Kamis, 05 November 2015

Kembali Kepada Jati Diri



Kembali Kepada Jati Diri
Essay 3 November 2015
Penelitian yang saya lakukan untuk bisa lulus S1 mengambil tema pemaknaan pengalaman religius manusia penghayat Tuhan Yang Maha Esa. Pergumulan iman dan pembacaan buku-buku Karen Armstronlah yang menjadi motif utama mengapa saya memutuskan untuk mengambil topik ini. Motif itu tidak akan dikupas tuntas di sini. Saya sudah makin bosan untuk curcol hal-hal yang mungkin remeh temeh. Remeh temeh? Iya, bagi orang lain pasti remeh temeh karena mereka tidak punya pengalaman saya dan tidak memiliki metoda pemaknaan yang saya pakai atas pengalaman saya tersebut.
Responden untuk skripsi ini mengambil dari warga penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kaweruh Hak 101 di Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Inti ajaran Kaweruh Hak 101 adalah kembali kepada jati diri. Aha, mengapa bisa bersesuaian dengan pergumulan batin saya? Inilah mistisisme karena pada dasarnya tidak ada yang kebetulan di muka bumi. Isu kembali kepada jati diri memang sedang saya garap sejak akhir 2013. Senang rasanya bila skripsi bisa sesuai dengan kegelisahan pribadi. Skripsi jadi bisa sedikit memfasilitasi pergumulan saya.
Anyway, kembali kepada jati diri? Benar sekali, karena saya makin bosan memakai topeng-topeng kepribadian. Ingin kulepas semua kebusukan-kebusukan itu dan kembali kepada diriku yang apa adanya. Ya, aku sudah lama tidak bisa menerima diri sendiri. Ini adalah awal saya bisa menerima diri sendiri yang ternyata bajingan.
Tidak ada lagi pertanyaan mengapa. Yang ada hanya pertanyaan bagaimana. Pertanyaan mengapa membuat orang mencari kambing hitam, tersangka, terdakwa, dan terpidana. Mencari akar masalah seperti ini justru tidak menyelesaikan masalah. Saya sudah mengalaminya sendiri. Bahkan kalau kita mempelajari Freud yang bersikeras menjawab pertanyaan mengapa, ujung-ujungnya juga tidak memecahkan masalah neurotisisme. Paham Freudian yakin bahwa neurotisisme tidak dapat disembuhkan, hanya bisa disadari dan diatur, karena memang itu bukan sakit penyakit yang ada obatnya. Mungkin keyakinan teoritis ini salah namun saya ingin membuat paradigm lain jadi lebih popular. Paradigm dalam memecahkan masalah dengan bertanya bagaimana.
Oke sekarang sudah kembali kepada jati diri. Ternyata begini adanya, bajingan di sana sini. Penuh kebusukan, kemunafikan, kedosaan, keburukan, dan segalam negatifitas yang mampu disebutkan dalam semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, semua ada padaku. Lalu bagaimana? Nah, ini yang saya maksud. Ketika menuliskan ini, pikiran dan hati saya merasa amat dongkol bila mengingat pertanyaan mengapa mengapa yang pada ujungnya ingin mencari kambing hitam (pencarian yang menimbulkan kebencian baru, negatifitas baru yang memperburuk keadaan). Begini saja, lalu bagaimana? Lantas apa yang bisa saya lakukan setelah tahu bahwa jati diriku begitu buruk?
Bagaimana caraku mengubah keadaan? Bagaimana memperbaiki jati diri itu agar makin bersinar terang? Apa solusinya? Terus bagaimana? Biarkan pertanyaan semacam ini bergaung sehingga nanti muncul perasaan: hidup ini indah begini adanya (makasih mbak Dee Lestari atas motivasi ini).
Hidup ini indah begini adanya bro! Sis! Bukan berarti terus diam dalam kekelaman jati diri yak an! Nah, intinya setelah bisa mengatakan hidup ini indah begini adanya, artinya kita sudah bisa menerima jati diri penuh kebusukan itu. Pertama-tama jati diri perlu diterima apa adanya, sebusuk apapun, sekafir apapun, seberdosa apapun, sejahat apapun, sebajingan apapun. Kalau tidak bisa menerima yang paling apa adanya seperti ini, saya jamin, transformasi jati diri atau pertanyaan bagaimana dan lantas apa itu tidak akan pernah terjawab. Tanpa penerimaan jati diri yang paling apa adanya, tidak mungkin ada perubahan sejati. Mungkin ada perubahan tapi, perhatikan, tapi perubahan itu tidak lebih dari pemakaian topeng-topeng kepribadian yang lain.
Bila anda tidak sependapat dengan saya, tidak masalah. Rasakan saja dinamika dalam hati anda dan buat kesimpulan sendiri. Saya juga tidak mau memaksakan pendapat.
Anyway.
Lantas saya sendiri, setelah tahu jati diri yang begitu buruk bahkan mahaburuk, apa yang lantas saya lakukan? Bagaimana saya mengubah jati diri saya sendiri?
Semua orang memiliki cara otentiknya sendiri-sendiri. Namun demikian saya tidak mau mengucapkan kredo: kembali kepada pribadi masing-masing. Kredo ini amat terlarang karena tidak bermakna dan cenderung omong kosong. Orang yang mengucap kredo itu sering dinilai tidak solusif dan kurang kritis dalam menganalisis suatu permasalahan.
Jadi apa yang akan saya katakan? Bukan nasihat dan bukan kata-kata motivasi namun kesaksian hidup. Cara saya mengubah jati diri buruk menjadi lebih baik adalah dengan cara reaksi formasi. Apa ini? Mungkin sedikit berbeda dengan reaksi formasi dalam kajian psikologi kepribadian. Reaksi formasi yang saya lakukan adalah menyalurkan dorongan-dorongan negatif menjadi lebih konstruktif. Contoh, salah satu negatifitas saya adalah suka berbohong. Okay, kalau begitu saya salurkan kesukaan berbohong itu ke dalam karya sastra berupa cerpen, hahahahhah. Orang yang suka membual pasti kalau nulis cerpen hasilnya sangat bagus. Nah, inilah reaksi formasi, satu cara membawa negatifitas secara lebih konstruktif.
Inilah kesaksian saya berdasarkan kisah nyata. Sebab saya ini suka membual alias omong kosong. Itulah mengapa saya cenderung tidak banyak bicara dalam relasi interpersonal. Karena? Saya akan merasa bersalah melulu, ah tadi harusnya tidak bilang ini tapi bilang itu, dan seterusnya. So? Saya salurkan dorongan membual itu melalui tulisan. Bukan yang semacam ini tentunya, hahahahhaha. Ini tentu bukan bualan hahahahhahahah. Tapi kalau anda menganggap bualan ya tidak apa-apa, hahahahahhahah.
Yah, itulah yang bisa saya bagikan saat ini. Anda yang kenal saya pasti gimana gitu kalau membaca tulisan ini. Bagaimana bisa orang yang pendiam justru suka bicara melalui tulisan? Hahahha…. Biasanya orang pendiam sih gitu. Kami menyalurkan hasrat bicara lebih melalui tulisan, curhatan, buku harian, status FB, cuap-cuap Twitter, dll. Aneh emang. Hahahahhaha.
Yang penting kembali kepada jati diri apa adanya dan kalau memang perlu mentransformasi diri mejadi lebih baik, segala cara dapat dilakukan sejauh halal, hehe. Tapi kalau anda sudah enjoy dengan jati diri apa adanya itu dan tidak perlu melakukan transformasi, ya sudah. Tinggal katakanlah: hidup ini indah begini adanya. Hahahhahahhahah. Jangan lupa minum kopi tiwus yah, ahhahahhahhaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar