Kamis, 05 November 2015

Semoga Salah, tentang Generasi User Minim Giver



Semoga Salah, tentang Generasi User Minim Giver
Essay 1 November 2015

Kebanyakan orang hanya user, hanya sedikit yang mampu membuat kreasi baru.
Gagasan ini tentu amat holistik reduksionistik.
Bukan semoga salah lagi tapi pasti salah.
Mari kita lihat secara parsial atau per kasus.
Gagasan ini bermula ketika saya ingin menemukan musik instrumental melalui youtube. Musik itu sedianya ingin saya pakai sebagai pengiring belajar, menulis, dan juga tentunya, tidur. Apa yang saya temukan? Chopin, Mozart, Bach, dkk sebagaimana anda juga tahu. Saya makin sedih ketika menemukan adanya institut Chopin yang berlomba untuk jadi yang terbaik dalam memainkan musik-musik Chopin. Maaf, saya melihat fenomena itu secara miris. Mengapa? Balik bertanya, karena mengapa seakan-akan orang itu bangga ketika bisa memainkan karya Chopin, Bach, Mozart, dkk? Mengapa tidak ada kebanggaan kepada karya sendiri (meskipun jelek)? Mengapa saya bisa mengatakan tentang ketidakbanggaan kepada karya sendiri? Karena karya musik baru khususnya instrumental bergaya klasik itu amat amat amat sedikit. Nah, semoga saya salah karena kurang melakukan pencarian secara menyeluruh. Semoga sebenarnya ada banyak tapi tidak dapat saya temukan.
Khusus dalam gaya musik instrumental gaya klasik ya, saya sungguh mengelus dada karna kultur tidak mengondisikan untuk menjadikan orang the next Mozart tapi hanya menjadikan orang bangga ketika bisa memainkan Mozart seakan-akan Mozart adalah puncak intelektualitas musik yang tak tertandingi lagi. Sungguh miris.
Ah saya ini ya, bisanya omong tapi ga bisa bertindak! Tidak papa sih membikin kritik sastra macam ini tapi amat baik kalau dilakukan setelah saya sendiri membikin produk otentik yang sama sekali baru.
Btw saya sedang menuju ke sana. Musik adalah orientasi masa depan saya. Melatih diri dengan membaca, mendengarkan, riset-riset macam itu dan juga dengan menulis adalah awal. Inilah dasar yang saya rintis untuk menjadi giver alias kreator yang bangga dengan karya sendiri.
Btw ini juga sedang jadi kreator lho. Tulisan ini misalnya. Keaktifan saya untuk upload essay ke blog maupun upload video ke youtube merupakan tekad awal saya untuk jadi giver, generasi kreator yang aktif memberi kontribusi entri di dunia maya.
Apakah anda sudah mengerti point utama yang ingin saya sampaikan melalui essay ini? sederhana saja: mulai jadilah pemberi entri di dunia ini.
Maksudnya?
Selama ini mungkin kita senang nonton video di youtube. Nah, kesenangan ini sebaiknya dikembangkan dengan membuat video sederhana seperti yang saya lakukan lalu diupload ke youtube. Ini namanya kita sudah memasukkan satu entri ke dunia melalui media sosial. Sampai tahap ini sang user sudah berkembang menjadi giver.
Selama ini mungkin kita senang membaca artikel di blog. Nah, mengapa kita tidak juga bikin artikel dan mengunggahnya melalui blog pribadi? Kalau semua orang berani menjadi giver seperti ini, entri di media sosial akan makin banyak sehingga dunia akan makin berkembang lebih baik lagi (setidaknya dalam taraf intelektual atau filosofis). Keaktifan saya mengupload essay atau tulisan karya saya sendiri ke blog pribadi saya kiranya sudah menjadi teladan yang baik ya.
Nah, kalau kita yang gemar ndengerin musik? Bikin musik kan tidak semudah bikin tulisan untuk blog! Memang. Kalau begitu setidaknya anda bisa bikin lirik lagu dan mengunggahnya ke blog. Membikin lirik lagu itu mudah. Sungguh sangat mudah. Basicly semua tulisan yang anda bikin bisa jadi lagu misalnya rap. Tulisan inipun bisa dibikin rap. Curhatan anda di buku harian juga bisa jadi rap. Jawaban soal uraian anda di ujian juga bisa dibikin rap. Oke, yang lebih mudah lagi, omongan sehari-hari, juga bisa dibikin rap.
Ibu: “Nak, sudah makan belum? Enak sayur buatan ibu kan!”
Anak: “Sudah kok bu. Tadi jajan bakmi sama jajan yang lain juga.”
(percakapan sehari-hari semacam itu juga bisa dibikin rap lho)

Anyway.
Tahu dan menguasai banyak karya orang lain seperti musik, teori ilmiah, karya sastra, dll adalah baik. Tidak salah misalnya seorang anak sudah hafal semua musik klasik, hafal seluruh cerita dalam novel-novel berat, dan hafal kitab suci. Tidak masalah dan baik-baik saja. Tapi bukankah lebih baik lagi kalau memberi kontribusi pada dunia dengan cara jadi kreator?
Sesudah baca banyak novel, pembaca juga jadi novelis.
Sesudah memainkan seluruh lagu pop, penyanyi akhirnya jadi musisi juga.
Lah setelah hafal kitab suci?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar