Kebudayaan
adalah Peradaban Temporal
Essay 4 November 2015
Aku tidak akan lupa saat-saat ini di mana muncul keengganan menatap
bergulirnya waktu. Mengapa penderitaan ini tak kunjung usai? Karena aku enggan
menyelesaikannya. Karena tak yakin bisa. Atau yakin bisa tapi merasa sulit dan
tidak berdaya. Penderitaan yang dibilang orang lain anugrah itu mungkin memang
sia-sia, tak berguna, melelahkan badan, penuh ancaman, mengintimidasi, dan
membelenggu. Tapi toh kerjakan saja. Bila aku harus mati di tengah jalan atau
mati karena ketidaksempatan, ya sudah.
HD. Wiyono (2015)
SGA pernah menulis essay singkat
tentang peradaban dan kebudayaan. Tulisan mini tapi berbobot itu dapat dibaca
dalam antologi Kentut Metropolitan. Apakah penerbitan essay itu membawa
keuntungan ekonomis yang sepadan dengan kerja keras SGA? Ini masalah lain. Ini
juga masalah lain. Tapi ada kaitannya.
Kebudayaan adalah peradaban
temporal. Sekarang begini saja, coba ingat-ingatlah atau setidaknya bayangkan
satu atau dua contoh kebudayaan yang paling konkret. Ambil contoh misalnya
gamelan. Kira-kira ya, kapan gamelan itu dilahirkan dan mulai diuri-uri? Katakan sejak seribu tahun yang
lalu lah. Kesimpulannya begini saja: suatu budaya yang sekarang kita uri-uri itu mulai ada sejak seribu tahun
yang lalu. Tidak hanya gamelan tapi juga budaya agama, budaya tegur sapa,
budaya tutur kata, dan budaya apapun yang anda coba pikirkan. Baiklah kalau
angka seribu tahun terlalu singkat, bolehlah ambil angka dua ribu tahun. Tidak
masalah.
Budaya yang sekarang kita uri-uri adalah warisan nenek moyang
seribu atau dua ribu tahun yang lalu. Jadi, budaya yang akan diuri-uri anak cucu kita tahun 4000 M
adalah budaya yang saat ini sedang lahir, tumbuh, dan berkembang. Kalau melihat
ke belakang, budaya yang diuri-uri nenek
moyang kita dua ribu tahun yang lalu adalah budaya yang lahir tahun 4000 SM.
Sekarang, apakah kata uri-uri alias
melestarikan suatu budaya itu masih make
sense?
Maka budaya adalah peradaban
temporal atau kebiasaan yang dihidupi masyarakat dalam kurun waktu tertentu.
Apa ada yang benar-benar langgeng sejak
awal dunia sampai akhir dunia nanti sehingga the act of nguri-uri menjadi make
sense? Tentu pertanyaan ini tidak dapat difalsifikasi karena masa depan
belum dapat diuji. Maka kalau melihat perkembangan sejarah, seharusnya kita
mulai melihat bahwa aktivitas nguri-uri tak
lagi make sense. Kebijaksanaan akhir:
ya mungkin tidak make sense tapi
bukan berarti terus ditinggalkan. Seperti kaum esensialis yang meyakini bahwa
pakaian merupakan bukti ketidakalamiahan peradaban murni, bukan berarti terus
ke pasar dengan telanjang bulat, gilak itu namanya.
Tadi ada masalah lain, apa
hubungannya?
Di bagian awal saya juga
menuliskan kuotasi yang amat panjang. Apa hubungannya?
Ini adalah bagian anda untuk
memikirkannya. Semoga mengganggu benak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar