Kemapanan
Seniman
Essay 17 November 2015
Menjadi seniman adalah cita-cita
yang kumantapkan tiap hari. Berkarya seni adalah nafasku yang menyebabkan raga
ini terus bergerak. Seni membebaskan jiwa, pikiran, hati, dan nurasi sehingga
ia bisa hidup sebagaimana mestinya. Sastra tulis adalah fokusnya. Menulis
membantuku untuk merestrukturisasi proses-proses otak yang kadang menggila, tak
terkontrol, kadang depresif, dan kadang manik. Menulis adalah sahabatku siang
dan malam. Ia hidup dan mati sekaligus.
Pekerjaan seniman, pegawai, peneliti
ilmiah, apapun selalu memerlukan waktu training alias persiapan mental,
kompetensi, maupun segala hal yang diperlukan agar memiliki kemapanan minimal.
Kemapanan di sini berarti keterpenuhan beberapa kriteria sehingga seseorang bisa
disebut seniman. Saya tentu memerlukan kemapanan itu. Jadi apa yang saya
lakukan sampai saat ini masih berupa training. Uploadan di mbahdam.blogspot
maupun di channel youtube Surat Mbah Dam masih berbentuk pelatihan yang
mendewasakanku. Aku belum bisa disebut mapan.
Agar semakin mapan, seorang seniman
harus mengerti jalannya, legenda pribadinya. Aku harus tahu konsekuensi
seniman. Tulisanku harus bermanfaat, bermutu, berliterasi, bukan sekadar
curhat, dll maka aku harus terus belajar dengan membaca berbagai karya
terdahulu, teori-teori sastra, metodologi penulisan, analisis wacana, dll. Ini
adalah usaha untuk memantapkan kompetensi.
Otentisitas dibangun dari pengalaman
hidup. Aku juga masih perlu banyak pengalaman hidup. Membaca rasanya kurang
sekali kalau dibandingkan pengalaman real di dunia sosial. Aku masih perlu
untuk mengeksplorasi fenomena-fenomena real yang terjadi di masyarakat.
Sekali lagi aku masih belajar untuk
jadi seniman khususnya penulis andal yang bermutu tinggi. Dengan ini aku masih
membangun kemapanan dengan banyak membaca, banyak menulis, dan tentunya banyak
belajar metodologi penulisan yang baik, menarik, indah (su), yang nantinya bisa
disebut bermutu, bermanfaat, dan mengubah pembaca budiman.
Inilah pandangan saya tentang
kemapanan kompetensi seniman. Masih ada masalah lagi yaitu ekonomi. Bagaimana
seorang seniman bisa sukses secara finansial? Inilah yang baru bisa
diperjuangkan setelah kemapanan kompetensi dapat diraih batas minimalnya.
Bagaimana menurut anda? Mohon mengkritisi ide saya ini. Sebentar, batas
minimal? Ya, batas minimal kompetensi. Karena saya orang Indonesia, salah satu
batas minimal kompetensi adalah penguasaan karya-karya sastra Pujangga Baru,
Balai Pustaka, Mataram masa kolonial, sampai pada Mataram Kuno (kakawin, kidung,
dan teks-teks lain berbahasa Jawa Kuno). Seniman harus menghargai leluhurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar