Contoh
progres pengerjaan Cerpen
Essay 11 November 2015
(penulisan secara spontan)
Sudah lama, secara sepihak dan
semena-mena ia kunamakan dik Tari. 2015 ini baru kelas satu SMP sedang aku
lulus kuliah. Jarak usia kami setidaknya ada 10 tahun. Dik Tari inilah yang
kunantikan tumbuh dewasanya agar nanti bisa jadi istri.
Sekarang biar belajar dulu sembari
aku memantaskan diri tuk jadi lelaki sejati. Sambil penghasilan wiraswasta ini
makin bagus, kusiapkan rumah dulu, kendaraan, tabungan, dan sebagainya yang pada
intinya nanti ketika dik Tari kupinang, keluarga sudah langsung mapan. Ini
adalah impian lelaki sejati. Pantang membawa istri ke dalam lembah perjuangan
senasib sepenanggungan. Apalagi anak, jangan sampailah beranak dalam keadaan
ekonomi belum matang. Kasihan. Mendingan tidak beranak istri sekalian. Kalau
butuhnya cuma kenthu kan bisa saja
jajan sana jajan sini yang penting halal dalam arti bersih dari HIV dan lain
sebagainya.
Impian tertinggi masih dik Tari,
gadis pengharapanku. Nanti aku tiga puluh tahun dan sudah doktor dengan dua
gelar magister, dik Tari akan bertekuk lutut. Kemenanganku atas dik Tari juga
dipicu oleh status ekonomi yang harus lebih baik darinya. Maklum, dik Tari itu
anak tunggal sedang orang tuanya wuih, rumahnya besar, punya mobil pula,
sawahnya entah ada dimana-mana saja. Aduh, memang bukan itu yang kucari karena
tekadku adalah menjadi lebih kaya dari orang tua dik Tari ketika meminang dik
Tari.
Tapi sungguh, berbahagialah lelaki
yang beruntung dapat memenangkan dik Tari yang tidak begitu cantik itu. Ia
adalah bunga desa sejati, bukan karena paras tapi budi yang luhur.
Halah, tau dari mana aku ini? Kenal
saja belum!
Memang belum karena aku belum lebih
kaya dari orang tua dik Tari. Tapi nanti, jangan tanya, awas.
Sampai di sini kok nampaknya cerpen
ini masih sangat berbau curhatan. Mendingan begini. Tetapkan topik, pokok
masalah, plot, tokoh, penokohan, dan klimaks.
1.
Topik: masih berupa niat. Niat seorang lelaki
(Henri) untuk memperistri dik Tari, anak tunggal pak Diro dan bu Suryani yang
notabene cukup kaya untuk ukuran orang desa. Niat ini belum dapat direalisasi
karena usia dik Tari yang masih terlalu muda dan status Henri yang belum mapan
meski orang tuanya tergolong kaya juga untuk ukuran orang desa.
2.
Penokohan: cerpen ini lebih ingin menggambarkan
dinamika psikologis Henri sebagai orang yang idealis namun kurang memiliki
langkah praktis untuk mewujudkan idealismenya. Keseluruhan cerpen ini adalah
niat-niat Henri untuk bisa memperistri dik Tari kelak, yang tinggal niat saja
karena untuk ke depan intinya Henri ingin bekerja dulu, menjadi mapan, baru
meminang dik Tari. Jalan ini akan terlihat sebagian sekali. Tokoh lain tidak
mengalami penekanan penokohan karena cerpen ini ditulis berdasarkan sudut
pandang orang pertama tidak serba tahu. Tantangan penulis adalah menciptakan
tulisan yang bukan curhatan yang kurang memiliki estetika. Namanya juga sastra,
harus mempercantik sesuatu yang nampak biasa saja.
3.
Alur: sesi refleksi sebelum misa sabtu sore di
Gereja St. Petrus dan Paulus Klepu. Endingnya adalah ketika Henri akhirnya
sempat memandang dik Tari dari belakang. Ketika ada kesempatan melihat muka dik
Tari, Henri selalu ragu dan berpaling. Ia memang orang pemalu. Setting tempat
ini berulang lagi untuk minggu setelahnya. Henri kembali melihat dik Tari dari
belakang. Pengalaman ini menjadi klimaks yang menyebabkan bait-bait puisi
mengalir deras dari hati Henri. Antiklimaks: Henri bertemu dengan Pujha, teman
lelakinya yang sepantaran dengan dik Tari. Henri mengatakan, “Dia itu masih
saudaramu to! Kok tidak kau pacari saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar