Minggu, 04 Oktober 2015

Kritik Jurnalisme Hore



Essay 5 Oktober 2015: Surat untuk Jurnalis

Kritik Jurnalisme Hore

Saya mengamini khotbah seorang budayawan yang menekankan skeptisisme pada objektivitas pemberitaan media masa. Katanya, “Realita sebenarnya tidak pernah tergambar secara apa-adanya melalui tulisan-tulisan yang dapat terbaca di media massa.” Apakah jurnalis telah kehilangan kredibilitasnya untuk menulis berita dengan reliabilitas dan validitas? Apakah media massa semata-mata sedang memberitakan kebohongan publik? Tentu saja tidak demikian. Paparan budayawan tersebut tidak boleh diartikan secara literal namun harus dipahami secara simbolis.
Apa itu realitas? Apa yang sebenarnya terjadi di lapangan adalah apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar. Latar belakang semua cerita adalah sang dalang yang tak pernah kelihatan. Invisibilitas sang dalang membuatnya tidak mungkin terberitakan melalui media seperti koran maupun internet yang kegencarannya tak perlu diragukan lagi. Lalu apa itu dalang? Apa yang terjadi di belakang layar?
Saya amat belajar dari nobel Mario Puzo yang berjudul ‘The Godfather’. Sekadar curcol, baru kali ini pula ada versi film yang jauh lebih baik dari pada versi novelnya. Godfather atau dalang macam Don Vito Corleone inilah yang sebenarnya mengendalikan realitas. Jurnalis macam apapun takkan mungkin menembus barikade senapan mesin para godfather yang anti kamera. Apakah godfather selalu antropomorfik? Ternyata tidak. Godfather bisa jadi merupakan suatu kondisi yang pada dasarnya hampir selalu terkait dengan kepentingan atau kondisi ekonomi.
Bagi saya, jurnalis yang tidak dapat menembus pertahanan godfather pasti akan memberitakan laporan berita hore. Mari kita lihat dalam satu pemberitaan hore di suatu media massa tertanggal 20 September 2015 halaman 32 yang berjudul ‘Sejumput Pasir, Sejuta Kenangan’. Sebagai bagian dari kalangan masyarakat arus bawah, saya dongkol ketika membaca berita inspiratif tersebut. Mengapa? Karena paparan berita tidak mendasar alias tidak menyentuh bumi. Jurnalis tidak memberitakan satu atau beberapa motif paling primern yang menyebabkan pasutri bapak M dan ibu M dapat melakukan perjalanan keliling dunia bersufenir pasir tersebut.
Pada awalnya saya memang terkesima dan terinspirasi oleh pemberitaan sdri. MK. Tapi dengan hormat, tanpa menjelekkan pihak-pihak tertentu, saya ingin mengusulkan satu paradigma baru jurnalisme agar semakin membumi. Dalam kasus ‘Sejumput Pasir, Sejuta Kenangan’ misalnya, akan lebih baik bila pemberitaan juga mengungkapkan sumber-sumber sebab primern yang menyebabkan pasutri bapak M dan ibu M dapat melakukan perjalanan keliling dunia bersufenir pasir. Saya selalu menduga bahwa sumber primern tersebut masih seputar masalah ekonomi.
Jadi intinya akan baik bila dikemukakan juga dari mana bapak ibu M mendapatkan penghasilan atau akses untuk berwisata mancanegara. Atau mungkin bapak dan ibu M dapat berpergian ke seluruh penjuru dunia adalah karena jadi duta besar? Karena tugas kenegaraan? Menikmati uang pensiun hasil investasi saham atau unit linked? Karena dibiayain anak-anaknya yang sudah jadi orang (baca: kaya)? Karena dapat lotere di Amerika? Karena dikirimi uang dari langit oleh malaikat? Dll. Motif primern semacam ini baik bila diketahui masyarakat arus bawah agar kami ini dapat berpikir realistis. Dengan ini, pembacaan kami atas pemberitaan-pemberitaan bukan hanya jadi sarana rekreasi pikiran berdampak inspiratif sesaat namun dapat membawa spirit untuk melangkah secara praksis. Berani? Semoga.

NB          : Jurnalisme hore cenderung terjadi dalam semua media massa koran maupun yang berbasis website.
                : Tulisan ini bukan untuk diterbitkan namun sebagai bahan masukan teoritik untuk semua kalangan.
                : Tulisa ini juga diupload ke ndeleming.blogspot.com
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar