Kamis, 05 November 2015

Kebudayaan adalah Peradaban Temporal



Kebudayaan adalah Peradaban Temporal
Essay 4 November 2015
Aku tidak akan lupa saat-saat ini di mana muncul keengganan menatap bergulirnya waktu. Mengapa penderitaan ini tak kunjung usai? Karena aku enggan menyelesaikannya. Karena tak yakin bisa. Atau yakin bisa tapi merasa sulit dan tidak berdaya. Penderitaan yang dibilang orang lain anugrah itu mungkin memang sia-sia, tak berguna, melelahkan badan, penuh ancaman, mengintimidasi, dan membelenggu. Tapi toh kerjakan saja. Bila aku harus mati di tengah jalan atau mati karena ketidaksempatan, ya sudah.
HD. Wiyono (2015)

SGA pernah menulis essay singkat tentang peradaban dan kebudayaan. Tulisan mini tapi berbobot itu dapat dibaca dalam antologi Kentut Metropolitan. Apakah penerbitan essay itu membawa keuntungan ekonomis yang sepadan dengan kerja keras SGA? Ini masalah lain. Ini juga masalah lain. Tapi ada kaitannya.
Kebudayaan adalah peradaban temporal. Sekarang begini saja, coba ingat-ingatlah atau setidaknya bayangkan satu atau dua contoh kebudayaan yang paling konkret. Ambil contoh misalnya gamelan. Kira-kira ya, kapan gamelan itu dilahirkan dan mulai diuri-uri? Katakan sejak seribu tahun yang lalu lah. Kesimpulannya begini saja: suatu budaya yang sekarang kita uri-uri itu mulai ada sejak seribu tahun yang lalu. Tidak hanya gamelan tapi juga budaya agama, budaya tegur sapa, budaya tutur kata, dan budaya apapun yang anda coba pikirkan. Baiklah kalau angka seribu tahun terlalu singkat, bolehlah ambil angka dua ribu tahun. Tidak masalah.
Budaya yang sekarang kita uri-uri adalah warisan nenek moyang seribu atau dua ribu tahun yang lalu. Jadi, budaya yang akan diuri-uri anak cucu kita tahun 4000 M adalah budaya yang saat ini sedang lahir, tumbuh, dan berkembang. Kalau melihat ke belakang, budaya yang diuri-uri nenek moyang kita dua ribu tahun yang lalu adalah budaya yang lahir tahun 4000 SM. Sekarang, apakah kata uri-uri alias melestarikan suatu budaya itu masih make sense?
Maka budaya adalah peradaban temporal atau kebiasaan yang dihidupi masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Apa ada yang benar-benar langgeng sejak awal dunia sampai akhir dunia nanti sehingga the act of nguri-uri menjadi make sense? Tentu pertanyaan ini tidak dapat difalsifikasi karena masa depan belum dapat diuji. Maka kalau melihat perkembangan sejarah, seharusnya kita mulai melihat bahwa aktivitas nguri-uri tak lagi make sense. Kebijaksanaan akhir: ya mungkin tidak make sense tapi bukan berarti terus ditinggalkan. Seperti kaum esensialis yang meyakini bahwa pakaian merupakan bukti ketidakalamiahan peradaban murni, bukan berarti terus ke pasar dengan telanjang bulat, gilak itu namanya.
Tadi ada masalah lain, apa hubungannya?
Di bagian awal saya juga menuliskan kuotasi yang amat panjang. Apa hubungannya?
Ini adalah bagian anda untuk memikirkannya. Semoga mengganggu benak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar