Essay 5 Oktober 2015: Surat untuk Jurnalis
Kritik
Jurnalisme Hore
Saya mengamini khotbah seorang
budayawan yang menekankan skeptisisme pada objektivitas pemberitaan media masa.
Katanya, “Realita sebenarnya tidak pernah tergambar secara apa-adanya melalui
tulisan-tulisan yang dapat terbaca di media massa.” Apakah jurnalis telah
kehilangan kredibilitasnya untuk menulis berita dengan reliabilitas dan
validitas? Apakah media massa semata-mata sedang memberitakan kebohongan
publik? Tentu saja tidak demikian. Paparan budayawan tersebut tidak boleh
diartikan secara literal namun harus dipahami secara simbolis.
Apa itu realitas? Apa yang
sebenarnya terjadi di lapangan adalah apa yang sebenarnya terjadi di belakang
layar. Latar belakang semua cerita adalah sang dalang yang tak pernah
kelihatan. Invisibilitas sang dalang membuatnya tidak mungkin terberitakan
melalui media seperti koran maupun internet yang kegencarannya tak perlu
diragukan lagi. Lalu apa itu dalang? Apa yang terjadi di belakang layar?
Saya amat belajar dari nobel Mario
Puzo yang berjudul ‘The Godfather’. Sekadar curcol, baru kali ini pula ada
versi film yang jauh lebih baik dari pada versi novelnya. Godfather atau dalang
macam Don Vito Corleone inilah yang sebenarnya mengendalikan realitas. Jurnalis
macam apapun takkan mungkin menembus barikade senapan mesin para godfather yang
anti kamera. Apakah godfather selalu antropomorfik? Ternyata tidak. Godfather
bisa jadi merupakan suatu kondisi yang pada dasarnya hampir selalu terkait
dengan kepentingan atau kondisi ekonomi.
Bagi saya, jurnalis yang tidak dapat
menembus pertahanan godfather pasti akan memberitakan laporan berita hore. Mari
kita lihat dalam satu pemberitaan hore di suatu media massa tertanggal 20
September 2015 halaman 32 yang berjudul ‘Sejumput Pasir, Sejuta Kenangan’.
Sebagai bagian dari kalangan masyarakat arus bawah, saya dongkol ketika membaca
berita inspiratif tersebut. Mengapa? Karena paparan berita tidak mendasar alias
tidak menyentuh bumi. Jurnalis tidak memberitakan satu atau beberapa motif
paling primern yang menyebabkan pasutri bapak M dan ibu M dapat melakukan
perjalanan keliling dunia bersufenir pasir tersebut.
Pada awalnya saya memang terkesima
dan terinspirasi oleh pemberitaan sdri. MK. Tapi dengan hormat, tanpa
menjelekkan pihak-pihak tertentu, saya ingin mengusulkan satu paradigma baru
jurnalisme agar semakin membumi. Dalam kasus ‘Sejumput Pasir, Sejuta Kenangan’
misalnya, akan lebih baik bila pemberitaan juga mengungkapkan sumber-sumber
sebab primern yang menyebabkan pasutri bapak M dan ibu M dapat melakukan
perjalanan keliling dunia bersufenir pasir. Saya selalu menduga bahwa sumber
primern tersebut masih seputar masalah ekonomi.
Jadi intinya akan baik bila
dikemukakan juga dari mana bapak ibu M mendapatkan penghasilan atau akses untuk
berwisata mancanegara. Atau mungkin bapak dan ibu M dapat berpergian ke seluruh
penjuru dunia adalah karena jadi duta besar? Karena tugas kenegaraan? Menikmati
uang pensiun hasil investasi saham atau unit linked? Karena dibiayain
anak-anaknya yang sudah jadi orang (baca: kaya)? Karena dapat lotere di
Amerika? Karena dikirimi uang dari langit oleh malaikat? Dll. Motif primern
semacam ini baik bila diketahui masyarakat arus bawah agar kami ini dapat
berpikir realistis. Dengan ini,
pembacaan kami atas pemberitaan-pemberitaan bukan hanya jadi sarana rekreasi
pikiran berdampak inspiratif sesaat namun dapat membawa spirit untuk melangkah
secara praksis. Berani? Semoga.
NB : Jurnalisme
hore cenderung terjadi dalam semua media massa koran maupun yang berbasis
website.
:
Tulisan ini bukan untuk diterbitkan namun sebagai bahan masukan teoritik untuk
semua kalangan.
: Tulisa
ini juga diupload ke ndeleming.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar