ITE mungkin terlihat hebat karena mampu memperkarakan orang lain namun
ternyata keseganan masyarakat atau publik tidak lebih dari sikap klise.
Ah, cuma gitu kok lapor, hahahahha.
Mungkin demikianlah yang jamak dikatakan orang.
Ya semoga tidak banyak orang yang
seperti saya ini, boro-boro bersedia dihina, malah menghina diri sendiri.
Betapa hinanya saya yang tidak lebih dari asu bajingan ini. Aduh, bila toh aku
mahahina sekalipun, aku masih tidak layak berada di depanMu oh Tuhanku,
hahahahhahah...... Tuhan, maafkan aku yang sering meninggikan diri, sombong,
congkak, dan tidak mengerti kebesaranMu. Maafkan aku yang lupa saat mengatakan
bahwa di depanMu aku tak lebih dari debu dan kotoran. Tuhan, semoga aku ingat selalu
untuk merendahkan hati, bahkan merendahkan diri, bahkan menganggap diriku
sendiri tidak ada karena yang ada hanya Engkau. Yah benar, tiada apapun selain
Engkau sendiri ya Tuhan. Tak ada yang lain. Benar, tak ada yang lain.
Pembaca yang budiman, semoga doa-doa
yang senang kita daraskan (mungkin tujuh kali sehari) itu juga kita hidupi
dalam perilaku sehari-hari. Semoga.
Sekarang kita beralih ke pengusik
kedua:
Banyu
segara diuyahi.......................................air laut digarami
Wong
tuwo diwarahi .......................................orang tua diajar (oleh
anak)
Guyon ora waton itu adalah pantun
pendek yang ingin mengatakan bahwa perilaku anak yang mengajari orang tua sama
sia-sianya dengan usaha menggarami lautan yang memang telah asin sejak dari
sononya. Saya kurang setuju dengan pantun itu. Memang sih sebagai guyonan
pantun tersebut pasti bisa difalsifikasi agar sebagai ilmu pengetahuan bisa
berkembang.
Dalam hal tertentu memang mengajari
orang tua suatu ilmu kebijaksanaan memang tidak bermanfaat. Inilah inti yang
pasti dimaksudkan pantun tersebut. Jadi terma marahi atau mengajari orang tua difokuskan pada mengajari ilmu baik
dan bajik dalam kehidupan ini. Pantun tersebut tidak relevan dengan konteks
pendidikan formal misalnya di mana orang paruh baya yang kebetulan mengambil S2
dan dididik seorang profesor yang baru berusia 39 tahun. Pantun itu juga tidak
berlaku bagi orang tua yang sudah pikun sehingga dalam segala hal perlu
diingatkan anak-anaknya bahkan dalam hal ilmu baik dan bajik.
Pada saatnya kelak orang tua juga
memerlukan anak untuk merawat mereka di hari tuanya. Sebenarnya pantun itu juga
berharap agar orang tua pada masa sudan tidak bisa apa-apa itu masih bisa
apa-apa dalam hal pengajaran ilmu baik dan bajik. Penulis pantun nampaknya juga
berharap agar orang tua tidak perlu pikun agar anak dapat ngangsu kaweruh
sehingga anak tak perlu marahi orang
tua.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar