Kamis, 19 November 2015

Kemapanan Seniman



Kemapanan Seniman
Essay 17 November 2015

Menjadi seniman adalah cita-cita yang kumantapkan tiap hari. Berkarya seni adalah nafasku yang menyebabkan raga ini terus bergerak. Seni membebaskan jiwa, pikiran, hati, dan nurasi sehingga ia bisa hidup sebagaimana mestinya. Sastra tulis adalah fokusnya. Menulis membantuku untuk merestrukturisasi proses-proses otak yang kadang menggila, tak terkontrol, kadang depresif, dan kadang manik. Menulis adalah sahabatku siang dan malam. Ia hidup dan mati sekaligus.
Pekerjaan seniman, pegawai, peneliti ilmiah, apapun selalu memerlukan waktu training alias persiapan mental, kompetensi, maupun segala hal yang diperlukan agar memiliki kemapanan minimal. Kemapanan di sini berarti keterpenuhan beberapa kriteria sehingga seseorang bisa disebut seniman. Saya tentu memerlukan kemapanan itu. Jadi apa yang saya lakukan sampai saat ini masih berupa training. Uploadan di mbahdam.blogspot maupun di channel youtube Surat Mbah Dam masih berbentuk pelatihan yang mendewasakanku. Aku belum bisa disebut mapan.
Agar semakin mapan, seorang seniman harus mengerti jalannya, legenda pribadinya. Aku harus tahu konsekuensi seniman. Tulisanku harus bermanfaat, bermutu, berliterasi, bukan sekadar curhat, dll maka aku harus terus belajar dengan membaca berbagai karya terdahulu, teori-teori sastra, metodologi penulisan, analisis wacana, dll. Ini adalah usaha untuk memantapkan kompetensi.
Otentisitas dibangun dari pengalaman hidup. Aku juga masih perlu banyak pengalaman hidup. Membaca rasanya kurang sekali kalau dibandingkan pengalaman real di dunia sosial. Aku masih perlu untuk mengeksplorasi fenomena-fenomena real yang terjadi di masyarakat.
Sekali lagi aku masih belajar untuk jadi seniman khususnya penulis andal yang bermutu tinggi. Dengan ini aku masih membangun kemapanan dengan banyak membaca, banyak menulis, dan tentunya banyak belajar metodologi penulisan yang baik, menarik, indah (su), yang nantinya bisa disebut bermutu, bermanfaat, dan mengubah pembaca budiman.
Inilah pandangan saya tentang kemapanan kompetensi seniman. Masih ada masalah lagi yaitu ekonomi. Bagaimana seorang seniman bisa sukses secara finansial? Inilah yang baru bisa diperjuangkan setelah kemapanan kompetensi dapat diraih batas minimalnya. Bagaimana menurut anda? Mohon mengkritisi ide saya ini. Sebentar, batas minimal? Ya, batas minimal kompetensi. Karena saya orang Indonesia, salah satu batas minimal kompetensi adalah penguasaan karya-karya sastra Pujangga Baru, Balai Pustaka, Mataram masa kolonial, sampai pada Mataram Kuno (kakawin, kidung, dan teks-teks lain berbahasa Jawa Kuno). Seniman harus menghargai leluhurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar